Penulis menyebut Sunnah Rasul di sini dalam pengertian Tradisi Rasul, terutama tradisi pendidikan atau da’wahnya. Lebih tegas lagi, yang dimaksud pendidikan di sini adalah proses transfer Al-Quran yang dilakukan Nabi Muhammad.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa Nabi mentransfer Al-Quran kepada para Sahabat (baca: peminat Al-Quran) dengan cara yang relatif sama seperti Allah, melalui Jibril, mentransfer Al-Quran kepadanya. Dalam surat Al-Qiyamah ayat 16-19 Allah menegaskan disiplin transfer Al-Quran itu dengan bahasa yang sangat gamblang:
16. Jangan pacu lidahmu karena ingin bergegas menguasai dan mengajarkannya (Al-Quran);
17. Kamilah yang melakukan kodifikasinya, dan Kami pula yang mengatur teknik pengkajiannya;
18. Maka sebagaimana Kami telah mengatur teknik pengkajiannya, ikutilah cara pengkajian itu;
19. Selanjutnya Kami pula yang mengatur teknik penjelasan maknanya.
Ada satu aspek kebahasaan yang perlu diperhatikan pada ayat-ayat di atas, yaitu pengertian kata qara’na, yang bentuk asalnya adalah qara-a. Penerjemahan qara-a menjadi membaca saja tidaklah cukup. Sebab pada kata qara-a terkandung juga pengertian menghafal, memahami, dan membacakan sesuatu yang sudah dihafal dan atau dipahami itu. Dalam bahasa Inggris, kata yang mempunyai makna demikian adalah recite. Sedangkan dalam bahasa Indonesia kata yang agak mendekati adalah mengutip atau menukil (yang keduanya berasal dari bahasa Arab), dengan catatan bahwa bahwa yang dikutip atau dinukil itu harus sudah dihafal dan atau dipahami.
Berdasar fakta demikian itulah penulis menerjemahkan kata qurãnan pada ayat 18 surat Al-Qiyamah tersebut menjadi “teknik/cara pengkajian”, sebagai perluasan dari makna harfiahnya, “pembacaan” atau “pekerjaan membaca”. Kenyataannya, pembacaan atau pekerjaan membaca itu memang membutuhkan teknik atau cara tertentu. Lebih jauh lagi, qurãnan atau qirãatan (= proses ‘pembacaan’), yang keduanya merupakan masdar bagi qara-a, dalam konteks da’wah bisa berarti “strategi dan taktik da’wah Al-Quran”.
Pada ayat-ayat di atas Allah menegaskan bahwa mulai dari kodifikasi[1], teknik penyampaian (pengajaran) sampai penjelasan maknanya, semua harus menurut Allah.
Al-Quran diturunkan secara bertahap. Itulah teknik penyampaian Al-Quran yang sudah kita kenal. Allah menegaskan bahwa pemilihan teknik ini bukan tanpa persoalan. Persoalannya bisa timbul dari Nabi sendiri, yang agaknya pernah ingin ‘melahap’ Al-Quran secepatnya. Di lain pihak, para penentang da’wah Nabi pun mempersoalkan teknik tersebut, dan Allah memberikan jawabannya:
Orang-orang kafir bertanya: “Mengapa Al-Quran itu tidak diturunkan sekaligus semuanya?” Begitulah cara Kami memantapkan Al-Quran dalam jiwamu, yakni dengan mengajarkannya secara taktis dan bertahap. (Al-Furqan: 32)[2].
Kami menyampaikannya (Al-Quran) secara jitu, sehingga ia akan sampai (pada sasarannya) secara jitu pula; dan kamu (Muhammad) hanya kami tugasi sebagai rasul, untuk membangkitkan harapan (peminat da’wahmu) dan menyampaikan peringatan (kepada penentang da’wahmu).
Dengan demikian (Al-Quran itu adalah) bahan kajian (qurãnan) yang Kami susun dalam bagian-bagian, sesuai kemampuan manusia dalam mengendapkannya (dalam jiwa), yakni Kami sampaikan dia secara berangsur-angsur. (Al-Isra: 105-106).
Keinginan untuk menguasai Al-Quran secara cepat itu agaknya melanda para Sahabat pula. Sebuah Hadis riwayat Bukhari dan Muslim menuturkan pengakuan Abdullah bin ‘Amru:
Dari Abdullah bin Amru, katanya, “Rasulullah saw mengatakan kepadaku, ‘Bacalah Al-Quran dalam sebulan.’ Aku menjawab, ‘Aku mampu membaca lebih cepat.’ Kata Rasulullah, ‘(Kalau begitu) bacalah dalam sepuluh hari.’ Aku menjawab lagi, ‘Aku sanggup membaca lebih cepat.’ Rasulullah menegaskan, ‘(Kalau begitu) bacalah dalam seminggu; jangan lebih cepat dari itu.’”
Sebaliknya Abdurrahman As-Sulami juga menceritakan:
“Orang-orang yang mengajarkan Al-Quran kepada kami, seperti Utsman bin Affan, Abdullah bin Mas’ud, dan lainlain, menceritakan bahwa bila mereka mempelajari sepuluh ayat dari Nabi, mereka tidak menambah pelajaran sebelum memahami isinya secara keseluruhan mulai dari teori sampai praktiknya.”
Jadi jelaslah bahwa mempelajari dan mengajarkan Al-Quran secara bertahap adalah cara jitu yang diajarkan Allah. Selanjutnya cara itu pun dipraktikkan oleh Nabi, sehingga menjadi sunnah (tradisi) yang diwarisi oleh para pelanjutnya.
Dalam kenyataan, pentahapan (proses) adalah sesuatu yang penting. Pencapaian apa pun tidak bisa terjadi dengan mengabaikan proses. Karena itu bisa dikatakan bahwa mengabaikan proses adalah kekafiran sejati. Bahkan bisa dikatakan sebagai sabotase, karena ber-dampak pada terjadinya kegagalan pencapaian tujuan.
Mempelajari Al-Quran memang sulit, relatif sulit. Artinya, tidak benar-benar sulit. Karena bila bicara sulit, mempelajari ilmu kedok-teran, teknologi, hukum, ekonomi, dan ilmuilmu yang lain juga sulit. Namun ternyata banyak orang berlomba-lomba mempelajari ilmu-ilmu tersebut. Dan ternyata pula masa belajar mereka tidak singkat. Untuk mempelajari ilmu kedokteran, misalnya, mereka harus tekun belajar mulai dari SD, SMP, SMA, sampai fakultas kedokteran. Jenjang demi jenjang pendidikan harus ditempuh dengan sabar, karena menga-baikan satu jenjang saja pun berarti cita-cita akan gagal. Demikian juga bila mereka ingin menjadi guru, ekonom, insinyur, dan lain-lain. Tidak ada pencapaian cita-cita tanpa menempuh proses usaha yang lama. Bahkan untuk menjadi maling pun orang harus belajar dalam waktu lama pula.
Allah sendiri menegaskan bahwa segala sesuatu yang ada ini diciptakanNya melalui serangkaian proses yang bermula dari suatu rancangan (qadar, taqdir). Alam semesta diciptakannya dalam tempo enam yaum (periode) yang masing-masing membutuhkan waktu seribu tahun menurut perhitungan kita. (Surat AsSajdah: 4-5). Pembentukan bayi dalam kandungan seorang ibu membutuhkan waktu sembilan bulan. Itu bukan karena Allah tidak mampu menciptakan segala sesuatu secara cepat, tapi agaknya penciptaan berproses itulah yang dikehen-dakinya. Itulah sunnah (metode, kebijaksanaan) Allah. Mengingkari kenyataan tersebut berarti menentang sunnatullah, yang hanya akan berakhir pada kemalangan diri.
Pembentukan Al-Quran sebagai way of life juga tidak akan bisa dilakukan secara grasa-grusu (ceroboh). Allah dan Rasul menegaskan bahwa itu membutuhkan prosedur yang benar dan proses yang tidak sebentar. Untuk dapat berdisiplin mengikuti prosedur dan bersabar menempuh prosesnya, diperlukan asyaddu hubban, kecintaan yang luarbiasa, disertai tekad yang luarbiasa pula.
Itu persyaratan yang sulit. Wajarlah bila dalam surat Al-Furqan ayat 30 Allah menggambarkan keluhan Rasul sehubungan dengan adanya orang-orang yang mengabaikan Al-Quran. Surat ini termasuk salah satu surat Makkiah, dan di situ para pengabai Al-Quran itu disebut Rasul sebagai qaumi (kaumku). Siapakah mereka itu? Orang Arab Makkah? Orang Quraisy? Atau Bani Hasyim? Bila diperhatikan karinah ayat tersebut, jelas bahwa yang dimaksud adalah orang-orang yang tidak pernah menyatakan penolakan terhadap Al-Quran secara verbal, tapi dalam kenyataan mereka tidak mempedulikan nilai-nilai Al-Quran. Dalam surat itu pula, ayat 44, Allah menegaskan bahwa hal itu terjadi karena mereka tidak sudi memeras otak untuk memahami Al-Quran. Mereka digambarkan seperti hewan, bahkan lebih konyol dari hewan.
Ibnu Majah meriwayatkan sebuah Hadis yang bersumber dari Anas:
Berkata Rasulullah saw: “Pada akhir zaman akan muncul suatu kaum, yaitu dalam umat ini, yang terus membaca Al-Quran tapi bacaan mereka hanya menggema di tenggorokan atau leher mereka. Bila kalian mengetahui ada kaum seperti itu, atau bila berjumpa dengan mereka, didiklah mereka.”
Orang selalu mengartikan bahwa akhir zaman adalah saat menjelang kehancuran dunia. Tapi bila kita perhatikan, berbagai bentuk penyimpangan yang diramalkan Rasul justru sudah terjadi ‘di depan mata’ beliau, dan itu sudah terjadi sejak 15 abad yang lalu (yang bersambung sampai sekarang). Dengan demikian kita tidak bisa mengartikan istilah akhir zaman tersebut sebagai saat menjelang kehancuran bumi, karena pengertian ini ternyata tidak sesuai dengan kenyataan. Berdasarkan tinjauan atas fakta-fakta, istilah akhir zaman yang dimaksud Rasul itu agaknya adalah “akhir zaman tegaknya Al-Quran”, yang ciri-cirinya sudah terlihat dengan adanya orang-orang (Islam) yang mulai mengabaikan Al-Quran. Historis, Al-Quran tegak sejak Rasul masih hidup sampai wafatnya para Sahabat utama. Sedangkan penggerogotan atas ‘wibawa’ Al-Quran juga sudah terjadi pada masa Rasul, berlanjut pada masa para Sahabat, dan memuncak setelah mereka tiada.
Contoh tindakan pelecehan mereka terhadap Al-Quran tidak dirinci dalam surat Al-Furqan. Tapi di situ ditegaskan bahwa setiap nabi mempunyai musuh. Lalu disebutkan Musa, Harun, dan Nuh, yang dimusuhi bangsa mereka. Ditegaskan pula bahwa sikap permusuhan mereka terhadap para rasul itu timbul karena mereka menuhankan nafsu, sehingga enggan menanggapi tawaran risalah secara sungguh-sungguh.
Penuhanan hawa nafsu adalah sikap yang sering tidak disadari oleh pelakunya, kendati dalam kenyataan sehari-hari sering muncul dalam berbagai bentuk. Ada kalanya ia muncul berupa perasaan bahwa diri kita selalu benar, sedangkan orang lain salah melulu.
Nabi Yusuf menggambarkan bahwa nafsu bersifat sangat mendesak (berpengaruh kuat) untuk berbuat buruk. (surat Yusuf ayat 53). Secara ‘kebetulan’ nafsun atau an-nafsu menurut kamus juga berarti jiwa atau diri. Jadi, bila kita menyebut nafsu, tak perlu membayangkan makhluk gaib. Bila Nabi Yusuf menggambarkan nafsu sebagai sesuatu yang sangat mendesak untuk berbuat buruk, maka dengan kata lain berarti bahwa “diri kita ini mempunyai kecenderungan kuat untuk berbuat buruk.” Atau, bila kita gunakan tinjauan ilmu jiwa, setiap manusia memang mempunyai sisi buruk, yang ada kalanya dapat tampil mengalahkan sisi baiknya.
Nabi Yusuf mengatakan bahwa ‘sisi buruk’ manusia itu bisa ditaklukkan dengan rahmat Allah. Harfiah, rahmat berarti kasih-sayang. Tapi dalam ‘kamus’ Al-Quran rahmat juga bisa berarti ajaran. Tegasnya, rahmat hakiki dari Allah adalah ajarannya itu sendiri, sebab hanya itulah yang dijadikannya sebagai jaminan keselamatan manusia. Karena itulah Allah menegaskan bahwa Nabi Muhammad diutus sebagai rahmat bagi semesta alam, sebagai penyelamat manusia dari perbudakan nafsu.
Rahmat Allah yang ‘dititipkan’ Allah kepada Nabi Muhammad adalah Al-Quran. Jadi, melecehkan Al-Quran berarti melecehkan rahmat Allah.
[1] Codification, penghimpunan serta penulisan undang-undang dan sebagainya sehingga menjadi suatu kitab yang sistematis. [2] Baca penjelasan yang berkaitan dengan ini dalam tulisan tentang Al-Muzzammil.
Selalu ada Al-haqq yg belum kita ketahui. Karena Al- haqqu min rabbika adalah yg telah dipraktekkan rasulNya. Selama kenyataan hidup masih benar gelap / hina / nista, walau sekecil atom pun, selama itu kebenaran yg obyektif ilmiah harus diperjuangkan dalam situasi dan kondisi bagaimanapun hingga tetes darah penghabisan. Semoga kita saling ingat - mengingatkan tuk hidup selaras dengan Al- Haqq yaitu semoga teguh bertahan dalam memperjuangkannya. من فسر القرآن برأيه فليتبوأ مقعده من النار
Tidak ada komentar:
Posting Komentar