Sabtu, 21 Juli 2012

KAPITALISASI RAMADHAN


 Kapitalisme memiliki intuisi untuk abadi karena mampu berinovasi. Demikian ungkapan Ian Bremmer di dalam bukunya The End Of Free Market (2011) yang banyak mengupas transformasi kapitalisme dalam kehidupan ekonomi, sosial dan politik di akhir abad 20 hingga memasuki abad 21. Kreativitas, merupakan satu dari karakter generik yang mengabadikan kapitalisme seperti dikatakan oleh “nabi kapitalisme” Adam Smith.
Jauh hari sebelum hilal Ramadhan bertengger di atas cakra pandang pasca konjungsi di ufuk, kita telah menyaksikan kreatifitas dan inovasi kapitalisme terbit benderang dari layar televisi, koran, media online, jejaring sosial, spanduk, baliho dan berbagai media promosi. Pertunjukan kapitalisme kian mengesankan sekaligus mengenaskan karena memasuki area paling suci dan bertolak belakang selama ini. Ranah agama atau religiusitas versus keberturutan hasrat tanpa batas, atau apa yang disebut sebagai ammaratun bis suu’ (hawa nafsu yang cenderung mengajak pada keburukan).
Kemampuan mendamaikan dua kutub berbeda, yaitu antara kutub transenden ramadhan dan kutub profan kapitalisme, melimitasi nalar rasional. Kita tergugu, lalu tak bisa menelisik di mana garis retriksi dua wajah yang awalnya paradoks itu. Sebabnya, kapitalisme mampu menjadi sosok religius dan keluar dari stigma profan. Demikian pula religiusitas (artifisial) yang tiba-tiba menjadi loba karena terkooptasi modernisme keberagamaan yang ditawarkan oleh permainan desain iklan atau media promosi, lalu dianggap biasa saja.
Gangguan Kejiwaan
  Transmisi kapitalisme di bulan suci membuat warna ketamakan kapitalisme dan perintah menjauhi mubadzir oleh ajaran agama menjadi absurd. Ramadhan, kata Nabi Muhammad SAW, semestinya menjadi momentum untuk mengetatkan ikat pinggang, meredam hawa nafsu, mengendalikan diri dari hingar bingar goda duniawi. Tapi repetisi pesan audio visual terlanjur menyihir alam kesadaran (subconscious) sehingga menyebabkan gangguan kejiwaan (neurosis) dengan laku konsumtif. Mengacu pada terminologi puasa (shaum) yang berarti menahan, semestinya ramadhan membuat kita kian mampu mengendalikan diri.
Statistik menunjukkan betapa kian loba kita di Indonesia pada bulan puasa. Mengutip data BPS November 2011, pada triwulan ke III Tahun 2011 dalam interval waktu yang bertepatan dengan bulan Ramadhan, konsumsi rumah tangga paling tinggi. Dilihat dari sisi penggunaan, komponen PDB Indonesia berupa pengeluaran konsumsi rumah tangga atas dasar harga konstan 2000 meningkat Rp. 7,7 tiliun dari Rp339,0 triliun pada Triwulan II-2011 menjadi Rp346,7 triliun pada Triwulan III-2011 atau tumbuh secara riil sebesar 2,3 persen.
Sedangkan pengeluaran konsumsi rumah tangga atas dasar harga berlaku, naik signifikan Rp. 58,5 triliun dari Rp. 983,7 triliun pada Triwulan II-2011 menjadi Rp. 1.042,2 triliun pada Triwulan III-2011. Pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada triwulan III merupakan yang tertinggi dibanding periode lainnya dengan angka pertumbuhan mencapai 4,8 persen atas rata-rata PDB 6,5 persen.
Sebagai gambaran, pada tahun 2009 total belanja konsumen di bulan Ramadhan dan sebulan sebelumnya mencapai Rp. 18 triliun. Penggerak belanja konsumen di pusat-pusat perbelanjaan modern adalah kategori makanan yang permintaannya meningkat 29 persen di supermarket, dan 19 persen di mini market di banding bulan biasa. Bahkan pada Ramadhan tahun 2008, ketika belum terjadi krisis ekonomi global, penjualan makanan di minimarket meningkat 40 persen dan di pasar tradisional naik 19%.
Syrup dan makanan kecil adalah dua jenis produk yang penjualannya meningkat tajam, terlebih jelang Idul Fitri, dengan masing-masing peningkatan permintaan 100 persen untuk makanan kecil dan 600 persen untuk syrup. Demikian pula dengan penjualan soft drink yang meningkat hingga 50 persen dari bulan-bulan biasa. Untuk konsumsi cokelat sebagai bahan olahan bagi makanan, minuman, biskuit, roti dan wafer, meningkat hingga 20 persen. Adapun permintaan biskuit dan mie instan, menurut Ketua Umum Asosiasi Industri Roti, Biskuit dan Mie Instan (Arobim), Sribugo, meningkat hingga 15 persen.
Tahun ini, optimisme konsumen kian tinggi karena ekonomi Indonesia terus membaik. Pada bulan Mei lalu, Nielsen melansir hasil survey global yang menempatkan Indonesia sebagai negara dengan konsumen paling optimis dengan urutan ketiga di dunia, sehingga bisa ditebak jika permintaan (konsumtifisme) akan meningkat signifikan pada bulan Ramadhan.
Serbuan iklan di televisi yang sangat menggoda karena disetting senafas euforia religiusitas, satu variabel penting pendorong konsumtifisme. Tren setiap tahun, belanja iklan di media mencapai puncak di kuartal ketiga, ketika bulan Ramadhan tiba dengan memanfaatkan premium time seperti jelang dan setelah berbuka dan saat sahur.
Menurut Nielsen Media Research, jumlah pemirsa televisi pukul 02.00 hingga 06.00 di bulan-bulan biasa hanya sekitar 707 ribu. Pada bulan Ramadhan melonjak signifikan hingga 725 persen menjadi 5,22 juta pasang mata. Acara televisi seperti banyolan dan reality show “berbau” agamis menggandeng produk makanan, minuman, pakaian, operator seluler hingga produsen kendaraan sebagai sponsor. Ceramah agama, bahkan tak lolos dari kapitalisasi. Durasi iklan kadung lebih panjang dari pada nasehat sang ustadz. Jadilah televisi kita full komersialisasi ketimbang nilai (value) dari pesan yang hendak disampaikan.
Pertumbuhan Semu
  Jika kita cermati, belanja rumah tangga maupun belanja iklan justru pada sektor padat modal dan teknologi yang tidak berpengaruh signifikan terhadap sektor ril dimana sebagian besar masyarakat mencari rupiah. Artinya, eksposur pertumbuhan ekonomi musiman itu semu karena hanya dinikmati perusahaan-perusahaan besar atau retail-retail modern sedangkan masyarakat bawah menjadi korban eksploitasi. Anekdot bahwa bulan Ramadhan adalah bulan mengabiskan (rupiah) setelah 11 bulan sebelumnya bekerja mengumpulkan rupiah, benar-benar terjadi. Ramadhan menjadi bulan konsumtifisme habis-habisan. Ironis.
Hak setiap pribadi untuk menggunakan uang mereka, itu tidak salah. Namun permasalahan terjadi ketika berkah ekonomi momentum ramadhan dinikmati segelitir orang, dan Ramadhan berlalu tanpa makna yang terikat di hati. Tak ada kebaharuan ruhiyah pasca Ramadhan akibat terlalu fokus ‘beribadah’ di mall, supermarket, dan pusat-pusat perbelajaan lainnya. Padahal bulan Ramadhan datang hanya sekali setahun, dan tak ada jaminan kita masih berjumpa pada tahun-tahun mendatang.
Ramadhan kali ini mestinya kita optimalkan, tanpa meninggalkan hak-hak fisik untuk didandani dan diberi makanan bergizi seiring dengan ikhtiar perbaikan iman dan taqwa di bulan suci sehingga pantas berhari raya idul fitri. Pada titk inilah, prinsip keseimbangan (tawazun) dalam menjalani hidup perlu kita iplementasikan. Bukan terjebak pada ritus kapitalisme. Karena kita hendak berucap marhaban yaa Ramadhan, bukan marhaban yaa  bulan belanja dalam kapitalisme. Selamat menyambut dan meraih keutamaan bulan suci!

Keterangan : Diterbitkan pada kolom opini Jawa Pos edisi Kamis (19/7) “Marhaban Yaa.. Bulan Belanja”

oleh: Jusman Dalle