KAJIAN WAHYU PERTAMA (2): PERTEMUAN DENGAN JIBRIL
Pada umumnya orang beranggapan bahwa pertemuan Muham mad dengan malaikat penyampai wahyu (Jibril) pertama kali terjadi pada saat Jibril menyampaikan wahyu pertama di Goa Hira. Dengan kata lain, sebelum memberikan wahyu pertama itu Allah tidak mengadakan komunikasi apa pun dengan Muhammad.
Tapi dalam Shahih Muslim disebutkan ‘Aisyah, istri Nabi, ber cerita kepada ‘Urwah bin Zubair bahwa wahyu yang pertama kali turun kepada Nabi adalah berupa ar-ru’ya-shadiqah fi-naumi (الرؤي الصديقة فى النوم), yang diartikan orang sebagai “mimpi yang benar di malam hari”. Sementara menurut Hans Wehr kataru’ya (jamak: ru-an) selain berarti mimpi (dream) juga ber arti penampakan (vision). Istilah ini populer di kalangan u mat Kristen, karena di antara mereka banyak yang mengaku per nah melihat penampakan Yesus maupun Bunda Maria.
Bisakah kita mengartikan ar-ru’ya-shadiqah pada Hadis tersebut sebagai penampakan Jibril, sebagai awal perkenalan sebelum menyampaikan wahyu? Wallahu a’lam! Tapi bila kita gu nakan logika, jawabannya adalah: bisa jadi. Sebab tanpa ada nya proses perkenalan, Muhammad tentu akan sangat terkejut ketika ia didatangi (pertama kali) oleh Jibril di Goa Hira. Hadis tersebut bahkan menjelaskan bahwa Muhammad melihat ar-ru’ya-shadiqah itu begitu jelasnya, karena ia muncul seperti falaqu-shub-hi (matahari di waktu subuh). Hadis ini memang tidak menyebutkan obyek yang dilihat Muhammad, sehingga kita hanya bisa menduga-duga. Namun paling tidak, Hadis ini mene gaskan bahwa sebelum menerima wahyu Muhammad sudah menerima isyarat-isyaratnya. Mungkin berupa ‘penampakan’ Jibril seba gai awal perkenalan, mungkin pula bukan.
Dalam Hadis ini terdapat istilah al -haqqu (kebenaran) yang tentu digunakan untuk menyebut wahyu. Tapi di satu sisi istilah ini juga bisa merupakan lawan kata (antonym) bagi ar-ru’ya. Dengan demikian, ar-ru’ya-shadiqah itu bisa berarti “bayangan/isyarat kebenaran”, sehingga me mang tidak perlu ada obyek lain yang dilihat Muhammad, kecua li “semacam cahaya” (mitslu falaqi-shub-hi).
Menurut Hadis itu pula, sejak saat itulah Muhammad mu lai punya keinginan untuk menyepi (berkhalwat) di Goa Hira. Di sana ia ‘beribadah’ selama beberapa malam, sampai bekalnya habis, la lu pulang untuk mengambil bekal lagi. Menurut Muhammad Husain Haekal dalam Sejarah Hidup Muhammad[1], setelah mendapat ‘mimpi’ itu Mu hammad dilanda kegelisahan selama enam bulan. Bahkan ia sem pat merasa khawatir kalau-kalau dirinya diganggu oleh jin.
Haekal berasumsi bahwa “…Allah telah mempersiapkan pilihanNya itu dengan memberikan latihan rohani sedemikian rupa guna menghadapi saat yang dahsyat, berita yang dahsyat, yaitu datangnya wahyu pertama.”[2] Penulis sependapat dengan Haekal, tapi dengan catatan bahwa penulis cenderung menyeder hanakan atau menggamblangkan pengertian ‘latihan rohani’ ter sebut ddengan ‘penampakan’ Jibril, baik dalam wujud aslinya maupun dalam bentuk manusia, sebagai awal perkenalan dengan Muhammad yang akan menerima wahyu.[3]
Selanjutnya, setelah mengalami kegelisahan dan mondar-mandir antara rumahnya dan Goa Hira, Al-Malak(malaikat Jib ril) pun datang mmembawa wahyu pertama. Haekal menggam-barkan demikian:
Tatkala ia sedang dalam keadaan tidur dalam gua itu, ketika itulah datang malaikat membawa sehelai lem baran seraya berkata kepadanya: “Bacalah!” Dengan terkejut Muhammad menjawab: “Saya tak dapat membaca”. Ia me rasa seolah malaikat itu mencekiknya, kemudian dilepas kan lagi seraya katanya lagi: “Bacalah!” Masih dalam ke takutan akan dicekik lagi Muhammad menjawab: “Apa yang akan saya baca?” Seterusnya malaikat itu berkata: “Baca lah! Dengan nama Tuhanmu yang menciptakan. Menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah. Dan Tuhanmu Maha Pemurah. Yang mengajarkan dengan Pena. Mengajarkan kepa da manusia apa yang belum diketahuinya…”
Lalu ia mengucapkan bacaan itu. Malaikat pun per gi, setelah kata-kata itu terpateri dalam kalbunya.
Dalam catatan kaki Haekal menjelaskan lagi:
Demikian buku-buku sejarah yang mula-mula menceri takan. Ibn Ishaq juga ke sana dasarnya. Demikian juga yang datang kemudian banyak yang menceritakan begitu. Hanya saja sebagian mereka berpendapat bahwa permulaan wahyu itu datang ia dalam keadaan jaga dan di waktu si ang, dengan menyebutkan sebuah keterangan melalui Jibril yang menente-ramkan hati Muhammad ketika dilihatnya dalam ketakutan. Ibnu Kathir dalam Tarikh-nya menyebutkan sum ber yang dibawa oleh al-Hafiz Abu Na’im al-Ashbahani da lam bukunya Dala’il’n-Nubuwa dari ‘Alqama bin Qais, bah wa “Yang mula-mula didatangkan kepada para nabi itu me reka dalam keadaan tidur (dengan maksud) supaya hati mereka tenteram. Sesudah itu kemudian wahyu turun. Dan ditambahkan: “Ini yang dikatakan ‘Alqama ibn Qais sendiri, suatu keterangan yang baik, diperkuat oleh yang da tang sebelum dan sesudahnya”.
Di lain pihak, Fuad Hashem dalam buku Risalah Muhammad Rasulullah memuat kutipan dari Ibnu Ishaq sebagai berikut:
Ketika turun malam di saat Allah merahmatinya dengan tugas kenabian dan memperlihatkan kasih atas hamba Nya, malaikat Jibril membawa perintah Tuhan kepadanya. “Ia datang kepadaku,” kata Rasul, “ketika saya sedang tertidur nyenyak, dengan selembar brokat yang ada tulis annya lalu berkata, ‘Bacalah!’ Kata saya, ‘Apa yang akan saya baca?’ Ia menekan saya dengan lembaran itu begitu kerasnya sampai-sampai saya merasa akan mati; lalu ia melepaskan dekapannya dan berkata, ‘Bacalah!’ Saya ber kata, ‘Apa yang akan saya baca?’ Sekali lagi ia mendekap saya sampai saya merasa bagai akan mati; lalu ia melepaskan dekapannya lagi dan berkata, ‘Bacalah!’ Kata sa ya, ‘Apa yang akan saya baca?’ Ia mendekap saya ketiga kalinya sampai saya merasa akan mati dan berkata, ‘Baca lah!’ Saya katakan, ‘Apa pula yang akan saya baca?’ — dan saya mengatakan begitu supaya ia melepaskan dekapan nya, kalau tidak ia akan mengulangi lagi. Katanya: Bacalah atas nama Tuhanmu yang menciptakan, Yang menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah! Tuhanmu Maha Pemurah, Yang mengajarkan manusia menggunakan pena, Yang mengajarkan manusia yang tak mereka ketahui. (QS 96: 1-5). “Maka saya membacanya dan ia melepaskan saya. Dan saya terbangun dari tidur dan seakan kalimat-kalimat itu tertera dalam hati saya.”[4]
Kejadian berikutnya, menurut ‘Aisyah kepada ‘Urwah bin Zubair, adalah:
Setelah itu Rasulullah saw. kembali pulang, memba-wa ayat-ayat dan pengalaman yang baru dialaminya itu dengan tubuh menggigil gemetaran. Sampai di rumah Khadijah, beliau berkata, “Selimuti aku! Selimuti aku!” Khadijah segera menyelimutinya, sehingga hilang rasa keterkejutannya. Kemudian ia berkata kepada Khadijah, “Wahai Khadijah, bagaimana aku ini?” Lalu diceritakannya kepada Khadijah segala peristi wa yang baru dialaminya. Setelah itu beliau berkata, “Aku cemas terhadap diriku ini.” Jawab Khadijah, “Jangan! Jangan cemas! Gembirakanlah hati Anda! Percayalah, Allah tidak akan menimpakan kehinaan pada diri Anda selama-lamanya. Bukankah Anda selalu bersikap ramah tamah, menghubungkan silaturahmi, selalu berbicara benar, selalu menunaikan tugas kewajiban, menyediakan yang belum ada, memuliakan tamu, dan membela orang-orang yang kesusahan demi menegakkan kebenaran!”
Kemudian Khadijah membawa beliau mendatangi Waraqah bin Naufal bin Asad bin ‘Abdul ‘Uzza, yaitu anak paman Khadijah, yang telah memeluk agama Nasrani sejak masa Jahi liyah. Dia pandai menyalin buku-buku ke bahasa Arab. Antara lain dia menyalin Kitab Injil ke bahasa Arab seberapa yang dapat ditulisnya. Dia pun sudah tua dan matanya sudah buta. Khadijah berkata kepadanya, “Wahai anak pamanku! Dengarkanlah anak saudaramu ini (Muhammad) bercerita!” Jawab Waraqah bin Naufal, “Hai anak saudaraku! Apakah gerangan yang telah engkau alami? Ceritakanlah!” Rasulullah saw lalu mencerita kan pengalaman yang baru dialaminya. Kata Waraqah, “Itu adalah malaikat (namus) Jibril a.s. yang pernah datang kepada Nabi Musa a.s. Wahai diriku! Kalaulah aku masih muda,… Wahai, kiranya diriku! Kalaulah aku masih hidup ketika engkau diusir oleh wargamu…”
Tanya Rasulullah, “Apakah mereka akan mengusirku?” Jawab Waraqah, “Ya, benar! Tidak seorang pun yang datang membawa apa (ayat-ayat) yang engkau bawa itu yang tidak dimusuhi. Sekiranya aku masih mendapati hari itu, pasti aku akan membelamu sekuat-kuatnya.”[5]
Selanjutnya, Fuad Hashem menuturkan demikian:
Thabari menambah catatan Ibnu Ishaq ini (lihat ku tipan di atas, pen.): “Maka sekarang tak ada di antara makhluk Tuhan yang lebih membenci saya dari penyair atau orang kerasukan (majnun). Saya malahan tak berani meman dang mereka, pikir saya. Persetan diri saya yang penyair atau majnun — jangan sampai kaum Quraisy menjuluki saya begitu! Saya akan ke bukit dan membuang diri saya ke ba wah supaya mati dan beristirahat. Maka saya lalu berang kat melaksanakan niat ini,” dan kemudian — (menurut ca tatan Ibnu Ishaq lagi): “Di tengah punggung bukit, saya mendengar suara dari langit yang berkata: ‘Oh Muhammad, Anda adalah utusan Allah dan saya ini Malaikat Jibril.’ Saya menengadah ke arah langit untuk melihat (siapa yang berbicara) dan yah, Jibril bersosok seorang pria dengan kaki mengangkang di cakrawala, seraya berkata, ‘Oh Mu hammad, Anda utuasan Allah dan saya Jibril.’ Saya terus menatapnya,” (dan menurut Thabari “itu mengalihkan per hatian dari tujuan saya semula”) “dan tidak lagi beran jak ke depan atau ke belakang. Lalu saya mulai memaling kan kepala dari lelaki itu, tapi ke mana pun bagian langit yang kupandang, saya tetap melihatnya seperti tadi. Dan saya terus berdiri di sana, tidak maju tidak mundur, sampai Khadijah mengirim orang suruhannya untuk mencari saya dan mereka menemukan tempat tinggi ini lalu kembali ke Khadijah sementara saya tetap berdiri tak beranjak. Lalu ia meninggalkan saya dan saya kembali menemui keluarga saya.” Demikian menurut Ibnu Ishaq.
[1] diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Ali Audah.
[2] Sejarah Hidup Muhammad, hal. 89, cetakan ketiga, PT Dunia Pustaka Jaya, 1979.
[3] Aisyah bercerita bahwa suatu hari Haris bin Hisyam bertanya kepada Rasulul lah mengenai cara penurunan wahyu; Rasulullah menjawab: “Kadang-kadang ia (malaikat) datang kepadaku seperti suara lonceng, dan itulah yang paling berat bagiku, lalu ia pergi setelah aku menghafal apa yang dikatakannya. Kadang-kadang Sang Malaikat datang menemuiku dengan menyamar sebagai seo rang lelaki, lalu menyampaikan kalam (Allah) kepadaku, sampai aku menguasai apa yang dikatakannya.
[4] Sirah Muhammad Rasulullah/Suatu Penafsiran Baru, H. Fuad Hashem, hal. 125-126, Mizan, Bandung, 1989.
[5] Terjemah Hadits Shahih Muslim jilid 1, hal. 77-79, terjemahan Ma’mur Daud, cetakan kedua, “Widjaya”, Jakarta 1986.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar