Jumat, 09 September 2011

KENAPA HARUS MENGKAJI ALQURAN


oleh Bruce Lee Panjaitan Sinaga pada 06 Februari 2011 jam 14:10
Dalam surat Al-Muzzammil ayat 4, ada perintah untuk mengkaji Al-Qurãn secara ‘tertib’.

Ketika surat tersebut diturunkan, Al-Qurãn belum seutuhnya ada di tangan Muhammad. Surat Al-Muzzammil justru termasuk dalam kelompok surat-surat yang turun di awal pewahyuan. Tapi ini tidak lantas mengganjilkan perintah mengkaji Al-Qurãn; karena menurut Hadis sejak turunnya wahyu kedua (Al-Muddatstsir?) wahyu-wahyu berikutnya turun secara berturut-turut.

Tapi mengapa harus mengkaji Al-Qurãn? Bila pertanyaan ini diajukan kepada para ulama sekarang, mereka pasti serentak menjawab bahwa “Qur’an adalah Kalam atau Firman Allah yang diturunkan kepada Muhammad s.a.w. yang pembacaannya merupakan suatu ibadah.”[1] Lebih lanjut mereka menegaskan bahwa yang dimaksud “ibadah” di sini adalah “ibadah ritual” alias semacam upacara. Dalam Ensiklopedi Islam jilid 4 kita dapati tulisan demikian:

Adapun pahala orang yang membaca Al-Qur’an itu berbeda-beda. Menurut Ali bin Abi Thalib, pahala orang yang membaca Al-Quran di dalam salat adalah 50 kebajikan untuk tiap-tiap huruf yang diucapkannya. Sedangkan pahala orang yang membaca Al-Qur’an di luar salat, tetapi dalam keadaan berwudu, adalah 25 kebajikan untuk setiap huruf yang dibacanya, dan 10 kebajikan untuk setiap hu-ruf yang dibacanya bagi orang yang membaca Al-Qur’an di luar salat tanpa wudu.[2]

Meski disandarkan kepada Ali, keterangan ini sama sekali tidak relevan dengan tujuan Allah menurunkan Al-Qurãn, kecuali bila dipahami melalui metode (cara berpikir) tertentu. Bila hanya dikaitkan dengan pahala dan upacara, seperti dilakukan para ulama sekarang, kegiatan membaca Al-Qurãn memang menjadi melenceng sama sekali dari tujuan yang seharusnya dicapai.

Bila kita perhatikan, alasan-alasan logis dari perintah mengkaji Al-Qurãn itu sebenarnya tersurat dan tersirat sejak dalam ayat-ayat awal dari banyak surat-surat panjang. Al-Baqarah ayat 2 menyebut Al-Qurãn sebagai kitab yang tidak perlu diragukan fungsinya sebagai petunjuk (hudan), yang ditegaskan lagi dalam Ali ‘Imran ayat 4 dengan menyebut kata yang sama, hudan.

Al-A’rãf ayat 2 menyebutnya sebagai kitab yang diturunkan untuk “melapangkan dada”, alias berfungsi sebagai adz-dzikru (pembangun kesadaran tinggi). Yunus ayat 1 menamainya al-kitãbul-hakïm (kitab yang berisi ‘kebijakan mahatinggi’; kitab yang sangat layak dijadikan hukum). Hud ayat 1 menegaskan dengan ungkapan kitãbun uhkimat ãyãtuhu: (Al-Qurãn adalah) sebuah kitab yang ayat-ayatnya ditetapkan sebagai hukum!

Yusuf ayat 1 menyusul dengan tambahan keterangan bahwa hukum yang terdapat dalam Al-Qurãn itu diuraikan dalam ayat-ayat yang gamblang (mubïn); supaya bisa mengeluarkan manusia dari situasi dan kondisi gelap menuju situasi dan kondisi terang (Ibrahim ayat 1). Al-Kahfi ayat 1 menyebutnya sebagai kitab yang tidak mungkin menimbulkan kontradiksi (‘iwajan), dalam arti tidak akan membuat manusia susah (Thaha ayat 1); bahkan sejarah membuktikan bahwa para mu’min (pelaksana ajaran Allah) justru menjadi manusia-manusia yang unggul (Al-Mu’minun ayat 1). Dan seterusnya, silakan periksa sendiri.

Pendeknya, bila kita bertanya kepada Al-Qurãn tentang tujuan membaca  Al-Qurãn itu sendiri,  tak akan ditemukan satu pun ayat yang mengaitkannya dengan konteks ritual. Bahkan data-data acak dan ringkas di atas mengisyaratkan bahwa Al-Qurãn adalah sebuah kitab yang sengaja diturunkan untuk mereaksi keadaan, alias menjawab tantangan zaman. Secara pragmatis — sesuai situasi dan kondisi saat itu — zaman yang dimaksud adalah zaman Arab Jahiliah. Tapi selagi dibutuhkan, di zaman jahiliah mana pun Al-Qurãn tetap akan siap membuktikan keunggulannya; bila dipahami secara benar.
[1] Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, hal. 18, cet. pertama, Manna Khalil al-Qattan, terj. Drs. Mudzakir AS, Litera AntarNusa, 1992.

[2] Ensiklopedi Islam, jilid 4, cet. ketiga, hal. 143,  Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1994

Tidak ada komentar:

Posting Komentar