Senin, 15 Agustus 2011

APA ITU TUHAN ?


I. Asal kata Tuhan

Pada mulanya kata tuhan hanyalah ‘pelesetan’ dari kata tuan; dan ini terjadi karena kesalahan seorang Belanda bernama Leijdecker pada tahun 1678.

Peristiwa itu diterangkan secara menarik oleh Alif Danya Munsyi di majalah Tiara (1984).

Ia menyebutkan bahwa peristiwa itu terjadi sebagai salah satu gejala paramasuai, yaitu penambahan bunyi h yang nirguna pada kata-kata tertentu, misalnya hembus, hempas, hasut, dan tuhan.

Alif mengatakan bahwa gejala itu timbul karena pengaruh lafal daerah, rasa tak percaya pada diri sendiri, dan yang sangat penting adalah yang berkaitan dengan penjajahan bangsa-bangsa Eropa terhadap bangsa Indonesia.

“Lingua Franca Melayu yang dipakai bangsa-bangsa Eropa, antara lain Portugis dan Belanda, sebagai bahasa administrasi untuk kegiatan ekonomi dan politik di seantero Nusantara, juga dipakai dalam kepentingan penyiaran agama Nasrani, agama umum yang dianut oleh bangsa-bangsa Eropa,” tulis Alif.

Lebih lanjut Alif mengatakan bahwa peralihan tuan menjadi tuhan, sepenuhnya bersumber dari kepercayaan mereka atas Isa Al-Masih.

Mereka biasa menyebut Isa dengan panggilan “tuan”, yang dalam bahasa Yunani adalah ‘Kyrios’, dalam bahasa Portugis ’senor’, dalam bahasa Belanda ‘heere’, dalam bahasa Prancis ’seigneur’, dan dalam bahasa Inggris ‘lord’.

Perhatikan kutipan berikut ini:

Sebutan Tuan bagi Isa Al-Masih berasal dari surat-surat Paulus, orang Turki, yang menggunakan bahasa Yunani kepada bangsa Yahudi, Rumawi, dan Yunani di daerah Hellenisme.

Pada setiap akhir suratnya, Paus selalu menyebut Isa Al-Masih sebagai Tuan: “Semoga rahmat Isa Al-Masih Tuan kita menyertai ruh kita.”

Kalimat diatas, dalam bahasa Portugis, berbunyi: “A graca de mosso senhor Jesus Cristo seja com ovosso espiritu”

Kalimat diatas, dalam bahasa Belanda berbunyi: “De genade van onzen heere Jezus Christus zij met uw geest”

Kalimat diatas, dalam bahasa Prancisnya, berbunyi: “Que la grace de notre seigneur Jesus-Christ soit avec votre esprit”

Kalimat diatas, dalam bahasa Inggris, berbunyi: “The grace of or lord Jesus Christ be whit your spirit”

Ketika penghayatan ini diterjemahkan ke dalam bahasa ndonesia, mula-mula oleh bangsa Portugis bernama Browerius, pada tahun 1663, sebutan Isa Al-Masih masih Tuan, tetapi ketika orang Belanda bernama Leijdecker pada tahun 1678 menerjemahkan surat-surat Paulus itu, sebutan Tuan telah berubah menjadi Tuhan.

Dengan kata lain, Leijdecker yang pertama kali menulis Tuhan.

Dengan demikian, jelaslah bahwa kosakata Tuhan masuk edalam bahasa Indonesia sebagai pengaruh teologi (agama) Kristen.

Pada mulanya hanya sebagai ‘plesetan’ atau ’salah tulis’ orang Belanda, tapi selanjutnya dibakukan sebagai kosakata baru yang disejajarkan dengan kata ilah dalam bahasa Arab.

Karena itulah dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, W.J.S. Poerwadarminta (orang Katolik) tidak memberikan keterangan apa pun tentang kata Tuhan, kecuali menyamakannya dengan Allah!

Demikian bila kita bicara asal-usul kata Tuhan, sekadar untuk mengungkapkan bahwa bekas-bekas penjajahan masih bertebaran dimana-mana, dan banyak diantaranya yang menjadi warisan abadi bagi bangsa Indonesia.

II. Makna Tuhan

Selanjutnya, apa boleh buat, kata Tuhan kita gunakan untuk menerjemahkan kata ilah.

Ilahun, jamaknya a litahun, bentuk kata kerjanya adalah alaha, yang artinya sama dengan ‘abada,
yaitu “mengabdi”.
Dengan demikian ilahun artinya sama dengan ma’budun, “yang diabdi”.

Lawanya adalah ‘abdun, “yang mengabdi”, atau “hamba”, atau “budak”.

Perhatikan firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 133: Tahukah kalian bagaimana sikap Yaqub ketika menghadapi maut? Ketika itu ia bertanya kepada anak-anaknya, “Apakah gerangan yang akan menjadi subjek pengabdian kalian setelah aku mati?” Anak-anaknya menjawab, “Kami akan mengabdi kepada tuhanmu, yang juga merupakan tuhan leluhurmu Ibrahim, Ismail, dan Ishaq, sebagai satu-satunya tuhan. Kepadanya kami pasrahkan diri.”

Yang menarik, pada ayat diatas Allah menggunakan kata tanya ma (apa), dan bukan man (siapa).

Jelas, kata tanya ma mempunyai jangkauan lebih luas daripada man.

Dalam kata ma bahkan tercakup man itu sendiri.

Dari sini kita dapat menarik kesimpulan bahwa ilah adalah “sesuatu”, bukan hanya “seseorang”, yang bersifat “memperbudak”, atau “mengendalikan “, atau “menguasai”.

Jelasnya, yang berperan sebagai ilah itu tidak terbatas pada sesuatu yang hidup saja, tapi bisa juga benda (materi) yang mati.

Ini digambarkan Allah antara lain dalam surat Ali Imran ayat 14:

Dibuat indah dalam pandangan manusia kecintaan yang sulit dikendalikan (syahwat) terhadap wanita (=lawan jenis), anak-anak, tumpukan kekayaan berupa emas dan perak, kuda yang bagus = kendaraan), hewan ternak, dan tanaman (=lahan bisnis). Itu semua adalah perhiasan kehidupan dunia.

Itu semua adalah benda-benda yang bisa memperbudak manusia, alias dijadikan tuhan oleh manusia.

Dalam surat Al-Furqan ayat 43 bahkan Allah menegaskan bahwa manusia juga bisa mempertuhan hawa nafsunya sendiri.

Selain ilah, dalam Quran juga terdapat kata rabb yang digunakan untuk menyebut tuhan.

Secara harfiah rabb berarti “pembimbing”, atau “pengendali”.

Allah adalah rabb, tapi selain Allah ada pula arbaban min dunillah, yaitu rabb-rabb selain Allah, diantaranya Quran menyebutkan bahwa Fir’aun menyatakan dirinya sebagai rabb. (surat An-Nazi’at ayat 24).

Dengan demikian, kita bisa membuat definisi tentang tuhan, kira-kira demikian: Tuhan adalah sesuatu yang menguasai dan mengendalikan jiwa manusia, dalam rangka memperbudaknya.

Ingatlah bahwa yang dikuasai dan dikendalikan oleh “tuhan”, apa pun atau siapa pun dia, adalah jiwa manusia.

Dengan pikiran dan/atau perasaannya itulah manusia melakukan pemandangan dan penilaian terhadap segala sesuatu, yang akhirnya membuat mereka mengambil keputusan (kadang dengan sangat cepat) untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.

Sehubungan dengan inilah, agaknya, dalam kaitanya dengan peristiwa hijrah, Nabi Muhammad mengatakan bahwa setiap tindakan pasti dilandasi suatu motivasi (niat).

Begitu juga setiap urusan, pasti ada motivasi yang mendasarinya.

Maka (dalam kaitanya dengan Hijrah) siapapun yang Hijrahnya bertujuan mematuhi Allah, maka berarti motivasi hijrahnya adalah ridha Allah.

Sedangkan yang Hijrahnya karena dunia (rangsangan pragmatis), maka dunia itulah yang akan diburunya; dan siapa pun yang Hijrahnya karena seorang perempuan atau laki-laki (nafsu birahi), maka mengawini perempuan/laki-laki itulah tujuannya yang hendak dicapainya.

Dengan demikian, setiap diri berhijrah dengan tujuan hijrahnya masing-masing.

Dengan kata lain, pada saat Hijrah dari Mekkah ke Yatsrib itu, Nabi Muhammad tidak hanya memimpin orang-orang yang bertuhan Allah, yang pikirannya dan perasaannya dikuasai dan dikendalikan Allah (melalui WahyuNya) tapi juga ‘terpaksa’ membawa serta orang orang-orang yang dikuasai dan dikendalikan oleh motifasi lain.

***

1) Hellenisme, nama untuk kebudayaan, cita-cita dan cara hidup orang Yunani seperti yang terdapat di Athena di zaman Pericles. Seringkali dibandingkan dengan kesungguhan kebudayaan Ibrani seperti dilukiskan dalam perjanjian lama. Hellenisme dalam abad keempat sebelum digantikan oleh kebudayaan Yunani, tetapi tiap-tiap usaha menghidupkan kembali cita-cita Yunani di zaman modern disebut Hellenisme. (Ensiklopedi umum, Kanisius, 1990).

* Tulisan ini merupakan kutipan dari diktat saya, Pengantar Studi Islam, dan pernah dimuat dalam website yang dibuat teman, yaitu (almarhum): http://www.tilawah.com


Siapa Leijdecker?

Di bawah ini adalah kutipan dari website SarapanPagi Biblika:

Melchior Leijdecker dilahirkan di Amsterdam, Belanda pada tahun 1645. Dengan latar belakang pendidikan kedokteran dan teologi, ia datang ke Indonesia pada tahun 1675 sebagai pendeta militer Belanda di Jawa Timur. Sejak tahun 1678 ia menjadi pendeta jemaat berbahasa Melayu di Batavia (sekarang Jakarta). Pada tahun 1691, atas permintaan majelis gereja di Batavia dan disponsori oleh Kompeni (VOC), ia mulai menerjemahkan Alkitab lengkap ke dalam bahasa Melayu tinggi, yaitu ragam bahasa yang lazim dipakai untuk menulis buku kesusastraan pada masa itu. Dalam melaksanakan tugas penerjemahannya Dr. Leijdecker meneliti naskah-naskah Alkitab dalam bahasa-bahasa aslinya, dan dengan tekun ia mencari kata dan istilah bahasa Melayu yang paling tepat untuk mengalihbahasakan naskah Alkitab.

Pada tanggal 16 Maret 1701, Dr. Leijdecker meninggal dunia, dan pekerjaan penerjemahannya yang telah 90% selesai (sampai dengan Efesus 6:6) dilanjutkan dan diselesaikan oleh Pdt. Pieter van der Vorm (Efesus 6:7 sampai selesai) pada tahun itu juga. Akan tetapi terjemahan ini tidak segera dicetak karena ulah Pdt. Francois Valentyn. Valentyn atas kemauan dan prakarsa sendiri menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Melayu Maluku. Tetapi terjemahan Pdt. Valentyn tidak mendapat persetujuan Pemerintah Kompeni untuk diterbitkan karena: (a) terjemahannya adalah terjemahan langsung dari Alkitab bahasa Belanda Staten Vertaling, (b) bahasanya bersifat kedaerahan Maluku sehingga sulit dibaca di daerah lain, (c) pemakaian bahasa yang tidak seragam (agaknya terjemahan itu bukanlah hasil karyanya sendiri, tetapi naskah terjemahan yang diperolehnya dari Pdt. Simon de lange yang meninggal dunia di Banda pada tahun 1677).

Setelah Pdt. Valentyn meninggal dunia pada tahun 1727, naskah terjemahan Dr. Leijdecker diteliti oleh suatu team yang terdiri dari Pdt. Pieter van der Vorm dari Batavia, Gerorge Henric Werndly dari Makassar (sekarang Ujung Pandang), Engelbertus Cornelis Ninaber dari Ambon, Arnoldus Brants dari Batavia, dan pakar-pakar bahasa Melayu setempat. Terjemahan itu dibandingkan dengan naskah bahasa-bahasa asli Alkitab dan dengan terjemahan Alkitab dalam bahasa Arab, Aram (Siria), Latin, Inggris, Jerman, Perancis dan Spanyol. Kemudian diterbitkanlah Perjanjian baru pada tahun 1731 dan Alkitab lengkap pada tahun 1733. Selain edisi huruf Latin yang dicetak di Amsterdam (1733) juga dicetak Alkitab Leijdecker edisi huruf Arab di Batavia pada tahun 1758, karena pada masa itu bahasa Melayu lazim ditulis dengan aksara Arab (di Semenanjung Malaka disebut aksara Jawi) – bahkan di beberapa tempat aksara Arab ini lebih dikenal dari pada aksara Latin. Edisi huruf Arab ini terdiri dari 5 jilid (volume).

Walau terjemahan ini sukar dimengerti sebab menggunakan bahasa Melayu tinggi dan banyak kata-kata pinjaman dari bahasa Arab dan Persia, terjemahan Leijdecker telah dipakai di Indonesia dan di semenanjung Malaka selama hampir dua abad. Di Semenanjung Malaka terjemahan ini terus dipakai sampai tahun 1853. Di Indonesia, terjemahan Leijdecker masih dicetak ulang pada tahun 1905, 1911, 1916, yaitu atas permintaan masyarakat Kristen di Maluku.

1 komentar:

  1. ente baca al ikhlas yang alquran umum, lebih bermanfaat ente tau tuhan itu siapa buat ente, dan namanya tuhan buat agama ente ini ada jelas disitu, daripada intelek tapi gak rasional gini

    BalasHapus