Rabu, 10 Agustus 2011

MAKNA BISMILLAAHIRRAHMANIRRAHIIM


 Dalam kalimat bismillãhirrahmãnirrahîm ada dua aradh Allah, berupa sifat-sifatnya, yang disebut secara nyata (explicit), yaitu Ar-Rahmãn dan Ar-Rahim. Tentang makna Ar-Rahmãn, bila kita merujuk surat Ar-Rahmãn maka definisinya adalah “Dia yang mengajarkan Al-Qurãn”. Sedangkan Ar-Rahîm, bila kita rujuk surat Al-Ahzab ayat 43 dan ssebuah Hadis, definisinya adalah “Dia yang menyayangi orang beriman, yaitu pelaksana ajarannya yang terdapat dalam Al-Qurãn.”[1] Surat Al-Baqarah ayat 2, antara lain, menegaskan bahwa Al-Qurãn adalah “petunjuk bagi orang bertakwa”, yang ditegaskan oleh ayat-ayat berikutnya bahwa “orang bertakwa” itu adalah “orang yang beriman …” Surat Al-Anbiya’ ayat 105 menegaskan bahwa hamba-hamba Allah yang shalih (= benar-benar beriman) adalah para pewaris dunia. Surat Al-Araf ayat 10 mengingatkan bahwa di dunia ini tersedia segala sarana kehidupan, bagi orang beriman, untuk bersyukur (beramal sesuai konsep Allah). Berdasarkan kenyataan yang terungkap di atas, jelaslah bahwa penerjemahan bismillãhirrahmãnirrahîm menjadi dengan nama Allah Yang Mahapengasih dan Mahapenyayang” adalah penerjemahan yang terlalu harfiah, dan karena itulah menjadi sangat dangkal. Melalui uraian tentang makna ismun dapat kita ketahui bahwa ismullahi mencakup Allah sebagai oknum serta segala makhluk dan sifatnya. Sebagai pencipta makhluk hidup, antara lain, Allah memberikan kepada mereka segala yang mereka butuhkan. Tapi khusus untuk manusia yang beriman Allah berikan “sesuatu yang lain”, yaitu pedoman hidup yang benar. Kalimat bismillãhirrahmãnirrahîm adalah kalimat khas orang beriman, yang menyatakan tekad untuk hidup berdasarkan pedoman hidup dari Allah. Karena itu, bagi si mu’min, dalam kalimat tersebut setidaknya tercakup pengertian demikian: Saya/kami sebagai makhluk Allah, menyatakan bahwa saya/kami hanya akan mengabdi kepada Allah yang telah mengajarkan Al-Qurãn sebagai bukti kasih-sayangNya, dengan meneladani rasulnya, dan bantuan segala sarana yang diamanatkannya. Itulah terjemahan minimal dari bismillahirrah-manirrahim! Dan harap diingat bahwa ini adalah terjemahan maknawi, bukan terjemahan harfiah (kata demi kata). Isi Wahyu Pertama Bila pada surat Al-Fãtihah intinya adalah ismullãh, pada surat Al-’Alaq ayat 1-5 (wahyu pertama) adalah ismu rabbika, yang keduanya mempunyai pengertian yang sama. Dalam wahyu pertama, bila kita urai berdasar pengertian ismun, akan kita dapati sejumlah aradh Allah sebagai berikut: 1. Ismu rabbika (= Allah dengan ilmu/ajaran dan seluruh makhlukNya). 2. Dari kata khalaqa kita temukan salah satu peran Allah, yaitu khaliq (pencipta). 3. Pada ayat kedua kita temukan al-insãn dan ‘alaq, yang merupakan makhluk Allah. 4. Pada ayat ketiga, dari kata rabbuka kita temukan peran Allah yang lain, yaitu sebagai rabb (pembimbing), dan al-akram(u) juga aradh Allah yang berupa sifat (mahamulia). 5. Pada ayat keempat kita temukan aradh dalam bentuk ilmu (masdar dari ‘allama), dan berupa ‘benda’, al-qalam(u). Jadi, pada hakikatnya ayat-ayat pada wahyu pertama ini hanyalah berisi perkenalan tentang “apa & siapa” Allah, dengan cara menyebutkan sejumlah aradhNya. Melalui kata iqra’ dapat kita petik pelajaran bahwa tugas pertama dan utama manusia adalah menyerap informasi/ajaran Allah, dan kemudian menda’wahkannya kepada yang lain, supaya dapat terhimpun banyak manusia yang bergabung, menjadi satu umat. Penyebutan khalaqa, al-insãn yang disusul dengan ‘alaq adalah suatu peringatan agar manusia mengenal asal-usulnya, supaya proses pengkajian Al-Qurãn itu dilakukan dengan bercermin pada proses qur’ãnan . mulai dari kehamilan yang akhirnya melahirkan bayi. seperti itu pula proses kehamilan ilmu yg akan berakhir kelahiran ilmu dalam hati, ucapan dan laku perbuatan. Pengulangan kata iqra’, yang disusul rabbuka dan al-akram, adalah penegasan bahwa manusia hanya bisa mencapai kemuliaan hidup bila ia menerima Allah sebagai pembimbing, dengan menjalankan ajaranNya. Dengan demikian, wahyu pertama ini jelas merupakan sebuah prolog (pendahuluan) dari rangkaian wahyu-wahyu berikutnya yang diturunkan sebagai sebuah paket ta’dîb (pendidikan, pemberadaban). Pada satu sisi, wahyu pertama ini dapat berfungsi sebagai penawar kegelisahan Muhammad yang sedang mencari kebenaran. Pada sisi lain, karena masih berupa butir-butir yang belum jelas maksudnya, sementara Muhammad sendiri masih dipengaruhi situasi dan kondisi masyarakatnya, bisa jadi wahyu pertama ini malah membuatnya makin gelisah. Bedanya, setelah menerima wahyu ini, Muhammad jadi yakin bahwa ia harus menunggu kedatangan Jibril berikutnya. Konon sejak turunnya wahyu pertama ini Muhammad harus menunggu selama sekitar dua setengah tahun untuk mendapatkan wahyu berikutnya. Tim penerjemah Departemen Agama menuturkan satu versi berikut ini: Menurut riwayat, selama lebih kurang dua setengah tahun lamanya sesudah menerima wahyu yang pertama, barulah Rasulullah menerima wahyu yang kedua. Di kala menunggu-nunggu kedatangan wahyu kedua itu, kembali Rasulullah diliputi perasaan cemas, dan khawatir kalau-kalau wahyu itu putus, malahan hampir saja beliau berputus asa, akan tetapi ditetapkannya hatinya dan beliau terus bertahannuts sebagaimana biasa di Gua Hira. Tiba-tiba terdengarlah suara dari langit, beliau menengadah, tampaklah malaikat Jibril a.s. sehingga beliau menggigil ketakutan dan segera pulang ke rumah, kemudian minta kepada Siti Khadijah supaya menye-limutinya. Dalam keadaan berselimut itu, datanglah Jibril a.s. menyampaikan wahyu Allah yang kedua … [2] Yang dimaksud sebagai wahyu kedua itu adalah surat Al-Muddatstsir (surat ke 74 dalam mushhaf Al-Qurãn) ayat 1-7: يَأَيُهَا الْمُدَّثِّرُ – قُمْ فَأَنْذِرْ – وَ رَبَّكَ فَكَبِّرْ – وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ – وَالرُّجْزَ فَهْجُرْ – وَ لاَ تَمْنُنْ تَسْتَكْثِرْ – وَ لِرَبِّكَ فَاصْبِرْ. Hai Muddatstsir! bangkitlah (mantapkan diri), lalu sebarkan peringatan. Demi (tegaknya ajaran) tuhanmu, maka sebar-luaskanlah (wahyu yang kamu terima itu). Untuk itu, ‘topeng’-mu, tanggalkanlah. Yakni model kehidupan yang kotor itu, tinggalkanlah. Selanjutnnya, untuk mendapatkan banyak hasil, janganlah kamu (hanya) berkhayal. Sebaliknya, gigihlah berjuang demi tegaknya ajaran tuhanmu ini. Dua setengah tahun untuk mencernakan lima ayat, memberikan gambaran kepada kita bahwa menerima Al-Qurãn itu tidak mudah. Kesulitannya bukan hanya terletak pada proses pemahamannya, tapi lebih-lebih lagi pada risiko-risiko berikutnya. Muhammad bukan hanya harus memahami setiap wahyu yang diajarkan, tapi seiring dengan itu ia pun harus siap menanggalkan segala sesuatu yang selama ini melekat pada dirinya, yang dalam surat ini dikiaskan sebagai tsiyãb. Secara harfiah tsiyãb adalah pakaian. Secara kiasan ia berarti sesuatu yang melekat pada diri seseorang, apakah berupa penampilan fisik, sifat, citra, kehormatan, dan sebagainya. Dalam bahasa Arab, misalnya, ungkapan thãhiru- tsiyãb (طاهرالثِيَابِ) digunakan untuk menyebut “orang bersih”, yakni bebas dari ‘aib.[3] Dengan demikian, tsiyãb ini bisa berarti “citra” atau malah “kepribadian” seseorang. Dalam ayat di atas, tsiyãb ‘digandengkan’ dengan ar-rujzu (اَلرُّجْز) (kotoran, dosa, azab) yang harus diting-galkan. Jadi, dengan menerima wahyu berarti Muhammad harus melakukan segala tindakan-tindakan ‘produktif’ demi tegaknya wahyu itu dalam dirinya dan orang lain. Inilah yang di atas disebut sebagai proses qur’ãnan (yang dalam bentuk kata perintah menjadi iqra). Bersamaan dengan itu ia juga harus meninggalkan segala sesuatu yang kontra-produktif, yakni ar-rujzu itu. Untuk itu ia tidak boleh berleha-leha, tidak boleh banyak melamun, tapi harus berjuang dan siap menghadapi segala tantangan (sabar). Alangkah berat tugas yang harus dipikulnya. Tapi kita tahu, Muhammad mampu menunaikan tugas itu. ==============================​============ [1] Ada suatu Hadis berbunyi: Irahamu man fil-ardli yarhamukum man fi-sama’ (Sayangilah yang ada di bumi, maka Dia yang ada di langit, Allah, akan menyayangi kalian). Hadis ini jelas merupakan seruan kepada orang-orang beriman, sebab orang-orang kafir tidak mendapat seruan seperti ini. Selain itu, dalam khatbah-khatbah, yang tentu mengikuti kebiasaan Rasulullah, biasa digunakan seruan berbunyi: Ya ayuhal-muslimun rahimakumullah… (wahai para muslim [= mu'min] yang disayangi Allah…). [2] Al-Qur’an Dan Terjemahnya, hal. 56-57, edisi 1990. [3] Kamus Al-Munjid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar