Jumat, 09 September 2011

MURTAD ..?!


oleh Bruce Lee Panjaitan Sinaga pada 26 Februari 2011 jam 16:37
Belakangan ini berkembang luas wacana kebebasan dalam segala hal. Dan, sebagai dampak langsung maupun tidak langsung, agama pun menjadi sasaran dari ‘filosofi’ baru tapi kuno ini. Mereka bilang, kita bebas memilih agama apa pun, dan karena itu – otomatis – kita juga bebas untuk tidak memilih agama apa pun. alias bersikap agnostik.[1] Dengan bersikap agnostik, otomatis anda beranggapan bahwa agama, yang di dalamnya menyebut-nyebut adanya tuhan, sebenarnya hanya bikinan manusia. Dengan kata lain, bersikap agnostik adalah setali tiga uang dengan atheis.

Karena itu, seorang agnostik bisa mudah meremehkan aturan main dalam setiap agama.

Sebagai contoh, harian Kompas pernah memuat tulisan dalam rubrik bahasa, yang coba-coba memasalahkan istilah murtad. Sang penulis, Samsudin Berlian, terkesan tidak memahmi istilah dan asal istilah yang dibahas. Tudingannya pun jadi terasa seenaknya. Bagi dia, istilah murtad itu adalah ciri khas “agama-agama ekslusif  Timur Tengah” (kronologis: Yahudi, Kristen, Islam) yang “bikin garis pembelah kemanusiaan”.

Pilihan dan pemisahan

Setiap agama pada dasarnya mewakili sebuah pilihan dan sekaligus pemisahan, alias mengajak orang eksklusif. Tapi, selagi eksklusifisme itu diterapkan dengan kesadaran inklusif (mengakui hak orang lain untuk mengambil pilihan berbeda), di situ tak ada yang salah; karena yang harus (normatif) berlaku adalah pengakuan atau kesadaran tentang adanya rambu-rambu dan  batas-batas wilayah dalam kehidupan. Ada wilayah kita, ada wilayah orang lain, ada wilayah bersama (umum). Yang sering menimbulkan masalah biasanya adalah oknum-oknum, atau kelompok-kelompok (aliran-aliran) dalam agama-agama itu sendiri, yang sering menonjolkan (dan kadang memaksakan) penafsiran ‘khas’ (ekstrem) mereka.

Dalam wilayah kita, ada “hukum” kita. Dalam wilayah orang lain, ada “hukum” orang lain. Dalam wilayah bersama, ada “hukum” yang berlaku untuk kita dan orang lain. Silakan anda bayangkan apa yang akan terjadi bila anda hidup tidak mengenal batas-batas wilayah dan hukum! Ekslusifitas adalah kenyataan hidup. Dalam berbahasa, aku dan kamu itu juga ekslusif, tapi tetap harus ada, karena tidak mungkin satu sama lain saling menyebut kita terus. Dalam konteks inilah sebaiknya istilah murtad dipahami oleh bangsa Indonesia, yang sudah ‘terlanjur’ menerimanya sebagai kosa kata bahasa nasional (?).

Murtad dan desersi

Tanpa harus tahu makna terminologisnya, kata murtad sebenarnya bisa dipahami secara analogis. Bila kita ambil contoh ekstrem, dari dunia militer, misalnya,  murtad itu identik dengan desersi. Bila anda anggota tentara, anda tidak bisa seenaknya keluar dari kesatuan alias melakukan desersi. Dan bila anda melakukan hal itu (desersi), maka ke mana pun anda lari, anda akan terus diburu, untuk menerima hukuman yang sejak awal sudah anda ketahui. Mengapa harus begitu? Karena, bila setiap oknum tentara bisa bebas melakukan desersi, bagaimana sebuah korp bisa terbentuk, utuh, kompak dan memiliki moral (semangat juang) yang baik? Bila sebuah kesatuan tentara setiap saat bisa bubar, celakalah sebuah negara, karena akan menjadi makanan empuk musuh-musuhnya.

Desersi (= murtad) itu adalah ‘antonim’ dari komitmen. Bila setiap orang bisa dan boleh setiap saat membatalkan komitmen, silakan bayangkan apa yang bakal terjadi. Bila setiap saat orang beragama bisa dan boleh “datang dan pergi sesuka hati”, maka bisa dijamin bahwa rumah-rumah ibadah akan berubah menjadi semacam gedung teater! Lebih jauh, bila setiap warga negara bisa setiap saat berubah kewarganegaraan, apakah masih perlu ada negara?

Jadi, benar kata Samsudin Berlian, yang menyebut bahwa “konsep pemurtadan sangat defensif dan khas”, karena dalam hidup ini memang selalu ada hal-hal yang harus dijaga eksistensi dan keutuhannya. Bila kita renungkan dalam-dalam, istilah atau konsep murtad itu sebenarnya tidak bisa dipisahkan dari peradaban, karena peradabanlah yang melahirkan hukum,  peraturan, dan disiplin.

Akar istilah
Sekarang, mari kita tinjau apa sebenarnya makna kata  murtad itu. Dalam disiplin ilmu sharf (morfologi), murtadd (dobel d, aslinya murtadid)  disebut ismul-fã’il alias kata pelaku (nomen agentis, active participle). Artinya, menurut Hans Wehr dalam A Dictionary of Modern Written Arabic adalah, antara lain, turncoat (ganti jaket; pindah partai), renegade (orang yang berganti agama, orang yang pindah partai), apostate (pelaku kesalahan; pendosa; pendurhaka). Tapi, masih berdasar morfologi bahasa Arab, kata murtadd itu (aslinya murtadad) juga bisa merupakan partisipel pasif, yang artinya dalam bahasa Indonesia adalah “dimurtadkan” (menjadi obyek pemurtadan).

Umat Islam Indonesia mengambil kata murtad dari kosa kata buku-buku hukum, tepatnya dari kitab-kitab fiqh. Dengan demikian, pada mulanya, kata ini dikenal sebagai istilah hukum (agama). Entah berapa lama kemudian, kata murtad pun menjelma menjadi omongan sehari-hari. Di masa kecil saya, di Jawa Barat, saya sering mendengar kata murtad dimuntahkan para orangtua, sebagai makian terhadap anak-anak yang melanggar sopan santun, atau kelewat nakal, dan secara serius (bukan hanya makian) ditujukan kepada para kriminal. Dalam pergaulan dengan teman, istilah murtad sering digunakan sebagai gurauan, yang sebenarnya juga merupakan kritik halus atas pelanggaran moral yang dilakukan.

Bahasan tentang murtad dalam buku-buku fiqh biasanya terdapat dalam bab riddah, yang merupakan kependekan dari riddah ‘anil-islãm(i), yaitu meninggalkan agama Islam. Imam Syafi’i  dalam Musnad-nya menjelaskan bahwa riddah secara lughawi (dalam kajian bahasa) berarti murtad dari sesuatu dan memilih yang lainnya. Sedangkan menurut istilah syara’ (syari’ah; hukum agama) ialah terputusnya keislaman seseorang yang tadinya sah dikatakan sebagai seorang muslim. Pemutusan ini terjadi karena beberapa faktor, yaitu karena niat kafir (mengingkari; menolak) atau melakukan perbuatan yang kafir, atau mengucapkan kata-kata yang kafir, tanpa membedakan apakah ia melakukannya karena mengejek atau ingkar, atau yakin pada kekufurannya.

Definisi Syafi’i  itu jelas mewakili bahasa hukum, yang cenderung menjatuhkan vonis berdasar hal-hal (tindakan, ucapan) yang bersifat nyata, alias berpegang pada asas pembuktian. Hukum memang tidak menghakimi isi hati!

Kebablasan

Saya bebas. Tapi dari apa? (Gbr dari blogs.marinij.com).

Saya bebas. Tapi dari apa? (Gbr dari blogs.marinij.com).

Belakangan ini memang banyak orang yang bicara atas nama demokrasi dan pluralitas secara kebablasan. Mereka seperti membayangkan sebuah bentuk kehidupan tanpa batasan, tanpa wilayah-wilayah, tanpa peraturan. Padahal, dengan mengajukan konsep pluralitas (pluralisme), di dalamnya sudah terkandung pengakuan keanekaan; termasuk di dalamnya keanekaan agama dengan hukum dan peraturannya yang tentu mengikat para pemeluknya.

Di luar konteks fiqh, (orang) murtad memang tidak harus menanggung beban moral atau ketakutan terkena sangsi hukum. Bila dihubungkan dengan kepartaian atau olahraga, maka tidak ada salahnya seseorang pindah partai atau pindah klub sepakbola. Kenapa tidak ada salahnya? Sebab, partai atau klub sepakbola bukanlah lembaga-lembaga sakral. Sebuah partai atau klub sepakbola, setiap saat boleh dibentuk dan dibubarkan. Tapi hal itu tidak boleh terjadi pada agama. Bahkan juga pada kesatuan militer sebuah negara!

Harus diakui juga bahwa dalam kehidupan kita ini selalu ada hal-hal yang dianggap tabu. Dan, dalam konteks agama (apa pun), salah satu tabunya adalah murtad. Tapi, bagaimana halnya bila hal itu dikaitkan dengan kebebasan individu untuk memilih? Jawabnya, semua (pilihan-pilihan itu) terserah anda. Tapi, seperti kata ‘undang-undang’ dalam teori manajemen, “You are free to choose actions but you are not free to choose the consequences.” (Anda bebas melakukan tindakan apa pun, tapi anda tidak bebas memilih risiko-risikonya). Anda bebas untuk meninggalkan agama anda, tapi anda tidak bebas untuk tidak disebut renegade, apostate, alias murtad; walau agama yang anda campakkan itu bukan berasal dari Timur Tengah.

[1] Ing.: agnostic: (1) believing that nothing can be known about god (percaya bahwa tidak ada sesuatu pun yang bisa diketahui tentang tuhan), (2) one who holds that we know only the material world (orang yang bersikukuh menyatakan bahwa kita hanya mengetahui alam benda).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar