Rabu, 19 Oktober 2011

Harus Bayar Utang = Dakwahkanlah Alquran menurut Sunnah RauslNya !



oleh Adib Susila Siraj pada 19 Oktober 2011 jam 13:49
Segi yang lain yang saya minta kepada saudara-saudara adalah segi bayar utang. Siapa yang sudah menguasai satu ayat Quran, (maka) dia berutang. Harus bayar lagi kepada yang lain.

Coba saudara catat Surat Thaa Haa 134:

Jikalau Kami (Allah dengan al-Quran mSR ini) telah membuktikan dengan menghancurkan mereka yang berlaku Dhulumat mSSy dulu (sebelum mereka yang berlaku Dhulumat mSSy sekarang), untuk supaya nanti di akherat jangan sampai mereka berkata: “Ya, Allah mengapa tidak ada seorang pun yang diutus kepada kami sebagai penyampai? Sehingga kami akan beriman sebelum Engkau adzab seperti ini.”

Dari itu, karena tak ada yang menyampaikan (dakwah) kepada kami, maka kami jangan diadzab, dong !?

Itulah (akibatnya) kalau kita tidak berhasil menyampaikan (dakwah al-Quran) kepada seluruh bangsa Indonesia yang ada di pelosok.

Nanti jadi masalah nggak, kira-kira ?
Orang-orang yang tidak mau beriman, ketika mau diadzab oleh Allah, (malah berkata): “Tunggu dulu, ini nggak sampai. Nih, salah Si Isa dan kawan-kawannya, nggak nyampein. Oleh sebab itu jangan kami yang disiksa, Si Isa dan kawan-kawannya aja deh, dibedil !”

Supaya mereka nanti di akherat jangan ngomong kita tidak menyampaikan.
Tapi kita akan menjawab kepada Allah: “Ya, Allah kami sudah bayar semua, sehingga tidak ada pelosok yang kami tidak datangi.” Hatta jalan kaki sampai datang, cuma dasar mereka kufur, kok (malah) menyalahkan orang lain. Kalau mereka kufur, bukannya salah kami. Memang mereka dasarnya kufur.

“Ayo,” kata Nabi Nuh, “Rabbi laa tadzar ‘ala al-ardhi min al-kaafiriina dayyaaran !
Bawa sapu lidi !!! Itu masalahnya.
Kenapa saya tekankan kepada saudara? Yahudi pinter bener hasutannya.
Dari sono …, dari sono …, aah … liyuhrijuuka.

Seperti mereka menghasut: “Nah, bohong, katanya (cuma) mau belajar, padahal (mereka) itu mau mengusir kamu dari kekuasaan.
Awas ! Awas !!!” Nah itu “yuwaswisu fi shuduurin-naasi”.

Jawab: “Demi Allah,” kita bilang, “demi Allah kita begini !”
Kalau tidak percaya, mau kita mubahalah?

Saya mubahalah sebelah (sepihak): “Ya, Allah kalau Si Isa ini berkulit hati, dengan dakwah ini, bermuka dua, ya Allah hancurkan Si Isa dimana ketemu di jalan. Atau yang bermuka dua yang menghasut saya, gertakin aja di jalan supaya terbukti, jangan (sampai) manusia ini nyasar.

Atau mari kita masing-masing ini mengucapkan supaya “klar”, saudara boleh tunggu, dan saya ikhlas meminta kepada Allah, kalau saya bermuka dua, pulang ini supaya digertakin aja di jalan untuk jadi saksi kepada anda, jangan (sampai) nyasar dalam hidup ini.

Atau kalau saya tidak diberikan begitu oleh Allah, mohon yang menghasut itu gertakin aja di jalan, supaya draw (seri).

Apa main-main, omong(-an) ini ?!
Tidak !!! Ini kata Allah, kalau seperti menghadapi Yahudi yang bersembunyi di belakang layar.

… ke lapangan terbuka (di malam hari).
Di sana kita berjabat tangan.
Kita mohon kepada Allah, supaya kita diselesaikan aja malam itu, siapa yang bermuka dua. Supaya jadi saksi kepada manusia di permukaan bumi Indonesia.

Yahudi mau nggak ?! Nggak mau !!!
Maka saya katakan, saya berani, hatta mereka nggak mau, ya !?
Saya (tetap) bermubahalah dan saya mohon kepada Allah.

(Bapak Muhammad Isa, Kuliah Peningkatan Tenaga Pengajar Putaran III, 22 Agustus 1991)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar