Senin, 19 Desember 2011

PEMBAJAKAN, PERDEBATAN, PERPECAHAN DAN IJTIHAD

Saya baru dapat kiriman buku dari teman di Yordania. Bahasa Arab. Teman saya ini rupanya lupa bahwa saya lebih lancar berbahasa Inggris daripada berbahasa Arab.
Salah sendiri! Orang Islam kok malah menekuni bahasa Inggris. Bahasa agamanya sendiri dinomorduakan.
He he!  Malah nomor dua pun bukan; karena bahasa pertama saya adalah bahasa Jawa, bahasa kedua bahasa Betawi, bahasa ketiga bahasa Indonesia, bahasa keempat bahasa Inggris, bahasa Arab … masih untung jadi bahasa kelima. Itu juga belajarnya tak sengaja, hanya karena pernah pacaran dengan gadis Arab!
Dan anda tidak tuntas belajar bahasa Arab karena putus sama dia?
Begitulah. Orangtuanya tidak mendukung. Arab adalah Arab. Mereka tetap merasa lebih mulia dari kita, walau Al-Qurãn dan Rasululluah menegaskan bahwa ukuran kemuliaan manusia adalah takwa.
Lho, kok jadi bergunjing tentang Arab. Sudahlah. Masalah patah hati kok dikembangkan sampai ke situ. Kita fokus ke buku itu saja!
Buku ini juga ditulis orang Arab!
Jangan peduli penulisnya. Yang penting, isinya bagus tidak?
Bagus apanya?  Bikin orang bingung begitu!  Katanya penulisnya orang Islam, tapi kok menulis buku yang menjelek-jelekkan Islam.
O, ya? Siapa sih nama  penu-lisnya?
Dokter Kãmil An-Najjãr!
Rasanya nama itu tidak populer di sini. Eh, yang benar dokter atau doktor?
Dokter! Thabîb jarãh. Dokter ahli bedah.
Jadi, dia dokter bedah yang melakukan kerja sambilan membedah Al-Qurãn, begitu?
Rupanya begitu!  Sayangnya, dia seperti melakukan malpraktik. Banyak melakukan kesalahan dalam membedah!
O, ya? Kok anda seperti yakin kalau dia salah membedah? Memangnya anda sendiri lebih mengerti dari dia tentang Al-Qurãn?
Nggak juga sih. Tapi, pokok-nya perasaan saya mengatakan buku itu kacau!
Tapi ukuran kebenaran itu bukan perasaan lho!
Saya tahu! Tapi, ng… gimana ya? Yang jelas, dia mengguncang keyakinan saya tentang kebenaran agama yang selama ini saya peluk, tentang kitab yang selama ini saya anggap benar. Dan, kalau itu terjadi pada saya, tentu bisa terjadi pada banyak orang lain yang membaca buku itu, kan? Dan akan lebih banyak lagi korbannya bila buku itu diterjemahkan ke dalam banyak bahasa.
Ha ha!  Begitu saja kok repot!  Buku-buku begitu kan sudah dari dulu ditulis orang. Jumlahnya ratusan. Mungkin malah ribuan.
Tapi, katanya, ini adalah buku pertama untuk jenisnya, yang ditulis dalam bahasa Arab!
Ah, itu kan biasa. Bahasa promosi! Tapi, eh, apa tadi? Pertama untuk jenisnya? Maksudnya untuk “jenis” apa?
Yaa jenis qirã’ah naqdiyyah, begitu. Jenis studi kritis!
Ha ha! Omong kosong! Buku-buku terdahulu juga kan disebut hasil studi kritis!
Tapi ini serius lho. Dia benar-benar mengorek banyak bagian Al-Qurãn, menunjukan kesalahan-kesalahan di sana-sini dan …
Ha ha! Anda benar-benar terpengaruh rupanya. Tapi, kalau benar-benar dia kritis, boleh juga tuh kita kaji bersama.
Itulah maksud saya datang menemui anda!
Tapi saya tak punya bukunya.
Anda bisa foto kopi buku saya.
Itu namanya pembajakan.
Ngh… ya, ya!  Tapi, kalau misalnya saya minta teman saya untuk mengirimnya lagi dari Yordania, ongkosnya pasti mahal. Selain itu, belum tentu juga dia bisa mengirim dalam waktu cepat.
Ya sudah, foto kopi saja.
Walaupun berarti pembajakan?
Apa boleh buat! Semoga Allah mengampuni kita. Itu pun kalau buku itu ditulis karena Allah.
Ha ha!  Jangan-jangan para pembajak profesional juga berdoa seperti itu!
Mereka tidak salah. Boleh jadi malah mereka berjasa kepada orang-orang miskin. Seperti tokoh dongeng asal Inggris itu; Robinhood, yang merampok untuk menolong orang-orang miskin.
Omong kosong!  Para pembajak itu bukan menolong orang-orang miskin, tapi mencari keuntungan besar dengan modal sedikit!
Tetap saja mereka tak bisa disalahkan. Mereka melakukan pembajakan itu karena melihat peluang. Jadi, yang salah adalah yang membuka peluang itu.
Siapa?
Para produsen, penerbit dan sebagainya. Juga pemerintah yang menarik pajak tanpa pandang bulu, sehingga  buku dan produk-produk intelektual lainnya, yang berhubungan dengan pencerdasan masyarakat, menjadi berharga mahal.
Kalau dijual murah, mereka rugi kan?
Kalau mereka berorientasi ke masa  depan, mereka bisa untung besar kok. Bila harga buku murah, misalnya, pembeli buku akan semakin banyak. Minat baca bangsa kita akan meningkat. Dengan harga buku yang murah, kita tak perlu lagi foto kopi, dan  para pembajak pun bisa beralih menjadi penerbit.
Benar juga. Tapi itu kan baru teori.
Ya. Yang bukan teori sekarang adalah lajunya mesin pembajakan.
Dan kita, terpaksa ikut jadi pemakainya!
Kata orang Arab sih lã budda lanã min-hu, atau wa in kãna wa lã budda!
Bahasa kitanya?
Apa boleh buat!
Ha ha!
Riwayat Singkat Sang Penulis
Nah, ini judul bukunya: Qirã’ah Manhajiyah Lil-Islãm.
Studi Islam metodis, atau ilmiah …Penerbitnya?
Jami’ Al-Huquq Mahfuzhah. Cetakan pertama, tahun 2005.
Ada keterangan tentang penulisnya?
Ada, di sampul belakang. “Dokter Kãmil An-Najjãr, dokter bedah, yang sekarang bekerja sebagai konsultan di sebuah rumah sakit di Britania. Pernah bekerja sebagai dokter di Saudi Arabia selama 10 tahun, juga di Kuwait, sampai kemudian merantau ke Britania bersama keluarganya, dan tidak kembali.
Dia gemar mempelajari agama-agama, pernah mengunjungi banyak kawasan di Timur Tengah, Asia, juga Kanada dan sekitarnya, dalam rangka mempelajari tradisi manusia yang memeluk bermacam-macam agama.
Lahir tahun 1943, menikah, dan punya sejumlah anak.
Mendobrak Pintu Ijtihad
Di sini, dalam bab muqaddimah (pendahuluan), penulisnya mengaku sering merasa ragu untuk menulis buku ini, karena takut bakal kena vonis ilhãd dan harthaqah. Apa maksudnya ini?
Ilhãd itu artinya penyimpangan. Bentuk kata kerjanya lahada, artinya “menggali kubur”. Arti lainnya “menyimpang dari jalan yang benar”, alias “murtad”.
Kenapa arti lahada yang kedua begitu jauh dari arti yang pertama?
Siapa bilang? Bukankah orang yang menyimpang dari jalan (agama) itu bisa divonis mati, dan itu berarti “menggali kubur”?
Oh, iya. Benar juga.
Itulah, antara lain, menariknya bahasa Arab. Satu kata kadang mempunyai banyak arti, dan kita merasa kok pengertian yang satu dengan yang lain begitu berjauhan. Tapi setelah dipikir-pikir, ternyata ada hubungannya juga.
O, ya?  Bisa anda kasih contoh lain?
Misalnya “kãfir”, satu segi berarti ”orang tidak beriman”, segi lain berarti “petani”.
Wah, apa hubungannya orang tidak beriman dengan petani?
Kedua-duanya sama-sama menanam dan menumbuhkan sesuatu. Yang satu, petani, mena-nam benih sayuran dan sebagainya, yang nanti bisa dimakan dan menyehatkan orang lain. Yang lainnya, orang tak beriman, juga menanam benih. Benih kebencian pada sesuatu, yang juga bisa dibagikan kepada orang lain.
Hm, benar juga. Terus, satu istilah lagi nih, harthaqah …
Itu sih mungkin dari bahasa Inggris, heretic, yaitu orang yang berlaku heresy, memiliki pendapat atau pikiran keagamaan yang sangat bertentangan dengan pendapat yang berlaku dalam masyarakat. Karena berasal dari Barat, istilah ini semula hanya berkaitan dengan orang yang berbeda pandangan dengan Gereja Katolik. Tapi rupanya sekarang orang Arab pun menggunakannya juga. Sebuah fenomena ikhtilãth. Pergaulan sosial, yang sekarang memuncak jadi globalisasi!
Apakah itu buruk?
Tidak selalu. Tapi, yang jelas, dalam ikhtilãth itu ada proses take and give; atau bahkan menang dan kalah, terutama bila ikhtilãth itu dalam konteks kebudayaan atau peradaban.
Biasanya yang jadi pemenang adalah peradaban yang lebih maju kan?
Ya, tentu saja. Tak usah jauh-jauh; kalau kita ngobrol atau berdiskusi dengan orang yang lebih pintar, tentu dia tampil lebih dominan kan?
Hmh, ya, ya!  Perkataan anda telah membuka pikiran saya, dan agaknya saya sudah mendapatkan jawaban global untuk pertanyaan saya setelah membaca buku ini.
Maksud anda?
Penulis buku ini orang Arab yang hijrah ke Inggris. Sebelumnya ia pernah berkeliling sejumlah negara Barat. Dan saya kira, sedikit banyak, cara berpikir orang Barat sudah mempengaruhinya. Kemudian, ketika ia akan menulis buku ini, sejak awal rupanya sudah sadar bahwa ia mempunyai pandangan yang sangat berbeda dengan pandangan ulama dan kaum mislimin pada umumnya.
Ya. Dan tentu ia punya alasan kuat yang mendorongnya terus menulis buku itu.
Dia menyinggung tentang pintu ijtihãd, yang katanya pernah ditutup sejak abad kedua belas, sehingga sejak saat itu tak ada orang yang berani mengkaji Al-Qurãn secara kritis. Saya sering mendengar istilah ini, tapi sampai sekarang belum juga mengerti apa maksudnya.
Itu kan istilah baru. Artinya, baik dalam Al-Qurãn maupun Hadits, tidak ada istilah pintu ijtihãd. Ijtihad itu sendiri, dikatakan para ahli sebagai “bersungguh-sungguh dalam mengkaji agama” (Islam). Itu dilakukan terutama dalam rangka mencari dalil-dalil hukum atas hal-hal yang tidak pernah ada atau terjadi di masa Rasulullah dan para sahabat.
Hasilnya?
Hasilnya yaa kitab-kitab fiqh yang ditulis para imam mazhab itu; yang ternyata membuat umat Islam terbagi ke dalam kelompok-kelompok, yang kadang-kadang satu sama lain saling berbaku hantam.
Jadi, kalau begitu, ijtihãd itu adalah sebuah kesalahan, karena membuat umat Islam terpecah belah?
Bukan. Ijtihãdnya sendiri bukan sebuah kesalahan, karena ia merupakan tuntutan logis untuk memahami agama secara mendalam, sehingga bisa menjawab tantangan demi tantangan yang terus datang.
Tapi, seperti anda katakan, ijtihãd membuat umat Islam terpecah belah!
Mungkin karena kurang ada keterbukaan di kalangan para mujtahid itu sendiri; atau mungkin juga karena faktor fanatisme buta di kalangan para pengikut mereka, sehingga sebuah perbedaan pendapat bisa menjadi benih perselisihan, yang terus menajam menjadi permusuhan.
Nah!  Saya melihat bahwa intinya adalah perbedaan pendapat, dan itu terjadi karena adanya ijtihãd kan? Jadi, benar doong kalau pintu ijtihãd harus ditutup.
Ha ha! Bukan itu masalahnya! Memang anda pikir tanpa ijtihãd tidak akan ada perbedaan pendapat? Perbedaan pendapat tanpa diawali ijtihãd justru akan berakibat lebih parah lagi, karena orang jadi bertengkar tanpa landasan ilmu.
Tapi, masalahnya, dengan landasan ilmu pun mereka tetap berbeda pendapat dan bertengkar juga!
Ha ha!  Bagi saya hal itu justru menjadi isyarat yang sangat kuat bahwa kegiatan ilmiah, ijtihãd, harus terus dilakukan,  ditingkatkan kualitas ilmiahnya, dan yang terpenting adalah memastikan tujuan akhirnya.
Apa tujuan akhir yang anda maksud?
Kepastian hukum, berdasar dalil-dalil naqli (Al-Qurãn dan Hadits) dan aqli (logika) yang tak terbantah.
Apakah hasil-hasil ijtihãd yang ada belum sampai ke taraf itu?
Kalau sudah, mereka tak akan bertengkar lagi. Tak akan ada mazhab-mazhab lagi.
Tapi, apakah itu mungkin?
Kenapa tidak? Ini tantangan buat yang disebut dan mengaku ulama semua kan?
Ya, ya!  Masuk akal. Tapi, kembali ke soal tadi; kenapa ada penutupan pintu ijtihãd?
Mungkin karena ada yang beranggapan bahwa sungai ilmu bisa dan harus dibekukan. Bahwa manusia bisa dan harus berhenti berpikir.
Wah, kalau begitu yang namanya pintu ijtihãd itu rapuh sekali doong!
Memang. Bukan hanya rapuh, tapi sebenarnya memang tidak (harus) ada. Karena tidak logis, tidak ilmiah, dan tidak manusiawi kan?
Tidak manusiawi?
Ya. Manusia kan makhluk berpikir. Kalau melarang manusia berpikir, berarti tidak manusiawi kan?
Ya, ya!  Tapi ternyata itu pernah ada, dan masih ada yang berpikir bahwa itu harus tetap ada kan?
Memang.
Siapa sebenarnya penciptanya, dan apa alasan-alasannya?
Umar Hasyim menulis buku berjudul Membahas Khilafiyah/Memecah Persatuan, Wajib Bermazhab, Dan Pintu Ijtihad Tertutup (?).[1] Di situ ia menyatakan bahwa yang membuat fatwa demikian itu adalah orang-orang bermazhab Syafii. Nara sumber pertamanya adalah Ar-Rafi’i  (624 H), seorang alim bermazhab Syafii. Fatwanya itu kemudian berkembang menjadi doktrin bahwa tidak ada mujtahid setelah atau selain Imam Mazhab Empat. Tapi, Imam Zarkasyi mengatakan bahwa hal itu adalah kebohongan besar. Sebab, kata Imam Zarka-syi, setelah Imam Mazhab Empat itu, dalam catatan sejarah, ternyata ada imam-imam yang mahir, bahkan dalam beberapa segi dan masalah lebih mahir daripada imam empat. Atau pengetahuan mereka melebihi imam mazhab yang empat. Dengan demikian, orang yang menyatakan bahwa pintu ijtihãd telah tertutup sejak abad ke-3 atau sejak awal abad ke-4 Hijriyah, adalah orang yang menetapkan sesuatu tanpa dasar. Selain itu, ada Hadits riwayat Abu Daud, Hakim, dan lain-lain, yang menyatakan bahwa dalam setiap seratus tahun selalu muncul orang-orang yang berusaha menyegarkan kembali agama mereka (Islam).
Apakah ‘ramalan’ Hadits itu terbukti dalam kenyataan?
Belum ada yang melakukan pendataan. Tapi, saya kira, setiap saat, di mana-mana, kita selalu menemukan orang yang berjuang untuk menyegarkan kembali agama Islam, berusaha mengajak masyarakat untuk memperbaiki pemahaman. Hal itu saja sudah menjadi bukti yang jelas bahwa yang namanya  ijtihãd itu memang tidak bisa dilarang-larang, tidak bisa dihentikan.
Tapi, kalau saya tak salah, katanya untuk berijtihãd itu ada syarat-syarat yang ketat.
Ya, tentu saja. Intinya, seorang mujtahid harus memahami agama dengan segala aspeknya, sehingga dia bisa mengeluarkan fatwa (keputusan hukum) yang kuat. Nah, bila hal ini dikaitkan dengan Imam Syafii, misalnya, ada orang-orang yang beranggapan bahwa apa yang sudah ditulis beliau adalah karya puncak ijtihãd. Nurcholis Madjid, misalnya, mengakui bahwa Imam Syafii berjasa membuat ajaran Islam menjadi sistematis.
Kalau begitu, pantaslah bila ada para pengikutnya yang membuat fatwa bahwa setelah beliau tidak perlu ada lagi ijtihãd, alias pintu ijtihãd sudah ditutup.
Ya!
Tapi, apakah benar bahwa dialah yang membuat ajaran agama kita menjadi sistematis?
Saya meragukan hal itu. Maksud saya, bila Imam Syafii yang membuat ajaran Islam sistematis, apakah sebelumnya memang tidak sistematis? Apakah yang diajarkan dan diterapkan Rasulullah itu tidak sistematis? Jangan-jangan kitalah yang salah mengerti tentang sistematika Islam itu sendiri. Buktinya, Rasulullah berhasil mementaskan Islam, sementara para imam itu … anda tahu sendiri kan?
Ya, ya!  Sekarang kita kembali kepada penulis buku ini, Dokter Kãmil An-Najjãr. Dengan mengatakan bahwa dia pernah dihantui ketakutan sebelum menulis bukunya, dan ketakutan itu dihubungkan dengan ulama, yang mungkin masih beranggapan bahwa pintu ijtihãd sudah ditutup, berarti dia menempatkan dirinya, dengan menulis buku ini, sebagai seorang mujtahid?
Begitulah, agaknya. Setidaknya, dia merasa lebih memahami Al-Qurãn dibanding para pendahulunya. Buktinya, dia bisa mene-mukan hal-hal ‘baru’ yang tidak ditemukan orang lain.
Tapi, bisakah seseorang disebut mujtahid, bila hasil ijtihãdnya ternyata berisi celaan-celaan terhadap Al-Qurãn dan Islam itu sendiri?
Setidaknya, dia layak disebut kritikus!
Dan, bila kritik-kritiknya salah?
Salah menurut siapa, dan menurut ukuran apa?
Mana yang lebih penting antara siapa dan apa itu?
Siapa itu adalah oknum, pribadi manusia. Sedangkan apa itu adalah kriteria atau metodologi dalam melakukan kritik maupun menangkal kritik itu sendiri. Bagi saya, oknum itu bukan yang utama; apalagi bila yang ditonjolkan hanya otoritasnya di mata publik, misalnya karena ia sarjana dan atau menguasai sebuah lembaga. Dalam masalah ilmu, metodologi adalah yang terpenting.

[1] Terbitan PT Bina Ilmu, Surabaya, 1984.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar