Minggu, 07 Agustus 2011

NAPAK TILAS ' SORGA ATAU JANNAH ' DALAM FAKTA NABI ADAM AS ?

Ini saya bawa foto copy dari beberapa tulisan yang berisi perdebatan tentang letak sorga Adam di sebuah majalah Islam.

Apa inti perdebatan mereka?

Satu pihak mengatakan letak sorga Adam di alam akhirat, pihak lain mengatakan letak sorga Adam ada di dunia ini. Mereka tampil dengan para pendukung masing-masing, yang ikut meramaikan perdebatan itu melalui rubrik surat pembaca. Untuk jelasnya, saya kira, anda harus membacanya dulu.

Setelah itu?

Seperti biasa, saya ingin anda membuka wawasan saya melalui jawaban-jawaban anda untuk pertanyaan-pertanyaan saya.

O, begitu ya? Baik, baik. Saya baca dulu ya!

Allah membuat makar

Hm, jadi… satu pihak mengatakan bahwa letak sorga Adam itu di akhirat sana, tepatnya di Jannatu-Na’îm. Atau, bila orang tidak bisa menerima bahwa letaknya di akhirat, yang jelas tempat Adam diciptakan dulu bukanlah di bumi kita ini.

Pokoknya di alam lain lah. Begitu kan maksudnya?

Iya. Dan, di mana pun itu, namanya tetap sorga atau jannah. Tapi, walau diciptakan di sorga, tujuan awal Allah tetaplah akan menurunkan Adam ke dunia ini. Nah, coba baca! Di sini ada alasan yang diajukan, katanya, berdasar tafsir atas surat Al-Baqarah ayat 30. “Karena Allah menciptakan Adam di sorga (jannah), maka jika Adam tetap tinggal di sorga, rencana Allah untuk menjadikan Adam sebagai khalifah di bumi akan gagal. Oleh karena itu Allah membuat makar (taktik) agar benar-benar Adam menjadi khalifah di bumi. Jika tanpa kesalahan Adam begitu saja disuruh turun dari sorga ke dunia, tentu Adam akan berhujjah (berdalih), apa sebabnya ia disuruh turun dari sorga.”

Jadi, Allah membuat makar atau taktik, atau mengakali Adam supaya ia bisa diturunkan dari sorga ke bumi tanpa protes?

Ya. Kira-kira maksudnya begitu.

Kok rasanya sulit diterima akal bahwa Allah harus berbuat seperti itu!

Iya. Seperti yang sering kita dengar dan baca. Setelah diciptakan, Adam bersama istrinya, Hawa, tinggal di sorga. Di situ mereka boleh makan apa saja, kecuali buah dari sebatang pohon, yaitu buah khuldi. Tapi kemudian mereka digoda oleh iblis, sehingga akhirnya mereka memakan buah terlarang itu. Setelah itu, mereka diusir dari sorga. Begitu kan?

Ya! Itulah kisah Adam dan Hawa yang saya ketahui selama ini.

Dan kisah itulah rupanya yang dikatakan oleh penafsir di atas sebagai makar atau taktik untuk membuat Adam turun ke bumi, karena ia harus menjadi khalifah di bumi.

Wah, terus terang, saya bingung. Bila itu yang dimaksud sebagai taktik untuk membuat Adam turun ke bumi, berarti penggalan kisah sebelumnya, yaitu pembangkangan iblis atas perintah sujud juga merupakan bagian dari taktik Allah.

Ya, otomatis, logikanya begitu.

Terus, menurut Anda, tafsir itu bisa dibenarkan atau tidak?

Wah! Pertanyaan sulit, tapi menarik. Bagaimana sebuah tafsir bisa dibenarkan atau tidak? Siapa yang berwenang membenarkan atau tidak? Apa alat ukurnya?

Bila yang ditanyakan “siapa”, tentu jawabannya “ahli tafsir” kan? Dan bila yang ditanyakan apa “alat ukur”-nya, jawabannya tentu ilmu tafsir kan?

Justru di situ masalahnya! Orang yang mengajukan penafsiran di atas itu, tentunya seorang ahli tafsir, dan tentu ia pun mengenal ilmu tafsir.

Tapi, mengapa hasil penafsirannya membingungkan? Apakah… karena saya ini awam dan bodoh?

He he… Seandainya benar bahwa anda awam tentang ilmu agama, dan juga bodoh,… justru karena itulah seorang penafsir – melalui tafsirnya – berkewajiban membantu anda untuk mendapatkan penjelasan yang sesuai dengan daya nalar anda. Bila tidak demikian, berarti sang panafsir telah gagal.

Maksud anda gagal memberi penjelasan?

Ya. Bisa jadi ia gagal memberi penjelasan, karena caranya yang salah. Bisa jadi juga kegagalan itu terjadi karena ia sendiri sebelumnya telah gagal memahami sesuatu (ayat; surat) yang ditafsirkan.

Antara sakral dan profan

Ini pendapat yang satu berbunyi begini, “Keyakinan di atas itu (bahwa Adam diciptakan di sorga) cuma timbul dari kalangan yang beranggapan bahwa mereka itu keturunan manusia sorga. Sebagai ketgurunan manusia bumi pun, kita bisa masuk sorga-Nya. Jadi, letak sorga Adam itu di bumi. Kesalahan mereka yang menganggap sorga Adam bukan di bumi hanyalah karena membuat sakral sesuatu yang sebenarnya profan. Bukan mustahil kita pernah terjebak oleh kekeliruan memahami makna-makna Al-Qurãn, yang profan disakralkan, yang sakral diprofankan.”

Hm, begitu ya? Saya kurang mengerti maksudnya.

Coba saya lanjutnya membacanya… Di sini dia mengatakan bahwa sorga Adam adalah suatu yang profan, karena terletak di bumi ini; dan bukan sesuatu yang sakral, karena terletak di akhirat. Ia bilang, ia sependapat dengan Mu’tazilah, Qadariyah, Abu Hanifah, Abu Manshur Al-Maturidi, dan Abu Muslim Al-Asfahani, yang berkeyakinan bahwa sorga Adam hanya satu kebun di bumi. Di situlah Adam bersama istrinya mengenyam kenikmatan. Ia bahkan menegaskan bahwa “berbicara tentang Adam dengan jannahnya berarti berbicara nenek moyang manusia dengan lingkungan alamnya.”

Ha ha! Lucu juga ya! Bagi saya, berdebat tentang letak sorga Adam sama saja dengan berebut pepesan kosong; yang tidak ada relevansinya dengan tugas-tugas mu’min.

O, ya? Mengapa?

Pertama, pihak yang mengatakan sorga Adam di akhirat, tidak bisa memastikan di mana letak persisnya, karena di mana letak akhirat pun mereka belum tahu! Coba anda renungkan! Orang yang meletakkan sesuatu yang tidak diketahui di tempat yang tidak diketahui, apakah dia itu bukan tukang sulap? Saya kira, itu lebih lucu dari tindakan menggantang (menakar) angin!

Hmh, ya, ya. Saya pikir,… yang mengatakan letak sorga Adam di bumi itu juga tidak bisa menunjukkan di mana lokasi persisnya.

Ya! Padahal, kalau memang letaknya di bumi, tentu kita bisa melacaknya. Kita bisa telusuri bekas-bekasnya. Misalnya… mungkin kita bisa menemukan pohon khuldi yang terlarang itu, hingga kita bisa memastikan bentuk buah khuldi itu seperti apa!

Ha ha! Kalau menurut orang Barat sana, buah terlarang itu kan apel; sehingga mereka menyebut jakun sebagai Adam’s apple. Maklum, waktu Adam sedang asyik makan, ia kepergok oleh Allah, sehingga apel yang digigitnya tersangkut di tenggorokan!

Ha ha! Itu yang terjadi pada Adam. Pada Hawa, lain lagi ceritanya. Dia menelan dua buah apel, yang kemudian menjelma jadi buah dada!

Kalau begitu, bagi mereka, kisah Adam dan Hawa itu memang tak ada nilai sakralnya ya? Malah jadi seperti komedi!

Yaa sama saja dengan para penafsir kita tadi. Mereka juga kan sama-sama mengajukan hal-hal yang tidak didasari ilmu, hanya menduga-duga, sehingga kadang-kadang menjadi lucu juga.

Terus, bagaimana pendapat anda tentang – katanya – makna-makna Al-Qurãn ada yang sakral dan profan?

Saya tidak tahu persis apa maksudnya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), sakral berarti suci atau keramat; dan profan adalah kebalikan dari sakral, yaitu tidak suci; tercemar; kotor, dan sebagainya. Bisa juga berarti duniawi. Bila dikaitkan dengan makna-makna Al-Qurãn, saya tidak begitu yakin harus dibagi menjadi sakral dan profan. Yang jelas, makna-makna itu harus dipahami dan diajarkan sacara objektif, sebagaimana adanya.

Tidakkah yang dimaksud dengan makna-makna sakral itu adalah makna-makna yang – katanya – hanya bisa diketahui oleh Allah sendiri?

Ha ha! Ini adalah pernyataan kuno, yang justru tidak pernah dikatakan oleh Rasulullah!

Maksud anda?

Saya belum pernah menemukan hadis yang mengatakan bahwa dalam Al-Qurãn ada ayat-ayat tertentu yang maknanya hanya diketahui oleh Allah sendiri!

Lho, bukankah di dalam Al-Qurãn ada ayat-ayat yang hanya terdiri dari huruf-huruf yang tidak membentuk kata?

Mungkin yang anda maksud itu adalah huruf-huruf yang disebut huruf-huruf muqattha’ah, seperti alif-lãm-mîm dan lain-lain itu.

Ya!

Memang hampir sertus persen ulama, dari dahulu sampai sekarang, sepakat mengatakan bahwa pengertian huruf-huruf itu hanya diketahui oleh Allah. Tapi, bukankah mereka juga sepakat bahwa Al-Qurãn itu adalah petunjuk?

Ya!

Terus, menurut anda, apakah huruf-huruf itu tidak termasuk petunjuk?

Waah, saya tidak tahu itu!

Tidak apa-apa anda tidak tahu. Tapi paling tidak, logika kita bisa mengatakan bahwa Al-Qurãn sebagai petunjuk itu tentu tidak mengecualikan huruf-huruf tersebut.

Iya sih. Tapi, kalau ternyata ulama pun mengatakan hanya Allah yang tahu makna huruf-huruf itu, kita mau bagaimana?

Yaa, seharusnya kita terus berusaha menemukan makna-maknanya! Setidaknya, logika kita tidak bisa menerima bila sebuah petunjuk hanya bisa dipahami oleh pemiliknya sendiri. Padahal petunjuk itu diberikannya kepada kita. Selain itu, saya juga belum pernah membaca sabda Rasulullah yang sama atau mirip dengan anggapan ulama itu.

Lalu, menurut anda, apa arti huruf-huruf itu?

Saya tak mau membahasnya di sini.

Wah, mengelak!

Bukan mengelak. Kita kan sedang membahas tentang sorga Adam.

Al-Qurãn sebuah gagasan

Baiklah. Kembali ke soal sorga Adam… Menurut anda, membahas di mana letak sorga Adam itu tidak bermanfaat ya?

Untuk sekadar asah otak, barangkali ada manfaatnya juga. Tapi, seperti yang anda lihat, pembahasan topik ini hanya berakhir pada kebuntuan. Lain lagi soalnya bila pembahasan dipusatnya pada apa dan bagaimana sorga Adam itu.

O, ya? Dari mana memulainya?

Pertama, ketika kita membahas tentang Adam, jangan dilupakan bahwa ia pernah diperdaya iblis. Kita tahu pula bahwa setelah menipu Adam, iblis tidak lantas merasa puas. Setelah dimarahi dan dikutuk Allah, ia malah minta ijin untuk menyesatkan manusia.

Dan Allah memberinya ijin?

Ya. Anda bisa memeriksa surat Al-A’rãf ayat 15. Ini yang harus kita perhatikan. Iblis diberi kebebasan untuk melakukan makar terhadap manusia dengan berbagai cara, bahkan dari ‘arah’ yang tidak kita ketahui; karena mereka melihat kita dan sebaliknya kita tidak melihat mereka (Al-A’rãf ayat 27). Nah! Saya khawatir kalau-kalau perdebatan tentang letak sorga Adam itu pun, atau perdebatan tentang hal-hal tertentu lainnya, semua timbul karena kecerdikan iblis dalam hal memalingkan perhatian kita dari Al-Qurãn, terutama dari nilai-nilai, fungsi-fungsi, dan tujuan-tujuan Al-Qurãn yang sebenarnya.

Apakah – dalam perdebatan itu – anda melihat isyarat-isyarat ke arah seperti yang anda katakan itu?

Ya. Setidaknya, saya melihat satu hal yang mengherankan.

Misalnya?

Misalnya, mereka bcerdebat tentang sorga Adam tanpa mengungkap semua ayat Al-Qurãn yang membicarakan Adam! Padahal, di situlah terdapat kunci untuk memahami segalanya tentang Adam dan sorganya.

Hm, ya ya! Saya baru sadar. Sebelumnya saya tidak memperhatikan hal itu. Kemudian, bila mereka tidak membahas ayat-ayat yang berbicara tentang Adam, bagaimana mereka bisa melakukan penafsiran?

Agaknya, ‘memahami’ Al-Qurãn dengan menggunakan dongeng-dongeng dari luar Al-Qurãn telah menjadi kecenderungan banyak orang (panafsir) selama berabad-abad. Sampai sekarang! Itu satu segi. Segi lainnya, mereka bahkan menganggap atau memperlakukan Al-Qurãn itu sendiri sebagai sebuah sumber dongeng.

Jelasnya?

Baru-baru ini, di sebuah toko buku, saya temukan sebuah buku cerita bergambar yang diterbitkan sebagai bacaan bagi anak-anak. Kalau tak salah, judulnya Sapi Betina Ajaib. Katanya, sumber cerita buku tersebut adalah sebuah tafsir. Tepatnya tafsir tentang kisah yang terdapat dalam surat Al-Baqarah.

Dan, anda lihat, memang sumbernya surat Al-Baqarah?

Ya. Tepatnya, sandarannya memang surat Al-Baqarah. Tapi keseluruhan ceritanya, saya kira adalah karangan sang penafsir. Malah ada yang mengatakan bahwa sumber ceritanya sebenarnya berasal dari kitab Perjanjian Lama.

Waah! Kalau begitu, apakah itu bukan sebentuk penyesatan terhadap umat?

Saya kira, iya. Disengaja atau tidak, itu merupakan bentuk penyesatan.

Lantas, bagaimana seharusnya menyikapi Al-Qurãn?

Al-Qurãn adalah sebuah gagasan yang ditawarkan Allah kepada manusia yang mau hidup mengikuti bimbinganNya. Nah, karena Al-Qurãn adalah sebuah gagasan, maka marilah kita pahami dia sebagai gagasan.

Dari mana memulainya?

Bisa dimulai dari pertanyaan: Bila Al-Qurãn sebuah gagasan, gagasan tentang apakah dia? Setelah pertanyaan ini terjawab, bileh dilanjutkan dengan pertanyaan berikutnya, misalnya: Bagaimana menerapkan gagasan ini? Bila pertanyaan kedua sudah terjawab, lanjutnya dengan pertanyaan susulan, misalnya: Di mana gagasan ini bisa diterapkan?

Baiklah, saya ikuti anjuran anda. Bila Al-Qurãn sebuah gagasan, gagasan tentang apakah dia?

Gagasan tentang manusia, yang harus hidup menjadi hamba Allah, mengabdi hanya kepada Allah.

Bagaimana caranya?

Terapkan Al-Qurãn dengan mengikuti keteladanan Rasulullah.

Di mana?

Di dunia ini. Di dalam kehidupan kita sekarang.

Lalu, apa yang akan kita dapatkan?

Sorga!

Setelah kita mati?

Bukan hanya setelah kita mati, tapi juga mulai sekarang, di dunia ini.

Maksud anda?

Al-Qurãn adalah gagasan untuk ‘menciptakan’ sorga di dunia ini. Oleh manusia.

Wah, saya tidak mengerti!

Ha ha! Mari kita kembali pada kisah Adam dengan sorganya. Tapi bahan kisahnya kita ambil dari ayat-ayat Al-Qurãn.

Baiklah. Saya ikut saja.


[BERSAMBUNG]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar