Dengan kenyataan (berdasar kutipan-kutipan di atas) bahwa kedatangan Jibril membawa wahyu pertama itu membuat Mu hammad bingung, bukan berarti kita lantas bisa membenarkan anggapan bahwa Muhammad buta huruf, karena anggapan ini tim bul dari penafsiran (harfiah) yang apriori dan tidak berwawasan. Padahal bisa saja, jawaban Muhammad atas perintah iqra dari Jibril yang membawa ‘spanduk’ bertulisan lima ayat Al-’Alaq itu jus tru menggambarkan alam pikiran Muhammad, yang tentunya tidak luput dari pengaruh trend(kecenderungan) atau arus kebuda yaan masyarakatnya.
Para ahli sejarah sepakat mengatakan bahwa seni sastra di kalangan masyarakat Arab pada masa itu sudah mencapai pun caknya, terutama yang berupa syair (sajak, puisi). Dengan ka ta lain, di tengah masyarakat Arab pada waktu itu syair merupakan bentuk kesenian yang populer, sebagaimana film pada za man sekarang. Otomatis, bila pada era perfilman masyarakat menggandrungi film dan para bintang film, maka pada ‘era persyairan’ tentu saja syair dan para penyairnya juga laku keras di tengah masyarakat. Hal ini jelas terekam dalam Al-Qurãn, bahkan dalam Al-Qurãn ada surat yang bernama Asy-Syu’ara (para penyair), yaitu surat ke-26.
Dengan mengingatkan kenyataan demikian, penulis ingin mengajukan suatu asumsi (perkiraan, anggapan) sehubungan de ngan jawaban Muhammad terhadap Jibril yang berbunyi ma ana biqãri’:
Pertama, pihak yang menerjemahkan kata iqra secara harfiah meng artikan jawaban tersebut sebagai pengakuan bahwa Muhammad bu ta huruf. Mereka ‘menguatkan’ anggapan tersebut dengan menga jukan dalil lain, yaitu istilah an-nabiyul-ummiyyu, antara lain dalam surat Al-A’raf ayat 157. Tapi kata Fuad Hashem (hal. 63): Kata “ummiy” itu sebenarnya dapat berarti “buta agama karena belum memperoleh kitab suci.” Selain itu, secara harfiah “ummiy” juga bisa berarti “keibuan” (maternal, mo therly). Tentu saja Nabi Muhammad sebagai lelaki tidak mung kin disebut “Nabi yang bersifat keibuan”. Namun perlu diingat juga bahwa sifat keibuan merupakan lambang bagi perlindungan, kasih-sayang, kedamaian, pembimbingan, dan sebagainya.
Kedua, pihak yang mengartikan iqra sebagai perintah untuk membaca situasi agaknya kurang memperhatikan alasan -alasan yang mendorong Muhammad ‘mengasingkan diri’ dari ma syarakatnya, yang jelas dilakukannya karena ia sudah ‘membaca situasi’ yang demikian memuakkan. Jadi, Muhammad sudah demikian serius dan tekun membaca situasi sebelum disuruh. Perja lanan berdagangnya, yang membuatnya mondar-mandir antara Mak kah Syria, tentu juga memberikan pengalaman yang tidak sedi kit untuk bahan perenungan.
Ahmad Syafii Maarif juga menegaskan bahwa Rasulullah saw sebelum diangkat menjadi rasul, bertahun-tahun lebih dulu terlibat dalam pemikiran dan kontemplasi yang mendalam dan kadang-kadang sangat menegangkan dalam membaca masyarakat komersial kota Makkah yang zhalim itu. Menurutnya, ada tiga fenomena sosiologis-religius yang disimpulkannya dari data sosial yang dibacanya selama bertahun-tahun itu. Pertama, po liteisme yang merajalela di mana-mana. Kedua, kesenjangan sosio-ekonomi yang parah antara yang punya dan tidak punya. Ke tiga, tidak adanya rasa tanggungawab terhadap nasib manusia seccara keseluruhan.[1]
Ada juga pihak yang mengatakan bahwa pemba-caan situasi yang dimaksud adalah pembacaan dengan alat atau bantuan wah yu. Boleh jadi. Tapi bagaimana mungkin perintah menggunakan alat datang sebelum alatnya disediakan?
Dengan demikian agaknya masih terbuka kemungkinan untuk menemukan makna yang lain, yang mudah-mudahan merupakan makna yang jitu.
Jawaban Muhammad yang berbunyi ma ana bi-qãri’, bisa jadi merupakan gambaran dari jiwa Muhammad yang tidak terle pas dari kenyataan masyarakatnya yang secara umum menggan drungi syair dan penyair. Philip K. Hitti dalam bukunya bah kan menyebutkan bahwa cinta orang (Arab) Badawi terhadap sya ir adalah satu-satunya harta kebudayaannya. Penyair bagi me reka berperan sebagai pandu, penasihat, ahli pidato, juru bi cara, ahli sejarah, dan sarjana.[2]
Ketika Jibril datang dengan membawa ‘spanduk’ berisi tulisan, mungkin Muhammad mengira bahwa yang dibawa Jibril itu adalah sebuah syair. Karena itu, waktu Jibril menyuruh untuk membacanya, Muhammad menjawab ma ana bi-qãri’.
Dalam pengertian umum qãri’ adalah orang yang membaca atau pembaca. Tapi dalam masyarakat Arab pada masa itu, mung kin artinya (yang konotatif) adalah pembaca syair, dalam arti deklamator (ahli baca syair), atau penyair, dalam arti pengarang syair (yang bisa merangkap sebagai deklamator). Jadi, di sini penulis berasumsi bahwa Muhammad salah paham terhadap perintah Ji bril. Di satu pihak Jibril menyuruhnya membacakan dalam arti menda’wahkan wahyu yang dibawanya itu, di lain pihak Muhammad mengira bahwa Jibril menyuruhnya membacakan ‘syair’ yang ter tulis dalam spanduk itu. Karena itulah ia menjawab ma ana biqãri’. Artinya: saya ini bukan penyair/pembaca syair.
Penulis sadar betul bahwa asumsi ini harus didukung pembuktian bahwa sebutan qãri pada masa itu ditujukan kepada penyair atau deklamator. Namun untuk sementara penulis bisa ajukan data bahwa (seperti kata Thabari yang dikutip Fuad Hashem di atas) Muhammad setelah menerima wahyu pertama itu begitu cemas kalau-kalau dirinya akan disebut penyair atau orang gila.
Kecemasan tersebut pada satu sisi menggambarkan bahwa Muhammad tahu betul tentang hobi masyarakatnya terhadap sya ir, dan pada sisi yang lain menggambarkan bahwa Muhammad cu kup tahu hal-ihwal penyair. Jelasnya, Muhammad tahu bahwa o rang Arab pada masa itu menggandrungi para penyair yang pada umumnya berakhlak jelek, dan syair-syair mereka pun penuh de ngan ajakan pada kebatilan. Karena itulah berulang-ulang ia mengatakan kepada Jibril bahwa ia bukan penyair atau pembaca syair.
Dalil yang lain yang bisa diajukan adalah surat Yasin ayat 69: Kami (Allah) tidak mengajarkan sya’ir kepadanya (Muhammad), karena hal itu tidak layak baginya…
Selain itu, istilah qãri di kalangan masyarakat Arab hingga saat ini agaknya mempunyai pengertian tertentu, yaitu ditujukan kepada pembaca Al-Qurãn, karena Al-Qurãn mereka anggap sebagai bacaan standar. Pada masa Jahiliyah, kira-kira, baca an standar mereka adalah syair. Bahkan istilah qãri ini ada kemungkinan justru lahir dari masyarakat yang gandrung syair itu.
[1] Al-Qur’an, Realitas Sosial Dan Limbo Sejarah(Sebuah Refleksi), hal. 103, Penerbit Pustaka, Bandung, 1985.
[2] Dunia Arab, hal. 31, terjemahan Usuludin Hutagalung dan O.D.P. Sihom bing dari The Arabs/A Short History, karya Philip K. Hitti.
Ini ente mau nulis teori model apa buat kebenarannya ya gak bakal bener, secara sejarah nabi aja dirubah dan cuma percaya "kata isa bugis", bahkan tatanan bahasa aja dirubah "dari ilmu yang disampaikan isa bugis", kapan si isa bugis mengaku dirinya nabi, daripada ngumpet2 gini
BalasHapus