Rabu, 17 Agustus 2011

KAJIAN WAHYU PERTAMA (5): SAYA BUKAN PENYAIR!


Dengan  kenyataan  (berdasar kutipan-kutipan  di  atas) bahwa kedatangan Jibril membawa wahyu pertama itu membuat Mu hammad  bingung, bukan berarti kita lantas  bisa  membenarkan anggapan bahwa Muhammad buta huruf, karena anggapan ini tim bul dari penafsiran (harfiah) yang apriori dan tidak berwawasan.  Padahal bisa  saja, jawaban Muhammad atas perintah iqra dari  Jibril yang membawa ‘spanduk’ bertulisan lima ayat Al-’Alaq itu jus tru menggambarkan alam pikiran Muhammad, yang tentunya  tidak luput  dari pengaruh trend(kecenderungan) atau arus  kebuda yaan masyarakatnya.
Para ahli sejarah sepakat mengatakan bahwa seni  sastra di kalangan masyarakat Arab pada masa itu sudah mencapai pun caknya, terutama yang berupa syair (sajak, puisi). Dengan ka ta lain, di tengah masyarakat Arab pada waktu itu syair meru­pakan bentuk kesenian yang populer, sebagaimana film pada za man  sekarang. Otomatis, bila pada era  perfilman  masyarakat menggandrungi  film  dan para bintang film,  maka  pada  ‘era persyairan’  tentu saja syair dan para penyairnya  juga  laku keras di tengah masyarakat. Hal ini jelas terekam dalam  Al-Qurãn,  bahkan  dalam Al-Qurãn ada surat yang  bernama  Asy-Syu’ara (para penyair), yaitu surat ke-26.
Dengan mengingatkan kenyataan demikian, penulis  ingin mengajukan suatu asumsi (perkiraan, anggapan) sehubungan  de ngan  jawaban Muhammad terhadap Jibril yang berbunyi  ma  ana biqãri’:
Pertama, pihak yang menerjemahkan kata iqra secara harfiah meng artikan jawaban tersebut sebagai pengakuan bahwa Muhammad bu ta huruf. Mereka ‘menguatkan’ anggapan tersebut dengan menga jukan  dalil lain, yaitu istilah  an-nabiyul-ummiyyu,  antara lain  dalam surat Al-A’raf ayat 157. Tapi  kata  Fuad  Hashem (hal.  63): Kata “ummiy” itu sebenarnya dapat  berarti  “buta agama karena belum memperoleh kitab suci.” Selain itu, secara harfiah  “ummiy” juga bisa berarti “keibuan”  (maternal,  mo therly). Tentu saja Nabi Muhammad sebagai lelaki tidak  mung kin disebut “Nabi yang bersifat keibuan”. Namun perlu diingat juga bahwa sifat keibuan merupakan lambang bagi perlindungan, kasih-sayang, kedamaian, pembimbingan, dan sebagainya.
Kedua,  pihak yang mengartikan iqra sebagai  perintah untuk membaca situasi agaknya kurang  memperhatikan  alasan -alasan  yang mendorong Muhammad ‘mengasingkan diri’ dari  ma syarakatnya, yang jelas dilakukannya karena ia sudah ‘membaca situasi’ yang demikian memuakkan. Jadi, Muhammad sudah demikian serius dan tekun membaca situasi sebelum disuruh. Perja lanan berdagangnya, yang membuatnya mondar-mandir antara Mak kah Syria, tentu juga memberikan pengalaman yang tidak  sedi kit untuk bahan perenungan.
Ahmad Syafii Maarif juga menegaskan bahwa  Rasulullah saw sebelum diangkat menjadi rasul, bertahun-tahun lebih dulu terlibat  dalam pemikiran dan kontemplasi yang  mendalam  dan kadang-kadang  sangat  menegangkan dalam  membaca  masyarakat komersial  kota Makkah yang zhalim itu. Menurutnya, ada  tiga fenomena  sosiologis-religius yang disimpulkannya dari  data sosial yang dibacanya selama bertahun-tahun itu.  Pertama, po liteisme yang merajalela di mana-mana. Kedua, kesenjangan sosio-ekonomi yang parah antara yang punya dan tidak punya. Ke tiga,  tidak adanya rasa tanggungawab terhadap nasib  manusia seccara keseluruhan.[1]
Ada juga pihak yang mengatakan bahwa pemba-caan  situasi yang dimaksud adalah pembacaan dengan alat atau bantuan  wah yu.  Boleh jadi. Tapi bagaimana mungkin perintah  menggunakan alat datang sebelum alatnya disediakan?
Dengan demikian agaknya masih terbuka kemungkinan untuk menemukan makna yang lain, yang mudah-mudahan merupakan makna yang jitu.
Jawaban Muhammad yang berbunyi ma  ana bi-qãri’,  bisa jadi merupakan gambaran dari jiwa Muhammad yang tidak  terle pas  dari kenyataan masyarakatnya yang secara  umum  menggan drungi syair dan penyair. Philip K. Hitti dalam bukunya  bah kan menyebutkan bahwa cinta orang (Arab) Badawi terhadap sya ir adalah satu-satunya harta kebudayaannya. Penyair bagi  me reka berperan sebagai pandu, penasihat, ahli pidato, juru bi cara, ahli sejarah, dan sarjana.[2]
Ketika  Jibril datang dengan membawa  ‘spanduk’  berisi tulisan,  mungkin Muhammad mengira bahwa yang  dibawa  Jibril itu  adalah sebuah syair. Karena itu, waktu  Jibril  menyuruh untuk membacanya, Muhammad menjawab ma  ana bi-qãri’.
Dalam pengertian umum qãri’ adalah orang yang  membaca atau pembaca. Tapi dalam masyarakat Arab pada masa itu, mung kin artinya (yang konotatif) adalah pembaca syair, dalam arti deklamator (ahli baca  syair), atau penyair, dalam arti pengarang syair  (yang bisa  merangkap  sebagai deklamator). Jadi, di  sini  penulis berasumsi  bahwa Muhammad salah paham terhadap  perintah  Ji bril. Di satu pihak Jibril menyuruhnya membacakan dalam  arti menda’wahkan wahyu yang dibawanya itu, di lain pihak Muhammad mengira bahwa Jibril menyuruhnya membacakan ‘syair’ yang ter tulis dalam spanduk itu. Karena itulah ia menjawab ma  ana biqãri’. Artinya: saya ini bukan penyair/pembaca syair.
Penulis  sadar  betul bahwa asumsi ini  harus  didukung pembuktian bahwa sebutan qãri pada masa itu ditujukan  kepada penyair  atau deklamator. Namun untuk sementara  penulis  bisa ajukan  data  bahwa (seperti kata Thabari yang  dikutip   Fuad Hashem  di atas) Muhammad setelah menerima wahyu  pertama  itu begitu  cemas kalau-kalau dirinya akan disebut  penyair  atau orang gila.
Kecemasan  tersebut pada satu sisi menggambarkan  bahwa Muhammad tahu betul tentang hobi masyarakatnya terhadap  sya ir, dan pada sisi yang lain menggambarkan bahwa Muhammad  cu kup tahu hal-ihwal penyair. Jelasnya, Muhammad tahu bahwa  o rang Arab pada masa itu menggandrungi para penyair yang  pada umumnya berakhlak jelek, dan syair-syair mereka pun penuh de ngan ajakan pada kebatilan. Karena itulah berulang-ulang  ia mengatakan kepada Jibril bahwa ia bukan penyair atau  pembaca syair.
Dalil yang lain yang bisa diajukan adalah surat Yasin ayat 69: Kami (Allah) tidak mengajarkan sya’ir kepadanya (Muhammad), karena hal itu tidak layak baginya…
Selain itu, istilah qãri di kalangan masyarakat  Arab hingga saat ini agaknya mempunyai pengertian tertentu,  yaitu ditujukan  kepada pembaca Al-Qurãn, karena Al-Qurãn  mereka  anggap sebagai bacaan standar. Pada masa Jahiliyah, kira-kira, baca an standar mereka adalah syair. Bahkan istilah qãri ini  ada kemungkinan justru lahir dari masyarakat yang gandrung  syair itu.

[1] Al-Qur’an, Realitas Sosial Dan Limbo Sejarah(Sebuah  Refleksi), hal. 103, Penerbit Pustaka, Bandung, 1985.
[2] Dunia Arab, hal. 31, terjemahan Usuludin Hutagalung dan O.D.P. Sihom bing dari The Arabs/A Short History, karya Philip K. Hitti.

1 komentar:

  1. Ini ente mau nulis teori model apa buat kebenarannya ya gak bakal bener, secara sejarah nabi aja dirubah dan cuma percaya "kata isa bugis", bahkan tatanan bahasa aja dirubah "dari ilmu yang disampaikan isa bugis", kapan si isa bugis mengaku dirinya nabi, daripada ngumpet2 gini

    BalasHapus