Jumat, 09 September 2011

ALAM FIKIRAN YUNANI ( 1 )


oleh Bruce Lee Panjaitan Sinaga pada 06 Februari 2011 jam 20:42
Alam Pikiran Yunani.

Tiap-tiap bangsa, betapa juga biadabnya, mempunyai dongeng dan takhyul. Ada yang terjadi dari pada kisah perintang hari, keluar dari mulut orang yang suka bercerita. Ada yang terjadi daripada muslihat mempertakuti anak-anak, supaya ia jangan nakal. Ada pula yang timbul karena keajaiban alam, yang menjadi pangkal heran dan takut. Dari itu orang menyangka alam ini penuh dengan dewa-dewa serta biduanda dan bidadarinya yang bermacam-macam namanya. Demikianlah lama-kelamaan timbul berbagai fantasi, cetakan pikiran, yang menjadi barang peradaban manusia bermula.
Fantasi itu tidak ada batasnya, sebab ia tidak bersangkut dengan yang lahir. Keadaannya tidak dapat dibenarkan. Oleh karena itu, fantasi itu menjadi pangkal juga daripada “pengetahuan” yang ajaib-ajaib. Fantasi membawa orang yang meminangnya ke awing-awang, keluar daripada bumi dan alam tempat ia berdiri. Dengan fantasi itu ia dapat menyatukan ruhnya dengan alam sekitarnya. Ia merasa dirinya bagian daripada alam. Fantasi yang sampai ke sana disebut juga EXTASI.

Orang yang mengadakan fantasi tidak ingin mencari kebenaran buah fantasinya, karena kesenangan ruhnya adalah terletak dalam fantasi itu. Tetapi orang kemudian yang mempusakai fantasi itu, ada yang ingin hendak mengetahui kebenarannya lebih jauh. Diantaranya ada yang tidak lekas percaya, ada yang bersifat kritis, suka membanding dan menguji. Demikianlah dari fantasi itu timbul lama-kelamaan keinginan akan kebenaran.
Dongong dan takhayul yang dipusakakan dari nenek moyang itu menimbulkan adat kebiasaan hidup, yang menjadi cermin jiwa bangsa yang memakainya. Pengetahuan pusaka itu bertambah lama bertambah banyak, ditambah dengan pengalaman tiap-tiap angkatan baru. Semuanya itu masuk kedalam perbendaharaan bangsa, yang disebut kultur. Semuanya itu menjadi pimpinan bagi angkatan kemudian menempuh jalan penghidupan. Sebab itu “kata” atau “nasehat” orang tua-tua sangat diindahkan.

Dongeng dan takhayul serta adat-istiadat itu berpengaruh kemudian atas cara orang memeluk agamanya. Agama yang datang kemudian mendapati alam ini penuh dengan berbagai kepercayaan. Kepercayaan alam itu tak mudah membongkarnya dengan seketika saja. Ia bertahan. Itulah sebabnya maka agama yang begitu murni dasarnya, dalam masyarakat banyak bercampur dengan barang pusaka hidup yang tersebut itu. Sebab itu tak salah orang mengatakan, bahwa cara orang memahamkan agamanya banyak terpengaruh oleh keadaan hidupnya.

Juga orang Grik dahulunya banyak mempunyai dongeng dan takhayul. Tetapi yang ajaib pada mereka itu ialah, bahwa angan-angan yang indah-indah itu menjadi dasar untuk mencari pengetahuan semata-mata untuk tahu saja, dengan tiada mengharapkan keuntungan daripada itu. Ingin tahu menjadi ujud sendirinya bagi mereka. Berhadapan senantiasa dengan alam yang begitu luas, yang sangat bagus dan ajaib tampaknya pada malam hari, timbul di hatinya keinginan hendak mengetahui rahasia alam itu. Lalu timbul pertanyaan dalam hatinya, dari mana datangnya alam ini, betapa jadinya, bagaimana kemajuannya dan ke mana sampainya. Demikianlah beratus tahun alam besar menjadi soal dan pertanyaan, yang memikat perhatian ahli-ahli pikir Grik.

Tetapi kemudian disebelah soal alam besar itu, yang berada diluar dirinya, terdapat soal alam kecil, yang berada didalam dirinya. Alam ini tiada terlihat dengan mata, melainkan dapat dirasai adanya. Lalu timbul pertanyaan dalam hatinya : apa ujud lahirku, apa kewajiban hidupku ? Betapa seterusnya sikapku, dan dimana kudapat bahagia?
Begitulah jadinya soal alam dalam pikiran. Disebelah soal Kosmologi (kosmos = alam besar) timbul keinsafan dalam hati tentang kewajiban hidup, soal etik.
Dimata orang Grik dahulu kala semuanya itu satu soal saja, satu pokoknya : satu kebenaran. Sebab itu ilmunya Cuma satu saja, yang kemudian diberi nama “philosophia”. Philosophia artinya “ cinta akan kebenaran”.

Orang Grik belum membedakan ilmu dengan filosofi seperti yang terjadi kemudian. Ilmu sekarang memikirkan alam itu terpecah-pecah dan pecahan satu-satunya itulah yang diselidiki oleh tiap-tiap ilmu. Orang Grik dahulu kala memikirkan alam itu sebulat-bulatnya. Sebab itu filosof Grik yang ternama mempelajari hamper segala macam ilmu pengetahuan. Aristoteles misalnya adalah ahli tentang ilmu alam, ilmu hukum, etik dan lain-lainnya. Orang Grik tidak mempunyai ilmu yang special, melainkan ilmu universil.

Apa sebenarnya yang disebut filosofi, lebih baik jangan dipersoalkan pada permulaan menempuhnya. Akan hilang jalan nanti karena banyak ragam dan paham. Tiap-tiap ahli berlainan pendapatnya tentang apa yang dikatakan filosofi.
Tiap-tiap filosofpun lain-lain pula tujuannya. Buat sementara, sebagai tempat berpegang, kita sebutkan saja sifatnya yang umum, seperti yang dilukiskan oleh Windelband. “Filosofi sifatnya merentang pikiran sampai sejauh-jauhnya tentang sesuatu keadaan atau hal yang nyata”. Sebab itu filosofi, orang sebut juga berpikir merdeka dengan taiada dibatasi kelanjutannya.

Di sinilah bedanya filosofi dengan ilmu special. Ilmu special membatasi medannya hingga alam yang dapat dialami, alam emperika. Ilmu menghadapai soalnya dengan pertanyaan “bagaimana” dan “apa sebabnya”. Filosofi meninjau dengan pertanyaan “apa itu”, “dari mana” dan “ke mana”. Di sini orang tidak memcari pengetahuan sebab dan akibat dari pada sesuatu masalah – seperti yang diselidiki oleh ilmu, melainkan orang mencari tahu tentang apa yang sebenarnya pada barang atau masalah itu, dari mana jadinya dan kemana tujuannya.

Hampir selalu dalam filosofi dipandang ada dua dunia, yang fana dan yang baka. Yang fana itu difahamkan sebagai tubuh sementara daripada sifat yang baka itu. Sebab itu tidak mengherankan, kalau ada masanya yang filosofi hampir bertaut dengan agama sebagai mana pada permulaan tarikh Masehi dan dimasa Zaman Tengah. Dalam Zaman Tengah filosofi kedudukannya hanya sebagai anggota akal untuk menyuluhi “kebenaran yang lebih sempurna”, yang didapat sebagai wahyu yang diturunkan Tuhan.


I. FILOSOFI ALAM

Pada awalnya Filisofi Grik yang pertama tidak lahir di Tanah Airnya sendiri melainkan di tanah perantauan Asia Minor. Negeri Grik disemenanjung Balkan tidak begitu subur tanahnya. Mereka yang merantau itu makmur hidupnya. Mereka hidup dari perniagaan dan pelayaran. Kemakmuran itu memberi kelonggaran bagi mereka untuk mengerjakan perkerjaan lain selain dari mencari nafkah untuk kehidupan mereka. Waktu yang terluang dipergunakan mereka untuk memperkuat kemuliaan hidup dengan seni dan buah pikiran.
Itulah sebabnya yang sangat tersohor dan makmur pada waktu itu ialah kota Miletos di Asia Minor. Puncak kemakmurannya terdapat diabad ke enam sebelum Masehi. Di sana pulalah tempat kediaman filosof-filosof Grik yang pertama seperti Thales, Anaximandros dan Anaximines. Mereka disebut filosof alam, sebab tujuan filosofinya mereka ialah memikirkan soal alam besar. Dari mana terjadinya alam, itulah yang menjadi soal bagi mereka.

1. THALES

Thales diperkirakan hidup pada tahun 625-545 sebelum Masehi. Thales terbilang salah seorang daripada orang pandai yang tujuh, yang tersohor dengan cerita-cerita lama Yunani. Yang lainnya adalah : Solon, Bias, Pittakos, Chilon, Periandos, dan Kleobulos. Mereka tersohor karena petuahnya yang pendek-pendek, sebagai : “kenal dirimu” , “segalanya berkira-kira”, “ingat akhirnya”, “tahan amarahmu” dan banyak lagi yang lain.
Sesungguhnya Thales terbilang sebagai bapa filosofi Yunani sebab dialah filosof yang pertama, tetapi ia tidak pernah meninggalkan pelajaran yang diajarkannya. Filosofinya diajarkan melalui lisan kepada murid-muridnya. Pada masa Aristoteles kemudian menuliskan buah pikiran Thales.
Menurut keterangan Aristoteles kesimpulan ajaran Thales ialah “semuanya itu air”. Air yang cair itu adalah pangkal, pokok dan dasar (principe) segala-galanya. Semua barang terjadi daripada air dan semuanya kembali kepada air pula.

Dengan jalan berpikir Thales mendapat keputusan tentang soal besar yang senantiasa mengikat perhatian umum di waktu itu, melainkan mempergunakan akal. Dengan berdasarkan pengalaman yang dilihatnya sehari-hari dijadikannya pikirannya untuk menyusun bangun alam. Sebagai orang pesisir dapat ia melihat setiap hari, betapa air laut menjadi sumber hidup. Dan di Mesir dilihatnya dengan mata kepalanya, betapa nasib rakyat di sana bergantung kepada air sungai Nil. Air sungai Nil itulah yang menyuburkan tanah sepanjang alirannya, sehingga dapat didiami manusia. Jika tak ada sungai Nil itu yang melimpahkan airnya sewaktu-waktu ke darat, negeri Mesir kembali jadi padang pasir.
“Semuanya itu air !” katanya. Dalam perkataan itu tertersimpul dengan disengaja atau tidak suatu pandangan yang dalam, yaitu bahwa “SEMUANYA ITU SATU”
Pada masa itu, selagi dunia penuh dengan takhayul dan kepercayaan yang ajaib-ajaib, buah pikiran yang mengatakan bahwa yang lahir itu tidak banyak melainkan SATU, tidak dangkal maknanya. Pikirannya itu membuka mata tentang bangun alam dan menyingkapkan selimut yang selama ini menutupi kalbu manusia. Benar atau tidak pandangannya itu, tidak menjadi dalil disini. Yang dinyatakan Cuma kelanjutan pikirannya, yang memerdekakan akal daripada belenggu takhayul dan dongeng.

Bagi Thales air adalah sebab yang pertama dari segala yang ada dan yang jadi, tetapi juga akhir dari segala yang ada dan yang jadi itu. Di awal air di ujung air. Air sebab yang penghabisan ! Asal air pulang ke air. Air yang satu itu adalah bingkai dan pula isi. Atau dengan perkataan filosofi, air adalah subtract (bingkai) dan substansi (isi) kedua-duanya.
Dalam pandangan Thales tidak ada jurang yang memisahkan antara hidup dan mati. Semuanya satu ! Dan sebagai orang yang hidup dimasa itu, ia percaya bahwa segala benda itu berjiwa. Benda itu bisa berubah rupanya, bisa bergerak, bisa timbul dan hilang, semuanya atas kodrat sendiri.
Kepercayaan bathin Thales masih animisme. Animisme ialah kepercayaan, bahwa bukan saja barang yang hidup mempunyai jiwa, tetapi juga benda mati. Kepercayaannya seperti itu dikuatkan oleh pengalaman pula. Besi berani dan batu api yang digosok sampai panas menarik barang yang dekat padanya. Ini dipandangnya sebagai mempunyai kodrat tanda jiwa.
Sekianlah tentang filosofi Yunani yang pertama itu, Pandangan pikirannya menyatukan semua pada air! Air asal dan akhir.
------------------------------------------------------------------------------------------

2. ANAXIMANDROS

Anaximandros adalah murid Thales. Masa hidupnya disebutkan orang dari tahun 610 – 547 sebelum Masehi. Sebagai filosof ia lebih besar dari gurunya. Ia juga ahli astronomi dan ahli ilmu bumi.
Menurut pendapatnya langit bulat seperti bola. Bumi terkandung ditengah-tengahnya. Bangunnya sebagai selinder, bulat panjang dan datar pada atasnya.
Anaximandros menuliskan buah pikirannya dengan keterangan yang jelas. Sebab itu karangan-karangannya dipandang orang sebagai buku filosofi yang paling tua.

Seperti juga gurunya, Anaximandros mencari akan asal dari segalanya. Ia tidak menerima apa saja yang diajarkan gurunya. Yang dapat diterima akalnya ialah bahwa yang asal itu satu, tidak banyak. Tetapi yang satu itu bukan air. Menurut pendapatnya, barang yang asal itu “tidak berhingga” dan “tidak berkeputusan”. Ia bekerja selalu dengan tidak henti-hentinya, sedangkan yang dijadikannya tidak berhingga banyaknya. Jika benar kejadian itu tidak berhingga , seperti yang lahir kelihatan, maka yang “asal” itu mestilah tidak berkeputusan.
Yang asal itu yang menjadi dasar alam dinamai oleh Anaximandros ”Apeiron”. Apeiron itu tidak dapat dirupakan, tak ada persamaannya dengan salah satu barang yang kelihatan di dunia ini. Segala yang tampak dan terasa dibatasi oleh lawannya. Yang panas dibatasi oleh yang dingin. Di mana bermula yang dingin, disana berakhir yang panas. Yang cair dibatasi oleh yang beku, yang TERANG dibatasi oleh yang GELAP.
Segala yang tampak dan terasa itu, segala yang dapat ditentukan rupanya dengan pancaindra kita, semuanya itu mempunyai akhir. Ia timbul (jadi), hidup, mati dan lenyap. Segala yang berakhir berada dalam kejadian senantiasa, yaitu dalam keadaan berpisah dari yang satu kepada yang lain. Yang cair menjadi yang beku dan sebagainya. Yang panas menjadi yang dingin dan sebaliknya. Semua itu terjadi dari Apeiron dan kembali pula kepada Apeiron.

Setelah dibulatkannya pahamnya, bahwa semuanya itu terjadi dari Apeiron, dipecahnya pula soal, betapa kiranya timbul alam ini dari Apeiron itu.
”Dari Apeiron keluar bermula Yang Panas dan Yang Dingin. Yang panas membalut yang dingin , sehingga yang dingin itu terkandung didalamnya. Sebab itu yang dingin menjadi bumi. Dan dari yang dingin itu timbul pula yang cair dan yang beku sebagai dua belah yang bertentangan. Api yang memalut yang bulat tadi pecah pula, dan pecahan-pecahannya itu berputar-putar seperti jalan roda. Karena perputarannya itu timbullah di antaranya berbagai lubang. Pecahan-pecahan api itu terpisah-pisah, dan menjadi matahari, bulan dan bintang.
Bumi ini bermula dibalut oleh uap yang basah. Karena ia berputar, yang basah tadi menjadi kering berangsur-angsur. Akibatnya tinggallah sisa uap yang basah itu sebagai laut pada bumi”.

Pada permulaannya bumi ini diliputi air semata-mata. Sebab itu makhluk yang pertama diatas bumi ialah hewan yang hidup di dalam air. Juga bangsa binatang darat pada mulanya serupa ikan. Baru kemudian setelah timbul daratan, binatang darat itu mendapat bengunan seperti sekarang ini. Dari binatang yang berupa ikan itu terjadi manusia pertama. Manusia bermula tak bisa serupa dengan manusia sekarang. Sebab orang yang dilahirkan seperti kanak-kanak tak bisa serentak bisa berdiri sendiri. Ia perlu akan asuhan orang lain yang lebih dahulu, bertahun-tahun lamanya. Makhluk seperti itu tidak bisa hidup pada permulaan penghidupan di atas dunia ini. Yang sanggup hidup sendiri tanpa tanpa ada pertolongan dari pihak lain hanyalah binatang berupa ikan.

Anaximandros menganggap jiwa yang menjadi dasar hidup itu serupa dengan udara. Pendapat Anaximandros tentang kejadian dan kemajuan makhluk di dunia ini banyak menyerupai teori Darwin, yang timbul di abad ke 19, dua puluh lima abad sesudah Anaximandros. Tak heran kalau orang mengarang lelucon, bahwa Anaximandros patut dipandang sebagai Darwinis yaitu “pengikut” Darwin yang pertama kali.
Dipandang dari jurusan ilmu sekarang, banyak yang janggal tampak pada keterangan Anaximandros tentang kejadian alam. Tetapi ditilik dari jurusan masanya, di mana segala keterangan berdasar kepada takhayul dan cerita yang ganjil-ganjil, pendapatnya itu adalah suatu buah pikiran yang sangat lanjut.
Itu saja cukuplah untuk memandang dia sebagai ahli pikir yang jenial (genial). Tetapi yang jadi perhatian besar bagi orang kemudian ialah caranya menguraikan buah pikirannya. Ia mencari keterangan dengan metode berpikir yang teratur. Masalah yang banyak seluk-beluknya ditinjaunya dari satu jurusan atau pokok yang mudah. Demikianlah juga cara ilmu sekarang bekerja, sekalipun dengan alat pikiran yang lebih sempurna.

---------------------------------------------------------------------------------------------

3. ANAXIMENES

Anaximenes hidup dari tahun 585 – 528 sebelum Masehi. Dia guru yang penghabisan daripada filosofi alam yang berkembang di Miletos.
Anaximines adalah murid dari Anaximandros. Sebab itu tak heran, kalau pandangannya tentang kejadian alam ini sama dasarnya dengan pandangan gurunya. Dia juga mengajarkan bahwa barang yang asal itu SATU dan tidak berhingga. Cuma ia tak dapat menerima ajaran Anaximandros, bahwa barang yang asal itu tidak ada persamaannya dengan barang yang lahir dan tak dapat dirupakan. Baginya yang asal itu pastilah satu daripada yang ada dan yang tampak. Barang yang asal itu ialah udara. UDARA itulah yang satu dan tidak berhingga.
Thales mengatakan AIR asal dan kesudahan dari segala-galanya. Anaximines mengatakan UDARA. Udara yang memalut dunia ini, menjadi sebab segala yang hidup. Jika tidak ada udara itu, tak ada yang hidup. Pikirannya kesana barangkali terpengaruh oleh ajaran Anaximandros bahwa “jiwa itu serupa dengan udara”.
Sebagai kesimpulan ajarannya disebutnya : “Sebagaimana jiwa kita, yang tidak lain dari pada udara, menyatukan tubuh kita, demikian pula udara mengikat dunia ini jadi satu”

Disini buat pertama kali pengertian jiwa masuk kedalam pandangan filosofi. Hanya Anaximenes tidak melanjutkan pikirannya kepada soal penghidupan jiwa. Soal ini terletak diluar garis filosofi alam, yang mencari sebab penghabisan daripada alam.
Soal jiwa yang mengenai alam kecil, perasaan manusia yang hidup dalam pergaulan, baru kemudian jadi masalah yang penting bagi filosofi. Baru Aristotles memulai mengupasnya. Dengan itu dihidupkannya cabang ilmu baru, yang kemudian diberi nama psicologi.
Anaximenes yang mencari asal alam, belum memperhatikan benar soal jiwa dalam penghidupan masyarakat. Kepentingan jiwa itu tampak olehnya dalam perhubungan alam besar saja. Jiwa itu menyusun tubuh manusia menjadi satu dan menjaga supaya tubuh itu jangan gugur dan bercerai-berai. Kalau jiwa itu keluar dari badan, matilah badan itu dan bagian-bagiannya mulai bercerai-berai. Juga alam besar itu ada karena udara. Udaralah yang menjadi dasar hidupnya. Kalau tak ada udara, gugurlah semuanya itu. Makro-kosmos (alam) dan mikro-kosmos (manusia) pada dasarnya satu rupa.
Menurut pendapat Anaximenes udara itu benda, materi. Tetapi sungguh pun dasar hidup dipandangnya sebagai benda, ia membedakan juga yang hidup dengan yang mati. Badan mati karena menghembuskan jiwa itu keluar. Yang mati tidak berjiwa. Dalam hal ini berbeda pendiriannya dengan Thales, yang menyangka bahwa benda mati juga berjiwa. Anaximenes terlepas dari pandangan animisme.
Anximenes mengemukakan suatu soal baru, yang belum didapat pada Thales dan Anaximandros. Ketiga-tiganya berpendapat, bahwa ada yang asal yang menjadi pokok segalanya. Tetapi Anaximines maju selangkah lagi dengan bertanya : ”Gerakan apakah yang menjadi sebab terjadinya alam yang lahir yang banyak ragam dan macam itu daripada barang asal yang satu itu?”

Sebagai ahli ilmu alam, Anximenes mencari jawabnya dengan memperhatikan pengalaman. Semuanya terjadi dari udara. Kalau udara diam saja, sudah tentu tidak terjadi yang lahir itu dengan berbagai macam dan ragam. Sebab itu gerak udaralah yang menjadi sebab jadinya. Udara bisa jarang dan padat. Kalau udara menjadi jarang, terjadilah api. Kalau udara berkumpul menjadi rapat, terjadilah angin dan awan. Bertambah padat sedikit lagi, turun hujan dari awan itu. Dari air terjadi tanah, dan tanah yang sangat padat menjadi batu.
Di sini cara mengupas soal menunjukkan derajat pikira yang tinggi. Tetapi dalam dalam pahamnya tentang bangun alam ia terbelakang dari Anaximandros. Menurut pendapat Anaximenes dunia ini datar seperti meja bundar, dan dibawahnya ditupang oleh udara. Udara yang mengangkatnya itu tidak punya ruang buat bergerak dan bersebar, sebab itu tetap duduknya. Dan oleh karena itu bumi ini tetap pada tempatnya.

Matahari, bulan dan bintang itu dilahirkan oleh bumi. Uap yang keluar dari bumi naik keatas. Diatas ini jadi jarang, dan sebab itu menjadi api. Api itu menyala menjadi matahari, bulan dan bintang. Tetapi diantara bintang-bintang itu ada yang juga semacam bumi (tanah). Bintang-bintang beredar tetapi tidak mengelilingi bumi dari atas kebawah dan kembali ke atas lagi. Melainkan berkeliling diatas bumi, seperti “topi berputar diatas kepala”. Hilang timbul bintang itu tersebab karena jauh dan dekat edarnya. Kalau ia tidak kelihatan, itu tanda jauh dari kita, kembali pada tempat permulaan peredarannya.

Sekian tentang Anaximenes, filosof alam yang penghabisan dari golongan Miletus. Sebagai yang diajarkan oleh Anaximenes itu, filosof alam itu berkembang ke seluruh dunia Grik dan perantauannya. Filosof-filosof yang datang kemudian banyak sedikitnya mengetahui pandang alam orang Miletos itu.



II. FILOSOFI HERAKLEITOS

Herakleitos lahir di kota Ephesos di Asia Minor. Sebab itu ia sering disebut Herakleitos orang Ephesos. Masa hidupnya kira-kira dari tahun 540 – 480 sebelum Masehi.
Sesungguhnya ia mempunyai pandangan sendiri, yang berlainan sifatnya dari pendirian-filosof-filosof yang lalu, ia juga terpengaruh oleh filosof Miletos. Ini ternyata, bahwa ia juga mengatakan satu saja anasir yang asal, yang menjadi pokok alam dan segala-galanya. Anasir yang asal itu menurut pendapatnya API.

Api itu lebih dari pada air dan udara, dan setiap orang dapat melihat sifatnya yang mudah bergerak, dan mudah bertukar rupa. Api itu membakar semuanya, menjadikan semuanya itu jadi api dan akhirnya menukarnya lagi jadi abu. Semuanya itu bertukar menjadi api, dan api bertukar menjadi semuanya. Yang kemudian ini dapat dilihat pada panas matahari yang menjadi syarat hidup bagi manusia, binatang dan tumbuh-tumbuhan. Ternyata juga pada kebesaran guna api itu bagi peradaban manusia.
Api yang selalu bergerak dan berubah rupa itu menyatakan, bahwa tak ada yang tenang dan tetap. Yang ada hanya pergerakan senantiasa. Tidak ada yang boleh disebut “ada”, melainkan “menjadi”. Semuanya itu dalam kejadian.

Segala kejadian di dunia ini serupa dengan api, yang tidak putusnya dengan berganti-ganti memakan dan menghidupi dirinya sendiri. Segala permulaan adalah mula daripada akhirnya. Segala hidup mula daripada mati. Dalam dunia ini tidak ada yang tetap. Semuanya berlalu. “Panta rei”, semuanya mengalir.
Penghidupan di dunia dan kemajuan dunia dapat diumpamakan sebagai air mengalir. Tidak pernah kita turun mandi dua kali ke dalam air yang itu juga. Air yang kita masuki yang kedua kalinya sudah lain daripada air yang pertama kali. Rupanya saja air itu air tadi, tetapi sebenarnya sudah berganti. Air yang lain sekarang meliputi tepi sungai itu. Demikian juga tak ada barang yang tetap seperti keadaannya bermula. Tiap-tiap barang tersedia akan berubah jadi keadaan yang sebaliknya.

Dunia ini adalah tempat pergerakan semata-senantiasa, tempat kemajuan yang tidak berkeputusan. Yang baru itu mendapat tempatnya dengan menghancurkan dan menewaskan yang lama.
Dunia ini medan perjuangan yang tidak berkeputusan antara dua aliran yang bertentangan. Tetapi perjuangan itu adalah tanda hidup. Jika tidak ada perjuangan antara yang banyak dengan yang banyak, maka tidak ada kemajuan. Segala barang yang fana, segala keadaan yang sementara, adalah tingkat berturut-turut daripada suatu gerakan yang mahabesar. “Perjuangan itu adalah bapa dari segalanya, raja dari segalanya”.
Tetapi segala perubahan dikuasai oleh HUKUM DUNIA yang satu : LOGOS. Logos artinya pikiran yang benar. Dari itu kemudian timbul kemudian perkataan “LOGIKA”.

Logos itulah yang menjadi dasar (norma) perbuatan manusia. Sebab itu mengetahui logos itu adalah kewajiban akal manusia. Dan siapa yang dapat mengetahuinya itu, dia bukan saja orang pandai tetapi juga orang cerdik. Oleh karena itu, mempunyai pengetahuan yang dalam dipandang oleh Herakleitos sebagai kesenangan yang sebesar-besarnya. Hidup berpikir adalah pangkal kesenangan.
Jika dipahamkan betul uraian Herakleitos ini dan dibandingkan dengan pandangan Thales dan Anaximandros serta Anaximenes, nyatalah bahwa tujuan pandanagn filosofis sudah berubah.

Itulah jasa Herakleitos yang sangat besar. ! Ia mendapat suatu dunia baru yang tiada diketahui oleh filosof-filosof alam. Yaitu dunia pikiran yang dinamainya LOGOS. Alam pikiran inilah yang dipersoalkan filosofi sampai sekarang ini.
Pengalaman tidak menyatakan kebenaran yang sebenarnya, sebab pengalaman seseorang itu sangat terbatas.
Bahwa LOGOS itu berkuasa, adalah suatu bukti yang tidak perlu lagi dicari keterangannya. Susunan dunia ini, yang serupa bagi segala makhluk setiap masa, tidak dijadikan oleh siapapun juga, ia ada selama-lamanya. Ia itu adalah sebagai api yang hidup selalu, yang menyala selalu dan padam berganti-ganti. Perjalanan dunia, yang beredar senantiasa, tidak bermula dan tidak berkesudahannya. Dunia bergerak senantiasa. Sebab ia mengandung hukum, logosnya, dalam dadanya sendiri. Sebab itu kemajuan berlaku menurut irama yang tetap.

Menurut Harekleitos, kejadian alam ini bermula dari dua macam uap yang naik dari bumi ke atas, yang satu jernih dan yang satu lagi keruh. Yang jernih menimbulkan api. Dari itu terjadi bintang-bintang. Yang keruh menimbulkan yang basah.
Jiwa berada dalam kejadian senantiasa. Jiwa datang dari pada uap yang basah. Makin jauh ia terlepas dari yang basah itu, yaitu makin tinggi ia naik keatas, makin dekat ia kepada yang kering-jernih dan makin baik keadaannya. Sebaliknya yang basah itu adalah jiwa pemabok yang tak tau kemana ia akan pergi. Demikianlah pokok-pokok filosofi Herakleitos. Tulisan-tulisannya banyak yang sukar dan kurang jelas. Sbab itu orang yang semasa dengan dia banyak yang menamainya “HERAKLEITOS YANG GELAP”.


III FILOSOFI ELEA

Elea adalah suatu kota perantauan orang Grik di sebelah selatan semenanjung Italia. Aliran filosofi yang timbul disana berpengaruh dari tahun 540 – 460 sebelum Masehi. Yang bermula mengajarkannya ialah Xenophanes berasal dari Kolophon di Asia Minor.
Tinjauan soalnya lain pula. Ia mencari keterangan tentang “yang ada”. Kita melihat di alam berbagai yang ada. Tetapi apa yang ada itu? Betapa sifatnya?
Selain daripada Xenophanes yang membangunkannya, ada tiga orang lagi yang kesohor sebagai pemangku filosofi Elea itu, yaitu Parmenides, Zeno dan Melisos.

--------------------------------------------------------------------------------------------------------

1. XENOPHANES

Masa hidup Xenophanes disebut orang dari tahun 580 – 470 sebelum Masehi.
Xenophanes terkenal sebagai orang yang taat agama, yang senantiasa hidup dengan ruh yang suci. Nafkah hidupnya didapatkan dari bernyanyi dan melagukan sya’ir yang dalam-dalam artinya. Dalam segala lagu yang dinyanyikan, dia mendidik orang ke jalan agama, ke jalan beribadat kepada Tuhan yang menguasai seluruh alam. Sampai berumur 90 tahun ia tetap berbuat begitu. Isi sya’irnya menentang segala takhyul, yang menjadi kepercayaan orang banyak di waktu itu. Orang menyangka bahwa Tuhan itu banyak dan menjadi kepala daripada pelbagi perbuatan. Ada yang menjadi kepala pencuri, ada yang menjadi kepala pembengis, dan banyak lagi lainnya. Terutama Xenophanes menyerang lukisan dewa-dewa atau segala macam Tuhan, yang dilagukan oleh ahli sya’ir yang ternama dimasa itu: Homeros dan Hesiodos.

Xenophanes mengajarkan bahwa Tuhan itu tidak banyak melainkan satu. Pada suatu perjamuan yang dihibur dengan lagunya, dituntutlah kepada yang hadir, supaya nama Tuhan disebut dengan perkataan yang bagus-bagus, serta dipuji ketinggiannya. Hiduplah sederhana, katanya, dan didiklah ruhmu itu menjadi orang berbudi. Janganlah lagi menyebut-nyebut dan menyanyi-nyanyikan lagu kehormatan bagi panglima-panglima perang dulu-dulu. Bukan perang perkasa itu yang harus ditinggikan, melainkan budi Ketuhanan. “Tuhan hanya satu, yang terbesar di antara dewa dan manusia, tidak serupa dengan makhluk yang fana dan tidak pula berpikiran seperti mereka itu”. Bagi Xenophanes, Tuhan Yang Maha Esa itu tidak dijadikan, tidak bergerak dan tidak pula berubah-ubah, dan ia mengisi seluruh alam. Dia melihat semuanya, dan berpikir seluruhnya. Mudah sekali Ia memimpin alam ini dengan kekuatan pikiran-Nya.

Berhubung dengan kepercayaan orang banyak, yang merupakan Tuhan itu banyak dengan berbagai macam, Xenophanes berkata :”MAKHLUK YANG FANA INI MENGIRA, SEKALIAN TUHANNYA DILAHIRKAN, BERBAJU, BERSUARA DAN BERTUBUH SEPERTI MEREKA ITU PULA. TETAPI, KALAU SAPI, KUDA DAN SINGA MEMPUNYAI TANGAN DAN PANDAI MENGGAMBAR, NISCAYALAH SAPI ITU MENGGAMBARKAN TUHANNYA SERUPA SAPI, KUDA MENGGAMBARKAN TUHAN SERUPA KUDA, DAN SINGA MENGGAMBARKAN TUHANNYA SERUPA SINGA”.

Tentang asal yang satu daripada segalanya, telah lebih dahulu diajarkan oleh filosof alam. Anaximandros misalnya menyatakan pandangan yang dalam. Tetapi pada Xenophanes, yang satu itu lebih tinggi kedudukannya, yaitu Tuhan Yang Esa yang memeluk sekalian alam.
Ajaran tentang yang satu ini besar sekali pengaruhnya dalam filosofi Elea. Itu yang dijadikan pusat segala soal.
Sesunggunya Xenophanes banyak memberikan petua-petua yang berharga, sehingga ia dipandang sebagai pembangun filosofi baru, ia tak sampai menjadi mahagurunya.
Sebabnya karena ajarannya itu tidak tersusun dan teratur. Ajarannya itu keluar dari mulutnya sebagai perasaan hatinya saja. Ilham barangkali. Filosofi Elea mendapat bentuknya dalam tangan Parmanides. Dia inilah yang menjadi mahagurunya.


2. PARMANIDES

Parmanides lahir di Elea pada tahun 540 sebelum Masehi. Waktu meninggalnya tidak diketahui orang benar. Ia kesohor sebagai ahli pikir, yang melebihi siapa juga pada masanya itu.
Pada waktu mudanya hatinya tertarik kepada lagu-lagu Xenophanes, yang banyak mengandung pelajaran. Yang Satu, yang diajarkan Xenophanes, menjadi pokok berpikir baginya, dan dibentuk menjadi pelajaran sendiri. Berlainan dengan ajaran Xenophanes, Yang Satu itu tidak dipandangnya sebagai persatuan Tuhan dan Alam, melainkan sebagai Adanya yang sepenuh-penuhnya. Yang lahir itu Ada ! Dalam persatuan Tuhan dan Alam tidak ada yang banyak sebagai jumlah satu-satunya.

Sebagai pokok pendiriannya disebutnya, bahwa ada kebenaran. Kebenaran yang bulat, kebenaran yang sepenuh-penuhnya. Bertentangan dengan itu terdapat pendapat manusia, yang tidak menyimpan kebenaran di dalamnya. Pendapat manusia itu hanya persangkaan saja. Persangkaan itulah yang menyatakan, ada yang banyak. Padahal “yang banyak” itu tidak ada.
Sebab, kalau ada yang banyak itu, ada pula “menjadi” dan “hilang”. Oleh karena yang ada itu hanya satu, kekal dan tidak berubah-ubah, maka “jadi” dan “hilang” itu tidak benar adanya. Hanyalah timbul dari persangkaan saja. Sebab itu harus dinyatakan pertentangan antara kebenaran yang dapat dipahamkan dengan pikiran, dengan persangkaan yang bisa khilaf. Pertentangan itu ialah pertentangan antara TAHU dan MENYANGKA. Dengan mengemukakan soal ini, Parmanides menjadi pembangun LOGIKA yang pertama. Herakleitos membukakan pintu dunia pikiran; ia mulai menyusunnya. Keterangan, katanya, tidak didapat dengan melihat, melainkan dengan pengertian, dengan jalan berpikir semata-mata.

Kebenaran terdapat pada pengakuan, bahwa Yang Ada itu ada. Kesalahan prasangka orang ialah, bahwa Yang Tidak-Ada itu dikatakan juga ada dan mesti ada. Oleh karena Parmanides memandang semuanya itu Satu dan Tetap, mestilah meniadakan yang kelihatan banyak dan berubah-ubah itu.
Menurut logika, hukum akal, disebelah yang Satu dan Tetap itu mustahil ada yang banyak. Sebab kalau ada yang banyak, tak ada yang satu. Dalam hal ini salah satu diantara yang banyak, yaitu bagian daripada itu. Sebab itu kenyataan daripada yang banyak itu berdasar kepada rupanya saja, bukan yang sebenarnya,
Penglihatan kita tidak boleh dipercaya. Hanya pikiran dapat megalami yang sebenarnya. Hanya pikiran dapat mencapai Yang Ada itu dalam keadaan yang sebenarnya. Pikiran dan Ada adalah sama dan satu. Pikiran satu rupa dengan yang menjadi dasarnya. Orang tidak akan mendapat pikiran, jika tak ada. Yang Ada itu menjadi sebutannya. Sebab tak ada yang lain dan tidak akan dapat yang lain diluar Yang Ada.

Untuk mencapai kebenaran, kita tak dapat berpedoman dengan penglihatan yang menampakkan kepada kita “yang banyak” dan “yang berubah-ubah”. Hanya akal yang dapat mengatakan, bahwa “yang ada” itu mesti ada, serta mengakui bahwa “yang tidak ada” itu mustahil ada.
Nyatalah sudah, kemana beloknya ajaran Xenophanes dalam tangan Parmanides. Dari soal Ketuhanan ia berputar menjadi soal Kebenaran. Hanya pokoknya sama yang satu tadi !

Ajaran Parmanides, yang berpokok kepada yanga Satu dan tetap, bertentangan dengan ajaran Herakleitos. Pertentangan itu tampak pula pada paham keduniaan mereka. Herakleitos adalah nabi daripada pergerakan senantiasa, yang selalu dalam kejadian. Parmanides adalah nabi daripada yang tetap, yang tidak berubah-ubah. Bangun dunia Herakleito DINAMIS, Dunia Parmanides STATIS.

Ajaran Parmanides banyak yang tidak memuaskan bagi orang yang semasa dengan dia. Banyak keterangannya yang bertentangan tampaknya dengan yang lahir. Sebab itu banyak orang yang membantah. Untuk menagkis serangan lawan-lawannya itu muncul kemuka murid-muridnya yang bernama Zeno dan Melissos.


3. ZENO

Zeno lahir di Elea dalam tahun 490 sebelum Masehi. Ia tersebut karena tangkas perkataannya dan tajam pikirannya.
Zeno mempertahankan ajaran gurunya tidak dengan menyambung keterangan, melainkan dengan membalikkan serangan terhadap dalil-dalil lawan-lawannya. Menurut pendapatnya jika keterangan lawannya itu dinyatakan salahnya, pendirian Parmenides benar sendirinya.
Terhadap yang satu dan tetap, yang dikemukakan oleh Parmenides lawannya menunjukkan yang lahir, yang menyatakan yang banyak dan yang berubah-ubah. Zeno mempergunakan pikirannya yang tajam itu untuk memperlihatkan hal-hal yang bertentangan dengan pendapat lawannya.

Terhadap paham yang mengatakan bahwa “yang banyak” itu ada, ia berkata :
Jika benar ada yang banyak itu, ia dapat dibagi-bagi. Bagian-bagiannya pun dapat dibagi-bagi lagi. Demikian juga bagian daripada bagian, dan seterusnya. Akhirnya tiap-tiap bagian itu jadi begitu kecil, dan tidak punya ukuran (bangun) lagi. Ia mempunyai sekecil titik yang tidak mempunyai besar. Dan jumlah barang yang tidak mempunyai besar, betapa banyaknya, tidak akan mencapai besar sebuah barang yang mempunyai bangun. Tidak ada suatu barang yang dapat menambah besar sesuatu, jika ia sendiri tidak mempunyai besar. Sebab iti yang banyak itu tidak ada.

Terhadap paham yang mengatakan, ada ruang, Zeno berkata :
Jika yang ada itu benda dalam sebuah ruang, ruang itu sudah tentu tempatnya dalam ruang pula. Dan ruang yang kemudian ini terletak lagi dalam sebuah ruang. Demianlah seterusnya dengan tiada berkeputusan : ruang dalam ruang.

Terhadap paham yang mengatakan, bahwa penglihatan (dan pendengaran) itu benar Zeno berkata ;
Jika sekiranya sekarung gandum yang jatuh berbunyi, tiap-tiap biji gandum itu, betapa juga kecilnya, mesti pula berbunyi. Tetapi jika sebutir gandum tiada berbunyi kalau jatuh, maka sekarung gandum yang jatuh pun tidak berbunyi pula. Sebab karung gandum tak lain daripada jumlah butir gandum di dalamnya.

Terhadap paham yang mengatakan bahwa bergerak itu ada, Zeno mengemukakan empat fasal :

1. Suatu gerakan tidak bisa bermula, sebab tiap-tiap badan tidak bisa sampai kepada suatu tempat dengan tiada berada lebih dahulu pada berjenis tempat atau titik yang dilaluinya.

2. Achilleus yang cepat seperti kilat tidak bisa mengejar penyu, yang begitu lambat jalannya. Sebab, apabila ia tiba di tempat penyu tadi, dia sudah maju selangkah lebih sedikit kemuka.

3. Anak panah yang dipanahkan dari busurnya tidak bergerak, tetapi berhenti. Sebab setiap saat ia berada pada satu tempat. Ada pada satu tempat sama artinya dengan berhenti.

4. Setengah waktu sama dengan sepenuh waktu. Sebab suatu barang yang bergerak terhadap suatu badan, melalui panjang badan itu dalam setengah waktu atau sepenuh waktu. Dalam sepenuh waktu apabila badan itu tidak bergerak. Dalam setengah waktu, apakah ia bergerak dengan sama cepatnya kearah yang bertentangan.

Sikap yang dipakai oleh Zeno ialah meneruskan keterangan lawannya sampai selanjut-lanjutnya, sehingga akibatnya bertentangan satu sama lain. Uraiannya itu rupanya seperti bertele-tele. Tetapi jika diperiksa lebih dalam, ia menunjukkan berbegai kesukaran dalam logika.
Betapapun juga, dalil yang dikemukakan oleh Zeno itu kembali dipersoalkan oleh ahli-ahli pikir dalam abad ke 17 dan ke 18. Ya dalam abad ke 20 ini juga filosof yang ternama memperbincangkannya.
Zeno mengemukakan paradox, keterangan yang mengandung pertentangan itu, semata-mata untuk menyatakan, bahwa kalau yang ada itu dipandang sebagai “yang banyak”, dasar keterangannya mengandung sifat yang berlawanan.


4. MELISSOS

Melissos berasal dari Samoa, sebuah kota di Grik di tanah perantauan. Masa hidupnya tidak diketahui benar. Yang diketahui orang hanya dia sangat terkemuka dalam dunia filosofi Elea dari tahun 444 -441 sebelum Masehi. Selain sebagai filosof, Melissos terkenal juga sebagai pahlawan dalam turut berperang membela Atena.

Melissos mempertahankan ajaran gurunya Parmenides dengan mengemukakan alasan yang positif. Artinya ia melahirkan keterangan untuk menguatkan ajaran gurunya. Tidak seperti Zeno, yang membalikkan kritik atas logika lawannya untuk membenarkan pendiriannya sendiri.

“Yang ada selalu ada dan akan tetap ada” demikian kata Melisos. Yang Ada itu kekal. Sebab, jika sekiranya Yang Ada itu dijadikan atau terjadi, sudah tentu kejadiannya itu timbul dari yang Tidak Ada. Dan jika mulanya itu “Tudak Ada” nyatalah bahwa dari “yang tidak ada” hanya bisa timbul “yang tidak”. Mustahil akan keluar “yang ada” dari “yang tidak ada”. Oleh karena itu Yang Ada mestilah kekal dan tidak berubah-ubah.

Yang Ada itu mestilah tidak berubah-ubah, sebab tiap-tiap perubahan itu sama juga dengan “terjadi” atau “hilang”.Pendeknya, “yang ada itu baqa, tidak berbatas, satu, selalu sama, tidak bergerak dan tidak pernah merasa susah”.
Di sini disebutnya juga “tidak merasa susah”, sebab barang yang merasa susah tidak dapat bersifat baka.

Tentang “yang ada” tidak bergerak, Melissos mengemukakan sebuah pikiran baru, yang bertentangan dengan pendirian Pamenides. Menurut pendapat Pamenides, yang ada itu bangunnya bulat. Melissos mengatakan, Yang ada itu tidak berhingga. Jika sekiranya ia berhingga, mestilah ia mempunyai permulaan dan akhir, dan dia itu akan dibatasi oleh “yang tidak ada”. Dan kalau “yang tidak ada” itu menjadi batas, adalah ia, dan itu barang yang mustahil. Yang ada itu, sebab ia satu, tidak mempunyai tubuh. Jika sekiranya ia mempunyai tubuh, ia mempunyai tebal. Dan kalau ia mempunyai tebal, ia pun mempunyai bagian, dan karena itu ia tidak satu lagi.


Filosofi Elea ini mempengaruhi aliran pikiran dalam masa sesudahnya, terutama karena tajamnya siku pengertian yang dikemukakannya.
Sepintas lalu uraiannya itu seperti persilatan kata saja,. Ini teristimewa pada Zeno. Tetapi jika diperhatikan logika yang tersangkut didalamnya, terbayang keluar dasar dialektika. Dialektik yaitu cara memikirkan hal selanjut-lanjutnya sampai kepada yang sebaliknya. Tiap pengertian mengandung pertentangannya.

Cara filosof-filosof Elea memaparkan soal dan dalilnya sangat baru dimasa itu. Rupanya bertentangan dengan segala yang lahir. Sebab itu ia menimbulkan perlawanan yang hebat. Kesukaran yang dirasai oleh lawannya tersimpul pada pokok pengertiannya, yang mengatakan Ada = Ada. Ini sukar membantah kebenarannya. Dan kelanjutannya ialah, bahwa diluar yang ada itu tidak ada yang lain lagi. Sebab itu filosofi Elea yang tidak mementingkan yang lahir, mendorongkan pikiran kealam logika. LOGIKA arti mudahnya yaitu : MENYUSUN JALAN PIKIRAN MENURUT HUKUM YANG TERTENTU. Jalan pikiran yang tak boleh meloncat-loncat !.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar