Minggu, 07 Agustus 2011

NAPAK TILAS ' SORGA ATAU JANNAH ' DALAM FAKTA NABI ADAM AS ( 2 )

Khalîfah

Kita akan merujuk surat Al-Baqarah ayat 30 sampai 37. Di sini sedikitnya ada 11 (sebelas) kata atau istilah kunci yang perlu kita pahami, yaitu: khalîfah (30), ‘allama, al-asmã’, ‘aradha (31), usjud (34), uskun, zaujuka, al-jannah, asy-syajarah (35), fa talaqqã, kalimãtin, fa tãba (37).

Kita mulai dengan istilah khalîfah?

Ya, tentu saja!

Kebetulan saya juga penasaran ingin tahu pengertian sebenarnya dari istilah ini; terutama ketika dikaitkan dengan Adam. Benarkah bahwa pengertian khalîfah itu adalah “wakil Allah di bumi”?

Wakil Allah di bumi? Untuk apa?

Untuk mengurus bumi ini!

Ha ha! Mengurus, atau menguras? Bukankah kenyataannya manusia justru mengeksploitasi dan merusak bumi?

Nah, justru karena itu saya bertanya. Bila ternyata manusia hanya menimbulkan kerusakan di bumi, berarti benar tebakan malaikat bahwa penciptaan manusia hanya akan menimbulkan kerusakan di dumi, dan bahkan menumpahkan darah!

Bila malaikat benar dengan tebakannya, seperti terkesan dari surat Al-Baqarah ayat 30 itu, berarti Allah salah. Berarti keputusan Allah untuk menciptakan manusia itu tidak bijaksana.

Nah, nah! Saya juga ingin penjelasan tentang hal itu!

Ha ha! Mari kita pelajari masalah demi masalah secara tertib. Pertama, kesampingkan dulu anggapan bahwa surat Al-Baqarah ayat 30 sampai 37 ini bicara tentang penciptaan Adam sebagai manusia pertama.

Lho, mengapa?

Sebab, di sini pokok pembahasannya bukan itu, bukan tentang penciptaan manusia pertama, tapi tentang penobatan Adam sebagai khalîfah!

Jadi, maksud anda, Adam bukan manusia pertama?

Tidak. Bukan itu maksud saya. Saya hanya ingin mengatakan bahwa topik dalam rangkaian ayat yang kita pelajari bukanlah tentang penciptaan Adam sebagai manusia pertama, tapi – sekali lagi – ini tentang penobatan Adam sebagai khalîfah. Dan inilah, agaknya, yang membuat Malaikat bertanya, “Apakah Anda (Allah) hendak menghadirkan seseorang yang akan membuat kerusakan, yaitu mengadakan pertumpahan darah di situ (di bumi)?”

Hmh…

Coba anda pikir, bila saat itu Adam baru hendak diciptakan, sebagai manusia pertama, dari mana Malaikat bisa tahu bahwa ia akan merusak dan melakukan pertumpahan darah (berkelahi; berperang)?

Eh… Belum jelas. Saya masih belum memahami jalan pikiran anda.

Baiklah. Kalau begitu, mari kita kaji dulu pengertian istilah khalîfah ya!

Ya, silakan.

Khalîfah biasa diterjemahkan sebagai pimpin atau penguasa…

Maaf, saya potong! Apa hubungan khalîfah dengan khilãfah?

Dalam pengertian umum, hubungan keduanya seperti raja dengan kerajaan. Bila khalîfah berarti “raja”, maka khilãfah berarti “kerajaan”. Bila khalîfah berarti “pemimpin”, maka khilãfah berarti “kepemimpinan”. Tapi, dalam peristilahan politik umat Islam sekarang, khilãfah adalah sebuah sistem pemerintahan yang dipimpin oleh seorang khalîfah. Dan ini, dari segi sejarahnya, berkaitan dengan para pemimpin negara yang merupakan khalîfah (pengganti) Nabi Muhammad. Inilah pengertian khalîfah yang awal, dalam konteks perpolitikan umat Islam.

Jadi, dalam konteks sejarah politik umat Islam yang awal itu, khalîfah berarti pengganti Nabi Muhammad?

Ya, pengertian istilahinya, terminologisnya, begitu. Tapi harfiahnya, khalîfah sebenarnya berarti “orang yang datang belakangan”, yang bisa diterjemahkan sebagai “pengganti” atau “pelanjut”.

Bisa berarti “wakil” juga?

Hmh, saya kurang yakin! Terutama bila dikaitkan dengan Nabi Muhammad sebagai kepala negara, misalnya, saya belum pernah mendengar atau membaca bahwa beliau mempunyai khalîfah dalam arti wakil, atau dalam istilah sekarang – misalnya – wakil presiden, atau ketua II.

Jadi, Nabi Muhammad sebagai kepala negara memang tidak mengangkat wakil ya?

Iya! Kalau saya tak salah.

Naah, kalau begitu, mengapa dalam konteks Adam, “khalîfah” itu diartikan “wakil”, bahkan “wakil Allah”, kalau saya tak salah ingat.

Ya. Itulah pengertian yang diajarkan kepada kita secara turun-temurun, melalui ilmu tauhid, kalau tak salah. Manusia dikatakan sebagai khalîfah dalam arti “wakil Allah di muka bumi”.

Ayat apa yang menjadi dalilnya?

Potongan surat Al-Baqarah ayat 30; inni jã’ilun fîl-ardhi khalîfah, yang oleh para penafsir Departemen Agama diterjemahkan menjadi: Aku hendak menjadikan khalifah di bumi. Dalam hal ini, Dep-Ag sendiri mengartikan khalîfah sebagai “pengganti; pemimpin; penguasa”. Coba anda pikir, bila kita ambil arti “pengganti”, misalnya, pasti lebih ‘parah’ lagi pengertian yang timbul.

Adam diciptakan sebagai “pengganti” Allah di bumi?

Ya! Hebat sekali kan?

Jadi, bagaimana dong menjelaskan istilah “manusia adalah wakil Allah di bumi”?

Saya kira dalam hal ini ulama pun bingung menemukan dalil yang jitu. Tapi, agak menarik juga ketika saya membaca, misalnya, Tafsir Al-Muyassar, karya Asy-Syaikh Muhammad ‘Alî Ash-Shãbûnî. Di situ, potongan surat Al-Baqarah ayat 30 tersebut diparafrase (diceritakan ulang dengan redaksi berbeda) menjadi: Innî khãliqun fî hãdzihil-ardhi basyaran, yakhlifu ba’dhuhum ba’dhan, qarnan ba’du qarnin, wa jîlan ba’du jîlin. (Sungguh aku akan menciptakan di bumi ini seorang manusia, yang akan berganti satu dengan yang lain, dari masa ke masa, dari usia ke usia).


Apa keistimewaan – atau keganjilan – tafsir itu?

Di situ khalîfah diartikan basyar (seorang manusia). Dan ini ada dasarnya, misalnya bila dikaitkan dengan surat Al-Hijr ayat 28, atau surat Shãd ayat 71. Ini istimewanya. Dan ini adalah contoh sederhana dari tafsir Al-Qurãn dengan Al-Qurãn. Khalîfah, harfiahnya memang tidak sama dengan basyar. Tapi apa khalîfah itu bila bukan basyar? Dan, coba anda perhatikan ini: bila susunannya kita balik, yaitu basyar kita tafsirkan sebagai khalîfah, maka khalîfah itu – yang bentuk morfologisnya adalah kata sifat – menjadi sifat bagi basyar.

Lantas?

Ini yang menarik! Ini yang membuat saya selalu terpesona dan terharu setiap saya mempelajari Al-Qurãn! Dalam tafsirnya tersebut, Asy-Syaikh Muhammad ‘Alî Ash-Shãbûnî menyebutkan bahwa sifat dari basyar (manusia) itu adalah “berganti satu dengan yang lain, dari masa ke masa, dari usia ke usia”. Ini benar. Tapi hanya sebatas manusia secara lahiriah (fisik).

Maksud anda, yang dikemukakan Asy-Syaikh Muhammad ‘Alî Ash-Shãbûnî itu baru mengenai manusia secara fisik?

Ya. Baru menyangkut sifat (keadaan) menusia secara fisik. Belum mengenai manusia dari segi psikologisnya, belum menyentuh sifat manusia secara kejiwaannya.

Kalau begitu, andalah yang harus menjelaskan hal itu kepada saya sekarang!

Insya-Allah, saya akan coba. Tapi anda harus cukup sabar; karena saya akan mengajak anda untuk meninjau masalah ini dari segi bahasa.

Lho, bukankah sejak awal anda sudah memusingkan saya dengan itu?

Ha ha! Maaf. Bukan saya mau berlagak sebagai ahli bahasa. Tapi mempelajari Al-Qurãn tanpa peduli dengan bahasa aslinya adalah pekerjaan main-main. Ironisnya, kebanyakan peserta pengajian justru seperti menghindari, bahkan lari, dari pelajaran bahasa.

Tapi, apakah untuk mendapatkan makna Al-Qurãn setiap orang harus memahami bahasa aslinya?

Idealnya, saya kira iya! Itu ibarat passport atau visa untuk kunjungan ke negara lain. Bila anda tidak memilikinya, anda jadi pendatang haram! Dan ingat, ini bukan dalam arti fisik. Gambaran lainnya, mungkin begini: Anda bisa mengetahui tentang kuman atau virus melalui lisan atau tulisan orang lain. Tapi untuk mengetahuinya secara pasti, anda harus menggunakan mikroskop.

Wah, andai bahasa seperti mikroskop, pasti enak ya? Bisa dibeli!

Ha ha! Andai ilmu bisa dibeli, tentu tak perlu ada guru, tak perlu ada sekolah.

Ya, ya! Sekarang, coba lanjutkan penjelasan anda tentang khalîfah itu.

Tadi saya katakan bahwa dalam hal itu Tafsir Al-Muyassar baru menyentuh sifat manusia secara lahiriah. Jelasnya, secara fisik, kehadiran manusia di bumi ini bersifat khalîfah, dalam arti bergantian atau bergiliran. Tapi bagaimana dengan sifat atau keadaan jiwanya? Sama! Sifatnya khalîfah juga. Tapi, apa arti khalîfah dalam konteks kejiwaan manusia? Di sinilah kita perlu meninjau lebih jauh arti kata khalîfah menurut ilmu bahasa, khususnya lewat ilmu sharaf atau morfologi.

Oke. Silakan dimulai!

Tadi saya katakan bahwa khalîfah adalah kata sifat. Tepatnya kata sifat dengan pola fa’îlah. Pola ini, selain menandai sifat seseorang atau sesuatu, juga merupakan pola kata pelaku (ismul-fã’il) atau active participle bagi kata kerja yang tidak berobjek (al-fi’lul-lãzim).

Ya, ya. Anda sudah mengatakan berkali-kali bahwa khalîfah adalah kata sifat. Dan sekarang anda menambahkan bahwa itu juga bisa menjadi kata pelaku dari kata kerja tak berobjek? Betul?

Ya.

Nah, lantas apa kata kerja yang dimaksud?

Khalafa-yakhlufu, yang ternyata mempunyai banyak arti. Di antaranya, yang berkenaan dengan manusia, khalafa-yakhlufu itu berarti menggantikan; dungu; bodoh; merusak; mengubah; dan berbau busuk. Coba, apa yang terjadi bila kata-kata tersebut diubah ke dalam kata sifat, dalam arti menjadi sifat manusia?

Hmh, apa ya? Orang yang menggantikan; orang yang dungu; orang yang bodoh; orang yang merusak; orang yang mengubah; orang yang… berbau busuk!

Seratus untuk anda!

Jadi, … itu sifat-sifat manusia? Maksud saya, … itu variasi arti khalîfah?

Ya! Variasi arti khalîfah, variasi sifat basyar, alias manusia.

Waah, kok tampaknya… jelek semua sih?

He he… Ada yang mengatakan istilah “manusia” sendiri sebenarnya berasal dari man nasiya, yaitu “orang yang lupa”. Dan, menurut sebuah hadis, manusia itu adalah tempat salah dan lupa.

Duh…

Al-Qurãn sendiri juga menyebut secara verbal bahwa manusia itu, antara lain, bersifat ‘ajûlan, tergesa-gesa, ceroboh (surat Al-Isrã’ ayat 11).

Wah, wah…

Masih di dalam Al-Qurãn, manusia juga dikatakan mempunyai sifat-sifat zhalim dan dan bodoh. (Surat Al-Ahzab ayat 72).

Masih ada lagi?

Ya. Dalam surat Al-Ma’arij ayat 19-21 disebutkan bahwa manusia itu cengeng, suka mengeluh bila mendapat kesulitan, dan suka kikir ketika berharta.

Ehmh, ga ada penyebutan sifat-sifat yang bagus ya?

Setahu saya, begitulah. Al-Qurãn tampaknya lebih cenderung menyebut sifat-sifat buruk manusia.

Mengapa? Bukankah itu bisa membuat manusia berkecil hati?

Tidak! Justru dengan cara itu, agaknya, Allah ingin menekankan pentingnya peran ilmu!

Wah! Bagaimana tuh penjelasannya?

[BERSAMBUNG]

2 komentar:

  1. wabasysyiri alladziina aamanuu wa'amiluu alshshaalihaati anna lahum jannaatin tajrii min tahtihaa al-anhaaru kullamaa ruziquu minhaa min tsamaratin rizqan qaaluu haadzaa alladzii ruziqnaa min qablu wautuu bihi mutasyaabihan walahum fiihaa azwaajun muthahharatun wahum fiihaa khaaliduuna

    Dan sampaikanlah solusi hidup gembira ( sesuai Alquranu wa Sunnaturrasul ) kepada mereka yang beriman ( berpandangan dan bersikap hidup sesuai Alquranu wa Sunnturrasul ) yaitu berbuat salih ( tepat ) , bahwa bagi mereka dipastikan kehidupan indah bagaikan taman - taman yang dialiri sejenis bangunan - bangunan irigasi di dalamnya. Setiap mereka (mukmin yg diumpamakan taman itu ) dipastikan hidup adil makmur menurut yg demikian ( Alquranu wa Sunnaturrasul ) bagaikan buah-buahan yg panen begitulah kehidupan mukmin bagaikan taman yg berbuah adil makmur ( dunia akhirat ) , mereka mukmin mengatakan : "Inilah jannah dijelaskan secara perumpamaan ( sastra ) kepada mereka sesuai dengan yg demikian ( Alquranu wa Sunnaturrasul )." yaitu sebagai konsep paduan2 yg obyektif ilmiah akhirnya mereka selamanya menurut yg demikian ( Alquranu wa Sunnturrasul ) yaitu seabadi pandangan dan sikap hidupnya......
    41 menit yang lalu · ( QS: 2/ 25 )

    lebih gamblang mukmin = jannah diungkap dlm QS: 9 /111

    "Sebenarnya Allah, dengan al-Qur’an ms Rasul-Nya, telah membarter dari ( manusia yg mau jadi ) mukmin (yang hidup berpandangan dan bersikap dengan al-Qur’an ms Rasul) yaitu berupa nafsu / egoisme( subyektivismenya / ke akuan nya) dan seluruh harta kekayaannya (menjadi fungsional menurut Allah), bahwa bagi mereka yang demikian itu berhak atas jannah (satu kehidupan hasanah di dunia dan hasanah di akhirat), dimana mereka siap berjuang untuk ketahanan penataan ajaran Allah (al-Qur’an) ms Rasul-Nya sehingga mereka mampu membunuh ego dan sedia dibunuh egonya , merupakan satu ikatan janji menurut-Nya yang secara obyektif tersebut didalam Taurat ms Musa, didalam Injil ms Isa, dan didalam al_Qur’an ms Rasul Muhammad SAW. Dan siapa yang sudah menyempurnakan Imannya menjadi satu ikatan janji dengan ajaran Allah (al-Qur’an) ms Rasul-Nya (Piagam Aqabah II) maka gembirakanlah mereka, sesuai dengan yang kalian menjanjikan mereka dengan al-Qur’an ms Rasul, menjadi satu ikatan perjanjian diantara kalian (Piagam Yastrib). Dan yang demikian itu Dia (Allah), dengan al-Qur’an ms Rasul-Nya, adalah Pembina kemenangan hidup tiada tanding”....

    jadi antara pasti alam ( taman 2 = jannaatin yg dialiri bangunan irigasi ) dengan sosial budaya mukmin yg dialiri dg pendidikan AMSR adalah pasangan yg obyektif ilmiah tuk melambangkan kehidupan harmonis. taman = lambang kehidupan indah yg sejuk, nyaman dan merindangkan panen. begitulah kehidupan mukmin yg saling menghamburkan kasih sayang, adil makmur dan saling sinergis tolong menolong
    21 menit yang lalu ·

    saya tidak menterjemahkan ajwaajun = istri2 dari sisi biologis. tapi ajwaajun = pasangan2 dari sisi sosial budaya yaitu hukum alam ( taman ) selaras dengan hukum sosial budaya ( mukmin ) dari sisi penataan hidup. alam di tata dengan irigasi. mukmin ditata dengan pendidikan Alquranu wa Sunnaturrasul . taman menghasilkan buah2an. mukmin menghasilkan adil makmur

    kenapa konsep jannah berlaku dimuka bumi ? karena jannah = Fid-dunya khasanah wa fil akhirati khasanah ( kehidupan indah dunia akhirat sesuai Alquranu wa Sunnaturrasul )

    BalasHapus