Setiap membicarakan surat Al-’Alaq sebagai wahyu yang diterima Nabi Muhammad pertama kali, pada umumnya orang meng anggap atau menafsirkan bahwa Jibril menyuruh Muhammad memba ca. Ada yang mengatakan Muhammad disuruh membaca tulisan, ada pula yang mengatakan yang harus dibacanya adalah “situasi”, yaitu situasi kota Makkah dan sekitarnya, mulai dari keadaan alamnya sampai keadaan masyarakatnya. Dengan kata lain, satu pihak mengartikan perintah membaca itu secara harfiah, yang lainnya menganggap berarti kiasan.
Karena itulah mereka menerjemahkan kata iqra dalam ayat pertama surat tersebut menjadi bacalah. Setahu penulis, baru Yusuf Abdullah Ali dalam The Holy Quran yang menerjemahkannya menjadi proclaim(nyatakan, umumkan).
Sementara itu, dalam A Dictionary Of Modern Written A rabic, Hans Wehr menyebutkan bahwa arti kata qara-a, khususnya untuk Quran adalah declaim (berdeklamasi; membaca di depan umum sebagaimana membaca syair), atau recite, yang berarti say (especially poems) aloud from memory (mengucapkan —khususnya syair— hafalan dengan suara keras).[1] Jadi, declaim dan recite agaknya mempunyai pengertian yang sama.
Dengan demikian, kita mendapatkan tiga makna dari kata iqra, yaitu:
1. Bacalah
2. Nyatakan/umumkan(lah)
3. Deklamasikan (berdasar hafalan)
Di antara ketiga makna tersebut, yang beredar dalam masyarakat melalui para ustadz dan penceramah adalah pengertian yang pertama (bacalah), dengan tambahan (penafsiran) bahwa membaca yang dimaksud adalah membaca apa saja yang bisa ‘dibaca’, baik bahan-bahan bacaan biasa maupun segala kenyataan hidup yang dijumpai. Dengan demikian, satu segi, kegiatan membaca tersebut berarti kegiatan menuntut ilmu secara umum. Segi lainnya, membaca yang dimaksud adalah melakukan kegiatan kontemplatif (comtemplative), yaitu merenungi dan menambil hikmah (pelajaran) dari segala kenyataan hidup.
Manakah pengertian yang benar?
Semua pengertian itu adalah benar. Tapi benar menurut ukuran apa? Secara harfiah maupun maknawiah, semua merupakan pengertian yang benar dari kata iqra. Tapi apakah kata iqra dalam surat Al-’Alaq itu bisa terwakili oleh salah satu atau semua pengertian tersebut? Pertanyaan ini tentu harus dijawab dengan hati-hati dan menggunakan metode (prosedur) yang bisa dipertanggung-jawabkan.
Tentu harus diingat bahwa kata iqra itu berasal dari sebuah wahyu atau kalãmullah (perkataan Allah). Melalui teori percakapan (dialog), misalnya, bisa kita ambil sebuah landasan berpikir (metode) untuk membangun pemahaman. Dalam sebuah percakapan, paling sedikit akan kita dapati unsur-unsur:
1. Pembicara (orang pertama)
2. Lawan bicara (orang kedua)
3. Bahan pembicaraan (orang, atau sesuatu)
4. Bunyi pembicaraan (perkataan —atau teks— seutuhnya)
Dalam konteks surat Al-’Alaq —begitu juga dalam Al-Qurãn secara keseluruhan, yang menjadi pembicaranya adalah Allah, dengan catatan bahwa ia diwakili oleh Jibril, lawan bicaranya Nabi Muhammad, yang dibicarakannya —antara lain — perintah iqra.
Dalam teori dialog juga berlaku prinsip bahwa makna setiap perkataan ditentukan oleh pembicara, bukan oleh pendengar atau selainnya. Karena itulah, makna setiap kata dalam surat Al-’Alaq ini juga —bukan hanya kata iqra— ditentukan oleh Allah, bukan oleh kita atau siapa pun.
[1] Oxford Learner’s Dictionary of Current English.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar