Kamis, 11 Agustus 2011

Ngobrol Soal Penaklukan Diri



Setiap berpikir, saya pasti menemukan banyak masalah dalam hidup ini. Dan semakin dalam saya berpikir, saya menemukan bahwa masalah terbesar dalam hidup ini adalah soal “penaklukan diri”.
Penaklukan diri?
Ya! Alangkah sulitnya menaklukkan diri.
Yang anda maksud dengan “diri” itu diri sendiri kan?
Ya, tentu saja diri sendiri. Alangkah sulitnya menaklukkan diri sendiri. Sangat sulit.
Kalau begitu, taklukkan saja orang lain. Taklukkan sebanyak-banyaknya. Siapa tahu bisa memperbaiki keadaan bangsa ini.
Bagaimana saya bisa menaklukkan orang lain, sedangkan menaklukkan diri sendiri pun tidak bisa?
Anda kan mengatakan bahwa menaklukkan diri sendiri itu sangat sulit. Secara logika bahasa, bila menaklukkan diri sendiri sulit, berarti menaklukkan orang lain tidak sulit. Nah! Daripada melakukan yang sulit, lakukan saja yang mudah.
Lho, memangnya menaklukkan orang lain itu mudah?
Saya bilang, itu logika bahasa. Tepatnya, berdasar kenyataan bahwa dalam hidup ini selalu ada pasangan dan atau lawan, maka lawan dari diri sendiri adalah orang lain. Bila anda mengatakan bahwa menaklukkan diri itu sulit, maka – sebaliknya – menaklukkan orang lain tentu mudah.
Wahhh, yaa tidak begitu lah… Semua sulit. Menaklukkan diri sendiri, sulit. Menaklukkan orang lain, mungkin, lebih sulit!
Jadi, yang mudah, menaklukkan apa?
Hmh… Yaa tidak usah menaklukkan apa-apa!
O, begitu? Seandainya istri anda diambil atau diganggu orang?
Wooo, saya hajar orang itu! Sampai…
Sampai apa?
Sampai dia babak belur!
Kenapa harus sampai babak belur?
Supaya dia kapok!
Kapok atau takluk?
Kapok saja sudah cukup, untuk membuat dia jauh dari istri saya. Saya tidak perlu menaklukkan dia untuk menjadi budak saya, misalnya.
Ooo, jadi menaklukkan itu sama dengan menjadikan budak?
Kira-kira begitu lah…
Jadi, menaklukkan diri sama dengan menjadikan diri sebagai budak?
Ya, begitu lah.
Budak siapa?
Yaa budak saya doong!
Jadi, anda memperbudak diri anda sendiri?
Iya!
Memangnya diri anda ada berapa?
Diri saya… yaa satu lah!
Kalau cuma satu, bagaimana diri anda bisa memperbudak diri anda sendiri?
Karena… Dalam diri kita… sebenarnya ada diri yang lain!
Kalau begitu, berarti dua doong, bukan satu!
Maksud saya… Aduh, bagaimana ini? Kok jadi ribet sih?  Begini lho! Diri kita itu kan terbentuk dari badan dan jiwa. Jadi, memang ada dua kan? Maksud saya dua unsur begitu!
Terus, unsur mana yang mau ditaklukkan?
Yang mau ditaklukkan yaa unsur… itu lho, yang sering merusak!
Unsur yang mana yang sering merusak? Badan, atau jiwa?
Wah, jadi tambah ribet nih. Begini. Saya kira… yang sering merusak itu badan! Ya badan. Misalnya, kalau pertu lapar dan tak punya makanan, kita bisa mencuri.
Yang mencuri itu, badan atau jiwa?
Yang mencurinya ya badan, tangan. Tapi pendorongnya adalah jiwa.
Lho, tadi katanya yang lapar perut…
O, iya. Perut yang lapar mendorong jiwa untuk mencuri. Terus, jiwa mendorong tangan untuk melakukan pencurian itu, karena jiwa sendiri tidak bisa melakukan pencurian itu.
Seandainya jiwa menolak dorongan perut?
Yaa perut akan menderita kelaparan… dan jiwa tidak akan tega.
Kenapa?
Karena… karena sebenarnya perut bisa merasakan lapar karena adanya jiwa!
Jadi, yang merasakan lapar itu perut atau jiwa?
Waduh, jadi bingung saya…
Kenapa harus bingung? Bukankah tadi anda mengatakan bahwa diri itu satu tapi terdiri dari dua unsur?
Oh, iya ya. Jadi, walaupun dua tetap satu ya?
Ya! Dua tapi satu, atau satu tapi dua.
Terus, tadi pertanyaan anda, di antara yang dua itu, mana yang menaklukkan dan ditaklukkan. Begitu ya?
Ya!
Jawabannya?
Kedua-duanya tak ada yang bisa menaklukkan satu sama lain; kecuali bila ada pihak ketiga.
Pihak ketiga?
Waktu perut lapar, dari mana dia tahu bahwa yang terjadi padanya adalah lapar?
Dari mana ya? Dari jiwa ‘kali ya?
Terus, dari mana jiwa tahu bahwa yang terjadi pada perut adalah lapar?
Yaa tahu sendiri lah…
Tahu sendiri? Waktu anda kecil, dari mana anda mengenal manakan dan minuman?
Dari… ibu!
Nah. Waktu itu ada badan, ada jiwa, tapi anda mengenal makanan dan minuman dari ibu.
Jadi, pihak ketiganya adalah ibu?
Ibu, bapak, dan semua orang lain, hanya perantara untuk munculnya pihak ketiga dalam diri kita, yang selanjutnya tidak bisa terpisah dari kita.
Siapakah… atau apakah itu?
Ilmu!
Ilmu?
Ya. Tepatnya adalah sejumlah informasi yang ‘mengkristal’ dalam diri kita, yang menjadi teman abadi bagi diri kita.
Oooh! Sekarang saya mengerti! Jadi, yang menaklukkan diri kita, badan dan jiwa kita, adalah ilmu!
Belum tentu!
Kok belum tentu?
Ilmu bisa menaklukan diri kita, bisa juga jadi pelayan.
Jelasnya? Kapan dia menaklukkan, dan kapan jadi pelayan?
Konon, Abu Bakar pernah mengatakan, “Beruntunglah orang yang menjadikan akalnya sebagai pemimpin, dan hawa nafsunya sebagai tawanan. Sebaliknya, celakalah orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai pemimpin dan akalnya sebagai tawanan.
Wah, itu soal lain lagi. Soal akal dan hawa nafsu.
Ketika anda menyebut jiwa, yang anda maksud apa?
Yaa… nyawa, ruh… semacam makhluk halus lah!
Dan hawa nafsu anda pahami sebagai apa?
Rasa lapar tadi… keinginan untuk makan, minum… dan seterusnya. Banyak sekali!
Makhluk halus atau bukan?
Kayaknya iya… makhluk halus juga. Tapi…
Dia makhluk halus, tapi dia adalah dorongan-dorongan yang timbul dari badan kita, pengaruh-pengaruh lingkungan, informasi-informasi, dan sebagainya, yang bila tidak dikendalikan bisa merugikan diri kita dan orang lain.
Waaahhh! Kalau begitu, jelas sudah!
Apa yang jelas?
Bahwa yang harus ditaklukkan itu adalah hawa nafsu itu tadi!
Dan penakluknya?
Akal. Seperti kata Abu Bakar tadi…
Ya, kalau dia sehat…
Maksud anda?
Kan banyak orang sering menyebut “akal sehat”. Berarti ada akal yang tidak sehat kan?
Ya, sudah. Akal sehat lah. Akal Abu Bakar…, yang tentu sehat kan?
Ya. Tapi apa yang membuat akal Abu Bakar sehat?
Apa ya? Engh, tidak tahu!
Tapi, anda pasti tahu bahwa beliau sahabat Rasulullah kan?
Tentu saja!
Nah. Yang membuat akal Abu Bakar sehat adalah ilmu yang diajarkan Rasulullah.
O, ya? Ilmu apa tuh?
Al-Qurãn.
Ooo… Jadi?
Jadi, kembali ke soal pihak ketiga dalam diri kita itu. Pihak ketiga itu adalah ilmu. Apa pun bentuknya, dari mana pun asalnya, siapa pun yang mengajarkannya, apa pun namanya, dia menjadi pihak ketiga di dalam diri kita. Dan, sifat dari ilmu itu bisa menaklukkan hawa nafsu kita, bisa juga menjadi pelayannya.
Kalau dia adalah… Al-Qurãn?
Ketika dia masuk ke dalam diri Abu Bakar, dia menyehatkan akal Abu Bakar.
Begitu ya? Tapi, … bagaimana cara kerjanya?
Bukan dia yang bekerja! Abu Bakarlah yang bekerja. Tepatnya Abu Bakarlah yang membuat ilmu itu – Al-Qurãn – berfungsi bagi dirinya.
Bagaimana cara Abu Bakar…
Abu Bakar tak punya caranya. Dia diajari Rasulullah.
Dan Rasulullah diajari oleh Allah?
Ya. Melalui malaikat Jibril.
Oke. Saya mengerti. Tapi bagaimana cara itu?
Banyak!
Salah satunya?
Dengan melakukan shaum Ramadhan.
O ya? Jelasnya?
Bulan Ramadhan itu bulan turunnya Al-Qurãn, dan di bulan itu kita disuruh melakukan shaum, sebulan penuh.
Apa hubungan Al-Qurãn dengan shaum Ramadhan?
Al-Qurãn itu sebuah ilmu. Sebuah konsep. Sebuah ajaran.
Ilmu untuk apa? Konsep untuk apa? Ajaran untuk apa?
Untuk menaklukkan diri kita! Untuk memembuat segala dorongan badani dan pengaruh-pengaruh lingkungan menjadi ‘tawanan’. Dengan kata lain, Al-Qurãn, antara lain melalui teknik shaum Ramadhan, bisa mengubah diri kita, khususnya jiwa kita, menjadi seperti konsep yang dikandungnya.
Menjadi seperti konsep yang dikandungnya?
Ya. Dengan kata lain, menjadi Al-Qurãn berjalan. Menjadi The Living Quran, kata orang sana.
Wahhh… Kalau begitu, balik ke pernyataan awal doong…
Pernyataan yang mana?
… bahwa menaklukkan diri itu sulit. Karena harus menjadi apa tadi? The Living Quran!
Biar sulit, tapi kan petanya jelas, jalannya lurus, pernah ditempuh Rasulullah, Abu Bakar, dan lain-lain.
Betul-betul-betul. Tapi…
Masih mau pakai “tapi”?
Ah, enggak dech! “Tapi-tapian” terhadap Al-Qurãn itu itu kayaknya wilayah setan ya?
He he…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar