Selasa, 20 Desember 2011

ISA BUGIS SANG PEMBERONTAK SEJATI (?)


Ib n P Kamil
Isa Bugis, usia 50an.
Saya menemukan sebuah tulisan cukup menarik, yang ditulis tanggal 3 September, 1998. judulnya:
Isa Bugis Sang Pemberontak
Banyak tafsir Quran beredar tanpa harus menyebabkan penafsirnya dianggap sesat. Isa Bugis tidak masuk ke dalam kelompok ‘orang-orang mujur’ itu. Penafsir Quran yang sempat berkecimpung sebagai Pemuda Masyumi ini sejak awal memperkenalkan tafsirnya sudah diserang para ‘ahli’ dengan sengit. Suatu ketika di Masjid Istiqlal, konon, Prof. Dr. Hamka pun pernah dibuatnya sangat terperanjat, sehingga ketua MUI pertama ini membanting surban di atas lantai.
Tapi siapakah, atau lembaga apakah sebenarnya yang berhak dan berkompeten, alias mumpuni, untuk memvonis bahwa seorang penafsir melahirkan tafsir yang sesat? Apa ukuran yang digunakan? Bagaimana pulakah halnya tafsir-tafsir yang dianggap tidak sesat? Apakah isinya sudah mewakili kebenaran Quran?
Ibarat langit dan bumi
Isa Bugis dan istri (Facebook: 13 Nov 2011)
Pada umumnya orang beranggapan bahwa kebenaran Quran, yang berarti kebenaran Allah, mustahil terwakili oleh manusia. Dalam hal ini mereka menggunakan langit dan bumi sebagai perumpamaan. ‘Kebenaran langit’ yang terkandung dalam Quran tidak mungkin dapat ditampung oleh manusia yang hanya mampu menampung ‘kebenaran bumi’. Komaruddin Hidayat, misalnya, berulang-ulang mengatakan bahwa para nabi menghadapi kesulitan dalam menafsirkan pesan Tuhan yang berbicara dengan bahasa “langit” agar bisa dipahami manusia yang berbicara dengan bahasa “bumi”.(Baca bukunya yang berjudul Memahami Bahasa Agama/Sebuah Kajian Hermeneutik, Paramadina, 1996).
Kalau para nabi saja sudah sulit menafsirkan bahasa Tuhan, bagaimana dengan kita yang “hanya manusia biasa”? Dengan demikian, menafsirkan dalam hal ini menjadi suatu pekerjaan yang aneh,
karena berarti “menjelaskan sesuatu yang tidak bisa dijelaskan”.
Bila demikian, bukankah semua penafsir adalah orang bingung, alias ‘sesat’?
Faham seperti itu memang timbul dari sikap ‘ekstrim’ dalam memahami keserba-mutlakan Tuhan. Dalam faham ini, Tuhan dan manusia dijadikan dua obyek perbandingan; yang akhirnya otomatis Tuhan tampil sebagai yang amat sangat unggul, dan manusia sebagai yang amat sangat lemah. Penurunan wahyu pun dilihat dengan sudut pandang seperti ini; sehingga tidak perlu heran bila kemudian wahyu menjadi kontraproduktif bagi manusia. Wahyu turun bukan untuk ‘memberdayakan’ manusia, tapi untuk membuat manusia semakin tak berdaya!
Dampak lainnya, karena bahasa Tuhan tidak bisa dikomunikasi­kan, maka sah saja bila ada yang mengatakan bahwa Tuhan tidak mampu berkomunikasi dengan makhluknya! Selanjutnya, sah pula bila ada yang mengatakan bahwa Tuhan itu pada hakikatnya hanya tokoh dongeng. Agama hanyalah mitologi untuk menina-bobo manusia-manusia yang frustrasi atau pesimis dalam menghadapi persaingan hidup.
Isa Bugis, menurut penulis, tampil justru untuk melakukan pemberontakan terhadap faham seperti itu. Baginya, Tuhan itu maha komunikatif, dan Ia menurunkan wahyu untuk memberdayakan manusia. Dengan wahyunya, Tuhan memberikan modal kepada manusia untuk membebaskan diri dari segala jerat Iblis yang membuat manusia tak ubahnya buah-buah catur yang dipermainkan oleh tangan-tangan yang tidak berhak mempermainkannya.
Kekalahan umat Islam
Isa Bugis dan istri, Adian Gade, berfoto di rumahnya bersama keluarga seorang muridnya yang berasal dari Sukabumi.
‘Pemberontakan’ Isa Bugis tergambar dengan jelas dalam diktatnya yang berjudul Menuju Al-Madinatul-Munawwarah; sebuah diktat yang ditulisnya pada awal tahun 1960, yang merupakan ringkasan dari (naskah) buku yang katanya sudah selesai ditulis pada tahun 1958. Dalam diktat itu ia menyebut tiga nama orang yang berjasa padanya, yaitu istrinya sendiri, Adian Gade, yang katanya membantu secara aktif dalam proses penulisan naskah, Mohammad Aly Al-Hamidy yang membaca dan mengoreksi serta menjelaskan para perawi dari Hadis-Hadis yang dikutipnya, dan Nawawi Bakri yang memberikan pengorbanan moral dan material untuk pencetakan bukunya.
Penulisan buku itu dilakukannya, terutama, karena terdorong oleh kegagalan partai-partai Islam dalam Pemilu 1955, yang secara keseluruhan cuma bisa mengumpulkan 40% suara. Ini membuat bulu romanya berdiri; dan bagi setiap Muslim yang sadar akan keyakinannya, yaitu ideologi Islam, katanya, kenyataan itu menjadi “masalah yang sangat unik”.
Namun di samping unik, masalah itu juga dipandangnya ganjil dan “paradoxal” (Maksudnya mungkinparadoxical, pernyataan yang nampak bertentangan tapi juga mengandung kebenaran).
“Setiap orang Islam yakin dan percaya kepada Allah, Malaikatnya, Rasulnya, Kitabnya (Qur’an), dan sebagainya. Dan partai-partai Islam di Indonesia dalam perjoangannya membawa semboyan ‘Terlaksananya hukum-hukum Islam dalam diri orang seorang, masyarakat, dan negara yang berdasarkan Qur’an dan Sunnah Rasul. Malahan ada yang lebih unik lagi, yaitu menambahkan semboyan ‘bermazhab berdasarkan ijma dan qias’. Secara pokok berarti bahwa dalam pertarungan ideologi di Indonesia partai-partai Islam menawarkan satu pilihan yang sesuai kepada rakyat dan masyarakat Indonesia, yang 90% jumlahnya yakin dan percaya kepada apa yang ditawarkan itu. Dan menurut perhitungan yang normal maka pastilah bahwa partai-partai Islam akan mencapai kemenangan yang mutlak, baik untuk pemilihan anggota-anggota DPR maupun Konstituante. Tetapi kenyataannya sebaliknya…”
Isa Bugis menduga bahwa hal itu terjadi mungkin karena ada yang tidak beres dalam perjuangan partai-partai maupun umat Islam secara keseluruhan. Karena itu ia menganjurkan mereka untuk berpikir dan meninjau kembali hal-hal yang berkenaan dengan syarat-syarat perjuangan umat.
Sampai dimanakah pemahaman mereka atas tujuan Islam sebagai ideologi, hasrat mencapainya, dan kenyataan-kenyataan yang dihadapinya? Menurutnya, bila pertanyaan ini terjawab dengan baik, maka dalam jangka waktu tertentu kekalahan itu dapat diubah menjadi kemenangan gilang gemilang.
Melalui diktatnya ia mencoba memberikan jawaban, yang katanya bersumber dari Quran dan Sunnah Rasul, dengan penekanan pada perjuangan Rasul sendiri.
Drama perdamaian
Diktat itu dibuka dengan sebuah puisi yang menyebut Islam sebagai (skenario) drama perdamaian, napas Jibril, gelora hati Al-Musthafa (Nabi Muhammad), sinar yang memecahkan kegelapan, terompet untuk menenteramkan huru-hara, nur shiratal-mustaqim, pembangkit Timur dan Barat, irama kalbu, dan senandung hidup setiap Muslim.Ia bertekad untuk mementaskannya di panggung kehidupan di padang kersang di tanah lempung ini, di tengah pekik-sorai (keramaian) kehidupan, di seantero permukaan bumi ini, di wadi-wadi (lembah) kehidupan nasional, di dalam pesta di belakang Tirai Besi, di dalam Majlis di Benteng Dunia Merdeka.
Saksikanlah nanti, katanya, akan tampil suatu abad yang lain, abad yang belum bernama, yang di dalamnya manusia hidup bagai satu keluarga. Tiada tempat bagi dengki dan tamak. Tasiknya rimbun, ngarainya rindang. Tak ada orang mati karena miskin. Pokoknya suatu kehidupan bagaikan ‘organisme’, yaitu bagai satu jasad, seperti dilukiskan dalam Hadis Muslim dari perawi Nu’man bin Basyir. Dengan gaya penyair Romantik dari sastrawan angkatan Pu­jangga Baru, ia menutup puisinya dengan bait:
Ikutlah Kekasih, Mujahidun…
Siapkan diri bagai Musthafa
Di semua babak atau adegan
Sebagai Penyanyi, Penari, Pelaku, dan Sutradara
Ikut… Bila ‘ku gagal, jatuh terlintang
Ataupun hilang tak tentu rimba
Majulah ke depan, lanjutkan ‘Drama’ ini
Jadi, ia dengan tegas menempatkan diri sebagai perintis dari suatu babak baru perjuangan umat Islam, demi menampilkan umat Islam sebagai pemenang, bukan saja di Indonesia tapi juga di dunia. Ia memulainya dengan melakukan pengkajian Quran dengan caranya sendiri, yang memang sangat kontroversial, dan akhirnya memang divonis sesat. 

2 komentar:

  1. Mudah mudahan ini semua jadi mem-belalakkan mata bagi yg selalu memutar balikkan Ilmu Nya...dan mudah mudahan janji pasti hidup objective segera terlaksana..amin amin ..

    BalasHapus