Jumat, 09 September 2011

Iblis Tidak Disuruh Sujud Kepada Adam?


Diskusi Dengan Seorang Muallaf
Ini tentang kasus Adam dan Iblis dalam Al-Qurãn, khususnya dalam surat Al-A’raf ayat 11. Di situ Allah berkata kepada Malaikat untuk bersujud kepada Adam, dan mereka sujud, kecuali Iblis. Nah, pertanyaan saya adalah: “Kenapa Iblis harus menolak, padahal dia tidak disuruh sujud, karena yang disuruh adalah Malaikat; sedangkan Iblis bukan Malaikat?

Saya seorang mu’allaf, karena baru beberapa tahun masuk Islam. Ada banyak hal yang membuat saya tertarik pada Islam. Tapi saya kira faktor Al-Qurãn adalah yang terpenting. Dia punya persamaan dengan kitab-kitab agama saya terdahulu, namun juga ada perbedaan-perbedaan mendasar, dan itu bagi saya merupakan pencerahan.
Sebagai mu’allaf, anda hebat, karena mau menekuni Al-Qurãn. Padahal, orang Islam yang sudah menjadi ‘muslim’ sejak lahir kebanyakan malah tak begitu tertarik mempelajari Al-Qurãn.
Mungkin karena mereka merasa bahwa faktor darah itu sudah cukup untuk membebaskan mereka dari siksa neraka!
Ha ha! Mengapa mereka bisa merasa begitu? Nabi Muhammad pun tidak bisa menjamin kese-lamatan anaknya!
Karena Islam mengajarkan bahwa setiap orang bertanggung jawab terhadap diri masing-masing kan?
Ya. Al-Qurãn menegaskan bahwa setiap orang adalah pe-nanggung beban dirinya sendiri, sehingga tidak mungkin untuk dititipi beban orang lain.
Apakah beban yang anda maksud itu ada kaitan dengan perintah Allah?
Ya. Perintah Allah untuk menjadi hambaNya. Sebuah perintah yang bersifat umum.
Bila itu bersifat umum, saya ingin menanyakan sesuatu yang khusus.
Misalnya?
Bisakah anda terkena perintah yang ditujukan kepada saya hanya karena anda berkumpul dengan saya?
Hmh, bisa ya, dan bisa tidak.
Bagaimana bisa ya, dan ba-gaimana bisa tidak?
Bila anda dan saya adalah prajurit, dan perintah itu datang dari komandan kita, dan kita disuruh melakukan pekerjaan yang sama. Tapi, bila saya hanya tamu anda, dan perintah itu datang dari bos anda, saya tentu tidak bisa kena perintah itu.
Bingo! Anda telah membuka jalan untuk sebuah pertanyaan yang belakangan ini mengganggu pikiran saya.
O ya? Pertanyaan tentang apa?
Pertanyaan penting yang membuat saya penasaran. Sudah saya tanyakan kepada  banyak orang, termasuk mereka yang punya nama besar, tapi jawaban mereka tidak memuaskan saya.
Saya ingin dengar, dan akan coba menjawab. Tapi saya tidak lebih baik dari mereka, sehingga mungkin jawaban saya pun tidak akan memuaskan anda.
Iblis bukan Malaikat
Ini tentang kasus Adam dan Iblis dalam Al-Qurãn, khususnya dalam surat Al-A’raf ayat 11. Di situ Allah berkata kepada Malaikat untuk bersujud kepada Adam, dan mereka sujud, kecuali Iblis. Nah, pertanyaan saya adalah: “Kenapa Iblis harus menolak, padahal dia tidak disuruh sujud, karena yang disuruh adalah Malaikat; sedang-kan Iblis bukan malaikat?
Pertanyaan bagus, tapi – maaf – ini juga sebenarnya pertanyaan bodoh!
Kenapa anda bisa mengatakan pertanyaan saya itu bagus, tapi juga bodoh?
Maaf! Sekali lagi, maaf! Anda mungkin hanya membaca terjemahan Al-Qurãn. Anda tidak atau belum memahami bahasa aslinya.
Saya sudah belajar bahasa Arab, sedikit!
Itu belum cukup. Sudah belajar banyak pun belum cukup, apalagi sedikit.
Karena itu anda menganggap saya bodoh?
Jangan marah! Ketika berhadapan dengan Al-Qurãn, saya selalu merasa sedang berhadapan dengan Allah. Karena itu, saya selalu merasa bodoh. Jadi, kalau tadi saya sebut anda bodoh, itu bukan penghinaan. Saya hanya ingin berbagi kesadaran ini. Kesadaran bahwa di hadapan Allah, kita semua bodoh. Setuju?
Hmh, ya, ya! Tapi, saya kira, saya bukan tidak memiliki kesadaran seperti itu. Saya hanya sedang berusaha memahami Al-Qurãn sebaik-baiknya.
Salut! Kalau begitu, sekarang kita bisa berdiskusi dengan pikiran yang jernih.
Bisa langsung menjawab per-tanyaan saya?
Menurut ulama (para ahli agama Islam), para ahli tafsir, Iblis itu adalah makhluk sebangsa Malai-kat.
Saya sudah mendengar dan membaca pendapat seperti itu. Tapi, apa landasan mereka?
Konteks ayat yang anda sebut itu sendiri, ditinjau dari segi bahasa, teori sastra, dan mungkin juga ilmu mantiq (logika).
Saya ingin penjelasan menga-pa Iblis ada bersama Malaikat? Jawaban yang anda sebutkan itu kan hanya tebakan! Saya juga su-dah baca Tafsir Al-Mishbah kara-ngan Quraish Shihab. Dia juga mengatakan Iblis memasukkan di-rinya ke dalam kelompok Malaikat, tapi dia tidak menyebutkan dalil tentang hal itu.
Ya, ya! Masuk akal bila ja-waban itu tidak memuskan anda. Lagi pula, kalau memang Iblis sendiri yang memasukkan diri ke dalam kelompok Malaikat, menga-pa Allah bisa menerima?
Ya. Selain itu, bagi saya, itu hanya tebakan!
Ya. Tapi jawaban ulama yang saya ajukan tadi itu bukan tebakan. Itu dalil berdasar logika! Ba-hasa pesantrennya dalîl ‘aqli. Ar-gumentasi berdasar pemahaman rasional, dan biasanya konteks-tual; dalam arti sesuai dengan konteks (karinah) masalahnya.
Tapi itu bukan jawaban yang saya harapkan.
O ya? Tapi, pertanyaan anda juga kan berangkat dari pemikiran rasional. Allah menyuruh Malaikat sujud kepada Adam, eh kok tiba-tiba muncul Iblis yang menolak perintah itu. What’s wrong with him? Kenapa si Iblis ini? Nggak disuruh sujud kok bilang nggak mau sujud? Begitu kan jalan pi-kiran anda?
Ya!
Nah, kalau begitu, sekarang saya tanya anda: “Kenapa pula Allah marah pada Iblis ketika dia tidak sujud, padahal dia tidak kena perintah sujud itu?” What’s wrong with Allah?
Saya tidak tahu!
Seharusnya anda tahu! Karena pertanyaan ini saya ajukan kepada logika anda berdasar kasus yang anda pertanyakan. Di situ ada sebuah kesimpulan logis yang bisa anda ambil.
Anda ingin menggiring saya untuk mengakui bahwa Iblis mememang juga disuruh sujud kepada Adam?
Bukan menggiring, tapi mengajak anda berjalan on the right track! Karena sejak awal saya lihat anda mengajukan pertanyaan berdasar logika, berdasar rasionalitas pikiran anda, maka saya ajak anda untuk menemukan jawaban dari jurusan itu. Tapi rupanya logika anda buntu. Anda tidak menjawab pertanyaan saya, “kenapa Allah marah pada Iblis bila Iblis (juga) tidak disuruh sujud kepada Adam?”
Yang saya tahu, Iblis bukan Malaikat. Dalam surat Al-Kahfi ayat 50 disebutkan bahwa Iblis adalah jin!
Oh! Jadi, anda sudah periksa ayat-ayat yang berkaitan dengan kasus ini.
Ya. Berdasar ayat itu, jawaban yang mengatakan Iblis sebagai “sebangsa dengan Malaikat” itu adalah salah. Lagi pula, dari mana kata “sebangsa” itu diambil?
O, sekarang anda juga ingin meninjau dari segi bahasanya? Kalau anda pahami ayat yang barusan anda sebutkan, di situ ada kata-kata kãna minal-jinni. Di situ ada partikel min, yang bisa berarti sebangsa, sejenis, segolongan, dan sebagainya. Juga bisa berarti berasal dari. Jadi, bila ayat ini anda jadikan dalil untuk memastikan bahwa Iblis adalah jin, itu juga hanya sebuah kemungkinan, bukan kepastian. Jelasnya, Iblis itu mungkin identik dengan jin, mungkin sebangsa, atau sejenis, atau segolongan.
Tapi tetap saja Iblis bukanlah sebangsa Malaikat! Itu kepastian yang saya pegang.
Siapa bilang? Sebuah hadis menyebut malaikat diciptakan dari cahaya, sebuah ayat menegaskan bahwa jin dibuat dari api. Apa keberatan anda bila, misalnya, cahaya dan api dikatakan sebangsa atau sejenis?
Apakah saya harus menggunakan tinjauan ilmu fisika?
Tak perlu sejauh itu. Lagi pula, saya mungkin tak akan bisa memahami penjelasan anda.
Lalu, apa maksud pertanyaan anda tadi?
Saya hanya ingin mengatakan bahwa Al-Qurãn itu, walaupun bisa memuaskan para ahli ilmu alam, bila mereka memahaminya, kenyataannya Al-Qurãn itu pertama kali turun di tengah masyarakat sederhana; masyarakat yang hanya menafsirkan gejala-gejala alam dengan hanya mengandalkan panca indra dan konsep-konsep sederhana. Di hadapan mereka, bila dikatakan bahwa cahaya dan api itu “sebangsa” atau “sejenis”, pastilah mereka bisa mengiyakan dengan cepat.
Dan dengan itu anda ingin membuat saya menerima bahwa Iblis adalah sebangsa Malaikat?
Saya tidak peduli anda mau terima atau tidak. Itu urusan anda. Tapi terlepas dari itu, ketika anda berusaha memahami Al-Qurãn, cobalah anda ‘pelototi’ teksnya secara langsung!
Maksud anda?
Anda tidak bisa memahami Al-Qurãn secara cukup utuh dengan hanya mengandalkan terjemahan. Bahkan juga tidak cukup walau anda sudah membaca puluhan tafsir!
Tampaknya anda mau mempersulit saya.
Sebaliknya. Saya justru ingin memudahkan anda. Setidaknya, saya ingin mengajak anda merenungkan pengalaman Roger Garaudy, seorang filsuf Prancis yang pernah dibuat bingung oleh ulama Al-Azhar, Mesir. Untuk bisa memahami Islam secara komprehensif (utuh; lengkap), mereka menyuruh Garaudy mempelajari ilmu fiqh dan ushul fiqhnya, tafsir dan ilmu tafsirnya, hadis dan ilmu hadisnya, dan banyak lagi.
Kenapa dia jadi bingung?
Karena ia lahir tahun 1920an, dan baru masuk Islam tahun 1982. Ia merasa tak punya cukup waktu untuk mempelajari ilmu-ilmu tersebut. Tapi, untunglah ia bertemu dengan Raja Faisal, yang menegaskan padanya bahwa sumber utama Islam adalah Al-Qurãn. Faisal lalu menghadiahinya sebuah indeks Al-Qurãn yang disusun oleh Muhammad Fuad Abdul Baqi. Buku inilah pembantu utamanya dalam mempelajari Al-Qurãn.
Dan buku itu ditulis dalam bahasa Arab?
Ya. Dan itu tidak menyulitkan Garaudy, karena sejak tahun 1940 ia hidup di Timur Tengah, khususnya di Aljazair yang dianggapnya sebagai tanah air kedua.
Intinya, seperti anda katakan sejak awal, saya harus memahami bahasa aslinya, dan menggunakan indeks tersebut?
Tadi juga sudah saya katakan bahwa penguasaan bahasa itu pun belum cukup.
Ilmu alat
Jadi, harus ditambah dengan penguasaan sastra, ilmu mantiq, dan entah apa lagi, seperti yang juga sejak awal anda sebutkan?
Saya hanya menyebut sebagian ilmu yang disebut ulama sebagai ilmu-ilmu alat, yang sebe-narnya semua bisa dipilah dan dipilih berdasar peran fragmatisnya.
Apa yang anda maksud dengan peran fragmatis itu?
Peran atau fungsi khusus dari setiap ilmu itu. Peran ilmu sharaf, misalnya, hanyalah sebatas bidang morfologi; penguraian bentuk kata dan berbagai variasinya. Tanpa penguasaan ilmu ini, misalnya, anda tidak akan bisa menggunakan kamus dan indeks yang saya sebutkan tadi. Terus, dengan ilmu nahwu, anda akan tahu berbagai bentuk kalimat. Dan dengan ilmu balaghah, anda akan memahami gaya bahasa (style) yang terdapat dalam Al-Qurãn.
Dan, dengan ilmu mantiq, apa yang bisa saya ketahui?
Nah, itu soal lain lagi. Ilmu itu sebenarnya boleh dikatakan sesuatu yang asing, karena memang diadaptasi orang Arab dari bangsa Yunani. Tepatnya dari logika Aristoleles. Karena itu nama asli ilmu itu adalah manthiq aristhi, logika Aristoteles. Meskipun demikian, ilmu ini bukan tidak berguna untuk memahami Al-Qurãn, karena banyak segi dari Al-Qurãn itu memang memerlukan peran logika. Satu segi, cara berpikir bangsa-bangsa Timur yang beragama Islam, pada umumnya masih lebih berbau takhyul dan mitos, dan ini bisa menghambat mereka untuk memahami Al-Qurãn yang sangat menuntut tumbuhnya sikap kritis.
Persiapan memahami Al-Qurãn
Intinya, untuk memahami Al-Qurãn itu dibutuhkan sebuah persiapan khusus?
Tepat! Al-Qurãn yang sangat hebat itu tak akan bisa dipahami dengan baik oleh sembarang orang. Ada sejumlah ilmu pokok yang harus dikuasai untuk bisa memahami Al-Qurãn secara global, dan itu tidak banyak dan tidak sulit. Juga ada banyak sekali ilmu yang harus anda kuasai untuk bisa memahami Al-Qurãn secara detail, bila anda ingin tahu semua. Dan, saya kira, tak ada seorang manusia yang bisa menguasai semua ilmu-ilmu itu.
Kalau begitu, tidak ada manusia yang bisa memahami Al-Qurãn secara menyeluruh?
Ya. Hanya bisa secara global, ditambah penguasaan khusus pada bidang-bidang tertentu dari orang yang bersangkutan.
Juga termasuk Rasulullah sendiri tidak bisa memahaminya secara menyeluruh?
Saya tidak mungkin meremehkan Rasulullah yang gurunya adalah Allah sendiri! Tapi, di masa hidupnya, beliau pernah mengatakan: antum a’lamu bi-umuri dun-yakum. Kalian lebih mengetahui bidang kehidupan kalian masing-masing. Pernyataan itu dikemukakan beliau kepada orang yang bertanya tentang masalah pertanian. Masalah cocok tanam. Pernyataan itu mengisyarakatkan bahwa  beliau tidak menguasi ilmu pertanian. Di satu pihak, mungkin yang bertanya itu mengira bahwa dengan menjadi rasul, dengan menjadi pengajar Al-Qurãn, otomatis Rasulullah jadi tahu segala hal.
Tadi anda mengatakan bahwa guru Rasulullah adalah Allah. Jadi, wajar doong kalau beliau tahu segala hal!
Yaa, memang menjadi murid Allah itu sesuatu yang sangat istimewa. Tapi, seistimewa apa pun, setiap orang tetaplah mempunyai tugas yang khusus, yang harus dijalaninya dalam batas-batas kemanusiaannya yang umum. Karena itu, beliau juga mengajarkan agar setiap urusan diserahkan kepada ahlinya masing-masing. Bila kita bawa ke dalam kehidupan sekarang, beliau pastilah tidak tahu ilmu fisika, matematika modern, biologi, embriologi, dan lain-lain ilmu modern, yang disinggung maupun yang tidak disinggung Al-Qurãn, yang nota bene memerlukan ilmu-ilmu modern itu untuk mengungkap isinya.
Pendeknya, Rasulullah sendiri hanya mengetahui Al-Qurãn secara global?
Saya kira, iya! Tapi ditambah dengan pengetahuan tertentu yang sangat mendetail, yang membuat beliau sangat layak disebut pakar.
O ya? Tentang apa?
Tentang akhlaq.
Akhlaq?
Ya. Karena missi utama beliau memang menawarkan Al-Qurãn sebagai konsep pembangunan akhlak mulia. Dalam hal ini, beliau bukan hanya pakar, tapi diri beliau sendiri adalah wakil atau wujud nyata dari konsep itu sendiri, sehingga dalam diri beliau tidak ada kesenjangan antara kata dan perbuatan.
Peran filsafat ilmu
Jadi, kalau anda mengatakan ada ilmu-ilmu pokok yang harus dikuasai untuk memahami Al-Qurãn secara global, apakah yang anda maksud itu ilmu akhlaq?
Bukan. Aisyah, istri Rasulullah, mengatakan bahwa akhlaq Rasulullah adalah Al-Qurãn. Karena itu, kalau mau meniru akhlaq beliau, yaa harus mengerti Al-Qurãn. Sebelum itu, pembantu pertama dan paling penting adalah ilmu bahasa. Dan ilmu itu terdiri dari tiga bidang kajian; yaitu (1) ilmu sharaf (morfologi), (2) ilmu nahwu (sintaksis), dan (3) ilmu balaghah (sastra; stilistika). Selain itu, yang paling menentukan adalah penguasaan filsafat ilmu.
Filsafat ilmu? Anda bicara seperti orang Barat saja!
Ha ha! Sejumlah sarjana Barat, misalnya George Sarton, juga Roger Garaudy, mengatakan bahwa Barat banyak berutang pada Timur. Lalu, Timur itu sendiri berutang pada siapa atau apa?
Saya tidak tahu.
Pada Allah, pada kitab-kitab-Nya, pada rasul-rasulnya, pada agamanya, yang sejak awal diturunkan di Timur Tengah.
Jadi, menurut anda, filsafat ilmu itu pun bukan murni ilmu Barat?
Ha ha! Tak ada manusia, yang tinggal di belahan bumi mana pun, yang berhak mengklaim diri atau wilayahnya sebagai sumber ilmu. Tapi, untuk soal yang satu ini, mungkin kita harus melakukan diskusi tersendiri.
Oke. Sekarang saya mau tahu apa manfaat filsafat ilmu dalam hubungan dengan pemahaman Al-Qurãn.
Pertama, filsafat ilmu itu bersifat netral. Ia berguna untuk memilah mana ilmu yang benar-benar ilmiah dan mana yang sekadar psudo ilmiah, alias ilmu palsu. Kedua, berdasar filsafat ilmu itu, anda bisa membuktikan bahwa Al-Qurãn adalah sebuah ilmu yang canggih, yang semakin menegaskan bahwa dia memang berasal dari Sang Pencipta. Ketiga, filsafat ilmu akan mengantar anda pada pemahaman Al-Qurãn secara obyektif, dalam arti bebas dari pengaruh-pengaruh pandangan subyektif anda.
Anda tentu sudah menguasai ilmu-ilmu itu?
Baru sedikit. Sangat sedikit! Tapi sudah bisa diterapkan untuk memahami kasus yang anda pertanyakan.
O ya? Bisa anda buktikan?
Baik. Pertanyaan anda di awal diskusi kita adalah tentang kasus Adam dan Iblis dalam Al-Qurãn, khususnya dalam surat Al-A’raf ayat 11. Di situ Allah berkata kepada Malaikat untuk bersujud kepada Adam, dan mereka sujud, kecuali Iblis. Nah, pertanyaan anda adalah: “Kenapa Iblis harus menolak, padahal dia tidak disuruh sujud, karena yang disuruh adalah Malaikat; sedangkan Iblis bukan malaikat?
Ya, ya! Anda sudah menjawab panjang lebar, tapi saya belum puas.
Tapi saya juga mengajukan pertanyaan: “Kenapa Allah marah pada Iblis bila ia tidak disuruh sujud kepada Adam?” Dan anda tidak menjawab pertanyaan saya!
Saya datang untuk bertanya, bukan untuk menjawab.
Apakah, anda pikir, jawaban tidak bisa disusun dalam bentuk kalimat pertanyaan?
Oh! Jadi pertanyaan anda itu adalah jawaban?
Setidaknya sebuah versi jawaban. Sebuah cara menjawab.
Tapi cara anda itu tidak saya pahami.
Tentu saja; karena otak anda hanya dipenuhi pertanyaan sendiri, yang mungkin menjadi kebanggaan, atau membuat anda sedikit sombong, karena belum ketemu orang yang bisa memberikan jawaban memuaskan. Menurut para kiai di pesantren, kesombongan itu bisa menghalangi masuknya ilmu. Dengan kata lain, pintu ilmu hanya bisa dibuka dengan kerendahan hati. Sayangnya, orang yang merasa rasional biasanya suka agak arogan.
Apa saya perlu minta maaf?
Saya tidak menganggap anda bersalah kepada saya. Bila arogansi itu ada pada anda, itu milik anda sendiri, dan tidak berpengaruh terhadap saya. That’s your own business. Kata anak-anak sekarang sih nggak ngaruh!
Anda melantur terus. Kenapa tidak langsung membahas ayat itu?
Baik! Ayat yang anda sebut itu, surat Al-A’raf ayat 11, dalam terjemahan Departemen Agama berbuyi: Sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu (Adam), lalu Kami bentuk tubuhmu, kemudian Kami katakan kepada para malaikat, “Bersujudlah kamu kepada Adam”; maka mereka pun bersujud kecuali iblis. Dia tidak termasuk mereka yang bersujud. Sekali lagi saya tegaskan, ini terjemahan Dep-Ag, bukan terjemahan saya. Dan saya tidak memandang terjemahan Dep-Ag sebagai terjemahan standar apalagi final.
I don’t know! Saya tidak tanya soal itu.
Cuma untuk mengingatkan bahwa terjemahan Al-Qurãn karya manusia itu tidak sesakral aslinya. Tapi, karena anda berangkat dari terjemahan ini, ditambah dengan tafsir karya Quraish Shihab, maka tak masalah kita mulai dari sini, untuk sementara, sebelum mendiskusikan teks aslinya. Anda memasarkan terjemahan ayat ini karena, menurut anda, ada keganjilan kan?
Ya. Pertanyaan saya belum berubah. “Kenapa Iblis harus menolak, padahal dia tidak disuruh sujud, karena yang disuruh adalah Malaikat; sedangkan Iblis bukan malaikat?
Jawaban saya yang pertama, silakan periksa ayat berikutnya, ayat 12. Di situ bisa anda baca: Allah berfirman, “Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?” … Di sini jelas sekali kan? Ada kata-kata Aku menyuruhmu.
Tapi…
Tapi anda tidak teliti! Anda dipermainkan oleh logika sendiri, oleh rasionalitas sendiri, yang membuat anda berkesimpulan bahwa anda telah menemukan sebuah pertanyaan hebat, yang belum terpikirkan oleh siapa pun yang mengaku umat Islam!
Waah, anda jangan …
That’s no problem! Itu bukan penyakit anda sendirian. Kebanyakan orang, baik umat Islam dan lebih-lebih non-muslim, selalu bersikap apriori terhadap Al-Qurãn. Mereka suka merasa sudah tahu, padahal belum bertekun melakukan pengkajian. Saya sendiri pun pernah, dan sekarang kadang-kadang masih begitu.
Jadi, menurut anda, saya apriori, begitu?
Mengaku atau tidak, itulah yang terjadi. Anda membaca ayat 11, memikirkannya, merasakan ada keganjilan di situ, lalu terbentuklah sebuah pertanyaan, lalu seperti Archimedes anda berteriak eureka sambil berlari meninggalkan kamar! Anda ‘merasa’ menemukan ‘fakta’ bahwa Iblis tidak disuruh sujud kepada Adam … Padahal, ayat 12 yang anda abaikan menegaskan bahwa Iblis juga disuruh.
Saya membaca ayat itu! Maksud saya ayat 12 itu juga saya baca.
Lantas, kenapa masih memelihara pertanyaan bodoh itu?
Karena yang terpikir oleh saya adalah perintah dalam ayat 11 itu, yang hanya ditujukan kepada Malaikat.
Jadi, ayat 12 itu anda anggap bukan jawaban?
Saya tidak bisa menerima jawaban seperti itu.
Tentu. Karena yang anda cari adalah jawaban verbal; mungkin dalam bentuk kalimat “hai Malaikat dan Iblis sujudlah kalian kepada Adam”. Begitu kan?
Seharusnya begitu.
Jadi, Al-Qurãn itu harus disusun sesuai “keharusan” anda?
Bukan begitu, tapi…
Kaidah sastra
Di sinilah berlakunya ilmu sastra itu! Khususnya teori bahwa “yang sudah dimaklumi selayaknya dibuang”.
Maksud anda?
Itu salah satu kaidah sastra Arab, yang kemungkinan besar di-ambil dari Al-Qurãn. Teori ini berkaitan dengan teknik penyampaian gagasan, baik secara lisan maupun tulisan. Supaya bahasa yang digunakan tidak “boros”, maka pembicara dan atau penulis dianjurkan untuk tidak mengucapkan atau menulis hal-hal yang sudah diketahui, atau sudah bisa diketahui, atau ‘ditebak’ dalam istilah anda, oleh pendengar dan atau pembaca.
Kenapa harus begitu?
Tadi saya katakan supaya bahasanya tidak “boros”, tidak bertele-tele. Selain itu, pembicaraan atau tulisan, atau komunikasi secara umum, kadang-kadang bertujuan mendidik atau mencerdaskan. Merangsang orang berpikir, berusaha memahami hal-hal yang tidak disebut. Kata orang Melayu,  di balik yang tersurat (tertulis) itu biasanya ada yang tersirat. Ada yang terkesan, biasanya secara logis, dari sebuah kalimat atau wacana verbal.
Jadi, maksud anda, perintah sujud kepada Iblis itu ada secara tersirat?
Persis! Dan untuk memahami hal itu, kita tidak perlu menebak-nebak dalam arti menggunakan pemikiran subyektif belaka; karena isyarat-isyarat yang ada sudah dengan sendirinya membimbing kita untuk mampu membaca pesan-pesan atau pengertian-pengertian yang tersirat itu.
Bisa anda sebutkan isyarat-isyarat itu?
Pada ayat 12 jelas sekali ada kata-kata idz amartuka (ketika Aku memerintahmu). Bila anda memahami bahasa aslinya, partikel idz ini jelas mengacu pada detik-detik (momentum) ketika perintah itu (“bersujudlah kamu”) dibunyikan.
Tapi yang saya lihat bunyi perintahnya adalah: Kami katakan kepada para malaikat, “Bersujudlah kamu kepada Adam”… Jelas sekali kan bahwa sasaran dari perintah itu adalah malaikat?
Itulah yang anda baca tertulis secara verbal. Itu susunan kata yang anda temukan. Tapi, anda pikir, apakah yang verbal itu berarti mewakili yang orisinal (original)?
Maksud anda?
Kita sedang bicara masalah bahasa dan sastra. Kita sedang membahas seni berbahasa. Tidak usah jauh-jauh. Dalam kehidupan sehari-hari pun kita sering menggunakan seni bahasa tingkat tinggi, walau mungkin secara latah saja.
Contohnya?
Kalau anda memanggil sopir taksi atau tukang bakso, anda cukup berteriak “taksi” atau “bakso” saja kan?
Yaa…!
Anda sadar atau tidak bahwa yang anda teriaki itu adalah manusia?
Tentu saja.
Lalu, kenapa mereka tidak marah ketika disebut “taksi” dan atau “bakso”.
Karena sudah biasanya begitu!
Bung! Saya ingatkan lagi, kita sedang bicara tentang seni berbahasa!  Dilihat dari seni berbahasa, panggilan “taksi” dan “bakso” itu adalah perwujudan dari seni berbahasa tingkat tinggi. Di situ ada penghematan kalimat yang luar biasa, namun tetap berfungsi dengan jitu, akurat. Sebuah kalimat yang cukup panjang (“Hai Abang/ Bapak sopir taksi, tolong kemari, saya ingin menyewa taksi anda”) dilebur menjadi sebuah kata saja, “taksi”.
Anda ingin mengatakan bahwa seni berbahasa demikian itu juga ada dalam Al-Qurãn?
Ya!
Dan anda juga ingin mengatakan bahwa bunyi selengkapnya dari perintah dalam ayat itu adalah: “Kami katakan kepada para malaikat dan iblis, ­“Bersujudlah kamu kepada Adam”?
Ya!
Tapi itu adalah tebakan anda! Karangan anda!
Itu dalil, argumentasi, yang dihasilkan oleh teori bahasa, yang kita pahami dengan nalar kita. Bukan tebakan, bukan karangan. Kecuali bila anda hendak menihilkan kaidah-kaidah bahasa dan peran nalar. Dan bila itu yang anda lakukan, maka saya tak tahu lagi harus bicara apa; karena setahu saya Al-Qurãn yang ada di hadapan kita adalah sebuah teks. Sebuah wacana yang dikemas dalam sebuah bahasa, lengkap dengan segala kaidah-kaidah yang berlaku di dalamnya.
Saya belum puas!
Saya bukan telaga kepuasan. Senadainya saya pun mencekoki anda dengan suatu obat, obat itu baru akan terasa setelah melalui proses.
Bisa anda ajukan argumentasi lain?
Ayat dan konteksnya
Coba anda perhatikan “jalan cerita” dari kasus yang anda permasalahkan itu. Haraf diingat juga bahwa anda harus mempelajari kasus ini dalam seluruh ayat yang menyebutkannya, mulai dari ayat-ayat dalam surat Al-Baqarah, Ali ‘Imran, Al-Ma’idah, Al-A’raf, Al-Isra, Al-Kahfi, Maryam, Thaha, dan Yasin. Harus diingat juga bahwa anda tidak boleh hanya menyomot satu-dua ayat, lalu anda lari ke pasar untuk berjualan ayat itu. Anda harus tahu bahwa Al-Qurãn itu sebuah buku, yang terbagi ke dalam surat-surat, tema-tema tertentu, dan ayat-ayat. Bila anda hanya menjambret sebuah ayat begitu saja, bisa jadi ayat itu terlepas dari ikatan temanya. Bayangkan bahwa anda mencabut sehelai benang dari selembar kain. Perbuatan anda itu bukan hanya merusak sebagian kain, tapi juga membuat benang yang anda cabut kehilangan fungsi proporsionalnya. Seandainya ia laku juga di pasar, maka yang membuatnya laku itu kemungkinan besar adalah kepandaian anda membual.
Wah, anda kok nembakin saya terus sih!
Ha ha, maaf! Saya hanya ingin menegaskan bahwa pengambilan satu-dua ayat itu bukan sesuatu yang haram, asal anda sudah memahami konteksnya.
Jelasnya bagaimana?
Ayat-ayat Al-Qurãn itu selalu hadir dalam konteks-konteks atau tema-tema tertentu. Jadi, sedikitnya, anda harus memahami serangkaian ayat yang mewakili sebuah tema. Biasanya, rangkaian demikian itu juga diikat dengan rantai bahasa yang kompak dan indah. Dan di situ juga akan tampak bagaimana ayat-ayat itu satu sama lain saling menafsirkan (menjelaskan). Pada titik inilah, saya sering berpikir bahwa Al-Qurãn sebenarnya tidak memerlukan penafsiran manusia, kecuali Rasulullah.
Maksud anda?
Ada beberapa hal yang tidak dijelaskan Al-Qurãn, lalu Rasulullah memberikan penjelasan. Sekarang kita mendapati penjelasan-penjelasan Rasulullah itu dalam kitab-kitab hadis.
Apakah anda sudah memeriksa hadis-hadis yang berkaitan dengan kasus yang saya tanyakan itu?
Sudah. Tapi baru sedikit.
Ada tidak hadis yang menyebut bahwa iblis adalah sebangsa malaikat?
Tadi sudah saya katakan bahwa hadis menyebut malaikat dibuat dari cahaya (khuliqatil-malã’ikatu min nûr). Ini hadis Muslim, dan hadis ini ternyata menyebut asal kejadian jin dengan mengacu surat Ar-Rahman ayar 15, yang menyebut jin dibuat dari api (khalaqal-janna min mãrijin min nãrin).
Selain itu, hadis Abu Daud menyebut Setan juga, seperti jin, diciptakan dari api (inna-syaithãna khuliqa mina-nãri).
Jadi, setan dan jin sama-sama dibuat dari api? Kalau begitu, Setan hanyalah sebuatan lain dari jin? Lalu, iblis dibuat dari apa?
Nah! Pertanyaan anda ini mengajak kita merambah permasalahan lain lagi!
O ya? Permasalahan apa?
Story telling Al-Qurãn
Bila anda perhatikan ayat-ayat yang mengisahkan Adam, khususnya dalam surat Al-Baqarah dan Al-A’raf, pasti anda temukan Setan mulai muncul ketika Adam dan pasangannya memasuki al-jannah (sorga). Siapa gerangan Setan ini? Di ayat-ayat sebelumnya dia tidak disebut, kok tiba-tiba muncul sebagai penyesat Adam?
Benar juga. Jadi, menurut anda, setan itu siapa?
Kalau saya coba melihat Al-Qurãn dari sisi story telling-nya, dari segi gaya bercerita, saya jadi membayangkan sebuah film yang iramanya begitu cepat, menggulirkan cerita yang begitu padat, sehingga terasa ada “lompatan-lompatan”. Ini akan terasa ganjil dan memusingkan bagi yang tidak tahu ‘trik-trik’ bercerita, tapi sebaliknya justru sangat menarik bagi yang memahaminya.
Anda sedang bicara tentang Al-Qurãn atau tentang sebuah novel?
Ha ha!  Tadi kan saya menyebut story telling. Ini istilah sastra, yang bisa diterapkan pada sebuah novel, juga pada Al-Qurãn, karena ulama pun mengakui Al-Qurãn sebagai sebuah kitab bernilai sastra tinggi.
Terus, yang anda maksud lompatan-lompatan itu misalnya apa?
Ha ha! Maaf, saya jadi ingin tertawa lagi, karena seharusnya sejak awal saya sudah membahas masalah ini; yang boleh jadi bisa menjawab  pertanyaan anda secara cepat.
Jadi, sejak tadi anda mempermainkan saya?
Tidak juga sih. Saya hanya berpikir bahwa kita berasal dari latar belakang yang berbeda. Dalam hal ini, Rasulullah mengajar para sahabat untuk berkomunikasi, tentu dalam kokteks da’wah, dengan memperhatikan kadar nalar atau alam pikiran lawan bicara mereka (kallimu-nãsa ‘ala qadri ‘uqulihim). Dan itu tentu tidak bisa terjadi secara mendadak (instant). Lebih jauh, sabda Rasulullah itu saya pahami bahwa da’wah itu harus dimulai dengan sebuah usaha perkenalan di antara da’i (juru da’wah) dan mad’u (sasaran da’wah). Dialog panjang kita tadi, sebenarnya belum bisa dikatakan cukup untuk membangun perkenalan, tapi mudah-mudahan di antara kita sudah ada titik temu.
Oke. Sekarang langsung pada pertanyaan saya tadi!
Bila anda perhatikan susunan ayat-ayat yang mengungkap kisah Adam, khususnsya dalam surat Al-Baqarah dan dan Al-A’raf, anda bisa lihat “lompatan lompatan” itu secara jelas. Dalam hal penyebutan tokoh-tokoh, misalnya pada surat Al-Baqarah ayat 30, yang anda temukan pertama kali adalah Malaikat dan Khalifah. Pada ayat berikutnya (31), Khalifah ‘menghilang’, dan tiba-tiba muncul Adam. Karena kita sudah tahu kisah tentang Adam, dan di situ disebutkan bahwa Adam diangkat menjadi Khalifah, maka kita tahu sebelum membaca Al-Qurãn, bahwa Khalifah pada ayat 30 itu identik dengan Adam pada ayat 31. Dengan kata lain, Khalifah adalah jabatan, dan Adam adalah nama diri. Anda tahu apa yang istimewa di sini?
Ada lompatan dari penyebutan Khalifah ke Adam?
Ya! Dan yang saya maksud ‘lompatan’ itu sebenaranya adalah peralihan cepat tanpa diawali sebuah penjelasan. Ini adalah perwujudan dari teori sastra Arab, al-ma’lûm mahdzûf(un). Penjelasan-penjelasan yang diperkirakan bisa ditangkap dengan logika, dibuang! Artinya, dibiarkan menjadi sesuatu yang tersirat.
Kemudian, dari ayat 31 sampai ayat 33, tidak tampak ada lompatan demikian. Baru pada ayat 34, terjadi lagi lompatan, kali ini dari Malaikat ke Iblis!
Dan itu adalah masalah yang saya pertanyakan.
Ya. Dan sekarang anda sudah tahu jabawannya kan?
Saya masih mau mendengar penjelasan anda.
Baik! Bila ada lompatan, tentu ada sesuatu yang dilompati. Di sini, yang dilompati atau dilewatkan itu adalah penjelasan tentang siapa gerangan si Iblis itu…
Dan jawabannya adalah: Iblis itu sebangsa malaikat?
Ya. Dan anda mengatakan bahwa jawaban itu adalah tebakan.
Sebaliknya, anda mengatakan bahwa itu jawaban logis, berdasar teori bahasa, sastra, dan juga ilmu mantiq!
Ha ha! Ya, ya! Dan saya tidak peduli anda mau terima atau tidak; karena antara teori bahasa, logika, dan kenyataan pada teks tampak saling mendukung. Jadi, jawaban saya itu bisa dikatakan ilmiah; sementara bantahan anda hanya berkisar pada pemikiran tanpa dasar, bahkan mengabaikan kenyataan teks.
Jadi, berdasar kenyataan teks, menurut anda, maka iblis itu memang sebangsa malaikat, atau makhluk dari golongan malaikat?
Ya, dan bukan hanya berdasar kenyataan teks; karena saya juga menambahkan dengan penjelasan hadis bahwa Malaikat dibuat dari cahaya. Dan anda sendiri tahu bahwa Iblis adalah sebangsa jin, dan jin itu terbuat dari api.
Jadi, dengan demikian, iblis juga terbuat dari api?
Sampai saat ini saya belum sempat mencari dalil verbal yang secara langsung menyebut Iblis terbuat dari apa. Tapi, menurut Jalilaini, dalam tafsirnya, Iblis itu abul-jinni, bapak jin. Mungkin maksudnya bapak moyang jin.
Ini menegaskan bahwa Iblis memang terbuat dari api juga, seperti jin?
Bila kita pegang keterangan Jalilaini, yang juga tak menyebut sumbernya, logikanya ya begitu. Tapi, coba perhatikan lagi ayat-ayat berikutnya dari surat Al-Baqarah yang kita bicarakan ini.
Apanya lagi yang harus saya perhatikan?
Masih berkisar pada teori tentang lompatan. Tadi sudah saya sebut sampai pada ayat 34. Pad ayat 35, kita dapati Allah menyuruh Adam bersama pasangannya memasuki sorga. Pada ayat 36, ada larangan mendekati syajarah (pohon; sejarah). Lalu, pada ayat 37, tiba-tiba muncul tokoh ‘asing’, yang jauh sebelumnya tidak diperkenalkan kepada kita. Dia adalah Setan, yang membuat Adam dan pasangannya ‘tergelincir’ dari sorga! Bila anda periksa juga surat Al-A’raf, akan anda ketahui bagaimana cara Setan menyesatkan Adam. Nah, pertanyaan saya sekarang, menurut anda, Setan itu siapa? Atau sebangsa apa?
Kalau mengikuti logika anda, saya tahu jawabannya, tapi masih samar.
Kalau begitu, mari kita bikin jelas dengan memperhatikan urutan ini:
1.Allah menyuruh Malaikat sujud kepada Adam.
2.Tiba-tiba muncul Iblis dan menolak perintah sujud, dan Allah marah kepadanya. Ini salah satu indikasi bahwa perintah sujud itu juga berlaku bagi Iblis, tapi penjelasan tentang hal itu tidak disebutkan, alias dilompati.
3.Penjelasan tidak langsung kita dapati dalam ayat lain, yang menyebut Iblis adalah sebangsa jin, dan dari hadis yang menyebut malaikat dibuat dari cahaya, dan jin dibuat dari api. Bila Iblis sebangsa jin, dan jin dari api, berarti Iblis itu ‘sebangsa’ api. Dengan kata lain, jin dan Iblis itu “sebangsa”.
4.Setelah Iblis menolak perintah sujud dan kena marah Allah, Adam disuruh masuk sorga. Lalu, di sorga ia dan pasangannya digoda Setan. Siapa Setan ini?
5.Berdasar teori lompatan yang saya sebutkan tadi, Setan ini, logikanya, adalah sebutan atau nama lain dari Iblis!
Luar biasa! Tapi, maaf, masih ada keterangan lain tidak?
Saya sudah sebutkan hadis Abu Daud yang menyebut Setan dibuat dari api!
Okh, I see! Tapi, masih ada keterangan tambahan tidak?
Ha ha! Anda memang tak kenal puas rupanya. Ada keterangan tambahan dari  seorang guru saya. Dia menafsirkan bahwa Setan adalah Iblis yang aktif menyesatkan manusia, sedangkan Iblis adalah Setan yang pasif.
Setan yang pasif?
Ya. Mungkin dia sedang bobo setelah letih menggoda manusia?
Apa mereka juga mengenal rasa letih dan suka tidur?
Entahlah. Yang jelas, Rasulullah mengatakan bahwa Setan mengalir bersama aliran darah kita. Jadi, selagi jantung kita tetap sibuk mengalirkan darah, selama itu pula Setan aktif menggoda kita.
Waah, kalau begitu sih nggak ada istirahatnya doong!
Mereka baru beristirahat kalau sudah masuk neraka bersama korban-korban mereka!
Tapi, di neraka, yang katanya dibakar dan digebukin terus, bagaimana bisa istirahat?
Akh, masa bodohlah. Itu kan urusan mereka

Tidak ada komentar:

Posting Komentar