Rabu, 17 Agustus 2011

PENDIDIKAN DAN KEBANGKITAN SI KAYA DAN SI MISKIN

Pendidikan dan kebangkitan tidak mengenal hari libur. Pendidikan harus terus bergulir, dan kebangkitan harus tetap tegak. Entah karena menyadari hal itu atau tidak, bangsa Indonesia ternyata tidak meliburkan Hari Pendidikan Nasional (2 Mei) dan Hari Kebangkitan Nasional (20 Mei).
Dalam keterpurukan, rakyat Indonesia tetap berlomba-lomba menyekolahkan anak. Mereka yang kaya, tak segan-segan mengeruk isi kocek jutaan sampai miliaran, untuk memasukkan anak-anak mereka ke lembaga-lembaga pendidikan bertaraf internasional dan terbaik, di dalam atau di luar negeri. Mereka yang miskin, tak peduli walau harus menggadaikan kepala, memaksa diri berlomba supaya anak-anak mereka bisa ikut bersekolah.
Bagi si kaya, bisa jadi menyekolahkan anak di lembaga pendidikan formal adalah formalitas belaka. Anak-anak mereka dikirim ke sekolah hanya untuk bersenang-senang dengan segala fasilitas, membeli berbagai ijasah, dan pulang untuk menerima jabatan atau perusahaan yang siap diwariskan.
Sementara bagi si miskin, pendidikan adalah satu-satunya gantungan harapan untuk membebaskan diri dari kemelaratan. Tapi kepedulian mereka terhadap pendidikan sering kali malah membuat mereka semakin terpuruk ke dalam sumur kepedihan. Sejak zaman kolonial, pendidikan selalu identik dengan kekayaan; sehingga bagi si miskin memasuki dunia pendidikan adalah sebuah angan-angan. Sejak dahulu, pendidikan selalu merupakan masalah struktural, dan yang ‘menikmati’ masalah itu tentu saja orang-orang miskin.
Sistem sekolah itu sendiri disusun struktural mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Alhasil, ketika hal itu dikaitkan dengan isi kantong rakyat, terbagilah kelas rakyat ke dalam ‘kasta’ lulusan SD, lulusan SMP, lulusan SMA, dan lulusan Perguruan Tinggi, yang pada akhirnya juga menjadi penentu nasib mereka dalam memperoleh bidang pekerjaan. Pendeknya, sistem sistem sekolah itu pada hakikatnya adalah modernisasi dan legalisasi dari sistem kasta yang kuno, untuk membuat pengkastaan manusia menjadi sesuatu yang wajar dan bisa diterima dengan rela (oleh rakyat kecil). Sistem sekolah seolah sengaja dibuat untuk mengukuhkan piramida sosial.
Manusia memang makhluk yang unggul; dan keunggulan manusia menjadi semakin kemilau setelah diasah dengan mesin pendidikan. Tak ada manusia yang bisa bangkit dari derajat hewan tanpa sentuhan pendidikan. Sebaliknya, tak ada manusia yang bisa lepas dari kebingungan ketika pendidikan ternyata telah menjelma menjadi sistem kekuasaan yang berpusing menjadi kincir lingkaran setan. Di sana, si kuat menjadi serba benar dan si lemah jadi serba salah.
Kata buku sejarah, itulah keadaan di masa penjajahan. Di sana, kata Pramoedya Ananta Toer yang atheis, “Tuhan tidak pernah berpihak kepada yang kalah”. Dalam novel triloginya yang terkenal dan tebal-tebal, Pramoedya memang sangat fasih berbicara tentang jahatnya penjajah dan malangnya bangsa terjajah, yang harus serba kalah semata-mata karena dia bangsa jajahan. Kefasihan yang sama juga kita dapati pada Jose Rizal, pejuang kemerdekaan Filipina, yang lewat novel-novelnya mengungkapkan betapa nistanya bangsa Filipina di bawah telapak kaki bangsa Spanyol.
Hal paling memilukan dari manusia terjajah adalah ketika mereka melengis dan merintih meminta sang penjajah berbagi remah pendidikan. Ketika sang penjajah menebar remah, mereka pun menyerbu seperti unggas kelaparan, mematuki remah di tanah, lalu mencernanya menjadi darah dan daging, yang kemudian membantu mereka berdiri tegak di hadapan bangsa sendiri, dengan mental penjajah.
Tak ada penjajah yang memberi ransum tanpa racun!
Penjajah memberi pendidikan supaya kita menjadi centeng dan pelayan bagi mereka. Sebagai centeng, kita menakut-nakuti bangsa sendiri. Sebagai pelayan, kita mengolah segala sumber daya alam untuk kenikmatan sang tuan.
Sampai sekarang, ketika segala lembaga pendidikan ala Barat kita tegakkan di seluruh penjuru negeri, sudahkah kita menguasai separuh ilmu mereka? Sudahkah kita tegak sama terhormatnya dengan mereka? Sudahkah kita mampu memanfaatkan kekayaan alam kita demi kepentingan diri kita sendiri?
Sampai sekarang, ketika bangsa-bangsa terjajah merasa telah merdeka, sudahkah kita berhenti mengemis kepada bangsa-bangsa mantan penjajah?
Tapi, bernarkah mereka sudah menjadi mantan penjajah? Dulu mereka menjajah kita dengan meriam, yang tidak pernah jadi melempem oleh mantra-mantra kiai dan paranormal (dukun). Sekarang mereka menjajah kita dengan uang, yang amat disukai oleh sebagian kiai dan kebanyakan dukun.
Mengapa mereka selalu sakti dan kita selalu dibuat tak mengerti?
Seperti diisyaratkan Allah dalam Al-Qurãn (2: 120), para penjajah tak akan pernah merasa senang sebelum kita ikut menjalankan cara hidup mereka. Tapi, apakah anda pikir setelah itu mereka akan berlaku fair (jujur) terhadap kita?
Tidak.
Mereka hanya akan menjebak kita untuk bergabung dalam sebuah game (permainan) yang di dalamnya kita tak akan diberi kesempatan untuk menang. Di sinilah Pramoedya baru layak mengatakan bahwa “Tuhan tidak pernah berpihak kepada yang kalah”; karena kekalahan itu memang berjabat erat dengan kesalahan pilihan. Begitu kita memilih untuk ikut dalam permainan mereka, masuklah kita ke dalam posisi kalah yang telah disediakan.
Keadaan itulah yang dijeritkan Jose Rizal lewat novelnya waktu sebagian dari bangsanya menuntut Hispanisasi (penspanyolan) adat-istiadat Filipina. Kata Jose, itu adalah tindakan bunuh diri, karena melenyapkan identitas bangsa, dan mengukuhkan tirani, yakni kekuasaan jahat penjajah. Dengan Hispanisasi (Hispanization), orang Filipina akan menjadi rakyat tanpa kepribadian, menjadi bangsa tanpa kemerdekaan. Apa untungnya jadi Spanyol bo’ongan? Paling banter, Filipina akan menjadi medan perebutan kekuasaan kaum militer dan menimbulkan perang saudara, atau menjadi sebuah republik yang dikuasai segelintir manusia serakah dengan bagian terbesar rakyatnya menjadi jembel jelata, seperti di beberapa republik Amerika Selatan?
Jose juga murka kepada sebagian kaum terpelajar bangsanya yang menuntut diberikan pengajaran bahasa Spanyol. “Kalian ingin menambahkan satu bahasa lagi kepada lebih dari 40 bahasa di kepulauan ini, sehingga saling mengerti di antara kalian akan terus berkurang? Bahasa Spanyol tidak akan menjadi bahasa umum di negeri ini. Rakyat setiap negeri mempunyai bahasa sendiri. Hanya sebagian kecil di antara kalian yang akan menggunakan bahasa Spanyol. Kalian mau membunuh kepribadian sendiri? Memaksa pikiran kalian bergantung pada otak orang lain? Bila demikian, kalian bukan membebaskan diri (dari penjajah), malah menyediakan diri untuk diperbudak!”
Suatu hari di tahun 1980an, saya mewawancari suami-istri kaya di vila mereka. Sang suami adalah importir, sementara istrinya yang jelita adalah seorang pilot amatir. Yang tak terlupakan dari pertemuan dengan mereka adalah cara makan ala Belanda lengkap dengan segala etiketnya, juga cara kedua suami-istri itu berbicara yang selalu menggunakan bahasa Belanda dan Inggris, diselingi beberapa patah kata Indonesia dan Sunda. Kadang, di tengah percakapan, mereka tanya saya padanan sebuah kata Inggris dalam bahasa Indonesia, dengan sikap bangga bahwa mereka ternyata tidak begitu bisa berbahasa Indonesia!
Saya geli sekaligus ingin menangis. Mereka sebangsa dan sesuku dengan saya, tapi saya merasa telah kehilangan mereka. Saya tak tahu mereka kesepian atau tidak. Yang jelas, mereka punya kesibukan bisnis, hobi, dan ‘pergaulan’ internasional. Bila capek melakukan kesibukan, mereka tinggal berduaan di vila di atas bukit. Dari situ mereka bisa memandang ke bawah, melihat hamparan gubuk-gubuk yang dihuni anak sebangsa, para inlander (pribumi) yang tak kenal Belanda dan Inggris.
Banyak orang di antara bangsa terjajah berambisi mencapai taraf hidup penjajah. Berbahasa penjajah, makan, berpakaian, dan hidup sedapat mungkin dengan gaya mereka. Bagi mereka, mungkin itulah kebangkitan. Sebaliknya, bagi bangsa dengan segala potensi budayanya, mungkin itulah kebangkrutan.
Al-Qurãn membuka mata kita bahwa Allah, sepanjang sejarah, selalu mengulurkan tangan kepada bangsa-bangsa terjajah. Sebuah Hadis Muslim bahkan menegaskan bahwa Allah menaruh perhatian kepada orang teraniaya, meskipun dia kafir. (Ittaqû da’watal-mazhlûmi wa lau kãna kãfiran, fa-innahã laisa dûnahã hijãbun: berhati-hatilah kalian terhadap doa orang-orang tertindas, walau dia kafir, karena tidak ada penghalang antara doa itu dengan Allah).
Tentu saja Allah tidak pernah melumpuhkan tangan yang megibaskan kelewang ke leher atau menarik pelatuk senapan yang mengarah ke jantung orang. Ketika Tuan Bush dan kawan-kawan membombardir Af-ganistan dan Irak, Allah tidak menggembosi satu pun ban pesawat pembom mereka. Begitu juga ketika Israel membombardir Gaza.
Allah menolong kaum tertindas dengan cara ‘membangkitkan’ (ba’atsa) seorang rasul. Kepada sang rasul, Allah menitipkan sebuah ilmu yang merupakan alternatif (pilihan lain) dari ilmu yang ditebarkan penjajah seperti sebuah jaring penangkap ikan.
“Kami hendak memberi anugerah kepada orang-orang yang tertindas di negeri ini (Mesir), dan selanjutnya menjelmakan mereka sebagai para pemimpin, yakni menjadi para pewaris (amanah Allah, untuk menata hidup dengan ajaranNya).”
Demikian penegasan Allah dalam surat Al-Qasshash dalam konteks pembebasan bangsa Yahudi dari penjajahan Fir’aun. Kita tahu bahwa anugerah yang diberikan kepada mereka, melalui Nabi Musa, adalah kitab Taurat. Dengan modal kitab itulah Yahudi berani bangkit melawan Fir’aun, untuk membebaskan diri dari perbudakan.
Jadi, Yahudi bebas dari penjajahan Fir’aun karena pertolongan Allah melalui kitabNya.
Bangsa Arab yang hampir jatuh ke jurang neraka, juga ditolong Allah melalui kitabNya, Al-Qurãn.
Tapi, Yahudi dan Arab adalah setali tiga uang. Arab mencampakkan Al-Qurãn, seperti Yahudi memusnahkan Taurat (dan kemudian Injil). Bedanya, Yahudi kini jadi penjajah, menguasai dunia; sementara Arab menjadi bangsa terjajah, menjadi bola permainan penguasa dunia, Yahudi dan Amerika.
Apa yang anda rasakan ketika ada berita bahwa Pangeran Abdullah dari Saudi Arabia berciuman dan bergandengan tangan dengan George Walker Bush “Sang Penghancur”? Apa yang anda rasakan ketika Israel berpesta bom di Gaza dan Arab hanya menonton?
Kesal? Marah?
Jangan!
Arab adalah wakil kita, simbol kita. Bangsa-bangsa muslim yang kalah, karena mengabaikan ajaran Allah...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar