Jumat, 05 Agustus 2011

QS. MUZZAMMIL : KIAT INTERNALISASI NILAI AL- QURAN

Pendahuluan
A. Definisi
Ada dua istilah yang lebih dulu perlu kita sepakati definisinya. Pertama adalah nilai dan kedua internalisasi. Sedangkan al-qurãn, tanpa disebutkan – it goes without saying – penulis beranggapan kita sudah tahu definisinya.
Nilai menurut Dr. Mudji Sutrisno, SJ, adalah “sesuatu yang dihayati, diterima, dan diacu sebagai yang berharga, yang baik, yang benar dan indah untuk kehidupan”. Bila definisi itu kita setujui dan kita kaitkan dengan Al-Qurãn, maka nilai Al-Qurãn adalah “Segala sesuatu yang terdapat dalam Al-Qurãn, yang dihayati, diterima, dan diacu sebagai yang berharga, yang baik, yang benar dan indah untuk kehidupan.”
Sedangkan internalisasi, masih menurut Dr. Mudji Sutrisno dalam bukunya, Pendidikan Pemerdekaan, adalah “sebuah tahap di mana orang memproses pembatinan nilai dari sesuatu yang di luar dirinya (eksternal) menjadi bagian dari dirinya atau batinnya (internal). Sesuatu yang sebelumnya berada di luar, merupakan pengetahuan, dalam internalisasi diproses untuk menjadi bagian wawasannya, acuan dirinya. Sesuatu yang sebelumnya merupakan pengetahuan dari luar yang disampaikan sebagai pengetahuan kognitif, kini diproses dalam pembatinan untuk menjadi sesuatu yang afektif menyatu dengan dirinya. Di tahap internalisasi inilah terletak batu uji apakah seseorang ‘hanya ditempeli atau menempelkan nilai’ sebagai kulit luar untuk pribadinya ataukah ia mampu membatinkannya menjadi miliknya.”
Ringkasnya, internalisasi adalah memindahkan nilai dari luar ke dalam diri (to convey value from outside into inside a person’s mind), atau mengubah sesuatu yang semula gharïb (غريب), asing, menjadi qarïb (قريب), akrab (ليقرّب ما كان الغريب).
Dr. Mudji Sutrisno yang agaknya sangat tertarik pada metode pendidikan Paulo Freire dari Brasil, menyebutkan bahwa proses internalisasi nilai bagi seorang anak dilakukan antara lain dengan cara mengungkapkan pengetahuannya melalui warna dan gambar, dan dengan kegiatannya seperti menempel kliping kertas koran, guntingan gambar, atau melingkari dan memberi tanda palang pada kalimat yang benar, atau merangkai gambar-gambar menjadi sebuah cerita. Dengan cara itulah seorang anak ‘membatinkan’ (meresapkan ke dalam dirinya) segala sesuatu yang semula dipelajarinya secara teoritis.
Lalu bagaimana cara kita, yang mengaku mu’min, melakukan internalisasi nilai Al-Qurãn? Semula penulis, mungkin seperti halnya kebanyakan orang, mengira bahwa usaha internalisasi tersebut bisa dan boleh dilakukan dengan berbagai cara. Tapi belakangan, setelah cukup lama mempelajari Al-Qurãn dan membandingkannya dengan kenyataan umat Islam, ketahuanlah bahwa asumsi tersebut mengandung kesalahan mendasar, yaitu – katakanlah – kesalahan metodis. Yaitu kesalahan memposisikan Al-Qurãn; yang seharusnya menjadi imam (subyek) kita posisikan menjadi ma’mum (obyek).
Alhasil, internalisasi Al-Qurãn dilakukan secara “semau gue”, dengan teknik parsial dan acak-acakan, sehingga isi Al-Qurãn secara utuh tidak mampir ke dalam ruang kesadaran kognitif umat, sehingga otomatis menjadi jauh dari ruang kesadaran afektif mereka.

B. Prosedur dan proses internalisasi
Kita sering mengutip surat Al-Ahzab ayat 21 yang menegaskan posisi Rasulullah sebagai uswah hasanah, teladan terbaik, atau the best model. Teladan terbaik dengan kata lain adalah satu-satunya teladan (the only model), alias tidak ada teladan lain kecuali Rasulullah, dalam segala aspek kehidupan (tentu dengan beberapa pengecualian). Tapi, pernahkah terpikir oleh kita bahwa keteladanan Rasulullah itu juga mencakup satu segi terpenting dari pembentukan akhlak (kepriba-dian) Rasulullah sendiri, yaitu dalam ‘internalisasi’ nilai-nilai Al-Qurãn? Pernahkah terlintas dalam pikiran kita bahwa cara Rasulullah menerima dan membatinkan wahyu adalah suatu atau satu-satunya sunnah (= jalan; prosedur) untuk mempelajari Al-Qurãn bagi para pengikutnya?
Tapi, bagaimana pula kita bisa merumuskan bahwa cara Rasulullah membatinkan wahyu adalah – selanjutnya – merupakan prosedur bagi kita dalam melakukan usaha yang sama? Jawaban untuk pertanyaan itu penulis dapati pada surat Al-Muzzammil.
Selama ini kita selalu mendapat keterangan bahwa al-muzzammil (seperti juga al-muddattsir) adalah sebutan (julukan) bagi Nabi Muhammad, yang ketika wahyu pertama datang ia dalam keadaan berselimut (harfiah). Jelasnya, sebutan itu hanya bernilai historis sempit, yaitu hanya berkaitan dengan satu penggalan waktu (hïnun minaddahri; momentum) tertentu. Begitu lepas dari momentum itu, maka lepas pula julukan itu. Selain itu, julukan tersebut juga hanya bersifat pribadi (personal), yaitu hanya berlaku dan berkaitan semata-mata dengan diri Nabi Muhammad. Dengan kata lain, bila kita menyebut Rasulullah sebagai uswah hasanah, keadaan sebagai al-muzzammil (al-muddatstsir) tidak termasuk ke dalam konteks itu.
Tapi itu adalah keterangan di luar teks surat Al-Muzzammil, sesuatu yang – katakanlah – masuk ke dalam klasifikasi asbabun-nuzul. Sebuah gambaran di luar teks tentang latar belakang historis teks; yang boleh dipercaya (bila akurat) dan boleh juga tidak (bila bersifat mengada-ada).
Dalam kajian ini penulis justru hendak menegaskan bahwa ‘julukan’ sebagai Al-Muzzammil bagi Nabi Muhammad tidak hanya bersifat historis-personal tapi juga filosofis (philosophical), sehingga bisa berlaku bagi siapa saja dan kapan saja, sepanjang terliput (covered; included) dalam penggolongan (kategorisasi) yang tersirat dari isi surat itu sendiri.
Dalam konteks (yang tersirat dari teks) surat itu, julukan Al-Muzzammil terasa lintas personal dan lintas waktu. Bila dilihat dari perspektif asbabun-nuzul, perintah untuk bangun (qum), misalnya, tentu hanya berlaku untuk satu kali pekerjaan, yaitu bangkit dari posisi berbaring menjadi duduk atau berdiri. Tapi dalam konteks suratnya sendiri, perintah itu sama sekali tidak terkesan sebagai sesuatu yang hanya bisa direaksi dengan sekali tindakan. Sebaliknya, perintah itu justru mengisyaratkan sebuah rumus atau kiat untuk lepas dari kondisi ‘berselimut’, atau untuk melepaskan ‘selimut’ selama-lamanya; yang selanjutnya mengajak kita bertanya tentang makna sebenarnya (filosofis) dari ‘selimut’ itu. Kesan itu tergores jelas melalui rangkaian ayat 1-4.
Ayat-ayat berikutnya, 5-8, menegaskan alasan logis dari perintah alokasi waktu (dalam jumlah yang banyak) di malam hari, yaitu karena waktu malam adalah asyaddu wath’an wa aqwamu qïlan (اشدّ وطئا وأقوم قيلا), amat sangat cocok untuk meresapkan ‘perkataan’ (ajaran; konsep). Sebaliknya, siang hari adalah waktu yang padat dengan segala kesibukan berantai, sabhan thawïlan (سبحا طويلا). Ayat ke-8 malah menegaskan bahwa bangun malam adalah kiat untuk melakukan penarikan diri dari pengaruh lingkungan, supaya bisa mengikatkan diri pada ‘perkataan’ (wahyu; Al-Qurãn) yang hendak dibatinkan (internalized). Kiat yang diajarkan Allah itu sekaligus juga merupakan koreksi atas penarikan diri dengan cara menyepi di goa (Hira) seperti yang pernah dilakukan Muhammad sebelum menjadi rasul.
Ayat 20 merangkaikan perintah bangun malam untuk mengkaji Al-Qurãn dengan perintah untuk melakukan shalat sebagai suatu kiat untuk membuat Al-Qurãn ‘tumbuh’ (menjadi kepribadian/akhlak). Cara itu – mengkaji mulai dari yang mudah, lalu membawa hasil kajian ke dalam shalat – ditegaskan Allah sebagai qardhun hasan.
Apa itu qardhun hasan? Bentuk kata kerjanya, qaradha, bisa berarti mengerat, menggigit, atau mengkredit (mencicil). Dalam konteks surat, qardhun hasan adalah “tindakan berkelanjutan (proses) mengkaji Al-Qurãn dengan memilih yang relatif mudah, lalu menghafalnya, supaya bisa dibawa ke dalam shalat”. Dengan demikian, qardhun hasan bisa diterjemahkan sebagai (teknik) ‘penggigitan’ Al-Qurãn yang sangat baik, karena dilakukan sedikit demi sedikit, sehinga mudah diendapkan dan dicernakan, alias mudah dibatinkan (diinternalisasi).

Analisis surat
A. Terjemahan
Menerjemahkan Al-Qurãn adalah pekerjaan sangat sulit, dan hasilnya – tidak bisa tidak – adalah sesuatu yang zhanni (spekulatif). Karena itu, kebanyakan orang mengambil cara aman dengan mengambil terjemahan versi Departemen Agama, yang merupakan hasil kerja banyak orang. Bila dalam kajian ini penulis tidak menggunakan terjemahan Dep-Ag, tujuannya tentu bukan untuk bersikap arogan, tapi cuma ingin menegaskan bahwa terjemahan Dep-Ag tidak boleh dijadikan standar. Secara logika, bila terjemahan Dep-Ag dijadikan standar, tamatlah tugas kita untuk mengkaji Al-Qurãn. Dengan kata lain, bila kewajiban mengkaji Al-Qurãn yang semula hukumnya (menurut teori fiqh) adalah fardhu ‘ain (kewajiban setiap orang yang tidak boleh didelegasikan) berubah menjadi fardhu kifayah (kewajiban yang boleh didelegasikan).
Berikut ini adalah terjemahan versi penulis:

1. Hai Muzzammil!
2. Banyaklah bangun malam (jangan terlalu banyak menggunakannya untuk tidur).
3. Bangunlah setengah malam atau kurang dari setengahnya;
4. Atau lebihkan dari setengahnya. Lalu kajilah Quran setertib-tertibnya.
5. Pasti (bila dilakukan pengkajian demikian), kami akan resapkan suatu konsep/ pedoman hidup yang mahaberbobot.
6. Suasana malam itu benar-benar cocok, dalam arti lebih mendukung pemahaman ujaran (ilmu/konsep);
7. Sedangkan pada siang hari kamu mempunyai banyak kesibukan.
8. Maka (pada malam hari) tancapkanlah ajaran Rabbmu ke dalam kesadaran, sampai kamu berpegang kepadanya sekuat-kuatnya.
9. (Dialah Allah) penguasa Masyriq dan Maghrib; hanya dia yang layak dijadikan ilah. Maka jadikanlah ajarannya sebagai satu-satunya andalan.
10. Selanjutnya, teguh bertahanlah menghadapi “propaganda” mereka (para penentang Quran), serta jauhi mereka dengan cara sebaik-baiknya.
11. Selebihnya (yang di luar kemampuanmu), yaitu para Mukadzdzibin (penipu masyarakat dengan gado-gado haq dan bathil) yang mengua-sai fasilitas kehidupan, serahkan saja kepadaku (biarkan sunnahku berjalan sebagaimana mestinya). Biarkan mereka merasakan kesena-ngan semu sesaat.
12. Sebenarnya kami (Allah) pastikan bagi mereka belenggu dan penjara kehidupan (jahïman) — karena pilihan demikian;
13. Serta “hidangan” (buah usaha) yang menyesakkan, yang menye-babkan penderitaan luar biasa — yang pasti akan mereka rasakan.
14. Suatu masa (ada giliran) bumi (pendukung sistem kehidupan) dan gunung-gunung (penegak sistem) berguncang (bergejolak), sehingga pada waktu itu gunung-gunung pun longsor seperti seonggok pasir.
15. Jelas sekali bahwa kami mengutus kepada kalian seorang rasul (Muhammad) sebagai syahïd (uswatun hasanah) bagi kalian; sebagaimana dulu kami utus seorang rasul (Musa) kepada Fir’aun (dan warga Mesir).
16. Maka Fir’aun menentang Sang Rasul, sehingga (karena itu) kami timpakan kepadanya siksa mahakeras.
17. Bagaimana cara kalian menyelamatkan diri, bila kalian menolak (untuk mempelajari) suatu masa (pergiliran sejarah), yang akan meng-ubah para bayi (konsep, ideologi) menjadi manusia tua-renta (tak berdaya, kadaluarsa)?
18. (perubahan itu menyebabkan) as-samã’ (tatanan kehidupan, struktur masyarakat) pecah berantakan. Ini merupakan rumusannya (Allah) yang dulu (dan seterusnya pasti) terlaksana.
19. Ini adalah peringatan yang sangat gamblang. Siapa pun yang suka (mematuhinya), maka berjuanglah dia menempuh jalan hidup yang diajarkan tuhannya.
20. Tuhanmu mengajarkan agar kamu (Muhammad) mengatur waktu bangun malam yang lebih cocok di antara dua pertiga, setengah, dan sepertiga malam; dan (begitu juga) segolongan orang yang (mau melakukan hal yang sama) mengikuti dirimu (dipersilakan memilih waktu yang cocok). Allah selalu memelihara kepastian pergiliran malam dan siang. Dia tahu bahwa (pengaturan waktu belajar malam itu) tak akan pernah terlintas perhitungan-(pemikiran)-mu, sehingga ia memberikan rujukan (tãba) kepada kalian. Maka selanjutnya (setelah ada rujukan, yakni cara pembagian waktu itu), kajilah Quran mulai dari mana saja yang Dia (Allah) mudahkan bagi kalian (dalam memahaminya). Ia (Allah) mengetahui bahwa di antara kalian akan ada yang sakit (namun mereka tetap bisa menggunakan waktu malam untuk mengkaji Quran), sementara yang lain sibuk bertebaran di seluruh permukaan bumi mencari rizqi yang diridhai Allah (namun mereka tetap bisa menggunakan waktu malam untuk mengkaji Quran), dan yang lainnya harus bertugas dalam peperangan demi tegaknya ajaran Allah (tapi mereka tetap bisa menggunakan waktu malam untuk mengkaji Quran). (Justru karena itulah) maka kajilah Quran dengan memilih yang terasa mudah bagi kalian, lalu lakukanlah Shalat (sebagai sarana pemantapan hafalan dan peresapan ke dalam kesadaran), dan selanjutnya wujudkan Zakat (sebagai gerakan pembabatan ajaran setan sekaligus penumbuhan ajaran Allah), atau (dengan kata lain) angsurlah (pengkajian dan pelaksanaan) konsep Allah itu dengan cara mengangsur yang sebaik-baiknya. Karena kebaikan apa pun yang kalian lakukan, yang kalian jalankan demi memenuhi kehendak Allah, dia akan menjadi suatu kebaikan yang mendatangkan keuntungan lebih besar. Maka (melalui pengkajian Quran dan shalat ini) bangunlah kerinduan untuk mela-kukan perbaikan hidup dengan ajaran Allah; karena Allah (dengan ajarannya) adalah maha pemberlaku perbaikan serta maha pewujud kehidupan kasih-sayang.

B. Tafsir
Sebagai sebuah wacana, surat ini dapat kita pecah menjadi tiga bagian, yaitu pendahuluan (ayat 1-4), uraian (ayat 5-19), dan kesimpulan (ayat 20).
Pendahuluan surat ini mencakup gagasan inti berupa perintah untuk melakukan pengkajian (studi) Al-Qurãn pada malam hari. Gagasan disampaikan sang pemilik gagasan (Allah) kepada lawan bicaranya yang disebutnya sebagai Al-Muzzammil. Secara pragmatis, karena penerima wahyu pertama adalah Nabi Muhammad, sebutan Al-Muzzammil itu tentu hanya berlaku bagi Nabi Muhammad, tak peduli apakah ketika itu secara fisik ia mengenakan selimut atau tidak. Bila sedang berlaku musim dingin, selimut pasti dikenakan. Bila sedang musim panas, selimut tidak dibutuhkan.
Tapi, bila gagasan intinya adalah perintah bangun malam untuk mengkaji Al-Qurãn, apakah perintah itu hanya berlaku bagi Nabi Muhammad saja? Tidak. Tadi sudah dikatakan bahwa kaitannya dengan Nabi Muhammad hanya bersifat pragmatis. Selanjutnya, perintah itu berlaku bagi siapa saja yang hendak mengkaji Al-Qurãn dengan mengikuti cara yang diajarkan Allah.
Lantas, apakah perintah bangun malam itu berlaku harfiah atau kiasan? Berdasar kenyataan bahwa dalam rangkaian ayat 1-4 ini ada pembagian waktu malam menjadi setengah, kurangi dari setengah, atau tambahkan pada yang setengah, maka perintah itu berlaku harfiah. Bila tidak, “malam” apa yang bisa dibagi-bagi seperti itu?
Tapi bila demikian, perintah bangun malam itu tentu memberatkan, sulit dilaksanakan oleh sembarang orang. Bagaimana, misalnya orang yang harus bekerja di malam hari, apakah ia lolos dari perintah itu? Jawabannya sangat berkaitan dengan persoalan apakah perintah itu berlaku untuk setiap malam atau tidak. Surat Al-Isra ayat 78-79 memberikan jawaban demikian:

أقم الصلوة لدلوك الشمس إلى غسق الليل وقرءان الفجر إنّ قرءان الفجر كان مشهودا - ومن اللّيل فتهجّد به نافلة لك عسى أن يبعثك ربك مقاما محمودا

Laksanakanlah shalat sejak memudarnya matahari sampai gelap malam, selanjutnya (pada waktu subuh, lakukanlah) qur’ãnal-fajri (yakni shalat subuh), karena qur’ãnal-fajri itulah yang terpampang dalam ingatan. Selanjutnya (selain shalat 5 waktu) bertahajudlah pada sebagian malam, sebagai suatu tambahan bagimu. Mudah-mudahan – dengan bertahajud itu – tuhanmu akan memantapkan dirimu pada posisi yang terpuji (mulia).

Kedua ayat di atas itu, pada satu sisi, berkaitan dengan pengaturan waktu shalat harian (5 waktu), yang pembagiannya dipertegas oleh Hadis. Pada sisi lain merupakan penegasan bahwa shalat pada hakikatnya adalah qur’ãnan. Dalam pengertian harfiah, qur’ãnan berarti bacaan atau proses membaca (= pembacaan). Namun sebagai istilah, qur’ãnan tentu berkaitan dengan Al-Qur’ãn sebagai sebuah kitab, sehingga pengertiannya adalah “pembacaan/pelafalan Al-Qurãn”. Kenyata-annya, bacaan utama shalat adalah Al-Qurãn.
Pada ayat di atas, yang tak kalah menarik adalah penyebutan qur’ãnal-fajri (shalat subuh) sebagai masyhûd/مشهود . Kamus Hans Wehr menyebut pengertian masyhûd antara lain sebagai memorable, dan pengertian memorable itu selain deserving to be remembered (patut diingat) juga remarkable (luar biasa; menarik perhatian; mengesankan). Namun melihat bentuk morfologisnya sebagai ismul-maf’ûl (past participle; passive), maka penulis menerjemahkan kata masyhûd ter-sebut menjadi terpampang dalam ingatan.
Jelaslah bahwa kedua ayat dalam surat Al-Isra ayat 78-79 ini sangat berkaitan dengan surat Al-Muzzammil, khususnya dalam konteks internalisasi Al-Qur’ãn. Selain itu di sinilah kita dapati penegasan bahwa perintah bangun malam untuk mengkaji Al-Qurãn itu hanya berlaku untuk “sebagian malam” bukan untuk setiap malam.
Mengapa dipilih waktu malam hari untuk melakukan pengkajian Al-Qurãn? Surat Al-Muzzammil ayat 5-9 menjawab demikian:

5. Pasti (bila dilakukan pengkajian demikian), kami akan resapkan suatu konsep/ pedoman hidup yang mahaberbobot.
6. Suasana malam itu benar-benar cocok, dalam arti lebih mendukung pemahaman ujaran (ilmu/konsep);
7. Sedangkan pada siang hari kamu mempunyai banyak kesibukan.
8. Maka (pada malam hari) tancapkanlah ajaran Rabbmu ke dalam kesadaran, selanjutnya berpeganglah kamu kepadanya sekuat-kuatnya.
9. (Dialah Allah) penguasa Masyriq dan Maghrib; hanya dia yang layak dijadikan ilah. Maka jadikanlah ajarannya sebagai satu-satunya andalan.

Ayat 5 menegaskan bahwa melalui pengkajian di malam hari itulah Allah akan ‘meresapkan’ (terjemahan bebas dari sanulqi/سنلقى) kepada pelakunya suatu konsep (terjemahan dari qaulan/قولا , yang harfiahnya berarti perkataan), yakni Al-Qurãn, yang mahaberbobot. Tentu yang dimaksud adalah berbobot ilmiah, sehingga sangat layak dijadikan pedoman hidup. Ingat saja pernyataan Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 2: Itulah Al-Kitãb(u) – yakni Al-Qurãn – yang tidak mengandung hal-hal yang meragukan (sehingga layak) menajdi pedoman hidup bagi mereka yang bertakwa.
Ayat 6 lagi-lagi menegaskan alasan pemilihan waktu malam, yaitu karena sifatnya yang lebih mendukung pemahaman ujaran (ilmu/ konsep). Kata ujaran sengaja dipilih karena penulis mengingat bahwa bagi orang Indonesia kata ujaran, paling tidak pada masa dahulu, merupakan kata yang berkaitan dengan nasihat orang tua, yang sering dianggap fatwa. Selain itu, tentu saja, kata ujaran juga cocok digunakan sebagai padanan (harfiah) dari kata qïlan (bentuk lain dari qaulan) dalam teks ayat.
Ayat 7 memberikan penegasan tentang pemilihan waktu malam itu dengan cara memperbandingkan antara situasi malam dengan situasi siang. Bila situasi malam adalah lebih mendukung pemahaman ujaran, situasi siang tentu sebaliknya, yakni kurang mendukung untuk pemahaman ujaran, karena adanya kesibukan berantai, sambung menyambung antara satu kegiatan dengan kegiatan yang lain sesuai tuntutan kehidupan, kecuali bagi kaum pengangguran atau orang-orang yang memang tidak bertanggung-jawab.
Pada ayat ke-8 kita dapati peralihan perintah, dari qum/قم dan rattil/رتّل menjadi udzkur/اذكر dan selanjutnya menjadi tabattal/تبتّل , sebagai isyarat adanya proses peningkatan. Bangun malam untuk belajar, harus ditingkatkan dengan ‘mengangkut’ apa yang dipelajari ke dalam ruang kesadaran (dzikrun/ذكر), dan selanjutnya apa yang sudah masuk ke dalam kesadaran itu harus dipegang sekuat-kuatnya, dijadikan suatu pendirian.
Ayat 9 adalah rasionalisasi dari perintah tabattal, yang harfiahnya menurut Kamus Al-Munawwir adalah meninggalkan kehidupan duniawi untuk beribadah kepada Allah, yang merupakan saduran dari definisi kamus Al-Munjid: inqatha’a ‘anid-dunya ilallahi (انقطع عن الدنيا إلى الله). Tapi haraf dicatat bahwa pengertian ini sangat berbau tasauf; sama seperti yang dilakukan Muhammad sebelum menjadi rasul adalah tindakan yang berbau tasauf, suatu ajaran (paham) yang oleh Drs. H. Abdul Qadir Djaelani ditenggarai sebagai bersumber pada ajaran Hindu. (Koreksi Terhadap Ajaran Tasawuf, 1996).
Konteks surat mengisyaratkan bahwa kata perintah tabattal itu masih berkaitan dengan perintah bangun malam untuk mengkaji Al-Qur’ãn dan memasukkannya ke dalam kesadaran. Karena itulah penulis menerjemahkan tabttal ilaihi tabtïlan dalam ayat 8 itu menjadi berpeganglah kamu kepadanya sekuat-kuatnya.
Kemudian, sekali lagi, ayat 9 adalah ‘rasionalisasi’ dari perintah-perintah yang diberikan, yaitu karena Dia (Allah) adalah penguasa Masyriq dan Maghrib, ajarannya sangat layak dijadikan andalan.
Andalan adalah terjemahan penulis untuk wakïl/وكيلا. Kita sering mengartikan wakil sebagai “pengganti” atau “orang kedua”, padahal wakil juga bisa berarti “pewujud”. Orangtua ada kalanya merasa “terwakili” oleh anaknya, ketika ia melihat anaknya mampu melakukan sesuatu yang ia sendiri tidak mampu melakukannya. Dalam konteks ayat ini, kata perintah fattakhid-hu wakïlan/فاتخده وكيلا tentu bukan perintah untuk menjadikan Allah sebagai pengganti, orang kedua, atau pewujud atau pelaksana petunjuknya sendiri. Allah sebagai oknum memang pelaksana segala kehendaknya. Tapi sebagai pemberi petunjuk, ia menjadikan petunjuknya itu sebagai wakil dirinya. Kenyataannya, tidak ada wakil (pengganti) yang lebih representatif dari ajaranNya. Karena itulah, hanya ajaranNya yang bisa diandalkan. Dengan kata lain, pada satu sisi, di sini Allah mengingatkan manusia tentang otoritas dan hak prerogatifnya yang mutlak untuk mengajari manusia, berdasar kenyataan bahwa dia mahakuasa. Pada sisi lain, kebenaran ajaran Allah adalah sesuatu yang pasti terjamin (you may take it for granted).
Pada ayat 10 kita dapati lagi dua perintah yang merupakan peningkatan dari perintah-perintah sebelumnya. Yang pertama dalah ishbir/اصبر , yaitu teguh bertahanlah atau bisa juga diterjemahkan menjadi pertahankanlah. Kedua penerje-mahan ini mempunyai pengertian yang sama, yaitu bila bertahan bertahanlah dengan menjadikan ajaran Allah yang sudah diresapkan ke dalam diri sebagai alat pertahanannya. Bila pertahankan pertahankanlah ajaran Allah itu, jangan sampai lepas lagi dari kesadaran karena adanya tantangan yang berupa mã yaqûlûna/ما يقولون , yaitu “propaganda” mereka atau ajaran mereka (orang-orang kafir), yang tentu merupakan lawan atau tandingan ajaran Allah.
Bila perintah pertama, pada ayat 10 ini, merupakan perintah bertahan (defensif), yang kedua – uhjur/اهجر – adalah perintah untuk ‘lari’ atau membebaskan diri dari propaganda mereka, dengan catatan bahwa hal itu harus dilakukan dengan cara yang elok (jamïlan/جميلا). Jelasnya bagaimana? Bila yang dihadapi adalah orangtua sendiri, misalnya, surat Luqman ayat 15 memberikan jawaban demikian:

وإن جاهداك على أن تشرك بى ما ليس لك به علم فلا تطعهما وصاحبهما فى الدنيا معروفا واتّبع سبيل من أناب إليّ ثمّ إليّ مرجعكم فأنبّئكم بما كنتم تعملون

Bila mereka (ibu-bapak) berdua bersikeras mengajakmu untuk mencampur-aduk apa yang kamu terima dariku (Allah) dengan apa yang tidak diajarkan kepadamu, maka janganlah kamu ikuti keduanya. Tapi dampingilah mereka dalam kehidupan di dunia ini dengan sebaik-baiknya. Tegasnya, ikutilah jalan hidup orang yang merujuk ajaranku (para rasul). Selanjutnya (wahai orang-orang beriman) jadikanlah ajaranku sebagai rujukan, sehingga dapat kupaparkan apa-apa yang harus kalian lakukan.

Ayat 11 mengungkapkan kepada kita siapa sebenarnya yang melakukan “propaganda” itu. Mereka adalah para mukadzdzibïn, yakni para penipu masyarakat dengan gado-gado atau adonan haq dan bathil. Kelebihan mereka dari orang kebanyakan, sehingga mampu mengendalikan kehidupan adalah karena mereka merupakan ûlïn-na’mah/أولى النعمة , yaitu penguasa segala fasilitas kehidupan, baik karena mereka orang-orang kaya, maupun karena mereka pewaris kekuasaan (kaum ningrat), atau karena mereka tokoh-tokoh intelektual (ulama, sarjana dsb.).
Allah menegaskan dalam ayat ini bahwa menghadapi mereka adalah urusan Allah, bukan urusan si Muzzammil yang baru sedang membangun kesadaran ilmiah; apalagi bila si Muzzammil itu secara ekonomi melarat, status sosialnya cuma kuli dan budak, dan jluntrung (sosok) intelektualitasnya juga dianggap tidak meyakinkan (incredible).
Kata perintah dalam ayat ini adalah dzarnï/ذرنى , serahkan padaku (Allah), sebagai penegasan bahwa si Muzzammil memang tak punya kekuatan untuk menghadapi para penguasa fasilitas kehidupan itu. Dengan kata lain, si Muzammil tidak mempunyai kemampuan untuk bersikap ofensif (menyerang). Kata perintah lainnya adalah mahhilhum/مهّلهم , biarkan mereka merasakan kesenangan, yang waktunya sebenarnya tidak lama (qalïl/قليل). Tapi ‘tidak lama’ ini jangan dianggap cuma beberapa hari atau bulan. Bila pada ayat berikutnya kita jumpai kata yaum/يوم (yang biasa diterjemahkan sebagai hari), ingatlah bahwa yaum ini disebut dalam konteks periode yang mewadahi masa berlakunya suatu bentuk kehidupan berdasar konsep atau ideologi tertentu. Karena itulah, bila ingin menghadapi mereka, lakukanlah dengan pertama-tama memperkokoh diri dalam bidang ideologi. Di sini sumber ideologi yang ditawarkan Allah adalah Al-Qurãn.
Ayat 12 mengingatkan kepada si Muzzammil bahwa Allah memiliki belenggu dan penjara. Keduanya, baik belenggu (ankãlan/ أنكالا) maupun penjara (jahïman/جحيما) adalah kiasan. Jadi, jangan membayangkan rantai dan jeruji besi; sebab belenggu dan penjara yang dimaksud adalah segala sesuatu yang merupakan ‘sifat bawaan’ dari konsep hidup yang bathil. Ibarat narkoba, konsep hidup bathil itu mengandung lebih banyak zat berbahaya di samping zat penenang atau pelipur laranya yang cuma sedikit. Namun hal itu tidak disadari oleh para pelakunya, sama seperti para pecandu narkoba juga tidak menyadari dampak buruk narkoba. Karena itu Allah mengatakan, “Seandainya orang-orang zhalim itu tahu, pastilah mereka mengerti (bahwa cara hidup mereka adalah) azab.” (Al-Baqarah ayat 165).
Ayat 13 menggambarkan ajaran bathil itu sebagai makanan atau hidangan (tha’ãman/طعاما) yang di dalamnya terkandung zat yang menyesakkan (dza gusshah/ ذا غصّة), yang tentu mendatangkan penderitaan yang amat pedih (‘adzaban alïman/عذابا أليما).
Ayat 14 menjawab pertanyaan tentang kapan terjadinya azab bagi mereka itu dengan gambaran peristiwa yang terjadi pada suatu masa (yaum); yaitu ketika bumi dan gunung-gunung berguncang, sehingga akhirnya gunung-gunung itu longsor atau melorot seperti onggokan-onggokan pasir.
Bila gambaran dalam ayat ini dimaknai harfiah, ingatlah bahwa gambaran ini dipaparkan sebagai hiburan (basyïrun/بشير) kepada si Muzzammil yang disuruh berjuang untuk memahami Al-Qurãn. Bila si Muzzammil itu adalah orang-orang yang ‘frustrasi’ karena tersingkir dari segala pentas kehidupan, maka ‘hiburan’ Allah ini benar-benar tidak lucu. Bayangkan! Ketika anda sedang hidup dalam serba kesusahan, tiba-tiba datang orang memberikan sebuah buku. Orang itu bilang, “Kajilah buku ini sampai tuntas. Jangan pedulikan orang-orang jahat di luar sana. Nanti juga mereka akan dapat bencana. Kapan? Ya nanti, kalau dunia ini sudah hancur!” Mendengar hiburan tidak lucu itu, mungkin anda akan berkata, “Keburu mati doong kita!”
Tentu Allah, dengan menawarkan Al-Qurãn, tidak bermaksud memberikan hiburan yang menipu, tapi di lain pihak kita juga harus memahaminya dengan wawasan ilmiah. Ayat 14 ini adalah ungkapan berwawasan sejarah sekaligus politik. Dalam konteks sejarah, jelas kita melihat tak ada sesuatu (kekuasaan atau apa pun) yang kekal. Dalam konteks politik, ketika suatu bentuk (sistem) kehidupan sudah mencapai masa akhirnya, sehingga terjadi pergolakan, maka ‘gunung-gunung’ (para penguasa ‘orde lama’) itu pasti berguguran. Karena itulah penulis menerjemahkan ayat 14 ini demikian:

Suatu masa (ada giliran) bumi (pendukung sistem kehidupan) dan gunung-gunung (penegak sistem) berguncang (bergejolak), sehingga pada waktu itu gunung-gunung pun longsor seperti seonggok pasir.

Ayat 15-16 adalah murni berwawasan sejarah. Di sini pula kita mendapati perubahan lawan bicara Allah, dari ka/ك (kamu) menjadi kum/كم , menandai bahwa tugas bangun malam untuk mengkaji Al-Qur’ãn itu tidak hanya berlaku bagi Nabi Muhammad.
Ayat 15 menegaskan dua hal. Pertama tentang status rasul sebagai syahïd atau pewujud ajaran Allah, sehingga selanjutnya menjadi uswah hasanah; dan kedua tentang kesamaan status Nabi Muhammad dengan Nabi Musa. Kesamaan itu bukan hanya pada status mereka sebagai syahïd, tapi juga kesamaan missi mereka sebagai nadzïr, yaitu penyampai peringatan Allah bahwa kehidupan bathil sedang menjemput kehancuran. Dalam konteks Nabi Musa, ayat 16 menyebutkan bahwa Fir’aun menentang Sang Rasul (Musa) sehingga akhirnya ia tertimpa azab mahakeras.
Ayat 17-18, selain berwawasan sejarah juga filosofis:

17. Bagaimana cara kalian menyelamatkan diri, bila kalian menolak (untuk mempelajari) suatu masa (pergiliran sejarah), yang akan mengubah para bayi (konsep, ideologi) menjadi manusia tua-renta (tak berdaya, kadaluarsa)?
18. (perubahan itu menyebabkan) as-samã’ (tatanan kehidupan, struktur masyarakat) pecah berantakan. Ini merupakan rumusannya (Allah) yang dulu (dan seterusnya pasti) terlaksana.

Kedua ayat inilah yang pada hakikatnya mendasari pemikiran para ahli sejarah Barat dari mazhab filosofis. Ambil saja Oswald Spengler (filsuf Prusia), yang mengatakan bahwa setiap peradaban akan mati. Bermula dari Musim Semi (spring) sebagai awal pertumbuhannya, setiap peradaban matang menjadi Musim Panas (Summer) dengan terwujudnya prestasi-prestasi fisik terbesarnya, terus memasuki Musim Gugur (Autumn) dengan dicapainya prestasi-prerstasi intelektual, dan akhirnya merosot, memasuki Musim Dingin (Winter), lalu mati.
Bila Spengler menggambarkan peradaban dengan analogi musim – atau tumbuhan yang tak terpisahkan dengan musim, Allah menggunakan analogi manusia, yang bermula dari bayi dan akhirnya menjadi tua-renta. ‘Penyakit tua’, kata Nabi Muhammad, adalah penyakit yang tak ada obatnya. Begitu juga halnya peradaban yang sudah tua, sudah mengalami degenerasi (hilangnya kualitas-kualitas normal atau ideal). Liang kubur sudah di depan mata. Kedua analogi tersebut intinya sama: ada pertumbuhan awal, perkembangan, peningkatan, dan akhirnya kemerosotan.
Melalui kedua ayat ini, dan dua ayat sebelumnya, agaknya Allah hendak menegaskan bahwa para rasul, setidaknya Musa dan Muhammad, diutus justru pada saat-saat genting, yakni di ujung keruntuhan peradaban yang pernah berjaya. Kedatangan rasul, dengan membawa ajaran Allah (= konsep peradaban alternatif) jelas merupakan juru selamat bagi orang-orang yang ingin terhindar dari bencana kerontokan ‘gunung peradaban’ yang menjelang mati.
Kata Allah dalam ayat 19:

Ini adalah peringatan yang sangat gamblang. Siapa pun yang suka (mematuhinya), maka berjuanglah dia menempuh jalan hidup yang diajarkan tuhannya.

Ayat 20 adalah penegasan ulang dari perintah bangun malam untuk mengkaji Al-Qurãn, dengan catatan bahwa ayat-ayat yang sudah dikaji harus dihafal, lalu dibawa ke dalam shalat (tahajud), sehingga hafalan itu melekat dalam ingatan dan selanjutnya – meminjam kata-kata Mudji Sutrisno – menjadi sesuatu yang afektif menyatu dengan dirinya.
Jadi, shalat adalah sarana pemantapan hafalan dan peresapan ke dalam kesadaran. Bila hal itu sudah dilakukan, perintah berikutnya adalah wujudkan zakat, yakni gerakan pembabatan ajaran setan sekaligus penumbuhan ajaran Allah. Mengapa zakat diartikan demikian? Jawabannya sederhanya saja: zakat secara harfiah berarti pembersihan/pembabatan (rumput dsb.) dan penumbuhan. Dalam konteks (qarinah) surat ini yang berisi gagasan pokok tentang internalisasi Al-Qurãn, yang bisa diibaratkan sebagai usaha menanam sejenis tumbuhan, maka penerjemahan zakat menjadi pembabatan ajaran setan sekaligus penumbuhan ajaran Allah adalah sesuatu yang logis. (Jadi istilah zakat di sini tak ada kaitannya dengan istilah zakat dalam ilmu fiqh, yang lebih berkonotasi pada persoalan ‘pajak’).
Perintah pamungkas dari surat ini adalah istaghfirû/استغفروا , yang biasa diartikan minta ampunlah kalian. Tapi penulis menerjemahkan perintah istaghfirûllaha/استغفرواالله menjadi: (melalui pengkajian Quran dan shalat ini) bangunlah kerinduan untuk melakukan perbaikan hidup dengan ajaran Allah. Mengapa? Alasan morfologis-(sharfiyyah)-nya adalah karena penambahan alif-sin-tã’ alias ista/است pada kata kerja berpola dasar (fa’ala/fa’ila/fa’ula) mengubah makna kata menjadi bersifat menuntut, alias meminta, alias mengharaf. Misalnya, bila ghafara/غفر berarti menutup/غطا atau memperbaiki/اصلح , maka istaghfara/استغفر tentu berarti – ambil salah satu makna kamus – mengharapkan perbaikan. Pengertian ini diambil karena inilah yang menurut penulis cocok dengan konteks gagasan surat secara keseluruhan, yaitu tentang perbaikan hidup dengan menjadikan ajaran Allah sebagai pilihan.
Dalam bentuk kata perintahnya, mengharapkan tentu menjadi harapkanlah. Tapi dalam penerjemahan di atas, penulis mengubah harapkanlah menjadi bangunlah kerinduan, supaya terasa lebih tajam dan agak dramatis.

Kesimpulan

1. Surat Al-Muzzammil adalah kiat internalisasi Al-Quran yang diajarkan oleh Allah; yaitu dengan cara bangun malam, kaji Al-Quran sesuai kemampuan, hafalkan, lalu bawa ke dalam shalat tahajud.
2. Mengkaji Al-Quran adalah tuntutan logis bagi siapa pun yang hendak menjadikan Al-Quran sebagai pegangan hidupnya. Karena itu pengkajian Al-Quran harus dilakukan melalui prosedur yang benar.
3. Pengkajian Al-Quran juga bukan hanya urusan pribadi-pribadi yang satu sama lain tak punya kesatuan tujuan, tapi harus merupakan gerakan mobilisasi massal di tengah para pengikut Nabi; agar tercipta satu umat yang mempunyai kesamaan pandangan dan kesadaran, sehingga mampu menghadapi tantang-an zaman.
4. Para pengikut Nabi Muhammad harus berpikir filosofis-his-toris, untuk menyadari bahwa konsep-konsep ciptaan manusia tidak akan selamanya berjaya. Tapi bila konsep Allah pun tidak dipahami dengan baik, tidak mempunyai pendukung yang tangguh, maka konsep manusia yang satu akan digantikan konsep manusia yang lain; sehingga dunia ini bisa menjadi neraka selamanya.

Demikianlah. Mudah-mudahan tafsir yang penulis ajukan ini tidak terlalu mengejutkan, dan bisa menggugah pembaca untuk melakukan usaha lebih keras dalam mengakrabi Al-Quran.
Patut pula diketahui bahwa naskah ini sebenarnya merupakan ringkasan – dan di sana-sini ada pula revisi – dari diktat yang ditulis pada tahun 1999.
A.Husein kndm
Akhir Nov. 2004

Daftar pustaka
Berikut ini adalah buku-buku yang penulis baca untuk melengkapi detail ketika menulis diktat yang mengungkap gagasan surat Al-Muzzammil.

1. Mushhaf Al-Qurãn
2. Kamus Al-Munjid
3. Kamus Al-Munawwir, A.W. Munawwir, Pustaka Progresif, 1997
4. A Dictionary of Modern Written Arabic, Hans Wehr & J. Milton Cowan
5. Mukjizat Al-Qur’an, Mizan, 1997
6. Jews, God And History, Max I. Dimont, New York, 1962
7. Ajaran Dan Sejarah Islam Untuk Anda, Pustaka Jaya, Jakarta 1979
8. Sirah Muhammad Rasulullah, H. Fuad Hashem, Mizan, 1989
9. Muhammad and The Jews, Barakat Ahmad, New Delhi, 1979
10. Sejarah Hidup Muhammad, Haekal, Dunia Pustaka Jaya, 1979
11. Al-Qur’an, Realita Sosial Dan Limbo Sejarah, Syafi’I Ma’arif, Penerbit Pustaka, Bandung, 1985
12. The Quran, Dar Al-Choura, Beirut, Lebanon, 1980
13. Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an, Manna Khalil al-Qattan, Litera AntarNusa, 1992
14. Ensiklopedi Islam, Jilid 4, Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994
15. Dll.

Catatan

Naskah ini pernah dimuat di jurnal Studi Islam UNJ (Universitas Negeri Jakarta)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar