Dalam surat Asy-Syura ayat 51-52 Allah memberikan informasi yang artinya kira-kira demikian:
51. “Wahyu adalah ‘ajaran’ Allah (yang diajarkan) pada seorang manusia; yaitu (sesuatu yang diungkapkan) dari balik hijab; diutusNya rasul (malaikat) sehingga wahyu itu dapat disampaikan melalui prosedur yang telah ditetapkanNya. Sungguh Dia (Allah) adalah penata hukum tiada tanding.
52. “Maka dengan demikian Kami ajarkan wahyu itu kepadamu (Muhammad) (supaya) menjadi ruh (penata hidup) menurut konsep Kami. (Bila) kamu tidak mempelajari (wahyu, yang Kami susun menjadi) Kitab itu, maka kamu tidak mungkin membentuk iman (yang haq). Tapi (dengan diajarkannya wahyu itu) berarti Kami telah menjadikannya Nur yang dengannya Kami bimbing (ke jalan benar) siapa pun yang memenuhi persyaratan Kami di antara orang-orang yang mengaku sebagai hamba-hamba Kami. Sedangkan kamu (sebagai rasul yang mengajarkan wahyu ini) semata-mata hanya membantu (orang lain) untuk mengarahkan (mereka) ke jalan hidup yang benar.
Ayat di atas (51) menegaskan bahwa di antara manusia dan wahyu terdapat hijab, yang secara harfiah bisa berarti penutup, pembatas, pemisah, dan sebagainya. Dengan kata lain, hijab adalah “sesuatu yang memisahkan dua sesuatu (hal) yang lain”. Ayat tersebut menegaskan bahwa dua hal yang dihijab itu adalah wahyu dan manusia. Jadi, manusia hanya bisa mengetahui wahyu bila hijab itu dibuka, ditembus, atau disingkirkan. Tapi ternyata itu tidak bisa dilakukan oleh manusia, sehingga Allah harus mengutus malaikat untuk ‘mengeluarkan’ wahyu itu dari balik hijab tersebut.
Hijab antara manusia dan wahyu itu — katakanlah — berbagai lapisan langit, yang hanya dapat ditembus oleh malaikat yang mempunyai daya luncur 600 dimensi. Dengan demikian dapat kita katakan bahwa malaikat adalah “pengungkap rahasia di balik hijab”. Sedangkan nabi adalah penerima ‘rahasia’ tersebut.
Selain pengertian di atas, hijab juga berarti “sesuatu yang membuat sesuatu yang lain tidak terlintas dalam pemikiran manusia”. (Something that makes something else imperceptible). Dalam suatu Hadis, misalnya, Nabi Muhammad memberikan gambaran tentang jannah. Jannah, katanya, adalah sesuatu yang fiha ma la ‘ainun ra-at wa la udznun sami’at wa la khathara ‘ala qalbi basyar. Yaitu sesuatu yang keadaannya tidak pernah disaksikan, didengar, atau dikhayalkan manusia.
Bila gambaran tentang jannah ini kita kiaskan pada wahyu, dengan mengaitkannya pada ayat di atas, maka definisi wahyu adalah sesuatu yang terdapat di balik hijab, yang tidak mungkin ditembus pandangan mata atau ditangkap oleh daya pendengaran, sehingga dengan demikian tidak mungkin terlintas dalam khayalan atau pikiran manusia. Karena itulah dalam ayat di atas (51), Allah menegaskan bahwa manusia hanya dapat ‘menjangkau’ wahyu dengan bantuan Allah melalui malaikatNya.
Jin sebagai hijab
Dalam tulisan ini saya tidak perlu membahas jin dalam pengertian hakiki. Di sini cuma akan dibahas peran jin sebagai lawan dari malaikat, yaitu sebagai hijab bagi sampainya wahyu kepada manusia. Untuk itu sebagai salah satu alat bantu saya gunakan kamus karangan Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic.
Bentuk katakerja dari jinn atau al-jinnu adalah janna-yajunnu, dan masdarnya adalah junun, yang artinya:
- menutupi
- menyembunyikan
- menyelubungi
Bila janna digabungkan dengan ‘ala, artinya adalah: “malam telah datang”, atau “malam bertambah gelap”.
Bila dalam bentuk pasif (majhul), yaitu junna, artinya dalah: “menjadi kesurupan”, atau “menjadi gila”.
Sedangkan kalimat janna junûnuhu berarti: “amat sangat keranjingan”, atau “amat sangat tergila-gila”.
Bila dipindah ke dalam pola fa’’ala (dobel ‘ain), menjadi jannana, artinya adalah: membuat gila, mendorong kegilaan, menjadi gila, sangat marah, membangkitkan kemarahan.
Bila menggunakan pola istaf’ala, menjadi istajanna, artinya adalah: tertutup, terselubung, tersembunyi, menganggap orang lain gila, mengira orang lain gila.
Dari kata janna pula lahir kata jannah yang berarti kebun atau sorga. Menurut kamus Al-Munjid, kebun disebut jannah karena kebun itu pada dasarnya adalah sebidang tanah yang ditutupi tumbuhan.
Dari kata yang sama lahir pula kata jinnah yang berarti kesurupan, keinginan terpendam, keranjingan, kegilaan.
Lahir pula kata junnah yang berarti perlindungan, naungan, perisai.
Ada pula kata janan jamaknya ajnan, yang berarti hati atau jiwa, dan ada pula kata jannan yang berarti tukang kebun.
Kata janin jamaknya ajinnah/ajnun juga berasal dari kata yang sama. Artinya adalah: embrio (calon bayi). Bisa juga berarti kuman atau bakteri (yaitu makhluk-makhluk mahakecil, yang hanya bisa dilihat melalui mikroskop).
Tentu saja kata majnun juga lahir dari kata tersebut, yang artinya: gila, kesurupan, tergila-gila, orang gila, orang yang sangat tergila-gila, orang sangat dungu, bodoh, dan sebagainya.
Bila kita amati berbagai kata di atas, dapat kita simpulkan bahwa berbagai hal yang tergambar dari maknanya ternyata tidak seluruhnya berkaitan dengan jin sebagai salah satu makhluk non-benda. Namun semua jelas mempunyai makna dasar “penutup” atau “menutupi”. Dengan kata lain pengertiannya sama dengan “hijab”.
Surat Ar-Rahman ayat 15 menegaskan bahwa jin terbuat dari api. Surat Shad ayat 76, surat Al-A’raf ayat 12 menyebutkan bahwa iblis juga terbuat dari api. Dengan demikian, jin dan iblis adalah sebangsa.
Isa Bugis membagi jin ke dalam dua pengertian, yaitu arti khusus dan arti umum. Arti khusus adalah jin sebagai makhluk gaya yang belum efektif (= belum memainkan peran apa pun), yaitu belum berperan dalam hidup manusia. Sedangkan jin dalam arti umum adalah jin yang sudah efektif, yang dalam Al-Qurãn disebut iblis.
Surat Al-A’raf ayat 17 menjelaskan tekad iblis untuk menghijab manusia dari ajaran Allah: “Karena anda (Allah) telah memvonisku sesat, maka aku benar-benar akan menghadang mereka agar membelok dari jalan hidupMu yang sebenarnya. Aku juga akan mengepung mereka dari depan dan belakang, dari kanan dan dari kiri mereka, sehingga akan Kau lihat nanti kebanyakan mereka menjadi orang-orang yang tak tahu diuntung.”
Itulah gambaran tentang cara iblis/jin menghijab manusia dari ajaran Allah.
Surat Fushilat ayat 5 memberikan gambaran lain tentang hijab yang memisahkan manusia dari wahyu Allah: “Mereka (orang-orang kafir) mengatakan, ‘Hati kami tertutup dari da’wah yang kamu tawarkan; di kuping kami ada penyumbat. Tegasnya, di antara kami dan kamu ada hijab. Karena itu, lakukan apa yang ingin kamu lakukan, karena kami juga akan terus melakukan apa yang ingin kami lakukan.”
Itulah salah satu bentuk ‘kegilaan’ manusia yang ‘kesurupan jin’. Dan kata sebuah pepatah Arab: Al-jununu funun. Kegilaan itu banyak macamnya, alias muncul dalam berbagai bentuk.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar