Sabtu, 06 Agustus 2011

SIAPAKAH DA'I YG SESUNGGUHNYA ITU ?

Mulai dari Allah

Tentu saja, da’i yang kita maksud (dalam makna istilahi) adalah pelaku kegiatan da’wah Al-Qurãn. Yaitu orang yang menggemakan ajakan, seruan, panggilan, undangan, tawaran, anjuran untuk hidup dengan Al-Qurãn. Tapi, dari manakah orang itu mendapatkan gagasan (ide) untuk berda’wah? Jawabannya adalah: gagasan untuk berda’wah itu berasal dari Dia yang menurunkan (mengajarkan) Al-Qurãn, yaitu Allah.



Bila demikian, Allah adalah da’i yang pertama?



Ya.



Lantas, da’i yang kedua siapa? Tentu saja dia adalah oknum atau zat yang membawa Al-Qurãn itu dari Allah kepada manusia.



Malaikat Jibril.



Dengan demikian, da’i yang ketiga adalah nabi atau rasul. Tepatnya adalah para nabi atau para rasul.



Dengan demikian pula, Allah, malaikat, rasul adalah para da’i.



Untuk lebih jelasnya, marilah kita lakukan pendataan (analitika) sebagai berikut:



إنّ الله و ملائكته يصلّون على النّبيّ ياأيها الذين ءامنوا صلّوا عليه وسلّموا تسليما



Terjemahan Departemen Agama:



Sesungguhnya Allah, dan malaikat-malaikatnya, bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.



Masalah pada pada terjemahan di atas, adalah: apa yang dimaksud dengan istilah bershalawãt? Dalam penjelasannya, para pakar yang mengerjakan proyek Al Qur’an Dan Terjemahnya mengatakan bahwa “bershalawat” artinya:



Kalau dari Allah berarti memberi rahmat; dari malaikat berarti memintakan ampunan dan kalau dari orang-orang mu’min berarti berdo’a supaya diberi rahmat seperti dengan perkataan: “Allahumma shalli ‘ala Muhammad”.[1]



Terjemahan tersebut, berikut penjelasannya, tampak sangat diwarnai oleh prakonsepsi,[2] selain juga mengandung kelemahan pada segi bahasanya, khususnya tentang istilah “bershalawat”. Shalawãt (صلوات) adalah jamak dari shalat (صلوة), dan shalat itu sendiri adalah masdar dari kata kerja shallã (صلّى) — yushallï (يصلّى). Pada ayat di atas terdapat kata yushallûna (يصلّون) yang merupakan jamak dari yushallï. Karena kata kerjanya jamak, maka otomatis masdarnya menjadi jamak. Bila tunggal (yushallï) masdarnya shalat, maka bila jamak masdarnya shalawãt.



Selanjutnya kata shalawãt inilah yang digunakan secara terus-menerus sebagai suatu istilah yang tidak pernah dijelaskan pengertian harfiahnya.



Sebagai suatu istilah, para pakar tafsir Dep-Ag itu, seperti juga para juru tafsir umumnya (bukan hanya orang Indonesia), menggambarkan (seolah-olah) shalawãt pada ayat di atas itu mempunyai tiga pengertian, yang satu sama lain berbeda. Kemudian, bila kita lakukan telaah (analisis) atas ketiga pengertian itu, ketahuanlah bahwa di sana-sini terdapat pertentangan (kontroversi). Pertama, bila shalat (!) Allah berarti memberi rahmat, mengapa shalawãt malaikat (jamak dari malãk) harus berarti memintakan ampunan, dan shalawãt para mu’min harus berarti memintakan rahmat? Harfiah, rahmat berarti kasih-sayang atau belas kasihan. Bila Allah sudah ‘mencurahkan’ kasih-sayang dan atau belas-kasihan kepada Nabi (Muhammad), kenapa malaikat harus memintakan ampunan lagi? Dan (lucunya!), mengapa pula para mu’min harus memintakan rahmat bagi orang yang sudah diberi rahmat?



Pertanyaan-pertanyaan itu biasanya dijawab oleh para pakar agama (ulama) secara berbeda-beda dan berbelit-belit, sesuai dengan jalan pikiran masing-masing.



Padahal, melalui sebuah Hadits, Nabi Muhammad sudah memberikan penjelasan (tak langsung) atas ayat tersebut. Masalahnya adalah: maukah kita menjadikan Hadits Nabi sebagai alat untuk menjelaskan Al-Qurãn?



Dalam sebuah Hadits dikatakan bahwa shalat adalah doa (الصلوة هي الدعاء), dan seperti telah diuraikan pada bab Pendahuluan, doa (yang benar adalah du’a) adalah salah satu bentuk masdar dari kata kerja da’ã — yad’û. Bentuk masdarnya yang lain adalah da’wah. Telah dipaparkan pula bahwa makna harfiah kedua masdar tersebut pada dasarnya adalah sama, yaitu mencakup pengertian ajakan, seruan, panggilan, undangan, tawaran, anjuran, dorongan, permintaan, permohonan, harapan dan sebagainya.



Jadi, sekali lagi, shalawãt adalah jamak dari shalat dan shalat menurut Hadits adalah du’ã, dan muradif (sinonim) dari du’ã adalah da’wah.



Kemudian, apa yang akan terjadi bila kita gunakan pengetahuan itu untuk memahami ayat di atas?



Pertama, shalat Allah dan shalawãt malaikat adalah sama. Yaitu sama-sama merupakan du’ã atau da’wah kepada manusia. Lebih tepatnya lagi, Allah melalui malaikatnya menyampaikan du’ã atau da’wah kepada Nabi, dan Nabi menyampaikan lagi du’ã atau da’wah Allah itu kepada manusia yang mau menerimanya.



Kedua, berdasar kenyataan yang pertama, maka perintah Allah kepada para mu’min untuk ber-shalawãt kepada Nabi pada hakikatnya adalah perintah untuk menyambut du’ã atau da’wah Allah melalui Nabi.



Lalu, melalui apakah gerangan Allah menawarkan du’ã atau da’wah yang disampaikan melalui malaikat itu? Jawabnya adalah: melalui wahyu, yakni Al-Qurãn.



Alhasil, terjemahan yang benar untuk ayat di atas adalah:



1. Sungguh Allah, melalui malaikatnya, berda’wah (mengajarkan Al-Qurãn, kepada manusia) melalui Nabi. Hai orang-orang yang beriman, berda’wah lah kalian sesuai dengan da’wah Nabi, yakni patuh lah kalian sepatuh-patuhnya (pada teladan Nabi).



2. Sungguh Allah, melalui malaikatnya, berdu’a (menyampaikan suatu harapan kepada manusia) melalui Nabi. Hai orang-orang yang beriman, sambutlah (harapan Allah itu; Al-Qurãn) seperti halnya Nabi (menyam-butnya), yakni pasrahlah kalian sepasrah-pasrahnya (terhadap Allah dengan meneladani Nabi).



Mengapa terjemahannya harus dua? Karena, pada hakikatnya du’ã atau da’wah adalah “si dua satu”. Dikatakan satu, karena keduanya mempunyai kandungan makna yang sama. Dikatakan dua, karena du’ã dan atau da’wah mempunyai dua sasaran. Sasaran yang pertama adalah da’i atau pelakunya (kecuali Allah). Sasaran kedua adalah orang-orang di luar pelaku. Sebagai perbandingan, perhatikanlah hadits berikut ini:



خيركم من تعلّم القرءان وعلّمه



Yang terbaik di antara kalian adalah orang yang mempelajari Al-Qurãn kemudian ia mengajarkannya (kepada orang lain).



Kata ta’allamal-qurãna (mempelajari, mengkaji Al-Qurãn) dalam Hadits ini berarti menda’wahkan Al-Qurãn pada diri sendiri; sementara ’allamahu berarti menda’wahkan Al-Qurãn (yang sudah dipelajari) kepada orang lain.



Dengan demikian, melalui ayat di atas, kita mendapat gambaran tentang siapa saja para pelaku da’wah (da’i) Al-Qurãn itu:



Melalui ayat di bawah ini, kita dapatkan pula keterangan tentang pelaku da’wah yang lain, selain Allah, Malaikat, Nabi, dan para Mu’min:



ولا تنكحوا المشركات حتّى يؤمنَّ ولأمة مؤمنة خير من مشركة ولو أعجبتكم ولا تُنكحوا المشركين حتّى يؤمنوا ولعبد مؤمن خير من ممشرك ولو أعجبكم أولائك يدعون إلى النار والله يدع إلى الجنّة والمغفرة بإذنه ويبيّن ءاياته للناس لعلهم يتذكّرون



Janganlah kalian (lelaki beriman) menikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman; karena seorang wanita budak yang beriman lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia mempesona kalian. Jangan pula kalian (wali wanita beriman) menikahkan (wanita beriman) dengan lelaki musyrik sebelum beriman, karena seorang lelaki budak lebih baik dari lelaki musyrik, walaupun ia mempesona kalian. Mereka semua (dengan kemusyrikan mereka) mengajak kalian ke dalam kehidupan neraka, sementara Allah mengajak kalian ke dalam kehidupan sorga, yakni suatu perbaikan hidup menurut ajaranNya. Demikianlah Dia (Allah) menjelaskan ayat-ayatnya bagi manusia. Mudah-mudahan mereka mau membangun kesadaran (berdasar ajaran Allah).



Jelaslah bahwa da’wah Allah adalah da’wah yang mengajak untuk membangun al-jannah (kehidupan yang baik); sementara da’wah kaum musyrik mengajak kepada yang sebaliknya, yaitu an-nãr (kehidupan yang buruk).



Melalui ayat-ayat berikut ini, kita dapati pula keterangan yang lain lagi, yang membuka wawasan lebih jauh:



هو الّذى يصلّى عليكم وملائكته ليخجكم مِن الظلمات إلى النور وكان بالمؤمنين رحيما …- ياأيها النبيّ إنا أرسلناك شاهدا ومبشّرا ونذيرا – وداعيا إلى الله بإذنه وسراجا منيرا – وبشّر المؤمنين بأنّ لهم مِن الله فضلا كبيرا – ولا تطع الكافرين والمنافقين ودع أذاهم و توكّل على الله وكفى بالله وكيلا.



Dialah (Allah) bersama malaikatnya, yang berda’wah kepada kalian, demi mengeluarkan kalian dari kegelapan (kebodohan) menuju terang (mengenal ilmu yang benar), karena kasih-sayangnya terhadap para mu’min. …



Hai Nabi! Sebenarnya Kami mengutusmu sebagai pewujud (ajaran Allah), penyampai kabar gembira (solusi permasalahan manusia), serta pemberi peringatan.



Yaitu (Kami mengutusmu) sebagai da’i yang mengajak (manusia) hidup mematuhi Allah sesuai dengan kehendak Allah sendiri, yakni (Kami mengutusmu supaya kamu menjadi ibarat) cahaya penerang.



Selanjutnya, sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang beriman bahwa mereka benar-benar mendapatkan anugerah yang mahabesar (karena mereka melaksanakan ajaran Allah).



Karena itu, janganlah kamu mematuhi (da’wah) kaum kafir dan munafik. Hindari jebakan mereka. Bertawakal lah terhadap ajaran Allah, karena sudah cukup (sempurna) lah ajaran Allah itu sebagai andalan. [Surat Al-Ahzab ayat 43, 45-48].



Dalam rangkaian ayat di atas kita dapati gambaran tentang tujuan da’wah secara umum, yaitu mengeluarkan manusia dari kegelapan (= kebodohan tentang ajaran Allah) menuju keadaan terang (= mengetahui ajaran Allah, untuk kemudian menjalankannya). Sedangkan para pelaku da’wahnya bisa diurut mulai dari Allah, Malaikat, sampai Nabi. Selain itu, ada pula da’wah yang dijalankan demi mencapai tujuan sebaliknya, dari terang ke gelap, yang dilakukan kaum kafir dan munafik.



Jelaslah bahwa da’wah Allah, Malaikat, dan Nabi harus berhadapan dengan da’wah kaum musyrik (dualisme; menerima ajaran Allah tapi mengaduknya dengan ajaran-ajaran lain), kafir (menentang ajaran Allah secara terang-terangan), dan munafik (pura-pura menerima ajaran Allah tapi melakukan perusakan dari dalam).



Tentang da’wah kaum musyrik, kafir, dan munafik pada gilirannya akan kita bahas tersendiri. Dalam bab ini kita hanya memusatkan perhatian kepada para da’i Al-Qurãn.



Tingkatan (hierarki) para da’i



Dilihat dari urutan penyampai wahyu, tentu saja Allah sebagai pemilik wahyu itu sendiri menempati urutan pertama. Dengan kata lain, dalam konteks da’wah, Allah adalah da’i yang pertama. Da’i berikutnya, yang kedua, adalah Malaikat. Selanjutnya, da’i yang ketiga, adalah Nabi.



Setelah da’wah Allah sampai kepada Nabi, maka seterusnya Nabi lah yang diberi amanah untuk menjalankan proyek da’wah Al-Qurãn di bumi, dan Allah terus mengendalikannya melalui penurunan wahyu yang dilakukan secara bertahap dan mengikuti kebutuhan pragmatis, sesuai dengan permasalahan yang dihadapi Nabi dalam proses da’wah dari hari ke hari.



Sebagai proyek Allah, da’wah Al-Qurãn dijalankan dengan pimpinan dan manajemen Allah. Dengan kata lain, mulai dari (1) perencanaan, (2) organisasi, (3) staffing (penempatan pekerja pada pos-pos tertentu), (4) pemberian bimbingan kerja, dan (5) pengawasan, semua diatur oleh Allah.[3]



Ibarat tongkat estafet, Al-Qurãn disampaikannya (diajarkan) Nabi kepada setiap orang yang mau menerima; dan seterusnya para penerima pertama dibinanya menjadi para kader yang mampu menyampaikan Al-Qurãn pada penerima-penerima berikutnya. Pendeknya, setiap penerima da’wahnya didorongnya pula untuk menjadi da’i, misalnya melalui perkataan:



خيركم مَن تعلّم القرءان وعلّمه



(Orang) yang terbaik di antara kalian adalah yang mempelajari Al-Qurãn, kemudian mengajarkannya (kepada orang lain).



Melalui Hadits ini, tahulah kita bahwa da’wah pada hakikatnya adalah suatu proses perputaran kegiatan belajar (تعلّم) dan mengajar (علّم) Al-Qurãn. Sesedikit apa pun yang sudah dipelajari, tidak boleh menjadi hambatan untuk menggulirkan proses da’wah itu. Hal itu ditegaskan, misalnya, dengan perkataan Nabi yang berbunyi:



بلّغوا عنّى ولو أية



Sampaikan lah — Al-Qurãn — (yang kalian terima) dariku, walau cuma satu ayat.



Penekanan Hadits ini bukan pada jumlah ayat yang bisa disampaikan oleh seseorang dari umat Muhammad, tapi pada keharusan setiap orang untuk menyadari bahwa ia layak berperan dalam kegiatan da’wah (belajar-mengajar Al-Qurãn). Dengan kata lain, Hadits ini lebih menitik-beratkan pada urusan mobilisasi (pengerahan) seluruh sumber daya manusia (umat Islam) untuk bersama-sama menggulirkan proses da’wah.



Dalam bahasa yang lain, Rasulullah mengatakan:





Simaklah! Akan kuberitahu kalian tentang manusia terbaik dan manusia terburuk. Sebenarnya manusia yang terbaik adalah seorang lelaki yang bekerja demi menegakkan ajaran Allah baik di atas punggung kudanya, atau di atas punggung untanya, atau di atas kakinya (tanpa kendaraan), sampai maut datang padanya. Sedangkan manusia yang terburuk adalah seorang lelaki lancang, yang membaca Kitabullah (tapi) ia tidak pernah merujuk (ayat) apa pun darinya. [Hadits riwayat Ahmad].



Dalam bahasa yang lain lagi, dinyatakan dalam sebuah Hadits:



Abu Sa’id Al-Khudri r.a. menuturkan, “Aku pernah mendengar Rasulullah mengatakan: Siapa pun di antara kalian yang melihat kemunkaran, maka dia (harus) mengubahnya (memperbaikinya) dengan (menggunakan) tangannya. Bila tidak mampu, maka dengan lidahnya. Bila tidak mampu, maka dengan pikirannya. Tapi (yang terakhir) itu adalah (pembuktian) iman yang paling lemah. [Hadits riwayat Muslim, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Nasa’i, dalam kita At-Targhib].



Hadits ini menegaskan satu sisi da’wah; yaitu mengubah kemunkaran (kejahatan; keburukan) menjadi kebaikan. Alat yang digunakan untuk itu adalah tangan (tindakan langsung), lisan (penerangan; penyuluhan; peringatan, dsb.), dan pikiran (harapan; cita-cita; kehendak; keinginan).



Yang terakhir, yaitu ‘bertindak’ melalui pikiran, bila kita lihat dari sisi buruknya, itulah cermin dari kelemahan iman. Tapi bila dilihat dari sisi baiknya, itulah awal dari sebuah proses pembangunan iman. Artinya, bagi seorang mu’min, bila ia belum mampu mengubah keadaan melalui lisannya, apalagi dengan tangannya, maka paling sedikit (minimal) ia harus mempunyai pemikiran (harapan; cita-cita; keinginan) untuk melakukan perbaikan di hari kemudian (setelah ia mampu). Dengan kata lain, harapan, cita-cita, dan keinginan itu adalah sumber daya yang masih tersimpan; yang pada saatnya nanti akan muncul juga ke permukaan.



Tapi, awas! Sumber daya yang tersimpan itu bisa membusuk dan mati, bila tidak dirawat. Ia tidak akan tumbuh dan berkembang bila tidak dipupuk dan disirami.



Lantas, bagaimana pula cara memelihara, memupuk, dan menyiraminya? Jawabannya, kembali pada Hadits-Hadits di atas: (1) laksanakan proses belajar-mengajar Al-Qurãn, (2) Sampaikan (ajarkan) Al-Qurãn yang sudah dipelajari walau cuma satu ayat (demi satu ayat).



Dengan kata lain, pelaksanaan proses da’wah ke luar diri (mengajar) tidak boleh ditunda-tunda; karena hal itu sebenarnya merupakan sebuah kiat untuk memacu semangat berda’wah ke dalam diri sendiri (mempelajari Al-Qurãn).



Tapi, hal itu rupanya pernah ‘diprotes’ oleh para pengikut Rasulullah di masa lampau. Dalam sebuah Hadits digambarkan:



Anas r.a. menceritakan: Kami berkata (kepada Rasulullah), “Ya Rasuullah, kami tidak akan menyuruh orang berbuat baik, sebelum kami sendiri melaksanakan perintah (untuk berbuat baik) seluruhnya. Kami juga tidak akan melarang orang berbuat munkar, sebelum kami sendiri menjauhi kemunkaran seluruhnya.” Maka Rasulullah menjawab, “Jangan begitu! Suruhlah orang berbuat baik, walaupun kalian sendiri belum melakukan (perintah Allah untuk berbuat baik) seluruhnya; dan laranglah orang melakukan kemunkaran, walaupun kalian sendiri belum meninggalkan kemunkaran seluruhnya. [Hadits riwayat Thabrani].



Hadits ini menggambarkan bahwa keadaan seseorang yang belum sempurna sebagai seorang mu’min tidak harus menjadi penghambat baginya untuk menjalankan proses da’wah.



Lalu, bagaimana dengan anggapan yang berkembang dalam masyarakat bahwa seorang da’i seharusnya adalah tokoh yang bisa dijadikan panutan dalam masyarakat? Anggapan ini sama sekali tidak salah. Seorang da’i memang harus menjadi teladan dalam masyarakat. Tapi keteladanan yang dimaksud adalah keteladanan yang manusiawi, bukan keteladanan malaikat. Artinya, seorang da’i bukanlah manusia yang begitu lahir lantas menjadi mu’min sempurna. Ia hanya seorang manusia biasa, yang ada kalanya terlahir di tengah lingkungan buruk, sehingga ia pun terpengaruh menjadi manusia yang buruk pula. Tapi justru di situ lah letak keistimewannya. Ia yang lahir di lingkungan buruk, dan terpengaruh menjadi buruk, ketika datang orang yang menawarkan ajaran Allah ternyata ia mau menerima, dan selanjutnya aktif pula berda’wah. Di situ lah letak keteladanannya!



Dari orang-orang seperti itu lah kita dapat memetik sebuah pelajaran penting.; yaitu bahwa ajaran Allah ternyata mempunyai kemampuan untuk mengubah kehidupan manusia, membawa manusia bangkit dari kubangan lumpur. Atau dalam bahasa Al-Qurãn dikatakan keluar dari kegelapan untuk memasuki kehidupan yang terang (يُخْرِجُ مِنَ الظُّلُمَاتِ إلَى النُّورِ).



Dalam sejarah da’wah Nabi Muhammad juga banyak nama tokoh yang sebelum menjadi mu’min dikenal sebagai tokoh-tokoh jahat. Salah satunya adalah Umar bin Khatthab.



Para ahli sejarah mencatat Umar sebelum Islam adalah orang yang kasar dan kejam. Selain dikenal sebagai jagoan, ia juga pemabuk dan pezina, dan pernah menguburkan anak wanitanya hidup-hidup. Tapi, yang paling menarik dari kisah Umar adalah perubahan sikapnya yang terjadi begitu cepat setelah ia membaca sejumah ayat Al-Qurãn.



Alkisah, pada mulanya Umar adalah salah seorang tokoh Quraisy yang merasa terganggu dengan da’wah Nabi Muhammad, sehingga akhirnya ia memutuskan untuk membunuhnya. Suatu hari ia mendengar bahwa Nabi Muhammad sedang berkumpul dengan beberapa sahabatnya di sebuah rumah. Umar bergegas pergi ke sana dengan membawa pedang. Namun, di tengah perjalanan, ia berpapasan dengan Nu’aim yang mengabarkan bahwa Fatimah, salah seorang adik Umar, telah menjadi pengikut Nabi Muhammad. Kabar itu membuat Umar sangar murka, dan kemudian membelokkan arah perjalanannya dari tujuan semula. Ia bergegas menuju rumah adiknya.



Sampai di sana, ternyata sang adik dan suaminya memang mengakui bahwa mereka telah menjadi pengikut Nabi Muhammad. Umar menendang Sa’id, suami Fatimah yang merupakan paman Umar dari pihak ibu, sampai terjatuh. Fatimah yang berusaha menolong suaminya terkena pula tamparan Umar, sampai terjatuh dan bibirnya berdarah. Pada saat itulah Umar melihat ada suatu benda yang terselip di pakaian Fatimah. Umar meminta benda itu, yang rupanya sebuah gulungan berisi tulisan beberapa ayat surat Thaha. Umar membacanya, dan secepat kilat hatinya tersentuh oleh kata-kata yang dibacanya. Ia membaca dan membaca lagi berkali-kali, sampai kemudian ia benar-benar terpesona oleh kandungan makna ayat-ayat yang dibacanya, dan secara tak sadar ia menggumamkan kata-kata pujian. Selanjutnya, Umar minta diberi tahu tempat Nabi Muhammad dan para sahabatnya berkumpul. Sa’id mengatakan bahwa Nabi Muhammad ada di Shafa, yaitu di rumah Arqam. Ke sana lah Umar kemudian menuju, dan di sana lah ia menyatakan diri menjadi pengikut Nabi Muhammad, disaksikan antara lain oleh seorang paman Nabi yang selama ini merupakan saingan Umar dalam hal keberanian, kekerasan dan keperkasaannya, Hamzah.



Sejak saat itu lah, konon, Nabi dan para sahabatnya bisa berda’wah secara lebih terang-terangan.



Demikianlah cerita tentang Umar menurut satu versi. Menurut versi yang lain, masuk Islamnya Umar tidak lah secepat itu tapi melalui proses pengamatan yang cukup lama, sampai akhirnya ia mengintip Nabi yang sedang shalat di Ka’bah dan mendengarkan ayat-ayat yang dibaca. Di situ lah hatinya mulai tersentuh.



Kita tidak hendak membahas versi mana yang benar. Yang ingin kita tekankah di sini adalah kenyataan bahwa setelah masuk Islam, Umar menjadi salah seorang tokoh yang giat menyebarkan Islam (berda’wah), alias menjadi da’i. Artinya, ia berda’wah tanpa harus merasa malu dengan sejarah masa lalunya yang ‘hitam’. Sebaliknya, masa lalu yang hitam itu justeru menjadi ‘modal’ untuk menegaskan bahwa ajaran Islam (Al-Qurãn) itu berorientasi ke depan, bukan ke belakang. Dengan kata lain, Al-Qurãn adalah faktor pengubah, baik kepribadian seseorang maupun keadaan masyarakat.



[1] Al Qur’an Dan Terjemahnya, hal. 678, edisi yang dibiayai Raja Fahd, Saudi Arabia, tahun 1412 H.



[2] Pendapat (opini) yang sudah lebih dulu ada (dalam hal ini sebelum mengkaji Al-Qurãn itu sendiri).



[3] Lebih jauh tentang hal ini akan dipaparkan pada bab tersendiri.



http://ahmadhaes.wordpress.com/2009/12/30/pengantar-dawah-1-dai/



Al-Qurãn Sebagai Materi Da’wah



Ketika menyebut “Al-Qurãn”, yang kita sebut itu adalah sebuah hakikat, bukan sebuah benda nyata. Tapi, kita selalu membayangkan bahwa Al-Qurãn itu adalah sebuah benda; tepatnya sebuah buku. Padahal, istilah Al-Qurãn pada awalnya sama sekali tidak mengacu pada sebentuk buku.



Al-Qurãn pada hakikatnya, yakni keadaan aslinya seperti semula, sebelum ia dibukukan, adalah ucapan-ucapan (lafaz) yang disampaikan Allah kepada Nabi Muhammad melalui malaikat Jibril. Selanjutnya, melalui suatu proses pencatatan, Al-Qurãn itu dikumpulkan di dalam mushhaf.



Mushhaf, lengkapnya al-mushhafusy-syarïf (المصحف الشريف), yang secara harfiah berarti “buku yang mulia”, dan secara istilahi diterjemahkan orang menjadi “kitab suci”, adalah sebutan bagi buku yang berisi rekaman (رقم /catatan) wahyu yang pernah diterima oleh Nabi Muhammad dalam waktu sekitar 23 tahun.



Sementara teks (dari bahasa Inggris: text) adalah sebutan untuk (1) kata-kata yang tercetak dalam sebuah buku, atau (2) kata-kata asli seorang pengarang, atau (3) kutipan ayat dari kitab suci yang disampaikan dalam khutbah.[1]



Dalam bahasa Arab, teks adalah nuskhah (نسخة), yang diindonesiakan menjadi naskah. Sebutan lainnya adalah matnul-kitãb (متن الكتاب), yang kita ucapkan menjadi matan kitab. Istilah matnul-kitãb lebih tegas mengacu pada pengertian teks yang pertama, yakni kata-kata yang tercetak dalam sebuah buku. Pengertian inilah yang kita maksud ketika kita menggunakan istilah mushhaf Al-Qurãn, atau matan Al-Qurãn, atau teks Al-Qurãn.



Tepatnya, yang kita maksud adalah “buku yang berisi catatan wahyu yang diterima Nabi Muhammad seutuhnya”, atau ringkasnya “buku wahyu” saja. Tapi, “Al-Qurãn” (tanpa diawali mushhaf) adalah sebutan yang paling populer untuk buku tersebut, meski selanjutnya sebutan itu menimbulkan semacam salah kaprah (karena menyamakan hakikat dengan benda).



Dalam kajian ilmiah, ketika kita menyebut Al-Qurãn, harus ada penegasan apakah yang dimaksud itu hakikat Al-Qurãn atau mushhaf Al-Qurãn. Dalam bab ini, yang akan kita bahas adalah mushhaf Al-Qurãn; yang selanjutnya kita bagi menjadi: (1) bahasa Al-Qurãn, dan (2) wawasan Al-Qurãn; atau diringkas menjadi bahasa dan wawasan saja.



Bahasa dan wawasan Al-Qurãn



Seorang da’i pada masa setelah Al-Qurãn dibukukan, mengkaji Al-Qurãn sebagai sebuah teks; dan selanjutnya teks itu pula yang diajarkannya kepada mad’u atau sasaran da’wahnya. Tapi, sebagaimana ia sendiri tidak bisa menerima teks Al-Qurãn secara mentah-mentah, maka begitu pula ketika ia menghidangkan Al-Qurãn dalam proses da’wahnya.



Harus disadari bahwa antara mad’u (juga da’i) dengan Al-Qurãn pada mulanya terdapat jarak yang memisahkan keduanya. Dalam bahasa Hadits, misalnya, dikatakan bahwa Islam itu pada mulanya asing (gharïb). Islam di sini tentu sama dengan Al-Qurãn.



Jadi, pada mulanya Al-Qurãn itu adalah sesuatu yang asing. Dengan demikian, da’wah dilakukan —pertama-tama— untuk memperkenalkan (‘arrafa/عرّف ) yang asing itu. Dengan kata lain, langkah pertama yang dilakukan da’i adalah menjawab pertanyaan apa itu Al-Qurãn (ما هو القرءان)?



Sebagai langkah dasar dalam memperkenalkan Al-Qurãn, kita dapat membagi Al-Qurãn berdasar dua unsur terpentingnya, yakni bahasa dan wawasan (makna).



Bahasa, satu sisi, adalah wadah tempat menampung makna. Pada sisi yang lainnya, bahasa adalah alat untuk menyampaikan (mengungkapkan) makna dengan cara tertentu. Untuk memahami sisi yang pertama, bahasa sebagai wadah makna, pengkajiannya dimulai melalui pelajaran ilmu sharaf dan ilmu nahwu. Untuk memahami sisi yang kedua, bahasa sebagai alat untuk menyampaikan makna dengan cara tertentu, pengkajiannya dilakukan melalui ilmu balaghah (sastra).[2]



Pengkajian ilmu sharaf dilakukan untuk mencermati bentuk-bentuk kata. Ilmu nahwu dikaji untuk mencermati bentuk-bentuk kalimat. Kedua ilmu itu biasa kita sebut sebagai ilmu tata bahasa. Sementara yang ketiga, sastra, tidak termasuk ke dalam ilmu tata bahasa. Sastra adalah seni berbahasa; yakni kiat khusus untuk menggunakan bahasa sedemikian rupa sehingga mencapai sasaran makna seperti yang dikehendaki pemakainya, yakni pembicara dan atau penulis.



Dalam konteks Al-Qurãn, sastra Al-Qurãn adalah kiat Allah dalam berbahasa demi mencapai sasaran makna yang dikehendakinya. Dengan demikian, jelas lah bahwa bahasa Al-Qurãn tidak identik (sama persis) dengan bahasa Arab, terutama dalam konteks sastranya tersebut. Hal itu perlu dicermati betul oleh seorang da’i, agar ia memahami dengan baik apa yang dikehendaki Allah melalui Al-Qurãn, sehingga ia tidak menyampaikan informasi, konsep, atau pesan yang salah terhadap mad’unya.



Penguasaan bahasa Al-Qurãn menjaga si da’i pada pemahaman yang terikat pada disiplin (ilmu) bahasa Al-Qurãn, sehingga bicaranya tidak ngawur (kacau). Tapi harus diingat pula bahwa bahasa bukanlah satu-satunya alat untuk memahami isi Al-Qurãn. Alat lainnya yang perlu dimiliki da’i adalah wawasan Al-Qurãn.



Secara garis besar, wawasan Al-Qurãn dapat kita bagi menjadi:



1. Isi (makna) Al-Qurãn secara keseluruhan;



2. Tujuan Allah menurunkan Al-Qurãn;[3]



3. Fungsi-fungsi tertentu dari Al-Qurãn.



Pada surat Al-Baqarah ayat 185, misalnya, kita dapati isyarat demikian:



شهر رمضان الذى أنزِل فيه القرءان هدى للناس و بينات من الهدى والفرقان …



Bulan Ramadhan adalah bulan diturunkannya Al-Qurãn, (yang mempunyai tiga fungsi, yaitu) sebagai petunjuk bagi manusia serta penjelasan bagi petunjuk (Al-Qurãn) itu sendiri, dan pemilah (antara haq dan bathil) …



Melalui ayat ini kita mendapat gambaran tentang fungsi-fungsi Al-Qurãn. Pertama, fungsi Al-Qurãn secara umum adalah sebagai petunjuk atau pedoman hidup bagi manusia. Kedua, fungsi Al-Qurãn secara khusus adalah (a) menjadi tafsir (keterangan) bagi dirinya sendiri, dan (b) menjadi pemilah antara benar (haq) dan salah (bãthil). Fungsi yang terakhir bisa juga disebut sebagai fungsi mushaddiq/مصدّق dari Al-Qurãn; yaitu fungsi membenarkan yang benar, menyalahkan yang salah, dan memilah yang campur-aduk.



Sunnah Rasul



Hal lain yang tidak boleh diabaikan dalam kaitan dengan wawasan Al-Qurãn adalah Sunnah Rasul. Khususnya, yang kita tekankan di sini adalah Sunnah Rasul yang terakhir, Nabi Muhammad, yang gambarannya terekam begitu lengkap dalam teks Al-Qurãn, buku-buku Hadits (yang shahih), dan buku-buku sejarah.



Al-Qurãn tidak akan dapat dipahami dengan baik, dan selanjutnya otomatis tidak akan bisa diterapkan sebagai pedoman hidup (hudan), bila kita tidak memahami Sunnah Rasul.



Selama ini para pakar agama hanya mengatakan bahwa Sunnah Rasul adalah (1) perkataan (qaulun), (2) perbuatan (fi’lun), dan (3) toleransi atau ijin tak langsung (taqrirun) dari Rasulullah (Nabi Muhammad) atas tindakan orang lain, sehingga menjadi ukuran kebenaran tindakan itu. Ketiga aspek itu lah yang kita dapati tertulis dalam kitab-kitab Hadits. Mereka tidak memasukkan satu unsur penting yang membentuk Sunnah Rasul, yaitu sejarah penurunan, penyebaran, dan pewujudan wahyu menjadi sebuah tatanan kehidupan.



Pada hakikatnya, yang disebut Sunnah Rasul (Nabi Muhammad) itu adalah wujud Al-Qurãn di dalam kenyataan hidup (atau yang sering dikatakan orang sebagai the living Quran). Proses pembangunannya dimulai sejak saat Nabi Muhammad menerima wahyu yang pertama, dan berakhir setelah ia wafat. Hal itu, yakni penurunan wahyu dari pertama sampai akhir, memang sudah diakui oleh para pakar sebagai ashrut-tasyri, alias “masa pembentukan syari’ah. Syari’ah adalah sinonim dari sunnah.[4]



Yang harus diingat, yang disebut Sunnah Rasul itu bukanlah hanya seputar pribadi Nabi Muhammad, tapi lebih tepat digambarkan sebagai perwujudan Al-Qurãn ke dalam bentuk kehidupan bermasyarakat di Madinah, yang dipimpin oleh Nabi Muhammad. Hal itu diisyaratkan, misalnya, melalui surat Al-Fath ayat 29:



محمّد رسول الله والّذين معه أشِدّاء على الكفّار رُحماء بينهم تراهم رُكّعا سُجّدا يبتغون فضْلا مِن الله و رِضْوانا سِيماهم فى وُجوهِهم مِن أثرِ السُّجود ذالك مثلُهم فى التوراة ومثلهم فى الإنجيل كزرْعٍ أخْرج شطْئه فآزره فاسْتغْلظ فاسْتوى على سُوقِه يُعْجِب الزُّراعَ لِيغِيظَ بهم الكُفّارَ وعد الله الذين آمنوا وعملوا الصالحات منهم مغْفِرةً وأجْرا عظيما



Muhammad, Rasul Allah, begitu juga orang-orang yang (seiman) bersamanya, bersikap tegas terhadap orang-orang kafir (dalam masalah hukum), seiring dengan itu mereka berkasih-sayang dengan sesama mereka (yang seiman; yang sama-sama menjaga tegaknya hukum). Kamu (pembaca Al-Quran) mengetahui (lewat informasi Al-Quran dan catatan-catatan sejarah) mereka ‘jungkir-balik’ (berusaha keras) mencari anugerah dan ridha Allah. Jejak pengabdian mereka tampak pada segala segi kehidupan (wujuh) mereka. Begitulah (pula) gambaran mereka dalam Taurat dan Injil (yang diajarkan Allah melalui Musa dan Isa).[5] (Mereka tumbuh) tak ubahnya satu tanaman (rasul) yang mengeluarkan tunasnya (umatnya); selanjutnya (tunas itu) tumbuh semakin kuat untuk berdiri tegak pada batangnya (sendiri). (Tanaman seperti itu) membuat takjub para petaninya, (dan begitu juga tumbuhnya umat rasul yang semakin kuat dan banyak menakjubkan para da’i, dan sebaliknya) membuat kesal orang-orang kafir. Kepada orang-orang beriman yang berbuat tepat (sesuai ajaran dan uswah rasul), Allah memang telah menjanjikan bahwa dari (jerih-payah) mereka (pasti menghasilkan) suatu perbaikan hidup, yakni suatu imbalan kerja yang besar luar biasa.



Ayat ini menegaskan bahwa gambaran Sunnah Rasul seutuhnya adalah kenyataan hidup yang dibangun Rasulullah bersama umat sezamannya, khususnya para sahabatnya, melalui proses da’wah. Tegasnya, bicara Sunnah Rasul bukan lah semata-mata bicara tentang diri pribadi seorang rasul, tapi tentang sebuah penataan hidup (sistem) yang dibangun sang rasul bersama para pengikutnya yang setia.



Dalam beberapa Hadits juga terbukti bahwa ketika Nabi Muhammad menyebut kata sunnahku, ia mengiringinya dengan menyebut sunnah khulafã’ur-rãsyidin (para penerusnya yang lurus). Misalnya dalam Hadits berikut ini:



أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ تَأَمَّرَ عَلَيكُمْ عَبْدٌ حَبَشِي فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِى فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيرًا. فَعَلَيكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينّ. تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيهَا بِالنَّوَاجِذِ وَ إيَّاكُمْ وَ مُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ. (رواه أبو داوود والترمذى)



Aku berpesan agar kalian memelihara diri dengan (ajaran) Allah, dan (agar kalian tetap) menanggapi serta menaati (amirul-mu’minin) walau yang memerintah kalian (sebelum masa Islam adalah) seorang budak Habasyiy (Habsyi, Afrika). Sungguh, siapa pun di antara kalian yang masih hidup setelah aku (tiada), maka ia akan menyaksikan banyak perselisihan. Maka, jagalah oleh kalian sunnahku, yang selanjutnya menjadi sunnah para penggantiku yang berpegang teguh pada petunjuk (Al-Qurãn) serta tetap berbuat lurus (berdasar petunjuk). Pegang teguh lah (sunnah) itu. Yakni (ibarat kalian menggigitnya) gigitlah dengan gigi-gigi geraham. Seiring dengan itu, jauhilah oleh kalian urusan-urusan baru yang diada-adakan (sesuatu yang tak ada dalam Sunnah Rasul), karena setiap yang diada-adakan itu adalah bid’ah, dan setiap bid’ah berarti kesesatan. [Hadits riwayat Abu Dawud dan At-Tirmidzy, dengan nilai hasan shahih].



Ma Huwa Al-Qurãn?



Berbicara tentang wawasan Al-Qurãn bisa dimulai dengan pertanyaan: Apakah Al-Qurãn itu? Pertanyaan itu dijawab oleh Allah, antara lain, dalam surat Ar-Rahman ayat 1-4:



الرحمان – علّم القرءان – خلق الإنسان – علّمه البيان.



Ar-Rahman (Allah) – (Dia) mengajarkan Al-Qurãn – (Dia) menciptakan manusia – (lalu Dia) mengajarkan al-bayan (yakni Al-Qurãn sebagai sebuah penjelasan).



Melalui ayat-ayat di atas, kita mendapatkan isyarat tentang hakikat Al-Qurãn, yaitu sebagai ilmu (ayat 2), yang berfungsi sebagai penjelasan bagi manusia? Penjelasan tentang apa? Ayat ke-3 mengisyaratkan bahwa yang dijelaskan oleh Allah melalui Al-Qurãn adalah alasan-alasan penciptaan manusia.



Benarkah ayat ke-2 merupakan penjelasan bahwa Al-Qurãn adalah ilmu? Perhatikanlah gambaran sederhana ini:



Kata ‘allama adalah kata kerja yang mempunyai dua obyek. Di dalam kata ‘allama terdapat fã’il (subyek/pelaku) yang melakukan proses pengajaran atau penyampai ilmu (= ta’lïman), yaitu Allah. Kata ‘ilman (atau ‘ilmun = ilmu) adalah obyek tersembunyi dari ‘allama, yang berasal dari masdar kata kerja dasarnya (‘alima – ya’lamu). Dalam susunan ayat ‘allamal-qurãna, kata al-qurãna pada hakikatnya merupakan badal (pengganti) dari ‘ilman. Dengan kata lain, obyek pertama dari ‘allama yakni ‘ilman, diberi nama baru: al-qurãn(a). Tapi, pemberian nama baru itu tetap tidak mengubah hakikat yang diajarkan, yakni ‘ilman (illmu). Dengan demikian, jelas lah bahwa ayat ke-2 surat Ar-Rahman itu merupakan penegasan bahwa Al-Qurãn adalah sebuah ilmu.



Itu hanyalah salah satu dalil (kata orang dalil naqli) yang menyatakan bahwa Al-Qurãn adalah ilmu. Dalil-dalil lainnya adalah kenyataan Al-Qurãn itu sendiri secara keseluruhan, yang dilengkapi dengan Sunnah Rasul. Mungkin karena itu lah Imam Syafi’i pun, konon, mengatakan, “Inna hadzã-dïni ‘ilmun” (إنّ هذا الدين علم). Sebenarnya agama ini (Islam) adalah suatu ilmu.



Lebih jauh tentang ilmu



Orang Indonesia biasa menerjemahkan ilmu menjadi pengetahuan. Tapi, tidak semua pengetahuan bisa disebut ilmu.



Bangsa Indonesia menerima istilah dan pengertian ilmu pada mulanya dari bangsa Arab yang menyebarkan agama Islam. Tapi pandangan bangsa Arab tentang ilmu agaknya tidak mereka ambil dari Islam (Al-Qurãn).



Pandangan bangsa Arab tentang ilmu dirumuskan dalam pepatah mereka yang berbunyi: al-’ilmu nûrun fil-qalbi (العلم نور فى القلب). Pandangan ini diajarkan di berbagai pesantren dan madrasah, dan diterjemahkan menjadi: ilmu adalah cahaya (dalam) hati.



Jadi, bangsa Arab mengumpamakan ilmu sebagai cahaya, yang berperan menerangi al-qalbu (= akal; pikiran; batin; jiwa). Pandangan ini mengandung kebenaran; tapi sayangnya tidak lengkap. Tentu saja benar bahwa ilmu menjadi cahaya atau penerang bagi kalbu, tapi mereka tidak menjelaskan dari mana datangnya cahaya itu; apakah datang dari luar atau timbul begitu saja dalam pikiran (= otak) manusia.



Karena tidak jelas disebutkan dari mana sumber ‘cahaya’ itu, maka pandangan bangsa Arab tentang ilmu tersebut, bisa dikatakan memiliki kesamaan dengan pandangan salah satu ahli filsafat Yunani, yaitu Plato atau Platon (427-347 sbM).



Sesuatu yang terdapat dalam ‘hati’ disebut Plato sebagai idea, yang merupakan bawaan manusia sejak lahirnya dari alam idea (ide). Dengan kata lain, manusia lahir ke dunia dengan membawa kenangan tentang segala sesuatu yang pernah diketahuinya di alam idea. Dengan idea (= kenangan) itu lah, kata Plato, manusia mengenali segala sesuatu yang ada dalam kehidupan di dunia ini, yang disebutnya sebagai bayangan idea. Lebih lanjut, menurut ajaran Plato, karena apa yang ada di dunia ini hanya bayangan idea, maka keadaannya tidak sesempurna seperti aslinya. Kuda yang kita lihat, misalnya, tidak sesempurna kuda yang sebenarnya, yang ada di alam idea. Bagi Plato, segala yang kita saksikan di dunia ini adalah kenyataan semu. Dalam kajian ilmu filsafat, ajaran Plato itu dikenal sebagai aliran filsafat idealisme, dan ia memang pelopor dalam aliran tersebut.



Ajaran Plato mengajak manusia lari ke alam idea alias lamunan. Melalui ajarannya itu, Plato mempengaruhi para penganut filsafatnya untuk menjauhi segala hal yang bersifat duniawi.



Pengaruh ajaran Plato diperluas melalui agama Kristen, khususnya melalui orang Mesir bernama Plotinus (205-270 M), tokoh terbesar dalam aliran Neo-Platonisme (ajaran Plato versi baru), yang juga menjadi perintis bagi lahirnya filsafat Kristen yang disebut filsafat Scholastik. Kemudian, tokoh besar yang dianggap orang suci (santo atau saint) dalam filsafat Kristen tersebut adalah Santo Agustinus (354-430 M).



Dialah yang menulis 22 jilid buku yang menguraikan tentang dua kerajaan, yaitu Kerajaan Tuhan (Civitas Dei) yang ada di atas sana (sorga), dan Kerajaan Iblis (Civitas Diaboli) yang ada di dunia ini. Tapi di dunia ini juga ada wakil Kerajaan Tuhan, yaitu Gereja; tepatnya Gereja Katolik yang kini ada di Vatikan, Italia.



Karena pandangan filsafat demikian itu, agama Kristen membagi kehidupan menjadi (1) urusan agama (yaitu Gereja), dan (2) urusan dunia. Urusan agama kadang disebut sebagai urusan spiritual, dan sebaliknya urusan dunia disebut sebagai urusan sekular (harfiah berarti duniawi).



Orang Kristen asli beranggapan bahwa kerajaan mereka bukan terletak di dunia ini, sehingga mereka pun tidak mau terlibat dalam urusan politik[6] (yang tentu merupakan urusan Kerajaan Setan).



Ajaran Plato itu belakangan juga mempengaruhi orang-orang Islam, khususnya para ahli ilmu kalam dan kaum sufi. Achmad Roestandi SH menulis demikian:



… faktor-faktor extern itu ialah masuknya filsafat Yunani ke alam Islam. Dengan kata lain, filsafat Islam itu mulai tumbuh subur dan mendalam setelah cendekiawan Islam berkenalan dengan filsafat Yunani. Seperti halnya dengan filusuf-filusuf scholastik, filusuf-filusuf Islam pun terpengaruh oleh ajaran-ajaran para filsuf Yunani, dan kelanjutannya mereka pun menjalinkan ayat-ayat Qur’an tertentu dengan ajaran-ajaran filusuf Yunani tersebut.[7]



Satu hal yang perlu dicatat, dari kaum sufi, misalnya, lahir pandangan bahwa dunia adalah penjara bagi orang beriman dan sorga bagi orang kafir. Suatu pandangan yang sangat dipengaruhi oleh konsep Agustinus tentang Kerajaan Tuhan (sorga) dan Kerajaan Iblis (dunia).



Pandangan tersebut tentu sangat menguntungkan para penjajah. Ketika para penjajah berduyun-duyun datang ke berbagai negara Muslim, kaum mislimin hanya bersikap pasif dan menyingkir saja; karena para penjajah itu hanya datang untuk mengambil segala sesuatu yang bersifat duniawi, yang memang merupakan hak mereka di dunia ini, bukan hak orang-orang beriman.



Memang kaum sufi moderen telah membantah keras tentang kebenaran ajaran tasauf yang demikian; tapi fakta tetaplah fakta. Yakni, ada satu masa yang begitu panjang, tak lama sejak berakhirnya masa Nabi dan para Khalifah, umat Islam amblas ke dalam kehinaan, dan belum bangkit sampai sekarang, karena para cendekiawan (ulama) mereka terpesona oleh filsafat Barat (Yunani), dan meninggalkan Al-Qurãn.



Ternyata pula, kedatangan para penjajah ke negara-negara Muslim bukan hanya untuk mengeruk kekayaan alam, tapi juga untuk mengukuhkan pengaruh filsafat Yunani itu, baik melalui Kristenisme yang bermuatan Neo-Platonisme Plotinus-Agustinus, maupun melalui sains (science) yang bermuatan filsafat materialisme atau naturalisme.



Karena pengaruh yang belakangan itulah, pengertian (konsep) ilmu digambarkan (didefinisikan) dengan konsep sains yang berpangkal pada materialisme/naturalisme. Isa Bugis, dalam salah satu diktatnya menyebutkan satu contoh definisi tentang ilmu yang diambil dari Barat, yaitu: Science is organized body of principles supported by facts. (Ilmu ialah rangkaian keterangan teratur dalam keseluruhan yang didukung oleh faktanya).[8]



Menurut Isa Bugis, definisi ilmu yang demikian itu adalah hasil dari pengaruh filsafat Idealisme dan Naturalisme yang melahirkan “kesadaran terkatung-katung” (tidak mantap), sebagai hasil dari hubungan manusia dengan alam sekitarnya, yang menjadi obyek studi (pengkajian).



Definisi yang lain science, dikatakan dalam sebuah kamus sebagai: knowledge arranged in an orderly manner, esp knowledge obtained by observation and testing of facts.[9] (Pengetahuan yang dirangkai secara teratur, terutama pengetahuan yang diperoleh melalui penelitian dan pengujian fakta-fakta).



Menurut tinjauan Isa Bugis definisi tersebut mengandung kelemahan mendasar. Pertama, di sana dikatakan bahwa ilmu adalah hasil usaha manusia setelah mengamati alam. Tapi, manusia tidak mungkin mengenali alam sebelum ada pengetahuan lebih dulu.



Dari mana asal pengetahuan itu? Isa Bugis menegaskan bahwa pengetahuan awal (untuk mengenali alam) itu berasal dari Allah. Kedua, bila di sana disebutkan fakta, yakni berbagai benda yang menjadi obyek kajian ilmu, siapa yang mengadakan benda-benda itu? Isa Bugis kembali menegaskan bahwa semua benda yang mereka kaji itu adalah ciptaan Allah, yang juga terikat oleh sunnatullah (hukum alam).



Kemudian, dengan mengajukan surat Ar-Rahmãn ayat 1-13, Isa Bugis menegaskan bahwa ilmu yang sebenarnya, yang berasal dari Allah (untuk masa sekarang) adalah Al-Qurãn.[10] Dengan demikian ia mengoreksi definisi tersebut menjadi: Ilmu ialah rangkaian keterangan teratur dari Allah menurut Sunnah Rasul terhadap semesta kenyataan yang tergantung kepada Allah.[11]



Ilmu dan kebenaran



Kebanyakan manusia sudah terbius oleh dalil yang mengatakan bahwa “kebenaran itu bersifat relatif”, yakni tergantung pada siapa yang mengatakan dan mempercayainya. Dengan kata lain, kebenaran itu menjadi tergantung pada kepercayaan, atau bahkan selera, sehingga nilainya menjadi subyektif (tergantung orang). Padahal, seharusnya kebenaran itu bersifat obyektif, apa adanya, sesuai dengan fakta yang telanjang (asli).



Seharusnya dalil itu difahami dengan cermat!



Relatif (Ing.: relative) adalah kata sifat. Kata bendanya adalah relasi (relation). Dalam bahasa aslinya, yang biasa kita sebut relatif itu adalah relative to, yang artinya sama dengan referring to (merujuk kepada; menghubungkan dengan).



Jadi, bila kita mengatakan bahwa “kebenaran itu relatif”, maksudnya adalah “kebenaran itu tergantung pada rujukannya atau sumbernya.” Bila sumbernya orang, maka orang itulah yang menjadi penentu. Bila sumbernya sebuah buku (yang sebenarnya juga ditulis orang), maka buku itulah yang menjadi penentu.



Kita yang mendengar kata orang, atau membaca sebuah buku, boleh membenarkan (mempercayai), boleh juga tidak membenarkan (= menyalahkan). Kedua pilihan itu (membenarkan atau menyalahkan) adalah benar (= sah), karena kebenaran itu tergantung pada (subyektif/selera) kita. Titik.



Tapi, dalam kenyataan, kita tidak bisa hidup dengan hanya mengandalkan kepercayaan subyektif. Kita hidup selalu dan akan terus mengandalkan pengetahuan obyektif yang dipercayai oleh semua orang. Misalnya, kita tahu bahwa api itu panas.



Pengetahuan itu dibenarkan semua orang. Kita tahu bahwa kita tidak bisa mengambang di permukaan air; karena itu kita menggunakan jembatan untuk menyeberangi sungai, dan menggunakan perahu atau kapal laut untuk mengarungi lautan. Bila perut lapar, kita pun memakan makanan yang sudah diketahui dengan pasti kelezatan rasanya, manfaatnya untuk menghilangkan lapar dan menjaga kesehatan. Pendeknya, setiap hari kita hidup melalui pengetahuan obyektif; dalam arti ada teori dan ada bukti.



Tapi, mengapa ketika berbicara tentang kebenaran agama, kita memilih kebenaran yang bersifat subyektif, hanya mengandalkan kepercayaan masing-masing? Bahkan, ketika kita berhadapan dengan teks Al-Qurãn, kita juga cenderung memilih pemahaman yang bersifat subyektif, sehingga lahirlah sekian banyak madzhab.



Mengapa bisa demikian?



Jawabannya adalah: karena kita terpengaruh filsafat Plato, yang mendorong manusia untuk berpikir deduktif dan mengabaikan pembuktian induktif (analitika), karena bagi Plato apa pun yang kita temukan dalam proses induktif itu —seperti dia menyebut kuda sebagai contoh— adalah semu (hanya bayangan). Kuda bisa kita lihat ada beberapa jenis, tapi dari semua yang ada itu, tidak ada satu pun yang mewakili kuda yang sebenarnya, yang ada di alam idea. Meskipun demikian, Plato tidak bisa mengingkari bahwa kuda-kuda itu memang ada, dan bila ia butuh kuda sebagai kendaraan tentu ia akan naik kuda juga. Begitu lah contoh sikap pembual besar!



Bila pemahaman seperti di atas itu kita kaitkan dengan madzhab-madzhab dalam agama Islam, maka kita akan melihat bahwa bila seseorang penganut satu madzhab didesak untuk menyatakan keyakinannya akan kebenaran madzhabnya, jawaban yang diberikan pastilah bersifat mengambang, tidak tegas. Dia tidak berani untuk mengatakan bahwa madzhab yang dianutnya adalah yang paling benar.



Akhirnya, ketika pikirannya mencapai puncak kejernihan, ia akan mengatakan, “Pada madzhab kami tentu ada juga kesalahan dan kekeliruan; dan pada madzhab lain tentu ada juga kebenaran.” Kalimat diplomatis itu ujung-ujungnya hanyalah menegaskan bahwa dia mengikuti suatu madzhab itu karena mengakui kebenaran madzhabnya berdasar seleranya belaka, bukan berdasar pembuktian ilmiah.



Dalam Al-Qurãn, Allah juga mengajukan sebuah pernyataan deduktif bahwa kebenaran itu berasal dari Dia (al-haqqu min rabbika).[12] Dengan kata lain, Allah adalah narasumber kebenaran.



Lantas, bila Allah adalah narasumber kebenaran, di manakah gerangan letak kebenaran Allah itu?



Kita bisa dengan mudah mengatakan bahwa kebenaran Allah itu terletak pada kitabnya, yakni Al-Qurãn, karena itulah satu-satunya dokumen terpercaya tentang kehadiran Allah. Tapi, apakah itu (Al-Qurãn) saja sudah cukup untuk menegaskan kebenaran Allah? Belum!



Kebenaran Al-Qurãn (sebagai sebuah ilmu) tidak cukup dengan hanya menyebutkan narasumbernya yang bersifat mutlak, Allah. Begitu juga kebenaran Allah sebagai narasumber ilmu tidak cukup terbukti dengan hanya menyebut kitabnya yang terpercaya, Al-Qurãn. Kebenaran Allah, dan Al-Qurãn, masih harus didukung oleh sesuatu yang lain, yaitu bukti-bukti (data; fakta) dari setiap teori atau keterangannya. Bila tidak didukung fakta, berarti ajaran Allah (Al-Qurãn) itu dogmatis; padahal sebenarnya tidak.



Ketika menjelaskan Al-Qurãn sebagai ilmu, pada dasarnya kita memang sedang menegaskan bahwa Al-Qurãn itu bukan sebuah dogma, yang ayat-ayatnya hanya berisi pernyataan-pernyataan yang harus dipercayai begitu saja, tanpa harus dikritisi dan dimintai pembuktiannya. Bila hanya sebuah dogma, Al-Qurãn tidak akan bisa menjadi petunjuk atau pedoman hidup (hudan). Sebuah dogma hanya bisa diterima oleh khayal, sementara petunjuk adalah sesuatu yang bisa diterima oleh akal (= masuk akal).



Sesuatu yang masuk akal tentu bisa diuraikan secara rinci; dan selanjutnya —bila ia merupakan sebuah gagasan untuk mewujudkan sesuatu— tentu ia bisa dilaksanakan tahap demi tahap. Begitulah keadaan Al-Qurãn sebagai sebuah ilmu yang benar.



Dengan demikian, kita bisa membuat rumusan bahwa kebenaran itu pada dasarnya mempunyai dua sisi, yaitu sisi teoritis dan sisi praktis.



Al-Qurãn sebagai faktor maghfirah



Maghfirah/مغفرة adalah salah satu bentuk masdar dari kata kerja ghafara/غفر . Bentuk masdarnya yang lain adalah ghafran, ghafïran, ghafïratan, ghufrãnan, ghufûran (غفرا, غفيرا, غفيرة, غفرانا, غفورا).



Harfiah, menurut kamus Ghafara bisa berarti ghata/غطا (menutup), atau ashlaha/اصلح (memperbaiki; menata ulang; mereformasi).



Para pakar agama Indonesia secara umum mengartikan ghafara sebagai mengampuni. Mengampuni dalam bahasa Indonesia berarti melupakan kesalahan seseorang (= memaafkan); atau tidak menjatuhkan hukuman terhadap orang yang bersalah.



Karena ghafara diartikan mengampuni, maka dengan sendirinya maghfirah berarti pengampunan. Lebih lanjut, sifat ghafûr/غفور pada Allah tentu menjadi berarti mahapengampun, dan bentuk katanya yang lain, misalnya istighfar/استغفار , tentu berarti minta ampun.



Lebih jauh, bahwa Allah mahapengampun bukan lagi merupakan masalah bahasa tapi sudah menjelma menjadi sebuah doktrin. Seiring dengan itu, minta ampun adalah sebuah rumus atau jalan pintas bagi para pendosa untuk membuat Allah memaafkan segala kesalahan mereka, hampir-hampir tanpa syarat dan tanpa proses. Pendeknya, begitu manusia minta ampun, Allah segera mengampuni.



Doktrin demikian adalah salah satu masalah, bahkan penyakit, yang harus dibasmi sampai ke akar-akarnya, karena doktrin itulah yang menyebabkan kedudukan Al-Qurãn sebagai faktor maghfirah menjadi asing.



Penegasan Al-Qurãn sebagai faktor maghfirah tersirat dalam banyak ayat Al-Qurãn. Tapi gambaran yang paling utuh terdapat dalam surat Al-Muzzammil. Karena itu penjelasan tentang hal tersebut harus didahului dengan pemahaman yang cukup mendalam tentang surat Al-Muzzammil.[13] Intinya, maghfirah yang dimaksud di sini bukanlah pengampunan tapi perbaikan, tegasnya perbaikan hidup.



Jelas, Allah menurunkan Al-Qurãn untuk memperbaiki kehidupan manusia. Dalam bahasa kiasan dikatakan bahwa penurunan Al-Qurãn dilakukan untuk “mengeluarkan manusia dari gelap menuju terang.” Bicara gelap dan terang di sini adalah bicara gelap dan terang alam pikiran, bukan alam lingkungan fisik. Dalam konteks istilah maghfirah, alam pikiran yang ‘gelap’ adalah alam pikiran yang jãhil/جاهل , bodoh, dalam arti tidak mengenal ajaran Allah.



Jadi, bicara Al-Qurãn sebagai faktor maghfirah pada hakikatnya adalah bicara tentang fungsi Al-Qurãn sebagai sebuah ilmu yang – katakanlah – reformis, yaitu bersifat memperbaiki; dengan catatan bahwa perbaikan itu bermula dari perbaikan alam pikiran, yaitu dimulai dari proses pemberantasan buta ajaran Allah (Al-Qurãn) itu sendiri.



Proses itulah yang seharusnya dijalankan oleh para dã’i!!!



[1] Lihat Oxford Learner’s Pocket dictionary dll.



[2] Ada pakar yang mengatakan bahasa dan sastra adalah dua ‘makhluk’ yang identik (sama). Tapi ada pula yang mengatakan bahsa dan sastra ibarat dua sisi mata uang. “Ketika bahasa dan sastra yang diibaratkan sebagai dua sisi dari mata uang itu diperhadapkan dengan kebudayaan, pertanyaan yang layak dijawab ialah sisi mana yang berhadapan dengan atau yang menghadap ke arah kebudayaan. Jawabannya ialah sastra. Jadi, sastralah yang merupakan bagian dari kebudayaan,” tulis Hasan Alwi dan Dendy Sugono dalam buku Politik Bahasa, hal.xxii, Progres & Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta, 2003.



[3] Akan dibahas pada bab tujuan da’wah.



[4] Lihat antara lain kamus Al-Munjid.



[5] Maksudnya, gambaran Musa dengan umatnya, Isa dengan umatnya, adalah sama dengan gambaran Muhammad dengan umatnya, karena semua menerapkan kitab-kitab Allah yang mereka terima.



[6] Ilmu Filsafat Agama, Achmad Roestandi SH, hal. 43-47, Yayasan Lembaga Pengarang & Penerbit Universitas Islam Nusantara, Bandung,



[7] Idem note 4, hal. 50-51.



[8] Idul Fitri: Kembali Hidup Menurut Sistem Zakat, hal. 26, cetakan ke-III, Jakarta, Mei 1978.



[9] Oxford Advanced Learner’s Dictionary Of Current English, AS Horby with AP Cowie & AC Gimson, Oxford University Press 1974.



[10] Untuk masa-masa sebelum Al-Qurãn, ilmu yang benar itu terdapat pada kitab-kitab Allah yang lain (Zabur, Taurat, Injil, dsb.).



[11] Idul Fitri: Kembali Hidup Menurut Sistem Zakat, hal. 31.



[12] Surat Ali ‘Imran ayat 60, dll.



[13] Lihat lampiran: Ringkasan Tafsir Surat Al-Muzzammil.

1 komentar:

  1. Ente udah bener ada tulisan "Alquran adalah pedoman" tapi alquran yang buatan siapa, dalil menafsirkan dari Masdar aja udah konyol, sudah jelas jelas Alquran dituliskan, dan tidak bisa menulis sendiri, teori anda untuk membantah makna dari Masdar yang berlaku pada bahasa Arab anda sama saja membantah Bangsa Arab Tak ada, dan diperparah lagi Teori-teori ente dipake untuk membantah Ayat-ayat yang dituliskan pada Alquran, jadi yang Menjadi Pedoman buat ente apa? Perspektif pikiran anda sendiri atau alquran, Alquran dirubah bahasanya dan tatanannya dari Fakta nyata dimuka bumi, lalu dengan sekonyong2 orang-orang kayak ente cuma berdasar imajinasi (pemikiran) bisa dengan mudah mementahkan segala hal tanpa dipelajari lebih baik dan lebih jauh, jika memang tak mengerti mengenai Budaya Arab dan tatanan bahasa (masdar)

    BalasHapus