Sabtu, 24 Desember 2011

PANCASILA SEBAGAI MASTER PLAN

Jadi bagi saudara-saudara, yang saya peringatkan dengan ini apa? Dididik sebagai tenaga pengajar, ya.

Saya ulang, sekarang harus berpijak pada Pancasila sebagai Master Plan.
Apa tekanan Master Plan sesungguhnya? Kolonialisme !
Kolonialisme yang berpangkal kepada feodalisme harus hapus dari permukaan bumi !!!
Kata siapa ?!

Jangan salahkan Si Isa yang mau menyelamatkan Pancasila, dong ….
Bahaya itu ! Jangan dikemukakan !
Lho, apa saya dilarang mendukung Pancasila ?!

Satu segi, ya. Tapi segi yang lain, ini sudah majemuk nilainya.
Segi yang lain (lagi), bahwa kalau Pancasila tidak didukung oleh iman, akibatnya bisa terjerumus ke dalam “abses” (bengkak bernanah).

Maka saya tunjuk saudara sebagai pendakwah berpijak kepada Garis Iman. Sehingga takwa disamping (untuk) menghilangkan majemuk, (juga) membentuk kualitas. Kualitas itu adalah iman.

Untuk apa ?!
Nah, ini yang saya mau tanya. Ini yang saya mau peringatkan, membentuk manusia yang berkualitas.
Untuk apa ?!
Supaya jangan menjadi penghalang pembangunan.

Kedua, menghadapi kurun kedua.
Sebelum kurun kedua ini (tegak), akan timbul perang peradaban, (yakni) musnahnya peradaban ini.
Kesimpulan ini bukan (hasil) naturalisme empiris, ambil dari kenyataan, … begini, … begini, seperti yang dilakukan sekarang. Kalau kita ambil dari kenyataan, apa bukan bikin rumah dari rumah ?!

Saya mau bertanya dalam analitik. Ada nggak, yang dari fakultas teknik, kalau mau bikin rumah dari rumah ??? Yaitu menarik kesimpulan dari kenyataan. Apa tidak bikin rumah dari rumah ?!

Tapi, ingat dalam arsitektur membikin suatu rumah harus berdasar satu gagasan. Yang sekarang dikatakan dalam arsitek itu adalah cetak biru. Bahasa lain, apa cetak biru? Blue print.

Kalau saya katakan demikian ini, bukan mengambil dari kenyataan, sehingga bersifat naturalis. Tapi ini dari cetak biru alam semesta dan gaya, yaitu al-Quran menurut Sunnah Rasul.

Sehingga, kalau orang berpikir, berdasar ini …, berdasar itu …, maka perang ini tidak bisa dihindari. Ini apa bukan membikin rumah dari rumah yang ada ?!

Dilihat dari segi-segi analitik, kenapa saya katakan saudara-saudara ini harus lepas dari nilai majemuk, kemudian benar-benar membentuk nilai analitik sebagai salah satu nilai ilmiah.
Yang saya minta dicamkan oleh saudara-saudara, (adalah) kata-kata Max I Dimont –tapi jangan dibilang saya menghasut.
Ingat, kata Max I Dimont, perguruan tinggi sekarang (adalah) kelanjutan dari Talmudisme.

Nah, inilah sudah saya bicarakan pada saudara-saudara, penertiban berpijak kepada Pancasila sebagai Master Plan.
Kenapa ?
Sesungguhnya Pancasila itu benar-benar memperhitungkan semua tipu daya imperialisme.

Cuma kenapa tidak berhasil sekarang ?
Yang saya mau tanya kepada saudara-saudara, apa bukan karena dia (Pancasila, sudah di) dekolonisasi ???

Saya katakan dekolonisasi, koloni sama dengan daerah jajahan.
Tapi dekolonisasi diartikan di zaman Belanda adalah penyisipan atau penyusupan.
Lebih baik penyisipan dah,  (yakni) segolongan pribumi yang sudah mendukung ide dan gagasan penjajah ke tengah masyarakat pribumi, dengan tujuan untuk mengganjal ide-ide pribumi. Ide pribumi kan mau melepaskan diri.

Coba saudara ingat lembaga pendidikan dulu zaman Belanda.

Volkschool dan Schakelschool kemudian ditambah HIS (Hollandsch Inlandsche School), sama dengan (pendidikan) dasar, ya? (Lantas) MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs), lanjutan pertama. AMS-HBS (Algemene Middelbare School)- HBS (Hogere Burger School), lanjutan atas, tambah perguruan tinggi.

(Itu semua) oleh karena datang Belanda, ya?
Begitu datang Jepang, maka semua (pendidikan) kalau (hanya) berbau Belanda saja, bisa terkencing-kencing, ya?
Oleh (karena) itu, cepat-cepat aja Volkschool - Schakelschool dan HIS, diubah (jadi) SD (Sekolah Dasar). MULO, diubah jadi SMP (Sekolah Menengah Pertama). AMS – HBS, diubah jadi SMA (Sekolah Menengah Atas).

Siapa yang sudah berpengalaman dalam lembaga-lembaga (pendidikan) ini?
Siapa ?!
Sehingga dikala penyerahan kedaulatan, kita terima semua guru-guru itu menjadi guru Republik Indonesia.
Apa bukan dekolonisasi?
Sejenis dekolonisasi. Tapi jangan dibilang saya menuduh dekolonisasi.
Tidak !!!
Saya hanya bertanya. Apa ini bukan dekolonisasi?

Kemudian kita proklamirkan kemerdekaan RI, setelah Linggarjati, kita disudutkan oleh Belanda. RI ini hanya tinggal Yogya tambah Aceh.
Di luar itu, dia milikilah Negara Pasundan. Coba, ada orang Sunda nggak di sini. Oh, saudara Yana (Yana Suryana, alm.), ini siapa presidennya? Raden Aria Wiranatakusumah.
Negara Sumatera Timur, siapa presidennya? Doktor Tengku Mansur.
Siapa presiden dan perdana menteri Negara Indonesia Timur?
Siapa Tjokorda Gde Raka Soekawati (beristri orang Prancis)?
Siapa Sultan Hamid Alkadrie (beristri orang Belanda)?
Siapa presiden Negara Belitung?
Siapa presiden Negara RMS (Republik Maluku Selatan)?
Siapa macam-macam?

Sehingga negara-negara ini semua mempunyai anggota DPR, seperti Negara RI yang di Yogya tambah Aceh. Begitu dengan perjanjian RIS, semua menjadi negara serikat.

Dari yang dibikin oleh Belanda, begitu penyerahan kedaulatan, (semua) masuk. Kita hanya (tinggal) timbang terima. Guru pendidikan, ambtenaar, persis …, susah mengucapkannya ya?

Apa sesudah dibentuk menjadi tenaga pengajar, kayak itu?
Nggak usah mengajar, pulang aja mulai besuk, dah!
Pulang aja, arang habis besi binasa.
Ujungnya bukan begitu, malah mau mengeramkan telur Yahudi di bawah ayam RI.

Itulah (yang) saya minta perhatian saudara-saudara.
Kenapa saya katakan begini?
Nggak bisa ditawar lagi, nih.
Perang peradaban sudah di pelupuk mata. Bangsa Indonesia harus diselamatkan.
Karena kata Allah, siapa yang tidak iman akan dihancurkan oleh Allah.
Pada ujung ini, yang sebutannya “hattaa yalija l-jamalu fiy sammi l-khiyaath.” (al-A'raaf: 40).
Untuk memberesi iman.
Untuk menyelamatkan (dari) “balaaun min rabbikum ‘adhiim.”

Saya mengharapkan bangsaku RI yang kucinta, yang telah bertumpah darah ini, mudah-mudahan bisa mengantar bangsa Indonesia khasanah dunia, khasanah akherat.

Ini yang saya minta perhatian saudara-saudara.
Saya tanya lagi, untuk apa saudara-saudara ini dididik menjadi tenaga pengajar?
Kalau (hanya) mau mengeram (telur) Yahudi oleh ayam RI, besuk aja bubarkan !!!
Nggak usah (dilanjutkan), arang habis besi binasa seperti yang sudah.

Demikianlah, saya antar, ya?
Masalah sudah kita bicarakan, Master Plan.
Untuk apa saya bicarakan?
Kalau tidak, nggak pernah saudara ketahui bahwa Pancasila ini satu induk strategi dalam pembangunan Indonesia.

Kenapa saya ulang?
Sudah berapa lama saya bicarakan Garis Iman?
Kalau tidak begitu, saudara tidak akan memahami Garis Iman satu strategi pembantu untuk Pancasila sebagai Master Plan.

Kok, belat-belit, belat-belit …, tidak pernah to the point?
Begitu caranya. Seperti tadi saya katakan, memang dasar aja musti, kalau tidak berhenti-henti (butuh waktu) 24 jam. Memangnya berpikir dan budaya ini seperti mengkarbitkan buah pepaya?
Bisa tidak ?! Nggak bisa !!!
Sebab saudara lihat, untuk membetulkan sekedar terjemahan Surat al-Faatihah, belum lagi membetulkan Shalat, makan waktu 3 bulan.

Saudara, kan tidak ngerti ketika dikatakan al-Quran satu bahasa, apa bentuk bahasa Quran. Kan, nggak ngerti tujuannya? Dan itu for breeding untuk membetulkan terjemahan Surat al-Faatihah.
Kenapa nggak sekaligus? Nggak bisa !!! Dalam pendidikan, kok sekaligus. Itu mencar nanti, bisa pecah tengkorak dah, katanya. Tak sanggup.

Padahal kesalahan (terletak) dalam “kallimu n-naasa ‘alaa qadri ‘uqulihim.”
Cukup dah, saya antar begini.

(Bapak Muhammad Isa, Kuliah Peningkatan Tenaga Pengajar, Yogyakarta, 22 Agustus 1991)


Selasa, 20 Desember 2011

ISA BUGIS SANG PEMBERONTAK SEJATI (?)


Ib n P Kamil
Isa Bugis, usia 50an.
Saya menemukan sebuah tulisan cukup menarik, yang ditulis tanggal 3 September, 1998. judulnya:
Isa Bugis Sang Pemberontak
Banyak tafsir Quran beredar tanpa harus menyebabkan penafsirnya dianggap sesat. Isa Bugis tidak masuk ke dalam kelompok ‘orang-orang mujur’ itu. Penafsir Quran yang sempat berkecimpung sebagai Pemuda Masyumi ini sejak awal memperkenalkan tafsirnya sudah diserang para ‘ahli’ dengan sengit. Suatu ketika di Masjid Istiqlal, konon, Prof. Dr. Hamka pun pernah dibuatnya sangat terperanjat, sehingga ketua MUI pertama ini membanting surban di atas lantai.
Tapi siapakah, atau lembaga apakah sebenarnya yang berhak dan berkompeten, alias mumpuni, untuk memvonis bahwa seorang penafsir melahirkan tafsir yang sesat? Apa ukuran yang digunakan? Bagaimana pulakah halnya tafsir-tafsir yang dianggap tidak sesat? Apakah isinya sudah mewakili kebenaran Quran?
Ibarat langit dan bumi
Isa Bugis dan istri (Facebook: 13 Nov 2011)
Pada umumnya orang beranggapan bahwa kebenaran Quran, yang berarti kebenaran Allah, mustahil terwakili oleh manusia. Dalam hal ini mereka menggunakan langit dan bumi sebagai perumpamaan. ‘Kebenaran langit’ yang terkandung dalam Quran tidak mungkin dapat ditampung oleh manusia yang hanya mampu menampung ‘kebenaran bumi’. Komaruddin Hidayat, misalnya, berulang-ulang mengatakan bahwa para nabi menghadapi kesulitan dalam menafsirkan pesan Tuhan yang berbicara dengan bahasa “langit” agar bisa dipahami manusia yang berbicara dengan bahasa “bumi”.(Baca bukunya yang berjudul Memahami Bahasa Agama/Sebuah Kajian Hermeneutik, Paramadina, 1996).
Kalau para nabi saja sudah sulit menafsirkan bahasa Tuhan, bagaimana dengan kita yang “hanya manusia biasa”? Dengan demikian, menafsirkan dalam hal ini menjadi suatu pekerjaan yang aneh,
karena berarti “menjelaskan sesuatu yang tidak bisa dijelaskan”.
Bila demikian, bukankah semua penafsir adalah orang bingung, alias ‘sesat’?
Faham seperti itu memang timbul dari sikap ‘ekstrim’ dalam memahami keserba-mutlakan Tuhan. Dalam faham ini, Tuhan dan manusia dijadikan dua obyek perbandingan; yang akhirnya otomatis Tuhan tampil sebagai yang amat sangat unggul, dan manusia sebagai yang amat sangat lemah. Penurunan wahyu pun dilihat dengan sudut pandang seperti ini; sehingga tidak perlu heran bila kemudian wahyu menjadi kontraproduktif bagi manusia. Wahyu turun bukan untuk ‘memberdayakan’ manusia, tapi untuk membuat manusia semakin tak berdaya!
Dampak lainnya, karena bahasa Tuhan tidak bisa dikomunikasi­kan, maka sah saja bila ada yang mengatakan bahwa Tuhan tidak mampu berkomunikasi dengan makhluknya! Selanjutnya, sah pula bila ada yang mengatakan bahwa Tuhan itu pada hakikatnya hanya tokoh dongeng. Agama hanyalah mitologi untuk menina-bobo manusia-manusia yang frustrasi atau pesimis dalam menghadapi persaingan hidup.
Isa Bugis, menurut penulis, tampil justru untuk melakukan pemberontakan terhadap faham seperti itu. Baginya, Tuhan itu maha komunikatif, dan Ia menurunkan wahyu untuk memberdayakan manusia. Dengan wahyunya, Tuhan memberikan modal kepada manusia untuk membebaskan diri dari segala jerat Iblis yang membuat manusia tak ubahnya buah-buah catur yang dipermainkan oleh tangan-tangan yang tidak berhak mempermainkannya.
Kekalahan umat Islam
Isa Bugis dan istri, Adian Gade, berfoto di rumahnya bersama keluarga seorang muridnya yang berasal dari Sukabumi.
‘Pemberontakan’ Isa Bugis tergambar dengan jelas dalam diktatnya yang berjudul Menuju Al-Madinatul-Munawwarah; sebuah diktat yang ditulisnya pada awal tahun 1960, yang merupakan ringkasan dari (naskah) buku yang katanya sudah selesai ditulis pada tahun 1958. Dalam diktat itu ia menyebut tiga nama orang yang berjasa padanya, yaitu istrinya sendiri, Adian Gade, yang katanya membantu secara aktif dalam proses penulisan naskah, Mohammad Aly Al-Hamidy yang membaca dan mengoreksi serta menjelaskan para perawi dari Hadis-Hadis yang dikutipnya, dan Nawawi Bakri yang memberikan pengorbanan moral dan material untuk pencetakan bukunya.
Penulisan buku itu dilakukannya, terutama, karena terdorong oleh kegagalan partai-partai Islam dalam Pemilu 1955, yang secara keseluruhan cuma bisa mengumpulkan 40% suara. Ini membuat bulu romanya berdiri; dan bagi setiap Muslim yang sadar akan keyakinannya, yaitu ideologi Islam, katanya, kenyataan itu menjadi “masalah yang sangat unik”.
Namun di samping unik, masalah itu juga dipandangnya ganjil dan “paradoxal” (Maksudnya mungkinparadoxical, pernyataan yang nampak bertentangan tapi juga mengandung kebenaran).
“Setiap orang Islam yakin dan percaya kepada Allah, Malaikatnya, Rasulnya, Kitabnya (Qur’an), dan sebagainya. Dan partai-partai Islam di Indonesia dalam perjoangannya membawa semboyan ‘Terlaksananya hukum-hukum Islam dalam diri orang seorang, masyarakat, dan negara yang berdasarkan Qur’an dan Sunnah Rasul. Malahan ada yang lebih unik lagi, yaitu menambahkan semboyan ‘bermazhab berdasarkan ijma dan qias’. Secara pokok berarti bahwa dalam pertarungan ideologi di Indonesia partai-partai Islam menawarkan satu pilihan yang sesuai kepada rakyat dan masyarakat Indonesia, yang 90% jumlahnya yakin dan percaya kepada apa yang ditawarkan itu. Dan menurut perhitungan yang normal maka pastilah bahwa partai-partai Islam akan mencapai kemenangan yang mutlak, baik untuk pemilihan anggota-anggota DPR maupun Konstituante. Tetapi kenyataannya sebaliknya…”
Isa Bugis menduga bahwa hal itu terjadi mungkin karena ada yang tidak beres dalam perjuangan partai-partai maupun umat Islam secara keseluruhan. Karena itu ia menganjurkan mereka untuk berpikir dan meninjau kembali hal-hal yang berkenaan dengan syarat-syarat perjuangan umat.
Sampai dimanakah pemahaman mereka atas tujuan Islam sebagai ideologi, hasrat mencapainya, dan kenyataan-kenyataan yang dihadapinya? Menurutnya, bila pertanyaan ini terjawab dengan baik, maka dalam jangka waktu tertentu kekalahan itu dapat diubah menjadi kemenangan gilang gemilang.
Melalui diktatnya ia mencoba memberikan jawaban, yang katanya bersumber dari Quran dan Sunnah Rasul, dengan penekanan pada perjuangan Rasul sendiri.
Drama perdamaian
Diktat itu dibuka dengan sebuah puisi yang menyebut Islam sebagai (skenario) drama perdamaian, napas Jibril, gelora hati Al-Musthafa (Nabi Muhammad), sinar yang memecahkan kegelapan, terompet untuk menenteramkan huru-hara, nur shiratal-mustaqim, pembangkit Timur dan Barat, irama kalbu, dan senandung hidup setiap Muslim.Ia bertekad untuk mementaskannya di panggung kehidupan di padang kersang di tanah lempung ini, di tengah pekik-sorai (keramaian) kehidupan, di seantero permukaan bumi ini, di wadi-wadi (lembah) kehidupan nasional, di dalam pesta di belakang Tirai Besi, di dalam Majlis di Benteng Dunia Merdeka.
Saksikanlah nanti, katanya, akan tampil suatu abad yang lain, abad yang belum bernama, yang di dalamnya manusia hidup bagai satu keluarga. Tiada tempat bagi dengki dan tamak. Tasiknya rimbun, ngarainya rindang. Tak ada orang mati karena miskin. Pokoknya suatu kehidupan bagaikan ‘organisme’, yaitu bagai satu jasad, seperti dilukiskan dalam Hadis Muslim dari perawi Nu’man bin Basyir. Dengan gaya penyair Romantik dari sastrawan angkatan Pu­jangga Baru, ia menutup puisinya dengan bait:
Ikutlah Kekasih, Mujahidun…
Siapkan diri bagai Musthafa
Di semua babak atau adegan
Sebagai Penyanyi, Penari, Pelaku, dan Sutradara
Ikut… Bila ‘ku gagal, jatuh terlintang
Ataupun hilang tak tentu rimba
Majulah ke depan, lanjutkan ‘Drama’ ini
Jadi, ia dengan tegas menempatkan diri sebagai perintis dari suatu babak baru perjuangan umat Islam, demi menampilkan umat Islam sebagai pemenang, bukan saja di Indonesia tapi juga di dunia. Ia memulainya dengan melakukan pengkajian Quran dengan caranya sendiri, yang memang sangat kontroversial, dan akhirnya memang divonis sesat. 

Senin, 19 Desember 2011

PEMBAJAKAN, PERDEBATAN, PERPECAHAN DAN IJTIHAD

Saya baru dapat kiriman buku dari teman di Yordania. Bahasa Arab. Teman saya ini rupanya lupa bahwa saya lebih lancar berbahasa Inggris daripada berbahasa Arab.
Salah sendiri! Orang Islam kok malah menekuni bahasa Inggris. Bahasa agamanya sendiri dinomorduakan.
He he!  Malah nomor dua pun bukan; karena bahasa pertama saya adalah bahasa Jawa, bahasa kedua bahasa Betawi, bahasa ketiga bahasa Indonesia, bahasa keempat bahasa Inggris, bahasa Arab … masih untung jadi bahasa kelima. Itu juga belajarnya tak sengaja, hanya karena pernah pacaran dengan gadis Arab!
Dan anda tidak tuntas belajar bahasa Arab karena putus sama dia?
Begitulah. Orangtuanya tidak mendukung. Arab adalah Arab. Mereka tetap merasa lebih mulia dari kita, walau Al-Qurãn dan Rasululluah menegaskan bahwa ukuran kemuliaan manusia adalah takwa.
Lho, kok jadi bergunjing tentang Arab. Sudahlah. Masalah patah hati kok dikembangkan sampai ke situ. Kita fokus ke buku itu saja!
Buku ini juga ditulis orang Arab!
Jangan peduli penulisnya. Yang penting, isinya bagus tidak?
Bagus apanya?  Bikin orang bingung begitu!  Katanya penulisnya orang Islam, tapi kok menulis buku yang menjelek-jelekkan Islam.
O, ya? Siapa sih nama  penu-lisnya?
Dokter Kãmil An-Najjãr!
Rasanya nama itu tidak populer di sini. Eh, yang benar dokter atau doktor?
Dokter! Thabîb jarãh. Dokter ahli bedah.
Jadi, dia dokter bedah yang melakukan kerja sambilan membedah Al-Qurãn, begitu?
Rupanya begitu!  Sayangnya, dia seperti melakukan malpraktik. Banyak melakukan kesalahan dalam membedah!
O, ya? Kok anda seperti yakin kalau dia salah membedah? Memangnya anda sendiri lebih mengerti dari dia tentang Al-Qurãn?
Nggak juga sih. Tapi, pokok-nya perasaan saya mengatakan buku itu kacau!
Tapi ukuran kebenaran itu bukan perasaan lho!
Saya tahu! Tapi, ng… gimana ya? Yang jelas, dia mengguncang keyakinan saya tentang kebenaran agama yang selama ini saya peluk, tentang kitab yang selama ini saya anggap benar. Dan, kalau itu terjadi pada saya, tentu bisa terjadi pada banyak orang lain yang membaca buku itu, kan? Dan akan lebih banyak lagi korbannya bila buku itu diterjemahkan ke dalam banyak bahasa.
Ha ha!  Begitu saja kok repot!  Buku-buku begitu kan sudah dari dulu ditulis orang. Jumlahnya ratusan. Mungkin malah ribuan.
Tapi, katanya, ini adalah buku pertama untuk jenisnya, yang ditulis dalam bahasa Arab!
Ah, itu kan biasa. Bahasa promosi! Tapi, eh, apa tadi? Pertama untuk jenisnya? Maksudnya untuk “jenis” apa?
Yaa jenis qirã’ah naqdiyyah, begitu. Jenis studi kritis!
Ha ha! Omong kosong! Buku-buku terdahulu juga kan disebut hasil studi kritis!
Tapi ini serius lho. Dia benar-benar mengorek banyak bagian Al-Qurãn, menunjukan kesalahan-kesalahan di sana-sini dan …
Ha ha! Anda benar-benar terpengaruh rupanya. Tapi, kalau benar-benar dia kritis, boleh juga tuh kita kaji bersama.
Itulah maksud saya datang menemui anda!
Tapi saya tak punya bukunya.
Anda bisa foto kopi buku saya.
Itu namanya pembajakan.
Ngh… ya, ya!  Tapi, kalau misalnya saya minta teman saya untuk mengirimnya lagi dari Yordania, ongkosnya pasti mahal. Selain itu, belum tentu juga dia bisa mengirim dalam waktu cepat.
Ya sudah, foto kopi saja.
Walaupun berarti pembajakan?
Apa boleh buat! Semoga Allah mengampuni kita. Itu pun kalau buku itu ditulis karena Allah.
Ha ha!  Jangan-jangan para pembajak profesional juga berdoa seperti itu!
Mereka tidak salah. Boleh jadi malah mereka berjasa kepada orang-orang miskin. Seperti tokoh dongeng asal Inggris itu; Robinhood, yang merampok untuk menolong orang-orang miskin.
Omong kosong!  Para pembajak itu bukan menolong orang-orang miskin, tapi mencari keuntungan besar dengan modal sedikit!
Tetap saja mereka tak bisa disalahkan. Mereka melakukan pembajakan itu karena melihat peluang. Jadi, yang salah adalah yang membuka peluang itu.
Siapa?
Para produsen, penerbit dan sebagainya. Juga pemerintah yang menarik pajak tanpa pandang bulu, sehingga  buku dan produk-produk intelektual lainnya, yang berhubungan dengan pencerdasan masyarakat, menjadi berharga mahal.
Kalau dijual murah, mereka rugi kan?
Kalau mereka berorientasi ke masa  depan, mereka bisa untung besar kok. Bila harga buku murah, misalnya, pembeli buku akan semakin banyak. Minat baca bangsa kita akan meningkat. Dengan harga buku yang murah, kita tak perlu lagi foto kopi, dan  para pembajak pun bisa beralih menjadi penerbit.
Benar juga. Tapi itu kan baru teori.
Ya. Yang bukan teori sekarang adalah lajunya mesin pembajakan.
Dan kita, terpaksa ikut jadi pemakainya!
Kata orang Arab sih lã budda lanã min-hu, atau wa in kãna wa lã budda!
Bahasa kitanya?
Apa boleh buat!
Ha ha!
Riwayat Singkat Sang Penulis
Nah, ini judul bukunya: Qirã’ah Manhajiyah Lil-Islãm.
Studi Islam metodis, atau ilmiah …Penerbitnya?
Jami’ Al-Huquq Mahfuzhah. Cetakan pertama, tahun 2005.
Ada keterangan tentang penulisnya?
Ada, di sampul belakang. “Dokter Kãmil An-Najjãr, dokter bedah, yang sekarang bekerja sebagai konsultan di sebuah rumah sakit di Britania. Pernah bekerja sebagai dokter di Saudi Arabia selama 10 tahun, juga di Kuwait, sampai kemudian merantau ke Britania bersama keluarganya, dan tidak kembali.
Dia gemar mempelajari agama-agama, pernah mengunjungi banyak kawasan di Timur Tengah, Asia, juga Kanada dan sekitarnya, dalam rangka mempelajari tradisi manusia yang memeluk bermacam-macam agama.
Lahir tahun 1943, menikah, dan punya sejumlah anak.
Mendobrak Pintu Ijtihad
Di sini, dalam bab muqaddimah (pendahuluan), penulisnya mengaku sering merasa ragu untuk menulis buku ini, karena takut bakal kena vonis ilhãd dan harthaqah. Apa maksudnya ini?
Ilhãd itu artinya penyimpangan. Bentuk kata kerjanya lahada, artinya “menggali kubur”. Arti lainnya “menyimpang dari jalan yang benar”, alias “murtad”.
Kenapa arti lahada yang kedua begitu jauh dari arti yang pertama?
Siapa bilang? Bukankah orang yang menyimpang dari jalan (agama) itu bisa divonis mati, dan itu berarti “menggali kubur”?
Oh, iya. Benar juga.
Itulah, antara lain, menariknya bahasa Arab. Satu kata kadang mempunyai banyak arti, dan kita merasa kok pengertian yang satu dengan yang lain begitu berjauhan. Tapi setelah dipikir-pikir, ternyata ada hubungannya juga.
O, ya?  Bisa anda kasih contoh lain?
Misalnya “kãfir”, satu segi berarti ”orang tidak beriman”, segi lain berarti “petani”.
Wah, apa hubungannya orang tidak beriman dengan petani?
Kedua-duanya sama-sama menanam dan menumbuhkan sesuatu. Yang satu, petani, mena-nam benih sayuran dan sebagainya, yang nanti bisa dimakan dan menyehatkan orang lain. Yang lainnya, orang tak beriman, juga menanam benih. Benih kebencian pada sesuatu, yang juga bisa dibagikan kepada orang lain.
Hm, benar juga. Terus, satu istilah lagi nih, harthaqah …
Itu sih mungkin dari bahasa Inggris, heretic, yaitu orang yang berlaku heresy, memiliki pendapat atau pikiran keagamaan yang sangat bertentangan dengan pendapat yang berlaku dalam masyarakat. Karena berasal dari Barat, istilah ini semula hanya berkaitan dengan orang yang berbeda pandangan dengan Gereja Katolik. Tapi rupanya sekarang orang Arab pun menggunakannya juga. Sebuah fenomena ikhtilãth. Pergaulan sosial, yang sekarang memuncak jadi globalisasi!
Apakah itu buruk?
Tidak selalu. Tapi, yang jelas, dalam ikhtilãth itu ada proses take and give; atau bahkan menang dan kalah, terutama bila ikhtilãth itu dalam konteks kebudayaan atau peradaban.
Biasanya yang jadi pemenang adalah peradaban yang lebih maju kan?
Ya, tentu saja. Tak usah jauh-jauh; kalau kita ngobrol atau berdiskusi dengan orang yang lebih pintar, tentu dia tampil lebih dominan kan?
Hmh, ya, ya!  Perkataan anda telah membuka pikiran saya, dan agaknya saya sudah mendapatkan jawaban global untuk pertanyaan saya setelah membaca buku ini.
Maksud anda?
Penulis buku ini orang Arab yang hijrah ke Inggris. Sebelumnya ia pernah berkeliling sejumlah negara Barat. Dan saya kira, sedikit banyak, cara berpikir orang Barat sudah mempengaruhinya. Kemudian, ketika ia akan menulis buku ini, sejak awal rupanya sudah sadar bahwa ia mempunyai pandangan yang sangat berbeda dengan pandangan ulama dan kaum mislimin pada umumnya.
Ya. Dan tentu ia punya alasan kuat yang mendorongnya terus menulis buku itu.
Dia menyinggung tentang pintu ijtihãd, yang katanya pernah ditutup sejak abad kedua belas, sehingga sejak saat itu tak ada orang yang berani mengkaji Al-Qurãn secara kritis. Saya sering mendengar istilah ini, tapi sampai sekarang belum juga mengerti apa maksudnya.
Itu kan istilah baru. Artinya, baik dalam Al-Qurãn maupun Hadits, tidak ada istilah pintu ijtihãd. Ijtihad itu sendiri, dikatakan para ahli sebagai “bersungguh-sungguh dalam mengkaji agama” (Islam). Itu dilakukan terutama dalam rangka mencari dalil-dalil hukum atas hal-hal yang tidak pernah ada atau terjadi di masa Rasulullah dan para sahabat.
Hasilnya?
Hasilnya yaa kitab-kitab fiqh yang ditulis para imam mazhab itu; yang ternyata membuat umat Islam terbagi ke dalam kelompok-kelompok, yang kadang-kadang satu sama lain saling berbaku hantam.
Jadi, kalau begitu, ijtihãd itu adalah sebuah kesalahan, karena membuat umat Islam terpecah belah?
Bukan. Ijtihãdnya sendiri bukan sebuah kesalahan, karena ia merupakan tuntutan logis untuk memahami agama secara mendalam, sehingga bisa menjawab tantangan demi tantangan yang terus datang.
Tapi, seperti anda katakan, ijtihãd membuat umat Islam terpecah belah!
Mungkin karena kurang ada keterbukaan di kalangan para mujtahid itu sendiri; atau mungkin juga karena faktor fanatisme buta di kalangan para pengikut mereka, sehingga sebuah perbedaan pendapat bisa menjadi benih perselisihan, yang terus menajam menjadi permusuhan.
Nah!  Saya melihat bahwa intinya adalah perbedaan pendapat, dan itu terjadi karena adanya ijtihãd kan? Jadi, benar doong kalau pintu ijtihãd harus ditutup.
Ha ha! Bukan itu masalahnya! Memang anda pikir tanpa ijtihãd tidak akan ada perbedaan pendapat? Perbedaan pendapat tanpa diawali ijtihãd justru akan berakibat lebih parah lagi, karena orang jadi bertengkar tanpa landasan ilmu.
Tapi, masalahnya, dengan landasan ilmu pun mereka tetap berbeda pendapat dan bertengkar juga!
Ha ha!  Bagi saya hal itu justru menjadi isyarat yang sangat kuat bahwa kegiatan ilmiah, ijtihãd, harus terus dilakukan,  ditingkatkan kualitas ilmiahnya, dan yang terpenting adalah memastikan tujuan akhirnya.
Apa tujuan akhir yang anda maksud?
Kepastian hukum, berdasar dalil-dalil naqli (Al-Qurãn dan Hadits) dan aqli (logika) yang tak terbantah.
Apakah hasil-hasil ijtihãd yang ada belum sampai ke taraf itu?
Kalau sudah, mereka tak akan bertengkar lagi. Tak akan ada mazhab-mazhab lagi.
Tapi, apakah itu mungkin?
Kenapa tidak? Ini tantangan buat yang disebut dan mengaku ulama semua kan?
Ya, ya!  Masuk akal. Tapi, kembali ke soal tadi; kenapa ada penutupan pintu ijtihãd?
Mungkin karena ada yang beranggapan bahwa sungai ilmu bisa dan harus dibekukan. Bahwa manusia bisa dan harus berhenti berpikir.
Wah, kalau begitu yang namanya pintu ijtihãd itu rapuh sekali doong!
Memang. Bukan hanya rapuh, tapi sebenarnya memang tidak (harus) ada. Karena tidak logis, tidak ilmiah, dan tidak manusiawi kan?
Tidak manusiawi?
Ya. Manusia kan makhluk berpikir. Kalau melarang manusia berpikir, berarti tidak manusiawi kan?
Ya, ya!  Tapi ternyata itu pernah ada, dan masih ada yang berpikir bahwa itu harus tetap ada kan?
Memang.
Siapa sebenarnya penciptanya, dan apa alasan-alasannya?
Umar Hasyim menulis buku berjudul Membahas Khilafiyah/Memecah Persatuan, Wajib Bermazhab, Dan Pintu Ijtihad Tertutup (?).[1] Di situ ia menyatakan bahwa yang membuat fatwa demikian itu adalah orang-orang bermazhab Syafii. Nara sumber pertamanya adalah Ar-Rafi’i  (624 H), seorang alim bermazhab Syafii. Fatwanya itu kemudian berkembang menjadi doktrin bahwa tidak ada mujtahid setelah atau selain Imam Mazhab Empat. Tapi, Imam Zarkasyi mengatakan bahwa hal itu adalah kebohongan besar. Sebab, kata Imam Zarka-syi, setelah Imam Mazhab Empat itu, dalam catatan sejarah, ternyata ada imam-imam yang mahir, bahkan dalam beberapa segi dan masalah lebih mahir daripada imam empat. Atau pengetahuan mereka melebihi imam mazhab yang empat. Dengan demikian, orang yang menyatakan bahwa pintu ijtihãd telah tertutup sejak abad ke-3 atau sejak awal abad ke-4 Hijriyah, adalah orang yang menetapkan sesuatu tanpa dasar. Selain itu, ada Hadits riwayat Abu Daud, Hakim, dan lain-lain, yang menyatakan bahwa dalam setiap seratus tahun selalu muncul orang-orang yang berusaha menyegarkan kembali agama mereka (Islam).
Apakah ‘ramalan’ Hadits itu terbukti dalam kenyataan?
Belum ada yang melakukan pendataan. Tapi, saya kira, setiap saat, di mana-mana, kita selalu menemukan orang yang berjuang untuk menyegarkan kembali agama Islam, berusaha mengajak masyarakat untuk memperbaiki pemahaman. Hal itu saja sudah menjadi bukti yang jelas bahwa yang namanya  ijtihãd itu memang tidak bisa dilarang-larang, tidak bisa dihentikan.
Tapi, kalau saya tak salah, katanya untuk berijtihãd itu ada syarat-syarat yang ketat.
Ya, tentu saja. Intinya, seorang mujtahid harus memahami agama dengan segala aspeknya, sehingga dia bisa mengeluarkan fatwa (keputusan hukum) yang kuat. Nah, bila hal ini dikaitkan dengan Imam Syafii, misalnya, ada orang-orang yang beranggapan bahwa apa yang sudah ditulis beliau adalah karya puncak ijtihãd. Nurcholis Madjid, misalnya, mengakui bahwa Imam Syafii berjasa membuat ajaran Islam menjadi sistematis.
Kalau begitu, pantaslah bila ada para pengikutnya yang membuat fatwa bahwa setelah beliau tidak perlu ada lagi ijtihãd, alias pintu ijtihãd sudah ditutup.
Ya!
Tapi, apakah benar bahwa dialah yang membuat ajaran agama kita menjadi sistematis?
Saya meragukan hal itu. Maksud saya, bila Imam Syafii yang membuat ajaran Islam sistematis, apakah sebelumnya memang tidak sistematis? Apakah yang diajarkan dan diterapkan Rasulullah itu tidak sistematis? Jangan-jangan kitalah yang salah mengerti tentang sistematika Islam itu sendiri. Buktinya, Rasulullah berhasil mementaskan Islam, sementara para imam itu … anda tahu sendiri kan?
Ya, ya!  Sekarang kita kembali kepada penulis buku ini, Dokter Kãmil An-Najjãr. Dengan mengatakan bahwa dia pernah dihantui ketakutan sebelum menulis bukunya, dan ketakutan itu dihubungkan dengan ulama, yang mungkin masih beranggapan bahwa pintu ijtihãd sudah ditutup, berarti dia menempatkan dirinya, dengan menulis buku ini, sebagai seorang mujtahid?
Begitulah, agaknya. Setidaknya, dia merasa lebih memahami Al-Qurãn dibanding para pendahulunya. Buktinya, dia bisa mene-mukan hal-hal ‘baru’ yang tidak ditemukan orang lain.
Tapi, bisakah seseorang disebut mujtahid, bila hasil ijtihãdnya ternyata berisi celaan-celaan terhadap Al-Qurãn dan Islam itu sendiri?
Setidaknya, dia layak disebut kritikus!
Dan, bila kritik-kritiknya salah?
Salah menurut siapa, dan menurut ukuran apa?
Mana yang lebih penting antara siapa dan apa itu?
Siapa itu adalah oknum, pribadi manusia. Sedangkan apa itu adalah kriteria atau metodologi dalam melakukan kritik maupun menangkal kritik itu sendiri. Bagi saya, oknum itu bukan yang utama; apalagi bila yang ditonjolkan hanya otoritasnya di mata publik, misalnya karena ia sarjana dan atau menguasai sebuah lembaga. Dalam masalah ilmu, metodologi adalah yang terpenting.

[1] Terbitan PT Bina Ilmu, Surabaya, 1984.

Jumat, 16 Desember 2011

BERDAKWAH MELALUI MEDIA INTERNET, DINILAI BAIK DAN ATAU BURUK BERDASARKAN APA ?

Sebagian org tidak memandang suatu persolan secara komperhensif, sebaliknya sering kita temukan pola - pola  parsial dalam berfikir, berkata dan bertindak.. contohnya: berdasarkan fakta yg mereka lihat di lapangan, salah satunya adalah fakta bahwa media internet dijadikan kebanyakan manusia sebagai media perusak kesadaran manusia, penyusupan isme mulai dari hedonisme, humanisme palsu, teologisme, atheisme hingga pornografi, penipuan, pencurian, dll. dari permukaan lahiriah ini, sebagian manusia langsung saja menyimpulkan akar masalahnya pada teknologi internet. apa bedanya dengan teknologi transfotasi darat, laut dan udara, apakah tekhnology bisa  sebagai dasar penilaian ???

kenyataannya tekhnology  hanyalah sebagai alat atau tekhnik untuk mendayagunakan segala potensi demi tercapainya  tujuan / harapan  SUBYEKNYA  berdasarkan pilihan dari dasar yg  dipilih..

wujud teknologi tidak pernah salah, tapi benar bahwa wujud teknology adalah hasil dari aplikasi suatu ilmu . persoalannya adalah mau berdasarkan ilmu apa ?? ketika ilmu Alquran wa Sunnaturrasul yg dipilih, maka tidak berarti meniadakan sunnah rasul sulaiman dalam menghadapi tantangan tekhnis 3 dimensi dengan mendayagunakan mahluk 3 dimensi sebagai pendekatan yg selanjutnya menopang misi wahyu menurut dominasi sunnah sulaiman. dalam hal tekhnis " andalah yg paling berilmukan ttg dunia / bidang profesi anda "

dan setiap keputusan tekhnis  akan dimintai pertanggungjawaban dasar dan tujuannya ( anniyyat ), dalam rangka taqwa atau dalam rangka kufur, itu sebabnya tidak ada alasan di dunia maya tidak ada perintah dakwah, karena dunia maya adalah ruang lingkup permukaan bumi, yaitu bertaqwalah dimana saja kaliana berada. seluruh permukaan bumi adalah sarana untuk berpartisipasi menegakkan dienul Islam dalam berbagai aspek kehidupan. tak peduli siapa latar belakang anda ! walaupun tercipta dari pendididikan sistem NAR ! bukan halangan untuk BERTAUBAT. andalah yg paling bertanggungjawab atas pilihan ilmu yg menentukan nasib anda. anda bebas memilih ilmu tapi anda tak bebas menanggung akibat pilihan ilmu yg anda pilih.