Jumat, 23 September 2011

AWAL PELECEHAN SUNNAH RASUL

Penulis menyebut Sunnah Rasul di sini dalam  pengertian Tradisi  Rasul, terutama tradisi pendidikan  atau  da’wahnya.  Lebih    tegas  lagi, yang dimaksud pendidikan di  sini  adalah proses  transfer Al-Quran yang dilakukan Nabi  Muhammad.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa Nabi mentransfer Al-Quran kepada para  Sahabat (baca: peminat Al-Quran) dengan cara  yang  relatif sama seperti Allah, melalui Jibril, mentransfer Al-Quran kepada­nya.  Dalam  surat  Al-Qiyamah ayat  16-19  Allah  menegaskan disiplin  transfer Al-Quran itu dengan bahasa yang sangat  gamb­lang:
16. Jangan pacu lidahmu karena ingin bergegas  menguasai dan mengajarkannya (Al-Quran);
17. Kamilah yang melakukan kodifikasinya, dan Kami  pula yang mengatur teknik pengkajiannya;
18. Maka sebagaimana Kami telah mengatur teknik  pengkajiannya, ikutilah cara pengkajian  itu;
19.  Selanjutnya Kami pula yang mengatur  teknik  penje­lasan maknanya.
Ada satu aspek kebahasaan yang perlu diperhatikan  pada ayat-ayat di atas, yaitu pengertian kata qara’na, yang bentuk asalnya adalah qara-a.  Penerjemahan  qara-a menjadi membaca saja tidaklah  cukup. Sebab pada kata qara-a terkandung juga pengertian  menghafal,  memahami,  dan membacakan sesuatu yang  sudah  dihafal dan atau dipahami itu. Dalam bahasa Inggris, kata yang  mempunyai makna demikian adalah recite. Sedangkan dalam bahasa Indo­nesia kata yang agak mendekati adalah mengutip atau  menukil (yang keduanya berasal dari bahasa Arab), dengan catatan bah­wa  bahwa yang dikutip atau dinukil itu harus  sudah  dihafal dan atau dipahami.
Berdasar  fakta demikian itulah  penulis  menerjemahkan kata qurãnan pada ayat 18 surat Al-Qiyamah tersebut  menjadi “teknik/cara  pengkajian”, sebagai perluasan dari makna harfiahnya, “pembacaan” atau “pekerjaan membaca”. Kenyataannya, pembacaan atau pekerjaan membaca itu memang membutuhkan teknik atau cara tertentu. Lebih jauh lagi, qurãnan atau qirãatan (= proses ‘pembacaan’),  yang keduanya merupakan masdar bagi qara-a, dalam konteks da’wah bisa berarti  “strategi dan taktik da’wah Al-Quran”.
Pada ayat-ayat di atas Allah menegaskan bahwa mulai da­ri kodifikasi[1], teknik penyampaian (pengajaran) sampai penje­lasan maknanya,  semua harus menurut Allah.
Al-Quran diturunkan secara bertahap. Itulah teknik penyam­paian Al-Quran yang sudah kita kenal. Allah menegaskan bahwa pe­milihan  teknik ini bukan tanpa persoalan. Persoalannya  bisa timbul  dari Nabi sendiri, yang agaknya  pernah ingin  ‘mela­hap’  Al-Quran secepatnya. Di lain pihak, para penentang  da’wah Nabi pun mempersoalkan teknik tersebut, dan Allah  memberikan jawabannya:
Orang-orang kafir bertanya: “Mengapa Al-Quran itu ti­dak diturunkan sekaligus semuanya?” Begitulah cara  Kami memantapkan  Al-Quran dalam jiwamu, yakni dengan  mengajarkannya secara taktis dan bertahap. (Al-Furqan: 32)[2].
Kami menyampaikannya (Al-Quran) secara jitu, sehingga ia  akan sampai (pada sasarannya) secara jitu pula;  dan kamu  (Muhammad) hanya kami tugasi sebagai rasul,  untuk membangkitkan harapan (peminat da’wahmu) dan  menyampai­kan peringatan (kepada penentang da’wahmu).
Dengan  demikian (Al-Quran itu adalah)  bahan  kajian (qurãnan)  yang Kami susun dalam bagian-bagian,  sesuai kemampuan  manusia dalam mengendapkannya  (dalam  jiwa), yakni  Kami sampaikan dia secara berangsur-angsur. (Al-­Isra: 105-106).
Keinginan untuk menguasai Al-Quran secara cepat itu  agaknya melanda para Sahabat pula.  Sebuah Hadis riwayat  Bukhari dan Muslim menuturkan pengakuan Abdullah bin ‘Amru:
Dari  Abdullah bin Amru, katanya, “Rasulullah  saw mengatakan kepadaku, ‘Bacalah Al-Quran dalam sebulan.’  Aku menjawab, ‘Aku mampu membaca lebih cepat.’ Kata Rasulul­lah,  ‘(Kalau begitu) bacalah dalam sepuluh  hari.’  Aku menjawab lagi, ‘Aku sanggup membaca lebih cepat.’  Rasu­lullah menegaskan, ‘(Kalau begitu) bacalah dalam seming­gu; jangan lebih cepat dari itu.’”
Sebaliknya Abdurrahman As-Sulami juga menceritakan:
“Orang-orang  yang mengajarkan Al-Quran  kepada  kami, seperti Utsman bin Affan, Abdullah bin Mas’ud, dan lain­lain, menceritakan bahwa bila mereka mempelajari sepuluh ayat dari Nabi, mereka tidak menambah pelajaran  sebelum memahami isinya secara keseluruhan mulai dari teori sam­pai praktiknya.”
Jadi jelaslah bahwa mempelajari dan mengajarkan  Al-Quran secara bertahap adalah cara jitu yang diajarkan Allah. Selan­jutnya cara itu pun dipraktikkan oleh Nabi, sehingga  menjadi sunnah (tradisi) yang diwarisi oleh para pelanjutnya.
Dalam  kenyataan,  pentahapan (proses)  adalah  sesuatu yang  penting. Pencapaian apa pun tidak bisa  terjadi  dengan mengabaikan proses. Karena itu bisa dikatakan bahwa  mengabaikan proses adalah kekafiran sejati. Bahkan bisa dikatakan sebagai sabotase, karena ber-dampak pada terjadinya kegagalan pencapaian tujuan.
Mempelajari Al-Quran memang sulit, relatif sulit. Artinya, tidak  benar-benar sulit. Karena bila bicara sulit,  mempela­jari  ilmu kedok-teran, teknologi, hukum, ekonomi,  dan  ilmu­ilmu  yang lain juga sulit. Namun ternyata banyak orang  ber­lomba-lomba mempelajari ilmu-ilmu tersebut. Dan ternyata pula masa belajar mereka tidak singkat. Untuk mempelajari ilmu ke­dokteran, misalnya, mereka harus tekun belajar mulai dari SD, SMP,  SMA, sampai fakultas kedokteran. Jenjang  demi  jenjang pendidikan  harus ditempuh dengan sabar,  karena  menga-baikan satu jenjang saja pun berarti cita-cita akan gagal.  Demikian juga  bila mereka ingin menjadi guru, ekonom,  insinyur,  dan lain-lain. Tidak ada pencapaian cita-cita tanpa menempuh proses  usaha yang lama. Bahkan untuk menjadi maling  pun  orang harus belajar dalam waktu lama pula.
Allah sendiri menegaskan bahwa segala sesuatu yang  ada ini diciptakanNya melalui serangkaian proses yang bermula da­ri suatu rancangan (qadar, taqdir). Alam semesta  diciptakan­nya  dalam  tempo enam yaum (periode)  yang masing­-masing membutuhkan waktu  seribu  tahun menurut perhitungan  kita.  (Surat  As­Sajdah:  4-5). Pembentukan bayi dalam kandungan  seorang  ibu membutuhkan waktu sembilan bulan. Itu bukan karena Allah  ti­dak mampu menciptakan segala sesuatu secara cepat, tapi agak­nya  penciptaan berproses itulah yang dikehen-dakinya.  Itulah sunnah (metode, kebijaksanaan) Allah.  Mengingkari  kenyataan tersebut berarti menentang sunnatullah, yang hanya akan bera­khir pada kemalangan diri.
Pembentukan  Al-Quran sebagai way of life juga tidak  akan bisa dilakukan secara grasa-grusu (ceroboh). Allah dan  Rasul menegaskan bahwa itu membutuhkan prosedur yang benar dan pro­ses  yang tidak sebentar. Untuk dapat  berdisiplin  mengikuti prosedur dan bersabar menempuh prosesnya, diperlukan  asyaddu hubban, kecintaan yang luarbiasa, disertai tekad yang luarbi­asa pula.
Itu  persyaratan yang sulit. Wajarlah bila dalam  surat Al-Furqan ayat 30 Allah menggambarkan keluhan Rasul sehubung­an  dengan adanya orang-orang yang mengabaikan  Al-Quran.  Surat ini termasuk salah satu surat Makkiah, dan di situ para peng­abai Al-Quran itu disebut Rasul sebagai qaumi (kaumku). Siapakah mereka  itu? Orang Arab Makkah? Orang Quraisy? Atau Bani  Ha­syim?  Bila diperhatikan karinah ayat tersebut,  jelas  bahwa yang dimaksud adalah orang-orang yang tidak pernah menyatakan penolakan terhadap Al-Quran secara verbal, tapi dalam  kenyataan mereka tidak mempedulikan nilai-nilai Al-Quran. Dalam surat  itu pula, ayat 44, Allah menegaskan bahwa hal itu terjadi  karena mereka  tidak sudi memeras otak untuk memahami Al-Quran.  Mereka digambarkan seperti hewan, bahkan lebih konyol dari hewan.
Ibnu Majah meriwayatkan sebuah Hadis yang bersumber dari Anas:
Berkata Rasulullah  saw: “Pada akhir  zaman akan muncul suatu kaum, yaitu dalam umat ini, yang terus mem­baca Al-Quran tapi bacaan mereka hanya menggema di  tenggo­rokan atau leher mereka. Bila kalian mengetahui ada kaum seperti itu, atau bila berjumpa dengan mereka,  didiklah mereka.”
Orang selalu mengartikan bahwa akhir zaman adalah  saat menjelang kehancuran dunia. Tapi bila kita perhatikan, berba­gai  bentuk penyimpangan yang diramalkan Rasul  justru  sudah terjadi  ‘di depan mata’ beliau, dan itu sudah terjadi  sejak 15  abad yang lalu (yang bersambung sampai sekarang).  Dengan demikian kita tidak bisa mengartikan istilah akhir zaman ter­sebut sebagai saat menjelang kehancuran bumi, karena  penger­tian ini ternyata tidak sesuai dengan kenyataan.  Berdasarkan tinjauan atas fakta-fakta, istilah akhir zaman yang  dimaksud Rasul  itu agaknya adalah “akhir zaman tegaknya Al-Quran”,  yang ciri-cirinya sudah terlihat dengan adanya orang-orang (Islam) yang  mulai  mengabaikan Al-Quran.  Historis, Al-Quran  tegak  sejak Rasul masih hidup sampai wafatnya para Sahabat utama. Sedang­kan penggerogotan atas ‘wibawa’ Al-Quran juga sudah terjadi pada masa  Rasul, berlanjut pada masa para Sahabat,  dan  memuncak setelah mereka tiada.
Contoh  tindakan pelecehan mereka terhadap Al-Quran  tidak dirinci dalam surat Al-Furqan. Tapi di situ ditegaskan  bahwa setiap nabi mempunyai musuh. Lalu disebutkan Musa, Harun, dan Nuh, yang dimusuhi bangsa mereka. Ditegaskan pula bahwa sikap permusuhan mereka terhadap para rasul itu timbul karena mere­ka menuhankan nafsu, sehingga enggan menanggapi tawaran risa­lah secara sungguh-sungguh.
Penuhanan hawa nafsu adalah sikap yang sering tidak di­sadari  oleh pelakunya, kendati dalam  kenyataan  sehari-hari sering  muncul dalam berbagai bentuk. Ada kalanya  ia  muncul berupa perasaan bahwa diri kita selalu benar, sedangkan orang lain salah  melulu.
Nabi Yusuf menggambarkan bahwa nafsu  bersifat  sangat mendesak (berpengaruh kuat) untuk berbuat buruk. (surat Yusuf ayat 53). Secara ‘kebetulan’ nafsun atau an-nafsu menurut kamus  juga  berarti jiwa atau diri. Jadi, bila  kita  menyebut nafsu,  tak perlu membayangkan makhluk gaib. Bila Nabi  Yusuf menggambarkan nafsu sebagai sesuatu yang sangat mendesak  un­tuk berbuat buruk, maka dengan kata lain berarti bahwa “diri kita  ini mempunyai kecenderungan kuat untuk berbuat  buruk.” Atau,  bila kita gunakan tinjauan ilmu jiwa,  setiap  manusia memang  mempunyai sisi buruk, yang ada kalanya  dapat  tampil mengalahkan sisi baiknya.
Nabi  Yusuf mengatakan bahwa ‘sisi buruk’  manusia  itu bisa ditaklukkan dengan rahmat Allah. Harfiah, rahmat berarti kasih-sayang. Tapi dalam ‘kamus’ Al-Quran rahmat juga bisa  ber­arti ajaran. Tegasnya, rahmat hakiki dari Allah adalah  ajar­annya itu sendiri, sebab hanya itulah yang dijadikannya seba­gai jaminan keselamatan manusia. Karena itulah Allah menegas­kan bahwa Nabi Muhammad diutus sebagai rahmat bagi semesta a­lam, sebagai penyelamat manusia dari perbudakan nafsu.
Rahmat Allah yang ‘dititipkan’ Allah kepada Nabi Muhammad  adalah Al-Quran. Jadi, melecehkan Al-Quran berarti  melecehkan rahmat Allah.

[1] Codification, penghimpunan serta penulisan undang-undang dan sebagai­nya sehingga menjadi suatu kitab yang sistematis. [2] Baca penjelasan yang berkaitan dengan ini dalam tulisan tentang Al-Muzzammil.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar