Sabtu, 22 Oktober 2011

AHLAK NABI


Hampir semua pemimpin besar yang pernah lahir di dunia meninggalkan banyak pesan-pesan penting tentang kemanusiaan. Setiap pesannya mengandung prinsip-prinsip hidup yg tak pernah kehilangan dayagunanya yang mendetail dengan kandungan makna yang sangat dalam. Di antara sosok manusia besar yang pernah hidup dalam blantika sejarah kemanusiaan adalah Muhammad Saw. Kebesaran  Muhammad tidak dengan sendirinya tercipta begitu saja. Dalam dirinya bersinergi dengan apik potensi kemanusiaan dengan nilai-nilai wahyu yg telah diwahyukan  / diajarkan oleh Allah. Kualitas inilah yang membentuk makna universalitas dalam setiap perkataan dan perbuatannya. Dalam menegaskan posisi dirinya sebagai manusia utusan yaitu  contoh pola pelaku Ahlak teladan di bumi beliau bersabda; Setiap saunnahku dalam menyampaikan perkataan dan melakukan perbuatan aku dituntun dan dibimbing oleh Allah  sehingga menjadi perkataan dan perbuatan yang sempurna.

Dalam proses kompilasi sunnah Rasul kita menemukan untaian perkataan dalam peristiwa demi peristiwa yang dilaluinya. Tak satupun dari perkataan dan perbuatannya yang tidak memiliki kandungan pesan spiritual dan kemanusiaan dengan refleksik persoalan yang relevan jauh ke depan. Hanya saja tidak semua orang mampu mengelaborasi dengan baik setiap makna dari pesan yang disampaikannya. Berikut ini adalah petikan salah satu pesannya berkenaan dengan perintah untuk memahami setiap detail dari kata-katanya yang sarat makna: Setiap perkataan yang anda dengarkan dari sunnah rasulku, anda dapat merekam dan menjaganya kemudian anda menyampaikannya kepada generasi yang akan datang. Ketika sampai kepada generasi mendatang, mereka akan lebih memahami setiap makna perkataan perkataan saya dari anda yang sekarang ini berada dalam majelis ini. Dalam sebuah hadist, Rusulullah Saw bersabda”Allah akan membersihkan pandangan hidup kotor hambanya yang mendengarkan perkataanku dan merekamnya (dalam akal) kemudian menyampaikannya kepada mereka yang tidak mendengarnya”.
Perintah untuk merekam dengan baik setiap perkataan dan perbuatan nabi memberikan inplikasi yang sangat besar terhadap keberlangsungan nilai-nilai ajaran Islam. Di samping itu sebagaimana yang dikatakan Rasulullah Saw sendiri bahwa semua bentuk perkataan dan perbuatannya mempunyai makna yang sangat dalam dan melingkupi seluruh zaman. Orang-orang pada setiap zaman akan mengalami kemajuan dan tingkat pemahaman yang lebih baik dari zaman sebelumnya. Dari situlah kemudian terlihat bahwa perkataan dan perbuatan nabi tetap up to date dan relevan sepanjang zaman. Berbarengan dengan itu umat Islam yg hanif  akan senantiasa memelihara hubungan emosional dan kecintaan yang mendalam terhadap sunnah rasulnyanya, dan bahkan Islam sebagai sebuah ajaran mampu mengatasi setiap perubahan zaman jika ditegakkan berdasarkan Alquranu wa sunnaturrasul.
Dalam al-Quran sejumlah ayat telah menjelaskan kepada kita betapa mulianya Akhlak beliau. Bahkan diyakini bahwa Rasulullah adalah refresentasi hidup dari al-Quran, sehingga dengan demikian keseluruhan perkataan dan perbuatannya tak terbatasi oleh ruang dan waktu. Sebagaimana dalam perkataannya yang mengandung pesan berkelanjutan dan tak terikat oleh ruang dan waktu maka dalam tindakan dan perbuatannyapun demikian. Allah Swt sebagaimana dinukil dalam al-Quran berfirman; â€œSesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah suri teladan bagi kamu. Yaitu bagi orang-orang yang mengharap rahmat Allah tegak dalam sejarah mencapai tujuan terakhir ( hasanah fiddunya wal akhireat ) (QS, 33 : 21)
Dengan kedudukan nabi yang sedemikian tinggi itu dan mendapat legitimasi dari Allah melalui pembuktian Alquranu wa Sunnaturrasul, adalah sangat wajar jika keseluruhan komponen kehidupannya sarat dengan makna. Karenanya para perawi hadis atau bahkan penulis sejarah nabi sekalipun tidak akan mampu merekaveri keseluruhan makna dari setiap perkataan dan perbuatannya. Dan tidak jarang kita temukan dalam riwayat hadis dan catatan sejarah terjadi mispersepsi ataupun penyimpangan pemahaman yang bias. Untuk itu dalam memahami dan mengkontekstualisasikan ajaran Rasulullah tidak cukup dengan mengandalkan catatan sejarah ataupun uraian perawi hadis. Tetapi itu harus dibarengi dengan kajian secara mendalam yang dapat melahirkan interpretasi baru sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan zaman yg semakin terdistorsi semakin parah.
Untuk dapat mendekati dan menangkap makna generik dari setiap pesan dan perbuatan nabi diperlukan adanya metodologi  dan prosedur yg tepat guna dan berdaya guna. Para kritikus sejarah menggunakan paling tidak dua pendekatan yaitu pendekatan kronologis; sistematika nuzul dan pendekatan analisis; uraian data / fakta yg otentik. Pendekatan kronologis mendekatkan kita pada tahapan-tahapan setiap peristiwa yang dialami oleh nabi. Dan pedekatan analisis mengajak kita untuk mengkaji secara detail uraian sebuah gagasan yg diwujudkan kedalam  pembuktian ( data / fakta ) setiap peristiwa. Untuk menajamkan pendekatan analisis ini, harus dibantu dengan teknik pendekatan ilmiah seperti analisis linguistik, komparatif, induktif, deduktif dan lain-lain. Cara pendekatan di atas mengharuskan kita untuk mempertanyakan setiap episode kejadian dengan semua detail permasalahannya, misalnya kenapa nabi berbuat seperti itu, apa tujuannya, dan seterusnya. Dengan metode ini akan lahir penafsiran yg komperhensif  yang segar dan mencerahkan dan lebih menjelma dalam kehidupan=membumi.
Kita patut mempertanyakan kenapa umat Islam hari ini rancu dalam memahami kepribadian Rasulullah. Sangat langka kita menemukan orang yang dengan pasih dan rinci dalam menjelaskan diri dan kepribadian nabi, apalagi untuk mengaktualisasikannya dalam pragmen kehidupan modern sekarang. Keadaan ini terjadi karena kelemahan metodologi para perawi hadis dan penulis sejarah yg memandang sunnah rasul ini secara parsial dan pincang. Akibatnya kemudian diri nabi telah dijadikan sama dengan artifak-artifak dari peninggalan masa lalu yang tidak memiliki signifikansi hubungan dengan masa kekinian manusia. inilah yg pernah disinyalir nabi bahwa Islam kelak akan tinggal menjadi merk besar saja. terbukti kan saat ini..? Efeknya yang lebih jauh adalah pupusnya kecintaan akan sunnah Nya yang menghilangkan hubungan emosional dengan warisan nabi. Dalam bahasa masyarakat awam bahwa apa yang terjadi pada masa nabi telah berlalu dan karenanya tidak kontekstual lagi dengan masa kekinian kita di mana peradaban manusia telah maju dan modern yang berbeda dengan masa nabi yang kolot dan primitif. inilah opini yg menyesatkan sebagai penyimpangan / pengaburan fakta sejarah
Dari gambaran di atas memperlihatkan bahwa perjalanan sejarah Islam yang direpresentasikan oleh pribadi nabi sadar atau tidak telah mengalami reduksi yang demikian rupa. Sebagai misal, sebagian penafsir al-Quran mengatakan bahwa nabi pernah melakukan kesalahan seperti yang dinukil di dalam surah Abasa’.Digambarkan bahwa nabi menunjukkan perilaku yang tidak bersahabat terhadap orang miskin dan buta dihadapan pembesar Qurays yang kafir, padahal orang miskin itu adalah seorang muslim. Pertanyaan kita mungkinkah sifat buruk itu terjadi pada nabi? Apakah tidak terjadi kontradiksi antara diri nabi sebagai personifikasi al-Quran yang mulia dengan nilai-nilai mulia dari ajaran al-Quran? Apakah tidak terjadi pertentangan antara satu ayat dengan ayat lainnya yang menjelaskan keutamaan akhlaq nabi? Atau mungkinkan nabi melakukan pelanggaran terhadap ayat-ayat yang menjamin kedudukan dan ketinggian akhlaqnya seperti termaktub dalam surah al-Qalam; â€œDan sesungguhnya bagi engkau pahala yang tak putus-putusnya. Dan sesungguhnya engkau mempunyai akhlaq yang tinggi dan mulia.” ( QS, 68: 3-4) Dan dalam surah An-Najm; â€œDan dia tidak berkata dengan hawa nafsunya, Semua yang dikatakannya adalah wahyu Allah.” (QS, 53 : 3-4) Surah-surah di atas dalam asbabun nuzul, turun mendahului surah Abasa.’ Karenanya sebuah kemustahilan bagi nabi untuk melakukan pelanggaran atas wahyu Allah yang diajarkan untuk umat manusia.

akan tetapi dalam proses menjalani perintah Allah dg Sunnah rasulNya, muhammad sebagai manusia memang pernah salah dan lupa diri. itu sebagai sisi manusiawinya. bukan untuk dipersoalkan tentunya. justru yg perlu dicontoh adalah bagaimana proses seorang manusia dg sisi kemanusiaan yg tabiatnya bersalah dan lupa diri bisa menjadi seorang rasul..? itulah yg perlu kita contoh sebagaimana muhammad telah menjajakinya dg Sunnah rasulNya. sehingga bicara muhammad bukan menggosipi sisi buruknya sebagai manusia biasa yg tak luput sebagai dhallan sebelumnya. tetapi bicara muhammad adalah bicara cara ( sunnah ) rasul muhammad yg kongkretnya adalah uswatun hasanah = cara hidup manusia terbaik !
Dalam catatan sejarah suatu hari Rasulullah diundang oleh kalangan bangsawan kafir Quraiys di rumah Mughirah bin Syu’bah salah seorang bangsawan kafir penentang Dakwah Rasul. Nabi datang meladeni undangan dialog tersebut. Saat dialog berlangsung tiba-tiba Ibn Ummi Maktum (seorang sahabat nabi miskin dan buta) datang untuk mendengarkan pembicaraan mereka. Konon katanya nabi merasa tidak enak dan nampak pada wajahnya. Penafsiran ini sangat mustahil terjadi pada diri dan wajah suci yang maha mulia itu. Ada beberapa kemustahilan. Pertama, kita percaya bahwa al-Quran itu diturunkan oleh Allah kepada manusia melalui Muhammad. Ini menunjukkan bahwa semua ayat yang disampaikan ditujukan kepada manusia yang direprentasikan oleh nabi, sebagaimana kata Aisyah (istri) beliau ketika menjawab pertanyaan para sahabat tentang akhlaq nabi, beliau mengatakan, “akhlaq nabi adalah al-Quran”. Kedua, Pertemuan tersebut terjadi di rumah bangsawan quraiys dan dihadiri oleh bangsawan lainnya yang menentang dengan penuh kebencian terhadap nabi dan pengikutnya yang rata-rata budak, dan orang-orang miskin. Logika kita bertanya kalau suatu hajatan diadakan dan diperuntukkan bagi kalangan khusus dan terhormat tetapi ada orang lain (miskin, kaum tertindas) yang hadir dan tidak diundang. Apakah undangan yang bermuka masam atau pemilik acara hajatan? Apalagi kalau yang datang itu adalah orang yang sebelumnya telah dibenci. Ketiga, Nabi dalam sejarah dicatat dengan baik bahwa orang-orang pertama yang membela dan membantunya dalam menegakkan Islam adalah orang miskin dan tertindas. Kita tahu masuk Islamnya Bilal misalnya itu di awali hanya dengan sentuhan sunnah rasul tatkala Bilal disiksa oleh bangsawan kafir Quraiys. Mungkinkah nabi yang memperjuangkan hak-hak kaumnya yang tertindas (apalagi Ummi Maktum) seorang muslim dan sahabat beliau menghinakan saudaranya sendiri di depan lawan-lawan dakwahnya. Sebuah akhlaq yang sangat buruk yang bahkan anjingpun tidak tega melakukannya, tetapi itu juga wajar jikalau muhammad belum dijarakan cara menyikapi masalah tsb. sehingga turunlah solusi dari Allah atas persoalan tsb yg tentu saja mengingatkan diri pribadi muhammad agar apa..? agar menyesuaikan diri dari cara hidup subyektif menjadi cara hidup  yg obyektif  ilmiah dari Allah. hakekat hidup bukanlah kesempurnaan, tapi proses perbaikan ahlak untuk penyempurnaan ahlak dari yg tak sempurna

Tidak ada komentar:

Posting Komentar