Minggu, 14 Agustus 2011

MENJADI MU’MIN KÃFFAH BAGAIMANA CARANYA?



Ajakan untuk menjadi mu’min yang kãffah didengungkan Allah melalui surat Al-Baqarah yang 208:
UDKHULU
“Hai orang-orang (yang mengaku) mu’min, masuklah kalian ke dalam Islam secara kãffah, dalam arti janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan, karena dia (setan itu) adalah musuh yang nyata bagi kalian.”[1]
Pengertian harfiah dari istilah kãffah adalah keseluruhan atau totalitas (totality). Dengan demikian, menjadi mu’min yang kãffah berarti menjadi mu’min yang total. Dalam ayat di atas ada dua kata yang menarik. Yang pertama adalah kata perintah udkhulû (masuklah kalian), dan yang kedua adalah istilah as-silm(u), yang merupakan sinonim dari as-salãm(u) dan al-islmãm(u), alias agama Islam.
Perintah “masuk” yang dikaitkan dengan “agama Islam” tentu mengesankan bahwa agama Islam itu adalah sebuah “lembaga”, tepatnya sebuah “organisasi”. Kenyataannya, secara keseluruhan para pakar menyatakan bahwa Islam mempunyai sebuah kredo (creed) alias sistem kepercayaan, yaitu syahadat(kesaksian; ikrar) bahwa “tiada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah Rasulullah”.
Bila dikaji secara mendalam, syahadat ini bukan hanya pengakuan atas Allah sebagai pencipta dan penguasa serta Muhammad sebagai rasulNya tapi sekaligus juga pengakuan atas sebuah prosedur.
Prosedur tersebut mencakup dua hal. Pertama, dari sisi organisasi, syahadat pada hakikatnya adalah prosedur pendaftaran diri sebagai anggota komunitas muslim. Dilihat dari sisi ini, yang disebut syahadat itu tentu bukan sebuah pengakuan pribadi belaka, tapi harus dilakukan di hadapan orang lain, supaya orang yang bersangkutan bisa dituntut pertanggung-jawabannya, dan sebaliknya orang-orang yang menyaksi-kannya juga bisa diharapkan untuk memberikan dukungan dan bantuan yang dibutuh-kannya, karena pada hakikatnya menjadi muslim itu tidak bisa dilakukan sendirian, dan kenyataannya Islam adalah sebuah agama masyarakat, bukan agama perseorangan.
Kedua, dari sisi ilmiah – dan ini yang tersulit – syahadat tersebut mewakili “sudut pandang ilmu” (scientific approach). Yaitu bahwa untuk menjadi muslim itu seseorang harus menyadari bahwa Allah menurunkan ajaran Islam melalui Nabi Muhammad, yang bukan hanya berkedudukan sebagai penyampai risalah (missi; tesis) tapi juga sebagai prototipe alias teladan dari perwujudan pribadi muslim yang dimaksud oleh Allah.
Bahkan lebih lanjut, karena keislaman itu bukan sekadar “urusan pribadi” untuk menyatakan hubungan batin seseorang dengan Allah saja, maka keteladanan Rasulullah saw juga tidak terbatas hanya pada akhlak pribadinya, tapi juga meluas pada masyarakat yang dibentuknya. Tegasnya, setiap orang yang menyatakan diri sebagai muslim pada hakikatnya dituntut peran sertanya dalam membentuk sebuah masyarakat yang Islami, yang berpola pada masyarakat yang pernah dibentuk Rasulullah saw.
Aspek itulah yang harus digarisbawahi ketika berbicara tentang perintah “masuklah kalian ke dalam agama Islam secara kãffah“. Jadi ini bukan masalah sikap batin belaka, tapi masalah integritas setiap pribadi muslim terhadap komunitasnya.
Pertanyaan kita sekarang adalah: “Komunitas muslim yang mana yang harus kita masuki?”
Bila yang disebut komunitas (= jama’ah) muslim itu kita petakan berdasar negara-negara di dunia ini dengan penduduk muslim terbanyak, jelas komunitas muslim kita adalah komunitas muslim (negara) Indonesia. Tapi kenyataannya kaum muslimin Indonesia (dan begitu juga di negara-negara lain) bukanlah sebuah komunitas, tapi banyak komunitas. Jelasnya, kaum muslimin di seluruh dunia bukanlah sebuah kaum yang utuh, tapi terpecah-pecah menjadi banyak mazhab. Bila menurut sebuah Hadis pecahan-pecahan itu berjumlah “73″,[2] seorang peneliti konon menemukan data bahwa jumlah mazhab-mazhab itu mencapai 3000an!
Bila demikian, lantas ke dalam “Islam” yang mana diri ini hendak diceburkan?
Lenyapnya Islam warisan rasul
Ketika Allah menurunkan wahyu terakhirNya,[3] yang menegaskan bahwa agama yang diajarkanNya telah sempurna, dan dengan demikian anugerahNya telah dianggap cukup, dan Ia telah menyatakan Islam sebagai agama yang diridhaiNya, Islam yang manakah gerangan yang dimaksud?
Tentu Islam yang dimaksud adalah Islam yang dijalankan oleh Rasulullah saw, para sahabat beliau, dan umat yang menjadi warga negara Madinah.
Setelah Rasulullah wafat, tampil Abu Bakat sebagai pengganti beliau. Abu Bakar kemudian digantikan oleh Umar, Umar digantikan Utsman, dan Utsman digan-tikan oleh Ali bin Abu Thalib.
Suksesi (pergantian pemimpin) menjadi masalah terbesar yang timbul setelah ketiadaan Rasulullah. Para khalifah setelah Abu Bakar (Umar, Utsman, Ali), semua wafat karena dibunuh. Dan Khalifah Ali rupanya merupakan benteng terakhir yang berperan sebagai pengawal Islam warisan Rasulullah. Setelah Ali tiada, umat Islam terpecah menjadi tiga kelompok; yaitu kelompok pengikut Ali (Syi’ah), kelompok pendukung Mu’awiyyah (Murji’ah), dan kelompok yang memisahkan diri dari kelompok Ali (Khawarij).
Perpecahan karena masalah politik itu mengawali timbulnya perpecahan teologis. Muncullah aliran-aliran Sunni, Syi’ah, Mu’tazilah, dan lain-lain. Pertemuan umat Islam dengan berbagai filsafat Yunani pun membawa pengaruh yang lain, yang semakin meramaikan khilafiyah (perbedaan pendapat) di kalangan umat Islam. Mazhab-mazhab pun tumbuh seperti jamur.
Islam warisan Rasulullah, ibarat sebidang tanah, telah dipecah menjadi kavling-kavling banyak mazhab, yang masing-masing membentengi kavling mereka dengan tembok-tembol yang tebal dan tinggi. Sejak saat itulah “bersyahadat” menjadi orang Islam tidak lagi menjadi tanda pengenal yang jelas, sebelum ditambahi dengan embel-embel nama mazhab. Dan bisa jadi dua muslim yang duduk sebangku dalam sebuah kendaraan tiba-tiba tidak lagi merasa bersaudara setelah keduanya sama-sama tahu bahwa mereka berbeda mazhab!
Islam Indonesia
Semula para ahli menyebutkan bahwa Islam masuk ke  Indonesia  pada  abad ke-13 M. Belakangan mereka menyatakan hal itu  terjadi pada abad ketujuh atau kedelapan Masehi. Ada pula yang memastikan  bahwa Islam mulai merambah Indonesia pada tahun 717 M.
Jangan  dilupakan bahwa Islam yang masuk ke  Indonesia  itu, bila terjadi pada tahun 717 M (abad ke-8) adalah Islam yang sudah diputar-balik  oleh Muawiyah dan antek-anteknya.  Korbannya  yang pertama adalah sebuah kerajaan Melayu Kuno yang berpusat di Jambi dan  Riau, yang semula beragama Buddha, alias sebagai  agen bagi dinasti yang berkuasa di Tiongkok.
Muawiyah  menyulap ajaran Islam menjadi madzhab Sunni  alias Ahlu Sunnah Wal-Jama’ah, yang pada hakikatnya melestarikan  adat-istiadat Arab. Masuknya Islam ke Indonesia bukanlah karena  motivasi  iman (yang haqq/benar), tapi demi kepentingan imperialisme,  yaitu untuk mengeruk keuntungan material dari bangsa-bangsa yang dikuasai. Perlu dicatat bahwa pada waktu itu perdagangan rempah-rempah Indonesia  dikuasai oleh Cina (Dinasti Tang).  Untuk  mengalahkan mereka, Muawiyah mengirim armadanya ke Indonesia melalui kerajaan Melayu Lama. Tujuannya adalah merampas dominasi Cina atas  bisnis rempah-rempah.  Selain mengutus tentara, Muawiyah  juga  mengirim ulama-ulamanya ke Jambi dan Riau. Hasilnya, raja Jambi masuk  Islam.  Kemudian, pada tahun 725 M Raja Jambi menundukkan  kerajaan Jepara, dan mulai saat itu Raja Jepara pun masuk Islam.
Penguasaan Arab atas Jambi membuat Cina marah, karena  lahan bisnis  mereka direbut. Maka pada tahun 727 M kerajaan Jambi  dihancurkan  tentara Cina, yang dibantu bajak laut Cina dari  Selat Malaka.
Di  atas puing-puing kerajaan Jambi itulah  Cina  mendirikan kerajaan baru yang kelak dikenal sebagai Sriwijaya, dengan ibukotanya  yang terletak di Palembang. Kerjaan Sriwijaya maju  pesat sehingga sempat tampil sebagai pusat agama Buddha.
Sisa pasukan Jambi melarikan diri ke Sumatera Barat, dan selanjutnya mendirikan kerajaan Pagar Ruyung. Di situ mereka melestarikan ‘ajaran Islam’.
Ketika  Dinasti Umayyah ditaklukkan Dinasti  Abbasiyah  pada pertengahan abad ke-11 M, Islam masuk ke Indonesia melalui  Aceh. Sementara Islam dari Cina pun masuk pula ke daerah Banten dan Jayakarta,  melalui  tentara yang dipimpin Jenderal  Samphobo  yang bermarkas di Ancol. Masjid yang dibangunnya sekarang menjadi  kelenteng Ancol. Perlu dicatat bahwa Islam yang masuk kali ini adalah  Islam versi Syi’ah, yang mengembangkan ajaran tentang  wali habib,  sayyid, dan sebagainya. Para da’i mereka umumnya  mengaku sebagai  keturunan  Nabi Muhammad. Merekalah  yang  mengembangkan ajaran Tasauf dengan berbagai versi tarekatnya. Namun pada dasarnya ajaran mereka tidak berbeda dengan ajaran Sunni.
Lengkaplah Islam dari berbagi aliran menyebar di  Indonesi berbaur dengan ajaran Animisme, Hindu, dan Buddha yang telah  lebih dulu masuk. Alhasil, agama Islam di Indonesia tumbuh  sebagai  Islam  yang  mempunyai warna tersendiri, yakni  gado-gadi  antara Arabisme  Sunni-Syi’ah, Animisme, Hindu, dan Buddha.  Selanjutnya lahirlah Islam Kejawen alias Aliran Kebatinan, yang mewakili  kelompok  ’netral’. Sedangkan kelompok yang menentang Islam  secara tegas, di timur membentuk agama Hindu Bali serta masyarakat Tengger, dan di barat melahirkan kelompok Baduy.
Kesimpulannya, Islam yang masuk ke Indonesia bukanlah  Islam yang berdasar Quran berpola Rasul, tapi merupakan Islam yang  sudah terkontaminasi (tercemar) oleh Arabisme (Sunni) dan  Iranisme (Syi’ah), yang selanjutnya berbaur dengan berbagai paham yang ada di Indonesia, yaitu Animisme, Javanisme, Hindu-isme, Buddhisme dan lain-lain.
Penutup
Nabi Muhammad diutus Allah – dengan membawa Al-Qurãn – untuk menyampaikan missi perdamaian ke tengah masyarakat Arab yang terpecah belah dan saling baku hantam satu sama lain. Pada saat yang sama, dunia di sekeliling tanah Arab juga diperebutkan oleh dua blok yang saling bermusuhan, yaitu Blok Barat (Romawi) dan Blok Timur (Persia).
Dalam perjuangan dakwah yang makan waktu sekitar 20 tahun, Nabi Muhammad berhasil mendamaikan dan mempersatukan bangsa Arab. Agama Islam kemudian berkembang ke seluruh dunia. Tapi di balik perkembangan itu rupanya ada kepentingan lain yang turut bermain. Semangat dakwah berbaur dengan syahwat politik, kepentingan dinasti, mazhab, dan lain-lain, yang pada akhirnya mengaburkan missi perdamaian itu sendiri. Karena itulah Islam tidak lagi tampil sebagai sebuah kekuatan yang membanggakan, dan yang disebut umat Islam menjadi identik dengan komunitas-komunitas atau bangsa-bangsa yang terpuruk dalam berbagai bidang kehidupan.
Keadaan itu tidak akan pernah bisa diperbaiki bila kita, yang mengaku umat Islam, tidak memiliki semangat perintis dan pejuang untuk merekonstruksi Islam ke dalam bentuk awalnya, yaitu Islam yang membuat kita bersatu dalam kedamaian.
Umat Islam yang bersatu tentu akan menjadi kekuatan yang mempunyai posisi tawar, dan karena itu akan bisa pula menyumbangkan peran aktifnya dalam menciptakan dunia yang damai.

[1] يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
[2] Menurut para ahli bahasa Arab angka tujuh dalam bahasa Arab sering digunakan untuk menyebut jumlah yang banyak.
[3] Bagian dari surat Al-Ma’idah ayat 3:  اليوم أكملت لكم دينكم وأتممت عليكم نعمتي ورضيت لكم الإسلام دينا

Tidak ada komentar:

Posting Komentar