Jumat, 09 September 2011

4 UNSUR AGAMA ( DINULLAH )


oleh Bruce Lee Panjaitan Sinaga pada 09 Februari 2011 jam 17:49
Empat Unsur Agama


Setiap agama pada dasarnya terdiri dari empat unsur, yaitu:

   1. Ajaran (= teori; konsep) sebagai sisi gaib
   2. Iman sebagai interaksi antara pelaku dan konsep,
   3. Ritus (= upacara) sebagai sistem lambang, dan
   4. Praktik ( = amal) sebagai perwujudan konsep dalam segala segi kehidupan individu dan masyarakat.

Dalam dïnul-islãm (‘agama Islam’) keempat unsur itu terungkap melalui Hadis Jibril, yang mencakup butir-butir di bawah ini.


1.  Ajaran Allah sebagai konsep hidup


Dalam dialog tentang iman, Rasulullah menegaskan tentang masalah terpenting dari dïnul-islãm, yaitu adanya interaksi antara seorang mu’min dengan ajaran Allah, yang disampaikan (diajarkan) melalui malaikat-malaikatNya, dalam bentuk kitab-kitab, yang diterima rasul-rasulNya, untuk mencapai tujuan akhir (kehidupan yang baik di dunia dan akhirat), dengan menjadikan ajaran Allah sebagai qadar (ukuran; standard; teori nilai) baik-buruk menurutNya.

Ajaran Allah yang dimaksud adalah Al-Qurãn.

Al-Qurãn sebagai qadr atau taqdïr adalah sisi gaib (abstract level) dari dïnul-islãm, yang merupakan “teori nilai” untuk menentukan baik buruknya segala sesuatu menurut pandangan Allah.


2. Îmãn sebagai interaksi


Iman pada hakikatnya adalah interaksi (aksi timbal balik) antara Allah sebagai pemberi konsep hidup dengan si mu’min yang menyambut da’wah (ajakan; tawaran) Allah melalui rasulNya. Selanjutnya, interaksi itu berlangsung intensif  melalui penghayatan si mu’min terhadap Al-Qurãn, sehingga Al-Qurãn menjadi satu-satunya konsep hidup yang tumbuh subur dalam ‘organ kesadaran’ (al-qalbu) si mu’min, yang selanjut meledak dan membanjir keluar melalui indra pengucapan (al-lisãnu), dan akhirnya menjelma menjadi berbagai bentuk tindakan dan kretifitas (al-‘amalu). Tepat seperti dinyatakan Rasulullah, misalnya dalam hadis riwayat Ibnu Majah:  الإيمان عقد بالفلب و إقرار باللسان و عمل بالأركان .


3. Ritus sebagai sistem lambang


Dalam dïnul-islãm ada sejumlah ritus yang dalam Hadis Jibril disebut dengan nama Al-Islãm pula, yaitu:

   1. a. Syahãdah sebagai sumpah setia (bay’ah). Pada masa Rasulullah jelas bahwa syahadat (syahãdah) adalah sebuah ‘upacara’ (ritus) untuk menyatakan sumpah setia seseorang terhadap dïnul-islãm, alias untuk meresmikan rekrutmen seseorang atau sejumlah orang sebagai anggota bun-yãnul-islãm (organisasi Islam).
   2. b. Shalat sebaga sarana pembatinan nilai-nilai Al-Qurãn, sekaligus pembinaan jama’ah/korp Islam. Orang-orang yang menyatakan diri (bersyahadat) sebagai anggota organisasi Islam tentu harus memahami dan menghayati konsep organisasinya, yakni Al-Qurãn. Hal itu dilakukan melalui shalat, yang bacaan pokoknya adalah surat Al-Fãtihan (ummul-qurãn) ditambah dengan surat-surat lain yang terus dipelajarinya. Selain itu, melalui shalat jama’ah, mereka juga belajar untuk membangun sebuah jama’ah atau korp yang rapi dan kompak.
   3. c. Zakat sebagai sistem ekonomi. Zakat, mulai dari zakat harta sampai zakat fitrah, pada hakikatnya melambangkan kesediaan setiap mu’min yang mampu untuk mendanai organisasi dan memperkuat jama’ah. Lebih lanjut, setelah organisasi menjelma menjadi sebuah sistem yang dipercaya untuk menata kehidupan umat (jama’ah mu’min plus komunitas-komunitas lain, seperti terlihat pada Piagam Madinah), maka zakat itu pun dikembangkan menjadi sistem ekonomi masyarakat secara umum.
   4. d. Shaum Ramadhan sebagai pembina ketahanan mental dan fisik dalam menerapkan nilai-nilai Al-Qurãn. Seluruh anggota organisasi jelas membutuhkan pembinaan mental dan fisik, supaya menjadi anggota-anggota yang militan dan tangguh. Shaum Ramadhan adalah sarana yang tepat untuk itu.
   5. e. Haji sebagai sarana pemersatu umat Islam sedunia. Ibadah haji merupakan ritus yang paling istimewa di antara kelima ritus dalam dïnul-islãm. Melalui hajilah umat Islam sedunia berkumpul, menjalin persahabatan, persaudaraan, dan persatuan berdasar kesamaan iman.

4. Praktik sebagai perwujudan konsep


Dïnul-islãm pada dasarnya adalah agama yang berorientasi pada praktik (amal). Tapi supaya praktinya tidak dilakukan sembarangan, Allah menempatkan rasulNya sebagai tokoh sentral untuk memimpin dan memberikan contoh penerapan setiap aspek ajaran Islam, mulai dari yang bersifat individu sampai pada yang bersifat kemasyarakatan. Tegasnya, pribadi Rasulullah adalah contoh sempurna dari individu mu’min, dan masyarakat yang dibangun beliau bersama jama’ahnya juga, otomatis, merupakan bentuk masyarakat yang ideal. Sebuah masyarakat yang mewakili Al-Qurãn sebagai konsepnya.


5.  Ihsãn sebagai sistem kendali


Seperti ditegaskan Rasulullah dalam Hadis riwayat Muslim, bahwa Allah menentukan al-ihsãn(u) pada setiap urusan, sampai pada urusan menyembelih hewan, maka bisa disimpulkan bahwa ihsan adalah sistem kendali (kontrol) atas setiap pelaksanaan ajaran Allah.

Dengan demikian, harfiah, ihsan bisa diterjemahkan sebagai “kecermatan, ketelitian, dan keseksamaan dalam melaksanakan ajaran Allah”.

Bagi kita sekarang, sikap ihsan harus diterapkan pertama-tama dalam konteks studi ajaran Allah itu sendiri, yang mencakup musshaf Al-Qurãn, kitab-kitab Hadits, plus buku-buku sejarah, dan lain-lain yang berkaitan. Studi ini harus mengarah pada “ditemukannya makna Al-Qurãn yang utuh dan murni”, yaitu suatu makna yang mampu merekonstruksi pribadi-pribadi (tokoh-tokoh), jama’ah, dan umat yang dulu dibangun Rasulullah bersama para sahabat beliau. Suatu makna yang, pertama-tama, mampu menegaskan bahwa persatuan para mu’min adalah mutlak wajib, dan perpecahan mereka adalah mutlak haram!


6.  Sã’ah sebagai peluang da’wah


Harfiah, sã’ah berarti waktu, tapi waktu di sini bukanlah sembarang waktu. Dalam konteks Nabi Muhammad pada masanya, sã’ah yang dimaksud adalah  waktu yang dibentangkan Allah sebagai wilayah da’wah hingga mencapai hasil. Tepatnya, waktu yang dimaksud adalah 13 tahun dalam Periode Makkah, dan 10 tahun dalam Periode Madinah. Yang pertama (Periode Makkah) merupakan masa perjuangan untuk memperkenalkan konsep Allah dan membangun jama’ah. Yang kedua (Periode Madinah) adalah masa pembangunan konsep Allah itu menjadi sebuah sistem pemerintahan.


5.  Tanda-tanda sã’ah sebagai gambaran tujuan


Melalui Hadis Jibril kita mendapat gambaran bahwa tujuan penegakan ajaran Allah pada dasarnya adalah demi mencapai target-target:

   1. a. Lenyapnya diskriminasi kelas dan gender, yang merupakan produk feodalisme dan antek-anteknya, dan
   2. b. Lenyapnya kemiskinan struktural, yang merupakan produk kapitalisme dan antek-anteknya.

Feodalisme dan kapitalisme adalah musuh Al-Qurãn pada masa Rasulullah, dan juga pada masa sekarang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar