Minggu, 14 Agustus 2011

KETELADANAN AGUNG RASULULLAH



Tidak ada satu buku pun di dunia yang mampu menimbulkan revolusi. Manusia biasanya tidak terpengaruh oleh prinsip-prinsip yang tidak bisa dilaksanakan secara praktis. Quran adalah kitab yang hidup, namun kaum muslimin masa kini tidak memiliki ásedikit pun karakter yang dicontohkan rasulullah. Ini bukan berarti bahwa Quran telah kehilangan tenaga revolusionernya. Tenaga itu ada dan akan ada selamanya. Bedanya, kini kita tidak memiliki keberuntungan dengan kehadiran dan bimbingan Sang Guru Agung, yang setiap detik kehidupannya adalah penjelmaan Quran.
Quran sendiri menegaskan:
Kamilah yang mengutus seorang rasul dari kaum yang ummi, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Kami, mensucikan mereka, dan mengajarkan kepada mereka ilmu serta kebijaksanaan. Sungguh, sebelumnya mereka dalam keadaan sangat ‘bodoh’.[1]
Bila ingin merontokkan kebodohan, kita harus menjadikan kehidupan dan ajaran Rasulullah sebagai pedoman. Allah menegaskan:
Sungguh kehidupan Rasulullah adalah model kehidupan yang terbaik.
Banyak khatib di dunia yang berkhotbah dengan baik. Mereka menyampaikan ajaran-ajaran yang sangat indah. Namun sedikit sekali di antara mereka yang mampu tampil sebagai Pribadi yang layak diteladani dalam pelaksanaan ajaran ámereka. Sebaliknya yang membuat Rasulullah menjadi istimewa justru kepatuhannya yang sempurna atas ajaran-ajaran yang disampaikannya. Ia mengajrkan agar orang melakukan shalat lima kali sehari, tapi ia sendiri shalat delapan kali. Selain melakukan shalat yang lima kali itu, ia laksanakan shalat ásetelah matahari naik (dhuha) pada siang hari. Malam harinya ia bertahajud. Para sahabatnya mengatakan bahwa ketika ia shalat detak jantungnya terdengar seperti air mendidih, dan air ma tanya jatuh bercucuran. Malam hari ia bahkan melakukan shalat sampai kakinya bengkak. Air matanya bercucuran seperti rantai yang saling bersambung. Karena itu Aisyah pun pernah menegurnya, “Ya Rasulullah, bukankah anda sudah tidak mempunyai dosa lagi? Mengapa anda bersusah-payah melakukan shalat seperti itu?”  Rasulullah menjawab, “O Aisyah, tidak bolehkah aku menjadi hamba yang bersyukur?”
Ia menyuruh umatnya berpuasa sebulan dalam setahun, tapi bagi dirinya sendiri tak ada bulan dan minggu yang dilaluinya tanpa diisinya dengan puasa. Dalam seminggu ia sering berpuasa tiga hari berturut-turut. Para sahabatnya pun bertanya, “Ya Rasul, haruskah kami mengikuti perbuatan anda ini?” Sang Rasul menjawab, “Jangan! Kalian tak dapat caraku, karena Tuhan memberiku makan secara rahasia.” [2]
Ia mengajarkan pengendalian nafsu dan kesenangan. Kendati sebagai penguasa Arabia, ia tidur di atas tikar pandan yang kasar, sehingga menimbulkan bepas pada tubuhnya ketika ia bangun. Para sahabatnya berkata, “Ya Rasulullah, bila anda ijinkan, kami akan sediakan tempat tidur yang layak bagi anda.”  Rasulullah menjawab, “Kenapa aku harus ámemusingkan masalah duniawi itu? Aku hanyaibarat seorang pengembara yang sedang beristirahat di bawah pohon, yang kemudian akan meneruskan perjalanannya.”
Kemiskinan dan kesederhanaan memang tidak asing bagi dunia, tapi jarang putri seorang rasul datang menemui ayahnya sambil memperlihatkan luka-luka di tangannya seraya mengatakan, “Ayah, lihatlah, tanganku rusak karena penggilingan gandum. Ijinkahlah aku memiliki seorang pembantu.”
Sang Rasul menjawab, “Fatimah, kamu tidak boleh memiliki pembantu.
Pembantu hanya pantas bagi para janda dan orang miskin Madinah.”
Putri raja manakah yang rela menggiling gandum dengan tangannya sendiri sambil terus menghafal Quran?[3]
yang rela menolak kekayaan, emas dan perak, dan memilih kehidupan yang penuh pengekangan hawa nafsu, dan menjauhi kelezatan makanan dan minuman? Sang Rasul menuturkan bahwa dihadapan bentangan tanah Makkah yang berbatu dan gersang Allah pernah menawarkan untuk mengubah semua itu menjadi emas. Namun sang Rasul menjawab, “Tuhanku, yang kuinginkan hanyalah kenyang satu hari dan lapar satu hari. Ketika lapar, aku akan mengingatMu dan menangis di hadapanMu. Ketika kenyang, aku akan memuji, memuja, dan bersyukur kepadaMu.”
Ketika sang Rasul mengajarkan kewajiban menuntut ilmu, sampai ia menegaskan bahwa ilmu boleh dituntut walau ke negeri Cina, ia menunjukkan penghargaannya yang tinggi terhadap ilmu. Pada masa-masa awal kerasulannya, setiap usai menerima wahyu ia selalu bersusah-payah mempelajarinya, sampai ia nampak seolah-olah sudah muak pada kehidupan.
Sebagai bukti, Quran memberikan gambaran:
Jangan pacu lidahmu agar kamu cepat menguasai Quran;
(karena) sebenarnya kamu harus mengikuti petunjuk Kami, baik dalam menghimpun maupun dalam mengkajinya. Apabila telah Kami terangkan bagaimana mengkajinya, maka patuhilah. Setelah itu, sungguh akan Kami ajarkan maknanya seterang-terangnya.[4]
Sebagai pelaksana dari konsep beriman kepada Allah lalu iringi dengan istiqamah (keteguhan dalam iman itu), sang Rasul memperlihatkan keperkasaan karakter yang mampu mengatasi sakit karena dihujani batu.[5]
Ia bertahan menangung hinaan dan ejekan, dan dengan berani menghadapi kesulitan hidup karena pemboikotan. Bahkan ketika darah mengucur dari kepalanya yang terluka, pendiriannya tak pernah goyah, dan tekadnya tetap membaja. Ia tidak mengadu kepada Allah, tapi anya berdoa: Ya Allah, beri petunjuk kaumku, karena mereka itu tidak mengetahui (missiku).

[1] Bila yang dimaksud penulis ini adalah surat Al-Jum’ah ayat 2, maka terjemahannya adalah: Dialah (bukan Kami) yang menampilkan bagi kaum yang ummi seorang rasul dari kaum itu sendiri, yang membacakan bagi mereka ayat-ayatNya, yang mensucikan mereka, yaitu dengan mengajarkan kitab yang berisi hukum (kebijaksanaan), karena sesungguhnya sebelum itu (= sebelum diutus rasul) mereka dalam keadaan yang benar-benar sesat (tak kenal hukum). (AH)
[2] Cerita ini perlu diusut kebenarannya; karena bila benar Allah memberi Rasulullah makan secara rahasia, bukahkan itu berarti bahwa ia tidak berpuasa? Selain itu, cerita ini bertolak belakang dengan ayat yang menyatakan bahwa Rasulullah adalah orang yang harus diteladani, dan bahwa ia adalah manusia biasa seperti kita, yang makan dan minum seperti biasayaitu dengan melakukan usaha, bukan diberi makan oleh Allah. Bila benar Allah memberinya makan secara rahasia, mengapa pula ia pernah mengganjal perutnya dengan batu untuk menahan lapar? (AH)
[3] Pada masa itu kegiatan menghafal Quran demikian memasyarakat, sehingga hampir segala keiatan sehari-hari selalu mereka selingi dengan menghafal Quran. Catatan ayat-ayat Quran selalu mereka bawa, yang selalu mereka buka setiap ada kesempatan. Mereka juga meletakkan tulisan berisi ayat-ayat Quran di tempat-tempat tertentu yang membuatnya sering terlihat dan terbaca. Dengan demikian Quran menjadi akrab dengan mereka. Tapi selanjutnya kegiatan semacam ini menjadi langka, sehingga Quran pun menjadi asing dalam kehidupan umat Islam. (AH)
[4] Surat Al-Qiyamah ayat 16-18. (AH)
[5] …oleh penduduk Thaif. (AH)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar