Kamis, 16 Februari 2012

REKAMAN PENGAJIAN (1 )

Tentang  jama’ah
Pada pertemuan malam Jum’at kemarin di rumah Bang Sa’alih/Ika, kita telah membahas tentang struktur jama’ah. Jadi kesimpulannya adalah bahwa tujuan kita ngaji itu untuk membuat jama’ah. Saya ulangi pernyataan teman kita di Malang, Pak Masykur, orang Kendal, bahwa selama ini kegiatan kita hanyalah ngaji x ngaji + ngaji : ngaji = ngaji.  Dengan kata lain, kegiatan kita hanyalah ngoja-ngaji melulu, yang hasilnya hanyalan ngaji dan ngaji. Maka itu adalah sebuah kegagalan. Karena kita cuma berputar-putar di sekitar ngaji. Kalau kata almarhum Bang Dulloh dulu seperti naik komidi putar. Mutarnya kencang, tapi cuma di situ-situ juga. Hasilnya cuma puyeng. Akhirnya nanti umur kita habis cuma karena puyeng.
Kita mulai hari ini, mulai detik ini, kita coba untuk berpikir maju. Kalau di masa lalu, misalnya, usaha kita untuk membuat jama’ah itu gagal, karena memang tidak ada juga kesungguhan untuk itu, mudah-mudahan hari ini kita bisa belajar berjama’ah.  Ya caranya antara lain seperti tadi itu. Beli buku bareng-bareng, yang ga punya kita bantu, yang punya membantu. Itu cuma contoh kecil aja ya?
Struktur jama’ah
Jadi, pertama-tama kita memang harus memahami dulu konsep jama’ah itu apa. Kemarin sudah kita bahas serba sedikit bahwa struktur jama’ah itu, kalau mengacu pada hadis kun ãliman aw mutta’aliman aw mustami’an aw muhibban wa lã takun khãmisan, maka kita bisa menjadi (1) ahli ilmu, (2) pelajar, (3) penyimak, atau (4) simpatisan. Kalau ini kita gambarkan sebagai lingkaran-lingkaran, maka jangan sampai kita keluar dari lingkaran-lingkaran itu, sehingga menjadi kelompok kelima, yaitu menjadi orang-orang yang tidak peduli, atau bahkan menjadi perusak. Kalau sebatas menjadi supporter , simpatisan, itu masih bisa diterima, masib bisa bermanfaat. Tapi seperti saya katakan pengelompokan dalam lingkaran-lingkaran itu kan sifatnya dinamis. Setiap orang dalam setiap lingkaran bisa meningkatkan diri, bisa masuk ke lingkaran sebelah dalam dan terus ke dalam, sehingga masuk ke lingkaran tengah (kelompok  ahli ilmu).
Itu bila dilihat dari segi proses penguasaan ilmu. Tapi kalau dilihat dari segi penyebaran ilmu, dari lingkaran dalam terus menyebar ke lingkaran-lingkaran luar. Dengan kata lain, penguasa ilmu mencari orang-orang di lingkaran-lingkaran luar, merekrut orang-orang yang di luar.
Jadi, dari segi proses belajar, kita harus meningkat; dari tidak tahu menjadi punya kesukaan, kesenangan, simpati, terus sampai menjadi ãlim. Kalau sudah ãlim, ya seperti kata Pak Chudlori, kalau sudah ‘makan’ ya ‘berak’. Dengan kata lain, masuk (ke lingkaran jama’ah) cari ilmu, keluar sebar ilmu.
Kamudian, kalau kita merujuk hadis lain, yang menyatakan bahwa setiap kita adalah pemimpin, dan pemimpin itu ibarat penggembala (rã’in). Atau dengan kata lain, setiap pemimpin itu mas’ûlun. Orang yang menempati posisi yang membuat dirinya layak dituntut. Yaitu dia bertanggung jawab terhadap orang-orang yang dipimpinnya.
Itu pembahasan kita seminggu yang lalu.
Jama’ahku jannahku
Sekarang kita masih akan membahas tentang jama’ah, yang dalam istilah sekarang disebut organisasi,  melalui sebuah hadis yang dikenal sebagai Hadis Jibril.  Sebagaimana sebelumnya telah diterangkan, Hadis ini berbentuk obrolan antara Nabi Muhammad dengan Jibril, yang isinya kemudian dirumuskan ulama menjadi Rukun  Islam, Rukun Iman dan seterusnya. Yang menarik bagi saya, dalam hadis ini, setelah terjadi obrolan cukup panjang, Rasulullah kemudian menyimpulkan bahwa poin-poin yang dibahas dalam obrolan itu semua adalah amru-dînikum.
Jelasnya, hadis itu bersumber dari Ibnu ‘Umar, anak ‘Umar bin Khtthab. Jadi Ibnu Umar menceritakan apa yang dialami bapaknya, yaitu menyaksikan obrolan antara Rasulullah dengan seorang lalaki asing. Di akhir obrolan, lelaki asing itu pergi. Lalu Rasulullah bertanya kepada ‘Umar, “Ya ‘Umar, a tadri man-isã’il?” Jawab ‘Umar, “Allahu wa rasuluhu a’lamu.” Kata Rasulullah, “Innahu Jibril, atãkum yu’allimukan amra dînakum.”
Jadi, yang perlu diperhatikan, Nabi menyebut yang lima itu (îslãm, îmãn, ihsãn, sã’ah, ammãtus-sã’ah) sebagai amru dînikum (dalam teks hadis amra dînakum karena posisinya objek).
Coba kita perhatikan. Bila kita cermati kata-kata Rasulullah yang terakhir itu, maka bisa dikatakan bahwa judul percakapan beliau dengan Jibril itu adalah amru dînikum, alias Dînul-Islãm(i). Tapi di dalam Dînul-Islãmini ada lagi Al-Islãmu). Kenapa? Ini yang perlu kita kritisi. Kok di alam Dînul-Islãm ada Al-Islãm? Kalau begitu,Al-Islãm yang ini (yang dirumuskan menjadi Rukun Islam) adalah sesuatu yang lain. Lain dalam hal apa? Lain dari sisi apa?
Kalau kita bicara tentang Dînul-Islãm itu kan mencakup semua ajaran Islam. Tapi Al-Islãm dalam konteks Hadis Jibril itu kan oleh Nabi hanya dibatasi lima butir saja. Dan kadang-kadang Hadis Jibril ini memang oleh Rasulullah dipecah. Misalnya yang populer itu kan hadis yang dimulai dengan kata buniya ya. Buniyal-islãmu ‘ala khamsin…
Ingat! Kalau kita menyebut kata buniya,  itu adalah kata kerja pasif. Kata kerja aktifnya adalah banã. Dan mashdarnya adalah binã’an dan atau bun-yãn.
Apa itu bun-yãn (bangunan)? Bun-yãn itu sama dengan bait (rumah). Apa rumah? Tempat tinggal. Kalaubaitullah memang tempat tinggal Allah? Atau rumahtangga? Terus, kalau Nabi bilang baiti jannati, apa itu rumah tangga pribadi? Bait Nabi dengan baitullah sama engga?
Bait Nabi dengan baitullah sama engga?
Bagaimana saudara-saudara menjawab pertanyaan ini? Bagaimana cara menjawabnya?
Kalau saudara-saudara belajar metode, maka harus menjawab secara metodologis. Kita akan menjawab dengan ayat: Innallaha wa malã’ikatahu yushallûna ‘alan-nabiyy… dan seterusnya. Kita tanya lagi: shalawatAllah dengan shalawat Nabi sama engga? Dengan shalawat Malaikat, sama engga? Dengan shalawat mu’min, sama engga?
Terus, orang shalat di mana? Di masjid. Masjid itu apa? Baitullah. Kalau begitu, baitullah dengan baitun-nabi, sama engga? Sama!
Kalau begitu, dalam bahasa Indonesia, apa terjemahan baitullah itu? Rumah Allah, atau apa? Kita memahaminya sebagai organisasi yang ditegakkan dengan ajaran Allah. Begitu juga halnya dengan baitun-nabi. Jadi, ketika Nabi mengatakan baiti jannati itu jangan dipersempit pengertiannya menjadi rumahku surgaku, atau rumahtanggaku surgaku saja. Dengan Khadijah di dalamnya, dengan Aisyah di dalamnya, dengan istri-istri yang lain di dalamnya.  Lalu bagaimana rumahtangga para sahabat? Rumahtangga para mu’min yang lain?
Jadi, kalau Nabi bicara itu bukan subjektif.  Ingat posisinya sebagai uswatun hasanah.  Dalam hal apa? Dalam segala hal. Dalam pelaksanaan Dînul-Islãm. Jadi, dengan demikian, baiti = jamã’ati. Jama’ahku jannahku. Coba pikir, kalau hanya rumahtangga Nabi yang Jannah tapi rumahtangga umatnya berantakan, berarti Islam itu bukan konsep untuk membangun jannah di dunia ini.
Begitu ya. Kalau kita berpikir metodis, kita akan menemukan jawaban-jawaban yang ‘nyambung’. Yang logis.
Syahadat
Jadi, Dînul-Islãm, jama’ah Islam, organisasi Islam, ditegakkan dengan lima asas atau lima prinsip. Yang pertama apa? Dikatakan dalam hadis… an tasyhada. Anda bersyahadat. Nah, selama ini kan kita tidak pernah memahami syahadat dalam konteks Islam sebagai organisasi itu apa. Sekarang kan kita bersyahadat asal ngomong saja… Asyhadu an lã ilaha illallahu wa asyhadu anna muhammadan rasulullhah…  Kalau cuma begitu, itu namanya bukan bersyahadat tapi cuma ngomong dua kalimat syahadat. Kalau syahadat misalnya diartikan sumpah, mengucapkan kata-kata sumpah itu bersumpah bukan? Belum tentu. Karena kalau bersumpah itu biasanya harus ada saksi. Ya memang bisa saja bersumpah sendirian. Tapi kalau bersumpah sendirian sama dengan engga ada organisasi. Iya engga? Kalau kita bersumpah sendirian, kan berarti kita engga punya organisasi!  Bersumpah pada diri sendiri! Iya kan? Lalu, siapa yang akan mengeritik? Siapa yang akan mengoreksi kalau kita menyalahi sumpah kita sendiri? Ya sendiri aja. Memang agama bisa ditegakkan sendirian?
Makanya saya sering ulang berkali-kali bahwa menegakkan iman itu tidak bisa sendirian. Berorganisasi itu tidak bisa sendirian. Termasuklah saya di sini juga, dalam kelompok kecil ini, engga bisa sendirian kan? Ngoceh sendirian. Ngapain? Apa enaknya?
Jadi, sekarang kita memahami syahadat dalam konteks organisasi.  Dalam konteks jama’ah. Nah, kalau dalam konteks organisasi, syahadat itu sama dengan baiat.  Wah, ini Darul Islam nih kalau begini.  Jangan-jangan Bang Husein kayak Moshadeq. Lama-lama ngaku rasul juga!  Haha!
Tapi, saya tegaskan kembali ya. Kita memahami Islam ini baru sebatas ilmu ya. Nanti mau diterapkan atau engga, terserah lah. Tapi, kembali, kalau terserah, kalau tujuannya cuma mengusai ilmu, hasilnya ya akan seperti yang dulu-dulu. Belajar, belajar, belajar. Ngaji x ngaji + ngaji, ngoja-ngaji terus. Ya cuma seputar ngaji. Untuk apa ngaji? Ya untuk ngaji… Sehingga saya mengungkapkan sebuah humor, sebuah karikatur, atau anekdot dari Si Kabayan kan? Kabayan lagi gali tanah, ditanya, “Kabayan, ngapain gali tanah?” Buat tanam pisang. “Untuk apa nanam pisang?” Ya untuk makan. “Untuk apa makan?” Ya untuk gali tanah.
Mau engga kita seperti itu? Misalnya, kita cari duit. Untuk apa cari duit? Untuk beli makanan. Untuk apa makan? Ya supaya hidup. Untuk apa hidup? Ya supaya bisa cari duit. Mau engga seperti itu?
Jadi, saya melihat dalam konteks organisasi, syahadat itu sumpah setia. Sumpah setia mau ngapain? Ya sesuai kalimatnya. Lã ilaha illallahu… Muhammadun rasulullah. Nah, itu pernyataan umum, bahwa kita mau hidup dengan ajaran Allah, mengikuti sunnah rasulNya. Pada masa Rasulullah, syahadat ini diucapkan di depan siapa? Apa diucapkan sendirian? Di depan Rasulullah!  Sehingga kalau sekarang orang mengartikan syahadat itu bersaksi, itu sebuah kesalahan. Karena kalau bersaksi kan kita menyaksikan. Kalau syahadat diterjemahkan sebagai kesaksian atau penyaksian, boleh. Artinya, katakanlah saya seorang Kristen, masuk Islam, saya bersyahadat. Itu artinya saya melakukan penyaksian. Melakukan upacara penyaksian, supaya masuk Islamnya saya itu disaksikan orang. Selain itu, nanti saya juga mendapatkan kesaksian berupa dokumen.
Apa manfaatnya melakukan penyaksian? Ya itu tadi, supaya ada yang mengontrol, supaya ada yang mengoreksi. Kalau mengacu pada surat Al-Ashr, supaya ada yang melakukan tawashau bil-haqqi. Dan untuk itu saya memberi ijin, bahkan mengharapkan, untuk dinasihati. Kalau sekarang, apa anda kasih ijin orang menasihati? Paling-paling, kalau anda buat salah dan orang menasihati, anda akan bilang, “Apa hak elu nasihatin gue? Ini urusan pribadi. Salah atau benar, ini urusan gue sama Allah!  Begitu kan? Apalagi kita sering dengar orang bilang agama itu urusan individu masing-masing dengan Tuhan. Makanya surat Al-Ashr engga laku, engga bisa dipakai untuk memperingatkan orang!
Jadi, kalau saya bersyahadat, bukan saya yang menyaksikan bahwa tiada Tuhan Selain Allah dan Muhammad rasulullah, tapi orang-orang di di depan saya, di sekeliling saya, menyaksikan bahwa saya telah berumpah untuk hidup dengan ajaran Allah…
Berikutnya, ada engga, kira-kira, peraturan yang harus saya ikuti?
Kalau kita masuk organisasi bernama Dînul-Islãm, peraturannya ada di mana? Dalam kitabullah. Maka kitabullah itulah yang kemudian harus dipelajari.

REKAMAN PENGAJIAN ( 2 )

Shalat: pengenalan visi dan missi
Berikutnya, ada engga peraturan organisasi? Pasti ada. Kalau kita masuk Dînul-Islãm, aturan organisasinya terdpat di mana? Di mana? Tentu di dalam Kitabullah. Karena itulah butir berikutnya dari buniyal-Islãmu ‘ala khamsin adalah ash-shalah. Shalat. Apa shalat?
Kata hadis, ash-shalatu hiyad-du’ã’. Kalau kata Al-Qurãn, shalat itu apa? Shalat itu kitãban. Atau shalat itu qurãnan. Surat apa tuh? Cari sendiri.
Ingat kita sedang menyorot shalat dalam konteks organisasi. Ash-shalatu kitãban. Atau ash-shalatu qurãnan.Kitãban mengacu pada Al-Kitãb(u), qurãnan mengacu kepada Al-Qurãn. Al-Kitãb dengan Al-Qurãn sama engga?
Jadi, isi dari shalat itu apa? Al-Kitãb, atau Al-Qurãn. Jadi,  kitãban itu pembentukan kesadaran berdasar Al-Kitãb. Atau pembentukan kesadaran dengan Al-Qurãn.
Ingat kembali. Kita berbicara tentang organisasi. Shalat dalam konteks organisasi adalah pengenalan visi dan missi organisasi. Islam sebagai organisasi, visi dan missinya ada di mana? Di dalam Al-Qurãn. Apa ada di luar itu? Tidak mungkin kan? Visi dan missi Dînul-Islãm itu ada di dalam Al-Qurãn, dan kita mengenalnya, memasukannya ke dalam kesadaran, melalui shalat. Dalam shalat, minimal, kita membaca surat Al-Fatihah, yang kedudukannya jelas sebagai ummul-kitãb, muqaddimah atau pendahuluan dari Al-Kitãb, yang dalam kajian sistematikan Al-Qurãn kita tegaskan bahwa isi Al-Fatihah itu mewakili sudut pandang deduktif. Dalam konteks organisasi, sudut pandang deduktif ini setara dengan visi.
Artinya, katakanlah untuk contoh gampang, kita baru masuk Islam, kalau sekarang katanya jadi mu’allaf. Cuma lucunya sekarang itu kalau ada orang Cina, misalnya, masuk Islam, sudah 10 tahun masih disebut mu’allaf juga. Itu konyol.
Jadi, begitu pertama kali kita masuk Islam, bersyahadat, menyatakan sumpah setia. Jadilah anggota organisasi secara formal (resmi). Selanjutnya, untuk mengenal visi dan missi Dînul-Islãm  itu ya shalat. Minimal dengan membaca Al-Fatihah. Karena baru kan? Kalau orang baru, masa’ harus baca Al-Qurãn semuanya? Engga bisa kan? (Yang lama juga engga bisa!). Cukup baca Al-Fatihah saja, karena itu sudah mewakili Al-Qurãn. Karena itu pendahuluan kan? Katakanlah sudah mewakili gagasan inti Al-Qurãn.
Seperti pernah saya ungkap, Al-Fatihah itu mewakili pernyataan atau ikrar semua ‘umat Islam’ ya? Karena di dalamnya kan ada dhamîr (kata ganti nama) nahnu (kami). Jadi bukan saya atau aku ya? Jadi, kalau ini pernyataan dari nahnu, Al-Fatihah ini lagi bicara apa? Bicara al-jamã’ah.  Ini bukan urusan pribadi. Al-Fatihah itu mewakili omongan jama’ah. Walaupun dia shalat sendiri, tetap pakai nahnu. Engga jadi ana kan? Apa kalau shalat sendiri bacaannya menjadi ihdi shirãthal-mustaqîm? Tetap ihdinã! Walaupun shalatnya sendirian, mati lampu, engga ada yang lihat. Tetap ihdinã. Ini mewakili kesadaran jama’ah. Ini saja sudah menjadi indikasi (isyarat), bahwa ketika kita masuk sebuah organisasi, berarti kita memasuki sebuah jama’ah. Jadi, naif sekali kalau kita terus ngoja-ngaji tapi tidak menyadari bahwa ujung-ujungny kita harus membentuk jama’ah.
Kalau bicara organisasi, bicara visi dan missi, maka visi dan missi organisasi Islam itu terdapat di dalam Al-Qurãn. Kalau visi itu bersifat umum, mewakili pandangan umum, sedangkan missi itu mengacu pada kekhususan atau pengkhususan. Mengacu pada hal-hal yang lebih khusus, lebih konkret, lebih rinci.
Sekali lagi, kalau visi ini bersifat umum, pandangan secara umum, missi ini lebih bersifat khusus. Jadi kalau menggunakan istilah ini, Al-Fatihah mewakili visi. Karena ada nahnu  di situ, maka dia mewakili visi. Artinya, visinya itu mengacu ke sini. Dengan membaca Al-Fatihah itu kita menyadari diri sebagai bagian dari jama’ah.
Kembali ke matan hadis, yang pertama an tasyhada … yang kedua wa tuqimash-shalata…
Kemudian, yang ketiga tu’tiyaz-zakata…
Pendanaan organisasi
Kalau bicara zakat, biasanya asosiasi kita langsung kepada… al-mãl(u). Apa? Harta, atau … dana. Organisasi butuh dana. Itu pasti. Jadi, kalau berbicara zakat dalam konteks organisasi itu adalah pen-dana-an. Pendanaan jama’ah. Jadi, masuk organisasi, mengenal visi dan missi, terus ikut mengeluarkan zakat, dalam arti ikut mendanai. Bukan keluarin zakat, misalnya berupa duit, lalu terserah ãmil (petugas). Ãmil akhirnya jadi tukang ambil aja kan? Selanjutnya ke mana? Terserah dia.
Jadi, di sini kita lihat bahwa untuk menegakkan Islam sebagai organisasi itu, pertama harus ada sumpah setia, kedua harus mengenal visi dan missi, melalui shalat itu. Otomatis kan? Shalat itu memasukkan visi dan misi Al-Qurãn secara bertahap kan? Lama-lama semakin meningkat. Semakin luas.
Berikutnya, az-zakah. Kalau dibawa ke fiqih, zakat itu kan berarti zakat fitrah dan zakat mãl, yang dibatasi sejumlan 2,5% dari kekayaan.
Tapi di sini adalah pendanaan jama’ah. Tanya Abu Bakar, berapa persen yang dikeluarin? Semua. Sehingga ketika ditanya Rasulullah, “Hey, Abu Bakar, di rumah kamu masih ada engga?” Engga ada, katanya. Yang ada cuma Allah dan rasulNya. Keren engga Abu Bakar? Yang ada cuma Allah dan rasulNya! Berarti, habis engga hartanya? Artinya, Abu Bakar siap mengeluarkan dana demi kepentingan jama’ah. Wah, kalau gitu, masuk Islam jadi miskin dong? Emang iya! Abu Bakar itu menurut sebuah buku, kalau saya tak salah ingat, mempunyai kekayaan sekitar limapuluh ribu dinar. Yang tersisa ketika hijrah cuma lima ribu dirham. Atau sekitar 5% saja(?).
Jadi Abu Bakar yang kaya itu, setelah hijrah, kekayaannya hanya tersisa lima persen. Siapa yang tidak takut? Siapa yang tidak takut kehilangan hartanya, sehingga tinggal lima persen? Siapa yang tidak takut?
Makanya, yang paling berat itu adalah mendanai jama’ah seperti Abu Bakar. Kalau Cuma nyumbang 2,5% persen itu engga berat ya? Kalau saya punya uang seribu, dua setengah persen dari seribu, berapa sih? Sedikit kan? Tapi kalau sejuta? Cukup banyak. Seratus juga? Lebih banyak lagi. Semilyar?
Kalau otaknya kapitalis, dua setengah persen dari semilyar itu kan bisa jadi modal usaha. Tapi kalau Abu Bakar, berhitungnya engga begitu. Saya kasih semua dah! Lalu, anak-binya gimana? Nah, ini yang orang lupa! Abu Bakar itu seorang pengusaha. Kalau kita berotak pengusaha, kekayaan itu di mana? Kekayaan itu bentuknya uang atau barang?
Kekayaan itu uang atau barang?
Uang (sahut peserta).
Uang dan barang (sahut peserta yang lain).
Mana duluan; uang atau barang?
Zaman dulu ada uang engga?
Kalau bicara barang, ada makanan, minuman; ada kayu, ada batu, ada besi, ada perak, ada emas. Barang semua kan? Siapa yang bikin itu semua?
Tuhan yang bikin (sahut peserta).
Kenapa kita bilang itu punya kita? Kapan kita bikin?
Nah, kemudian manusia bikin uang. Untuk apa? Sebagai alat tukar…
Jadi, mengakui bahwa segala sesuatu milik Allah, ini yang sulit.
“Tapi kalau kita punya anak, yaa kita harus bilang anak kita! Jangan bilang itu anak Allah! Masa’ Allah punya anak?” (celetuk peserta).
Yaa harus kita pahami bahwa yang dimaksud itu kita mau menyatakan bahwa kita tidak memiliki apa-apa. Semua itu punya Allah. Karena itu, kita mau diatur oleh Allah. Bukan berarti kita engga boleh bilang punya rumah, punya duit, punya anak… Yang dimaksud adalah pada hakikatnya semua itu milik Allah, diserahkan kepada kita sebagai amanah. Amanah Allah di tangan kita. Anak, amanah Allah di tangan kita. Kalau titipan, harus diperlakukan seperti apa? Sesuai kehendak yang menitipkan! Duit di rumah, ada sekian milyar. Titipan Allah! Diperlakukan, dimanfaatkan, sesuai dengan maunya Allah. Nah, siapa yang tidak takut? Siapa yang tidak takut berbuat seperti Abu Bakar? Kebanyakan, takut! Walaupun bilangnya berani. Beraninya berani kabur!
Jadi, kalau kita bicara zakat dalam konteks organisasi, zakat adalah pendanaan organisasi. Dan di sini bukan bicara presentase lagi, karena ini bukan bicara zakat dalam pengertian fiqh ya? Bukan yang dua setengah persen itu. Karena inti dari pengorbanan mu’min itu adalah pengorbanan harta dan jiwa. Tujahiduna bi-amwalikum wa anfusikum! Berjihad. Bersungguh-sungguh mengorbankan harta dan jiwa. Jadi, tak ada prosentase. Semua!
Siapa yang engga takut?
Takut semua!
Engga ada yang jadi dah!
Jadi, intinya, dalam organisasi itu harus ada pendanaan. Nah, di situ, yang paling mampu (kaya) memberikan dana paling banyak. Tapi dengan catatan bahwa dengan adanya jama’ah itu kan nanti adabaitul-mãl(i) ya?
Fungsi baitul-mãl
Apa fungsi baitul-mãl?
Baitul-mãl itu, di samping untuk menghidupkan jama’ah, … kan nanti dana yang masuk ada pembagiannya kan. Ini untuk infra struktur, misalnya. Apa infra struktur? Gedung, misalnya. Sarana fisik ya? Dan lain-lain dah. Termasuklah nanti untuk subsidi. Untuk BLT lah. Apa? Bantuan Langsung Tewas? Haha! Bantuan langsung tunai. Bantuan dari pemerintah, langsung diterima, kontan.
Jadi, ketika dana masuk ke dalam baitul-mãl jama’ah, dana itu tidak boleh musnah. Fungsi jama’ah itu adalah membuat dana mengalir. Mengalir kepada yang berhak. Dengan kata lain, jama’ah juga harus mampu menghidupkan ekonomi anggotanya… Sehingga nanti yang pertama menjadi mustahiq, berikutnya menjadi muzakki.
Jadi, sekali lagi, dana yang masuk, diterima ãmil itu, jangan musnah ya? Siapa ãmil? Tukang ngambil? Ãmilitu petugas. Kalau dalam bahasa Arab sekarang, muwazhaf. Apa itu muwazhaf? Pekerja. Pegawai kantor.
Jadi, jama’ah itu, dari anggota untuk anggota.
Mirip demokrasi?
Bukan dari anggota untuk pemimpin ya? Kalau jama’ah tidak dihidupkan, anggota terlantar. Seperti saya cerita soal beli buku itu. Semua anggota harus punya satu buku. Tapi kita kan tidak semua punya uang. Maka yang duitnya berlebih, beli dua buku. Satunya untuk siapa? Untuk yang tidak mampu membeli. Dan yang tidak mampu, tidak boleh malu. Karena kita adalah… kullu mu’minin ikhwatun. Semua mu’min itu bersaudara.
Kemudian, ingat juga bahwa dalam istilah zakat itu, selain ada pengertian bersih, ada pengertian tumbuh ya?  Pengertian ini, keduanya harus muncul.
Seperti dalam pengertian umum, dengan mengeluarkan zakat 2,5% harta kita bersih dari hak orang lain. Kalau masih ada hak orang lain yang kita pertahankan, berarti harta kita kotor. Kemudian, tumbuh. Yaitu yang 2,5% itu kita masukkan ke jama’ah, ke baitul-mãl, itu harus tumbuh. Harus menumbuhkan ekonomi jama’ah. Harus mengalir ke setiap yang berhak.
Jadi jangan kita pahami mengeluarkan zakat, mengeluarkan uang receh itu, sebagai sekadar buang dosa ya? Buang dosa setahun sekali, dengan mengeluarkan 2,4% persen. Itu pun kalau hartanya sudah sampai nishab.Kalau yang belum, ya engga berzakat. Jadi dengan demikian, oramg yang pelit jadi aman kan? (Apakah untuk ikut mendanai jama’ah harus menunggu kaya?).
Ketahanan fisik dan mental
Kemudian butir yang keempat, ash-shaum. Ash-shaum(u) itu intinya ash-shabr(u). Apa ash-shabr? Ketahanan fisik dan mental. Untuk mempertahankan apa? Kembali ke tema. Pokoknya, biar lapar, biar haus, biar lemas, gua mau mempertahankan Al-Qurãn!
Intinya, shaum dalam konteks jama’ah adalah pembinaan ketahanan fisik dan mental untuk menegakkan dan mempertahankan Al-Qurãn. Kalau menurut fiqh kan terbalik. Puasa untuk cuci dosa. Kalau puasanya engga batal, dosanya bersih. Dikutiplah dalil man shama ramadhana imanan wahtisaban ghufira lahu min dzanbihi ma taqaddama wa ma ta’akhara. Jadi, kalau sudah puasa sebulan, dosa-dosanya yang terdahulu dan yang akan datang, diampuni! Dihapus.
Kalau dosa yang akan datang sudah dihapus, padahal kita belum berbuat dosa, berarti harus berbuat dosa dulu kan? Makanya, setelah puasa, saya harus nyolong, harus nipu dulu, supaya bisa diampuni kan? Jadi, pemahaman seperti itu, kira-kira membuka peluang untuk berbuat jahat engga?
Kalau begitu, bagaimana kita memahami ghufira lahu min dzanbihi ma taqaddama wa ma ta’akhara?
Kita bahas kata ghufira dulu ya?
Ghufira itu kata kerja pasif (fi’lul-majhul). Kata kerja aktifnya, ghafara, yang menurut kamus Al-Munjid berarti (1) ghatã (menutup), dan (2) ashlaha (memperbaiki).
Tinggal pilih. Kalau kita pakai menutup, maka dengan berpuasa, segala kesalahan yang dulu dan yang akan datang, kita tutup. Dengan apa nutupnya? Siapa yang nutup? Apa Allah yang nutup? Kita! Dengan memungsikan puasa, dosa yang dulu kita tutup. Artinya, tidak diulang. Selesai. Yang dilakukan dulu, ya sudah selesai. Jangan diulang. Dosa yang akan datang? Yaa ditutup juga kan? Jangan buka peluang lagi.
Kalau bicara yang ngampunin, siap yang ngampunin?
Ini bukan soal ampunan kok. Tapi dengan menjadi mu’min, dengan – antara lain – melakukan shaum, kan berarti mengamalkan Al-Qurãn kan? Jadi, dengan shaum ini, dengan memungsikan Al-Qurãn, saya tutup dosa saya, kesalahan saya, baik yang saya lalukan di masa dahulu maupun di masa yang akan datang!  Ini, dengan kata lain, kita melakukan perbaikan (ashlaha) diri!  Makanya dalam hadisnya, kan penekanannya pada man shama ramadhana imanan wahtisaban… Bukan puasa asal puasa, tapi berdasar iman, berdasar ihtisab. Dengan menerapkan rumusan iman ‘aqdun bil-qalbi wa iqrarur bil-lasani wa ‘amalun bil-arkani.
Ihtisaban, Al-Qurãn menjadi alat hisab, alat hitung, menjadi tolok ukur, segala macam lah. Apalagi kalau kita berpikir shaum dalam konteks organisasi. Ini untuk pembinaan ketahanan organisasi. Perlu engga? Untuk apa masuk organisasi ini? Untuk menegakkan Al-Qurãn. Perlu engga ketahanan atau pertahanan? Siapa yang melakukan ini? Para anggotanya!
Terus, yang kelima apa? Hajj…
Haji adalah muktamar
Jadi, kalau butir 1 sampai 4 itu hanya mencakup organisasi internal satu jama’ah saja, urusan dalam negeri saja, al-hajj(u) itu urusannya sudah antar organisasi, antar jama’ah, antar bangsa, antar negara.
Seperti kata sebuah dalil, Al-hajju mu’tamar. Haji itu muktamar. Atau Al-hajju ‘arafah. Haji itu sebuah proses saling kenal. Kalau sekarang kan orang mengartikan haji itu puncaknya ngumpul di padang Arafah. Walaupun engga saling kenal, yang penting kumpul di situ!
Secara ritual, mungkin benar begitu. Semua orang berkumpul di Arafah. Tapi intinya adalah melakukan proses saling kenal. Kemudian, muktamar. Apa muktamar? Kira-kira sama dengan konferensi. Untuk apa? Membahasa permasalahan umat seluruh dunia, secara ilmiah. Makanya al-hajju itu kan sebenarnya isim fa’il. Kata kerjanya apa? Hajja. Berhujah, berargumen. Dalam arti membahas masalah dengan mengajukan dalil-dalil ilmiah. Saling tukar pengetahuan ilmiah. Saling tukar ilmu. Nah, al-hajju itu adalah pelaku muktamar itu. Orang yang bisa saling tukar ilmu. Orang yang bisa melakukan barter ilmu. Jadi, dia atau mereka, adalah delegasi yang membawa missi dari setiap internal jama’ah. Dari setiap jama’ah lokal.
Makanya kalau kita bicara secara ilmiah, haji kecil (umrah) itu apa? Satu utusan (wakil) jama’ah, bertemu utusan jama’ah yang lain. Misalnya, dua jama’ah bertemu. Ini bisa jadi pertemuan jama’ah lokal, bisa juga internasional. Kalau di Makkah itu sudah pasti kelasnya internasional, karena yang bertemu adalah para duta bangsa.
Jadi, kalau begitu, bisa engga sembarang orang pergi haji?
Syaratnya apa? Man-istatha’a ilaihi sabilan. Istatha’a (mampu; sanggup) dalam segi apa? Segi duit? Dalam segi ilmu! Yang siap jadi duta bangsa. Duta jama’ah. Kalau begitu, bagaimana yang pintar tapi miskin? Yaa diongkosin oleh jama’ah. Itulah gunanya zakat tadi; antara lain untuk mendanai haji.
Kalau begitu benar dong orang yang pergi haji dengan dana pemerintah? (tanya peserta).
Yaa benar, dalam arti dia sebagai pejabat, misalnya, didanai pemerintah. Tapi missinya apa? Jalan-jalan! Cuci dosa. Ngilangin stress. Kayak para artis itu kan? Stres karena habis cerai, atau minta jodoh, pergi haji ke Makkah.
Demikianlah prinsip-prinsip organisasi dalam Dînul-Islãm ya? Ada lima.
Bagaimana dengan umrah? (tanya peserta). Itu kan semacam pertemua tidak resmi. Seperti halnya puasa di luar Ramadhan.
Kalau haji wada’? (tanya peserta yang lain).
Itu kan haji perpisahan ya? Kalau tak salah, Nabi berhaji hanya satu kali. Di sini yang terpenting adalah khutbahnya. Nanti kita akan bahas apa itu Khutbah Wada’ ya?
Selain itu, hal berikutnya setelah Al-Islãm dalam Hadis Jibril itu kan Al-Ĩmãn ya? Ini akan kita bahas dalam pertemuan berikutnya

Rabu, 08 Februari 2012

BACAAN SHALAT DAN TERJEMAHANNYA

SUJUD & RUKU

oleh Harta Sujarwo Panjaitan pada 10 Juli 2011 pukul 17:02 ·
”Subhaanaka Allohumma rabbanaa wabihamdika Allohummaghfirlii.” ( SEMESTA ANGKASA SIBUK BERBUAT MENURUT ILMU ANDA ) SEMOGA SAYA DEMIKIAN YA ALLAH, YA PEMBIMBING KAMI YAITU SEMOGA KAMI MENJADI PENYANJUNG HIDUP SESUAI AJARAN ALLAH MENURUT SUNNAH RASUL ANDA. YA ALLAH ! MOHON REVOLUSIKANLAH PANDANGAN DAN SIKAP HIDUPKU YG  ZHULUMAD SESUAI AQMSR

Dalam hadits riwayat Abu Ya’la dan Ibnu Khuzaimah disebutkan bahwa jika hendak sujud, Nabi SAW mengucapkan takbir (dan Beliau SAW merenggangkan tangannya dari lambungnya), lalu bersujud. Sedangkan dalam riwayat Nasa’i dan Daruquthni disebutkan bahwa kadang Beliau SAW mengangkat kedua tanganya bila hendak bersujud.
A. Turun Bersujud Dengan Mendahulukan Kedua Tangan
Rasulullah SAW meletakkan kedua tangannya di atas tanah sebelum kedua lututnya. Beliaupun memerintahkan sahabatnya melakukan hal demikian ”Apabila seseorang dari kalian hendak bersujud, hendaknya tidak melakukannya seperti duduknya unta. Tetapi hendaknya meletakkan tangannya sebelum meletakkan kedua lututnya.” (HR Abu Daud dan Nasa’i).
Beliau SAW bersabda, ”Sesungguhnya kedua tangan turut bersujud sebagaimana sujudnya wajah. Apabila seseorang dari kalian meletakkan wajahnya diatas tanah, maka hendaklah meletakkan juga kedua tangannya. Apabila mengangkat wajahnya maka hendaknya mengangkat juga kedua tangannya.” (HR Ibnu Khuzaimah, Ahmad dan Siraj).

Dalam bersujud Beliau meletakkan telapak tangannya, mengembangkannya, serta
mengarahkannya ke arah kiblat. Beliau meletakkan kedua tangannya sejajar dengan kedua bahunya, dan terkadang sejajar dengan kedua telinganya.
Dalam hadits riwayat Abu Daud dan Ahmad disebutkan bahwa Nabi SAW menekan hidung dan dahinya ke tanah. Beliau berkata kepada orang yang sholatnya tidak benar ”Jika engkau bersujud maka lakukanlah dengan menekan.”
Dalam riwayat lain disebutkan ”Bila engkau bersujud, maka lakukanlah dengan cara menekan wajah dan kedua tanganmu sampai seluruh ruas tulangmu kembali ke tempatnya.”(HR Ibnu Khuzaimah.)
Beliau bersabda, ”Tidak sah sholat seseorang yang hidungnya tidak menyentuh tanah sebagai mana halnya dahinya.” (HR Daruquthni, Thabrani dan Abu Na’im).
Beliau menekan kedua lututnya dan ujung kedua telapak kakinya. Menghadapkan ujung jarinya ke arah kiblat, merapatkan tumitnya dan menegakkan telapak kakinya. Beliau pun menyuruh berbuat demikian.
Inilah tujuh anggota yang dipergunakan Nabi SAW untuk bersujud, yaitu dua telapak tangan, dua lutut, dua kaki, dahi dan hidung. Rasulullah SAW menjadikan dua anggota terakhir (dahi dan hidung) menjadi satu dalam sujud. Beliau SAW bersabda ”Aku perintahkan untuk bersujud, (dalam riwayat lain disebutkan : Kami diperintahkan untuk bersujud dengan menggunakan 7 anggota badan) yaitu dahi, (dan menunjuk hidungnya dengan tangan) serta kedua tangan, (Dalam lafal lain disebutkan : Dua telapak tangan, dua lutut, ujung kedua telapak kaki, dan kami tidak boleh menyibak baju dan rambut).” (HR Bukhari dan Muslim).
Beliau bersabda ”Apabila seorang hamba bersujud, hendaklah menyertakan 7 anggota badan (wajah, kedua telapak tangan, kedua lutut dan kedua telapak kaki).” (HR Muslim, Abu Uwanah dan Ibnu Hibban).
Dalam hadits riwayat Muslim, Abu Uwanah dan Ibnu Hibban disebutkan bahwa Nabi SAW berkomentar terhadap orang yang sholat sedangkan rambutnya diikat dari belakang, ”Orang yang sholatnya seperti itu sama halnya dengan orang yang sholat menggelung rambunya.”Beliau juga bersabda ”Yang demikain ini menjadi tempat duduk setan.” (HR Abu Daud dan Tirmidzi).
Rasulullah SAW tidak membentangkan kedua lengannya, akan tetapi Beliau SAW mengangkat kedua lengannya, menjauhkan dari sisinya sehingga tampak bulu ketiak putihnya dari belakang. Apabila seekor anak domba menerobos di bawah lengannya, tentu dengan mudah dapat melewatinya.
Beliau SAW melebarkan lengannya sehingga seorang sahabatnya berkata ”Mungkin kami bisa menerobos di bawah ketiaknya, saking lebarnya jarak antara lengan dan lambungnya dalam bersujud.” Demikian yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Ibnu Majah. Beliau SAW memerintahkan melakukan hal itu dalam sabdanya ”Apabila engkau bersujud, letakkanlah tanganmu dan angkatlah kedua sikumu.” (HR Muslim dan Abu Uwanah).


”Bersujudlah kamu dengan lurus dan janganlah membentangkan kedua lenganmu seperti
membentangkannya (dalam lafal lain disebutkan : Seperti anjing membentangkan kakinya).”(HR Bukhari, Muslim, Abu Daud dan Ahmad).


”Janganlah seseorang dari kalian membentangkan kedua lengannya seperti anjing
membentangkan kakinya.” (HR Ahmad dan Tirmidzi).
”Janganlah kamu membentangkan kedua lenganmu (seperti binatang). Tetapi tegakkanlah lengamu dan jauhkanlah dari lambungmu. Karena bila engkau melakukan seperti itu maka setiap anggota badan ikut bersujud denganmu.” (HR Ibnu Khuzaimah dan Hakim)
B. Kewajiban Thumuninah Dalam Sujud
Rasulullah SAW selalu memerintahkan agar menyempurnakan ruku dan sujud. Orang yang tidak melakukannya diperumpamakan seperti orang yang lapar. Ia memakan satu atau dua butir kurma yang tidak mengenyangkan sama sekali. Beliau SAW bersabda ”Orang yang demikian itu adalah pencuri yang paling buruk.”
Beliau SAW menyatakan tidak sah sholat orang yang ruku dan sujudnya tidak lurus, sebagaimana yang telah diuraikan pada bab Ruku.

RUKU

Rasulullah SAW meletakkan kedua telapak tangannya pada kedua lututnya . Beliau SAW
memerintahkan sahabatnya melakukan yang demikian. Juga memerintahkan orang yang tidak benar sholatnya. Kedua telapak tangan Beliau SAW tampak menekan kedua lututnya (seakan-akan mencengkram keduanya). Beliau SAW merenggangkan jari-jarinya. Lalu memerintahkannya kepada orang yang tidak benar sholatnya dalam sabdanya ”Jika engkau ruku letakkanlah kedua tangnmu di atas lututumu. Kemudian renggangkanlah jari-jarimu sampai tulang belakangmu menjadi mapan ditempatnya.” (HR Ibnu Khuzaimah & Ibnu Hibban).


Beliau SAW merenggangkan kedua sikunya dari lambungnya. Ketika ruku Beliau SAW
membentangkan dan meluruskan punggungnya sampai-sampai jika dituangkan air dari diatasnya tidak akan tumpah, Lalu, Beliau SAW bersabda kepada orang yang tidak benar sholatnya ”Jika engkau ruku, letakkanlah tangamu pada kedua lututmu. Lalu, bentanglah punggungmu dan tekanlah tanganmu dalam rukumu.” (HR Ahmad & Abu Daud).

Dalam riwayat Ath-Thayalisi dan Ahmad, Abu Hurairah berkata ”Kekasihku Rasulullah SAW melarangku bersujud dengan cepat seperti halnya ayam yang mematuk makanan, menoleh-noleh seperti musang dan duduk sepeti kera.”

Rasulullah SAW juga bersabda ”Pencuri yang paling jahat adalah pencurian yang mencuri dalam sholatnya.” Para sahabat bertanya ”Wahai Rasulullah bagaimana yang dimaksud dengan mencuri dalam sholat itu?” Rasulullah menjawab ”Yaitu orang yang tidak sempurna ruku dan sujudnya dalam sholat.” (HR Thabrani dan Hakim).

Ketika sedang sholat, Beliau SAW melirik orang yang sujud dan ruku dengan punggung tidak lurus. Usai sholat Beliau SAW bersabda ”Wahai kaum muslimin, sesungguhnya tidak sah sholat seseorang yang tidak meluruskan punggungnya dalam ruku dan sujud.” (HR Ibnu Majah &Ahmad).

”Subhanaka Allahumma wabihamdika allahummagh firli”  Rasulullah SAW memperbanyak dao ini dalam ruku dan sujudnya.

 Larangan Membaca Al-Qur’an Saat Ruku
Beliau SAW melarang membaca al-Qur’an saat ruku dan sujud dalam sabdanya ”Ketahuilah sesungguhnya aku melarang bacaan al-Qur’an saat ruku. Hendalah kalian mengagungkan Tuhan Yang Mahaperkasa. Sedangkan dalam bersujud hendaknya bersungguh-sungguhlah berdoa karena doa itu tentu dikabulkan.” (HR Muslim & Abu Uwanah).


IFTIRASY ( DUDUK ANTARA DUA SUJUD )
RABBIGH FIRLII , Ya Allah dengan Shalat ini revolusikan hidup ku.
WARHAMNI , Yaitu limpahkanlah hidup saling kasih sayang.
WAJBURNII , Yakni perbaikilah hidupku ini
WARFA’NII , Lalu angkatlah martabat hidupku.

I'TIDAL
SAMI ALLAHU LIMAN HAMIDAH , Mudah-mudahan Allah berkenan memberi tanggapan hidup siapapun yang mau menyanjung hidup menurut-Nya
RABBANA LAKAL HAMDU , Wahai pembimbing kami hanya menurutmu saya hidup menyanjung
MIL USAMA WAATI WAMIL UL ARDHI , Yaitu meliputi semesta angkasa
WAMILUMAT SI’TA , Dan meliputi isi bumi
MIN SYAIIN BA’DU , Meliputi apa yang anda kehendaki sesudahnya

WARZUKNII , Dan limpahkanlah hidup kami penuh sandang pangan
WAHDINII , Kemudian pedomani kami hidup AL-Qur’an.
WAAFINII WA’ FUANNII , Akhirnya hapuskan hidup kami dari kekotoran hidup Dzulumat.

ATTAAHIYYAT

oleh Harta Sujarwo Panjaitan pada 9 Juli 2011 pukul 19:39 ·

  • ATTAAHIYAATUL , Sistem yang dapat menjamin hidup saling menghormati
    MUBAARAKATU , Saling memakmurkan
    SALAWATHU , Saling memenuhi harapan kemanusiaan
    TAYIIBATU , Dan saling bisa mencapai tujuan
    LILLAHI , Hanyalah menurut ajaran Allah AL-Qur’an Menurut Sunnah Rasul.
    ASSALAMUALAIKA AYYUHAANNABIYYU , Dinnul Islam satu-satunya penataan hidup menurut sunnah mu wahai para Nabi...
    4 jam yang lalu · Suka



  • WA RAHMATULLAHI , Yaitu karunia hidup saling kasih sayang dari Allah
    WABARAKATUH , Dan satu kehidupan saling melimpah ruah kemakmuran dari-Nya
    ASSALAMUALAINAA , Semoga dinnul Islam satu-satunya tatanan ini menjadi berlaku atas kami.
    WA ALA IBAADILAHI SHALIHIIN , Dan atas kehidupan pengabdi-pengabdi hidup menurut ajaran Allah (Al-Qur’an menurut Sunnah Rasul-Nya) yang berlaku tepat menurut demikian.
    ASYHADU ALLA ILLAHA ILLALLAH , Maka dengan Shalat ini saya menyatakan diri menjadi pembela bahwa tidak ada Pembina kehidupan apapun kecuali Allah dengan Al-Qur’an menurut Sunah Rasul-Nya.
    WA ASYHADUANNA MUHAMMADAN ABDUHU WARASUULUHU , Dan saya menyatakan diri menjadi pembela bahwa peri kehidupan Muhammad adalah abdi kehidupan menurutnya, yaitu patron kehidupan (uswatun hasannah) menurut-Nya....
    4 jam yang lalu · Suka


  •  ALLAHUMMA SALLI ALA MUHAMMADIN , Ya Allah sampaikanlah harapan hidupku dengan Shalat ini mencapai kehidupan menurut sunah Muhammad
    WA ALA AALIHI , Dan kehidupan yang telah memenuhi harapan pendukung-pendukungnya
    WASALLIM , Maka tatakanlah hidupku dengan Islam satu-satunya penataan tiada tanding.........


  • ATTAAHIYAATUL , Sistem yang dapat menjamin hidup saling menghormati
    MUBAARAKATU , Saling memakmurkan
    SALAWATHU , Saling memenuhi harapan kemanusiaan
    TAYIIBATU , Dan saling bisa mencapai tujuan
    LILLAHI , Hanyalah menurut ajaran Allah AL-Qur’an Menurut Sunnah Rasul.
    ASSALAMUALAIKA AYYUHAANNABIYYU , Dinnul Islam satu-satunya penataan hidup menurut sunnah mu wahai para Nabi...
    4 jam yang lalu · Suka



  • WA RAHMATULLAHI , Yaitu karunia hidup saling kasih sayang dari Allah
    WABARAKATUH , Dan satu kehidupan saling melimpah ruah kemakmuran dari-Nya
    ASSALAMUALAINAA , Semoga dinnul Islam satu-satunya tatanan ini menjadi berlaku atas kami.
    WA ALA IBAADILAHI SHALIHIIN , Dan atas kehidupan pengabdi-pengabdi hidup menurut ajaran Allah (Al-Qur’an menurut Sunnah Rasul-Nya) yang berlaku tepat menurut demikian.
    ASYHADU ALLA ILLAHA ILLALLAH , Maka dengan Shalat ini saya menyatakan diri menjadi pembela bahwa tidak ada Pembina kehidupan apapun kecuali Allah dengan Al-Qur’an menurut Sunah Rasul-Nya.
    WA ASYHADUANNA MUHAMMADAN ABDUHU WARASUULUHU , Dan saya menyatakan diri menjadi pembela bahwa peri kehidupan Muhammad adalah abdi kehidupan menurutnya, yaitu patron kehidupan (uswatun hasannah) menurut-Nya....
    4 jam yang lalu · Suka


  •  ALLAHUMMA SALLI ALA MUHAMMADIN , Ya Allah sampaikanlah harapan hidupku dengan Shalat ini mencapai kehidupan menurut sunah Muhammad
    WA ALA AALIHI , Dan kehidupan yang telah memenuhi harapan pendukung-pendukungnya
    WASALLIM , Maka semoga kami menata hidupku dengan Islam satu-satunya penataan tiada tanding.........
 ·  ·  · Bagikan · Hapus

  • Tahir ApriantoAura RajaEla Ello dan 4 lainnya menyukai ini.

    • Harta Sujarwo Panjaitan KAMAA SHALLAITA ALA IBRAHIM , … seperti halnya Anda (Allah) dengan Shalat telah memenuhi menjadi kenyataan hidup (Sunnah Ibrahim)

      WA ALA AALI IBRAHIIM , Dan para pendukung sunnah Ibrahim

      WA BARIKH ALA MUHAMMADIN , Dan antarkanlah saya, dengan Shalat ini mencapai kehidupan saling memakmurkan yang telah menjadi kenyataan hidup (Sunnah Muhammad)

      WA ALA AALI MUHAMMADIN , Dan para pendukung sunnah Muhammad....

      10 Juli 2011 pukul 16:36 · 

    • Harta Sujarwo Panjaitan اللّهُمَّ صّلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ ، اللهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إبْرَاهِيْمَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ
      ..........................
..........................
........................
10 Juli 2011 pukul 16:37 · 


  • Harta Sujarwo Panjaitan ASSALAMUALAIKUM , Semoga dinnul Islam satu-satunya penataan hidup tiada tanding menjadi penataan hidup kalian.

    WARRAHMATULLAHI , Dan sistem kehidupan saling kasih sayang menurut Allah

    WABARAKAATUH , Dan satu sistem saling memakmurkan menurut-Nya...............

  • ..........................................