Kamis, 18 Agustus 2011

A STUDY OF ÎMÃN (1): PANDANGAN DUNIA TENTANG ÎMÃN



Tengkorak3
M. Quraish Shihab, salah satu bukunya, dan seorang putrinya.
Secara umum orang mengatakan bahwa îmãn terletak di hati, sehingga dengan demikian îmãn adalah urusan hati; dan karena fungsi hati adalah untuk mempercayai, maka îmãn  adalah soal kepercayaan.
Perhatikan lah doktrin berikut ini, yang dikemukakan para pakar agama Islãm kepada para mahasiswa perguruan tinggi umum:
Iman mempunyai 2 (dua) arti: percaya dan kepercayaan. Arti yang pertama menggambarkan tentang sikap mental atau jiwa dari seseorang yang mempercayai dan meyakini sesuatu, sedang arti yang kedua menunjuk kepada sesuatu yang dipercayai itu. Kepercayaan dalam Islam tersimpul dalam rukun Iman yang enam, yaitu: Percaya kepada Allah, Malaikat-Malaikat-Nya, Kitab-Kitab-Nya, Rasul-Rasul-Nya, Hari Akhirat dan Qadha’-Qadar-Nya.
Iman ialah masalah ghaib yang tidak dapat dijangkau dengan akal dan pengalaman empiris. Ia hanya dapat diyakini dengan hati atau rasa dan bukan dengan rasio/otak. Namun demikian rasio atau akal dapat dijadikan sarana untuk mencapai iman dan memperteguh iman, misalnya dengan melalui pemikiran-pemikiran filosofis terhadap alam semesta termasuk manusia.
Sikap iman adalah sikap menerima tanpa reserve, tanpa tanya dan tanpa ragu, serta memiliki sikap penyerahan diri dan kerelaan berkorban sebagai konseksuensi dari imannya. Oleh sebab itu sikap iman adalah perlambang dari kebaikan yang sangat tinggi dan pertanda dari keutuhan pribadi manusia.[1]
Perhatikan betapa kontradiktifnya pernyataan-pernyataan di atas! Dikatakan bahwa iman tidak dapat dijangkau dengan akal dan peng-alaman empiris, tapi dikatakan pula bahwa rasio atau akal dapat dijadikan sarana untuk mencapai iman dan memperteguh iman. Bukankah penggunaan rasio atau akal sebagai sarana itu berarti melibatkan rasio dan akal dalam suatu peristiwa empiris?
Selain itu benarkah sikap iman adalah perlambang dari kebaikan yang sangat tinggi dan pertanda dari keutuhan pribadi manusia? Lalu bagaimana dengan orang-orang yang disebut di dalam Al-Qurãn “beriman dengan yang bãthil?” Apakah mereka juga melakukan kebaikan yang sangat tinggi dan mempunyai kepribadian yang utuh? Kita tidak berani mengatakan bahwa para pakar tersebut tak pernah membaca Al-Qurãn, tetapi rupanya mereka lupa atau entah mengapa.
DR. Quraish Shihab, ahli ilmu-ilmu Al-Qurãn   lulusan Univer-sitas al-Azhar, Mesir (1982) menulis dalam harian Pelita tanggal 29 Januari 1992:
… akal seringkali memunculkan aneka pertanyaan yang dapat menghadang kemantapan iman. Tentu ada yang puas dengan satu jawaban, tetapi bagaimana yang tidak puas? Apakah iman harus terus dipertahankan? Dengan kata lain, apakah yang diimani harus dipahami?
Kemudian ia mengutip dalil Soren Aabye Kierkegaard filsuf Denmark yang mengatakan: Anda harus percaya bukan karena tahu, tapi karena tidak tahu.
Kalau begitu, kita ajukan pertanyaan  sebagai berikut:
  1. Bila yang kita imani tidak perlu dipahami, beranikah kita mengatakan bahwa Al-Qurãn  itu tidak perlu dipahami tapi cukup dipercaya saja?
  2. Dalam kehidupan sehari-hari, bisakah kita mempraktikkan prinsip bahwa “kita percaya bukan karena tahu tapi karena tidak tahu?” Bisakah – misalnya –  kita mempercayai orang yang baru kita temui di jalan, lalu menyuruhnya mengan-tarkan uang ke bank?
Bila pertanyaan pertama dijawab dengan “ya”, maka Al-Qurãn  itu bukan petunjuk, bukan pedoman hidup, tapi cuma semacam jimat. Bila kenyataannya demikian, maka pantaslah orang-orang yang mengaku Mukmin/Muslim itu kebanyakan tidak mengenal ajaran agama mereka. Pantas lah bila pengakuan mereka tidak sama dengan kelakuan dan perlakuan mereka. Lalu apakah yang bisa diharapkan dari mereka? Akibat yang akan timbul adalah seperti yang dikatakan oleh nabi Muhammad: Islam hanya tinggal nama, Al-Qurãn hanya tinggal tulisannya, masjid-masjid ramai tapi sepi dari petunjuk.”
Bagaimana pula bila pertanyaan kedua dijawab dengan “ya”? memang bisa saja kita mempercayai sesuatu yang tidak kita ketahui. Misalnya, kita percaya bahwa bumi ini bulat dan berputar mengelilingi matahari. Tapi kepercayaan ini tidak timbul secara mendadak. Kita percaya karena pernah sekolah, mendengar keterangan darai guru, membaca buku-buku, melihat gambar-gambar, dan banyak lagi masukan yang akhirnya membentuk kepercayaan, membentuk opini. Alhasil, kepercayaan kita tentang bumi itu bisa dikatakan karena tahu juga, meskipun tidak tahu secara langsung.
Kita tidak bisa percaya tanpa syarat. Tidak bisa percaya tanpa minta pembuktian, baik pembuktian langsung atau melalui perantara. Misalnya, kita percasya tentang adanya Allah, karena melihat bukti-bukti berupa segala hasil ciptaan-Nya.
Quraish Shihab juga mengutip gambaran hakikat iman dari seorang pakar bernama al-Aqqad, yang mengatakan: “Hakikat iman berbeda dengan hakikat pengetahuan. Iman mempunyai kesamaan dengan rasa kagum … keduanya bersumber dari hati manusia. Dua orang yang setingkat pengetahuannya dapat berbeda tingkat kekagumannya terhadap satu obyek yang sama mereka ketahui, yang pertama mungkin mengaguminya dan yang lain menilainya bioasa-biasa saja. Seorang awam bolehjadi tingkat keimanannya melebihi tingkat keimanan seorang filsuf walaupun ia lebih dalam pengetahuannya.”
Bila demikian, mengapa iman tidak disamakan pula dengan kekafiran, yang juga bersumber dari hati manusia? (Perhatikan Surat Al-Baqarah ayat 6-10). Dua orang yang berpengetahuan setingkat dapat berbeda tingkat kekagumannya pada suatu obyek yang mereka ketahui, karena kagum adalah soal selera. Dua orang yang berpengetahuan sama belum tentu mempunyai pengetahuan yang sama tentang obyek tyersebut. Yang satu mungkin mem-punyai pengetahuan yang luas dan mendalam, yang lain mungkin hanya tahu sedikit saja. Malah bisa kita katakan bahwa rasa kagum, juga “rasa-rasa” yang lain, seringkali tidak mempunyai landasan pengetahuan obyektif.
Kenyataannya memanag demikianlah keadaan iman manusia pada umumnya: tanpa landasan pengetahuan obyektif! Padahal Rasulullah menegaskan bahwa orang yang lebih berpengetahuan justru lebih potensial untuk memiliki iman yang mantap. Dalam suatu Hadits, misalnya, dikatakan bahwa ada enam golongan manusia masuk neraka karena enam sebab; di antaranya adalah orang-orang dusun, yang masuk neraka karena kebodohan mereka. Mereka menjadi (tetap) bodoh tentu karena malas menuntut ilmu (Periksa Surat Az-Zumar ayat 9)
Bahkan (dalam Surat Ali Imran ayat 7) Allah menegaskan bahwa pernyataan “Kami beriman (terhadap Al-Qurãn)” hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang berilmu tinggi. Surat Al-Isrã’ ayat 36, juga menegaskan bahwa ilmu harus didahulukan dari sikap ikut-ikutan (percaya sebelum tahu). Ayat ini bahkan bertentangan dengan pernyataan Quraish Shihab dalam tulisannya tersebut bahwa “akal dapat mengetahui fenomena, dapat pula menciptakan pengetahuan, tetapi tidak mampu menciptakan iman.” Bila pernyataan Quraish Shihab ini benar, tentu kita tidak perlu memiliki akal untuk beriman. Tapi itu mustahil sekali. Karena, bukankah bila tanpa akal manusia sama dengan hewan?
Memang aneh, mengapa begitu banyak orang yang mengesampingkan peran akal ketika berbicara tentang iman? Padahal Al-Qurãn sendiri menyebutkan akal dengan berbagai bentuk mor-fologinya paling sedikit dalam 23 Surat. Mengapa kita seperti ingin menceraikan akal dengan iman, sedangkan sang Pencipta sendiri menjadikan keduanya berpasangan?
Anda khawatir kebebasan akal akan merusak iman, dan mengancam keberadaan agama? Kekhawatiran itu hanya boleh ditujukan kepada agama tidak yang sesuai dengan fitrah manusia. Akal yang bebas, bila yang dicarinya memang kebenaran, pasti dapat mene-rima kebenaran agama yang benar. Akal yang bebas tidak bisa ikut-ikutan untuk percaya asal percaya. Sebab kata Ibrahim al-Laqani dalam Nazham Jauharah at-Tauhid, “Orang yang bertauhid hanya ikut-ikutan, imannya tidak akan bebas dari keguncangan.” (Idz kullu man qallada fii tawhidi imanuhu lam yakhlu min tardid).
Al-Qurãn, sumber iman yang hakiki, adalah sebuah kitab yang berasal dari Pencipta manusia, yang paling tahu kemampuan akal manusia, sehingga ia adalah Kitab yang dapat dipahami oleh akal manusia. Karena Allah tidak membebani manusia denbgan beban yang tidak bisa dipikulnya (Al-Baqarah ayat 286). Karena Islam adalah agama yang sesuai dengan fitrah manusia (Ar-Rum ayat 30). Tidak ada yang tidak masuk akal atau tidak bisa dipahami akal dalam agama ini, dalam kitab sucinya (An-Nisa’ ayat 82). Kalau selama ini kita berpandangan sebaliknya, mungkin karena kita tidak mengkajinya sesuai petunjuk-Nya, tapi mengikuti selerea masing-masing (Al-Jatsiyaah ayat 23).
Dengan doktrin yang mengatakan bahwa agama adalah urusan hati, dan bukan urusan akal, kita dipaksa untuk percaya saja pada pernyataan yang paling ganjil pun. Kita diharuskan membiarkan akal meronta seperti cacing kepanasan sampai ia mati. Padahal konon agama diturunkan untuk petunjuk, bukan untuk jadi teka-teki yang cuma bisa  dijawab oleh Allah sendiri.
Karena akalnya tidak mendapat jawaban dari agama, ada sebagian orang menuduh agama sebagai candu atau penjara bagi akal manusia. Salahkah mereka? Barangkali di antara mereka ada beberapa gelintir orang yang jujur, ingin mendapatkan kebenaran, tapi para ahli agama menutupi kebenaran itu dengan mengatakan bahwa agama bukan urusan akal, bahwa kita harus percaya saja tanpa harus memahami. Al-Islam mahjubun bil muslimin, kata Muhammad Abduh. Kebenaran Islam digelapkan oleh orang Islam sendiri.

[1] Islam untuk Disiplin Ilmu Filsafat/Buku Daras Pendidikan Agama Islam pada Perguruan Tinggi Umum, hal. 195, Tim Penulis : Prof. DR. HM. Rasyidi, Drs. H. Harifuddin Cawidu, Prof. DR. Zakiah Daradjat, Prof. Drs. H.A. Sadali, Teribitan Proyek Pembinaan Pendidikan Agama Islam pada Perguruan Tinggi Umum, Jakarta, 1984.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar