Minggu, 18 September 2011

MUSYRIK



Apakah arti musyrik? Asal katanya syarika. Kata kerja tak berobyek. Artinya: 1. berbagi, 2. berperan serta, 3. berpasangan atau menjadi pasangan, dan sebagainya. Bentuk masdar atau kata bendanya adalah syirkah atau syarikah.

Syarikah – yang tulisan aslinya syarikatun – diubah ke dalam bahasa Indonesia menjadi sarikat, dan se-karang malah dibakukan menjadi serikat. Padanannya adalah sekutu. Maka, berserikat artinya sama dengan bersekutu. Lalu, apa pula arti sekutu? Tentu bukan seperti gurauan orang – sekutu artinya segede kutu. Bukan. Sekutu dalam bahasa Indo-nesia artinya kawan, rekan, komplotan, dan sebagainya.

Bila kata kerja syarika diubah menjadi kata kerja berobyek, misalnya menjadi asyraka, artinya adalah: 1. menjadikan seseorang (sesuatu) sebagai pasangan, 2. mengadakan pendamping, 3. memberi peran terhadap seseorang (sesuatu), 4. meng-hubungkan (mengaitkan) dengan e-rat seseorang (sesuatu) dengan seseorang (sesuatu) yang lain. Dari kata kerja inilah lahir istilah agama yang cukup populer, yaitu asyraka billah(i). Artinya mendampingkan Allah dengan sesuatu yang lain. Dalam bahasa ulama: menyekutukan Allah.

Pelaku asyraka billah itulah yang disebut sebagai musyrik(un). Jamaknya musyrikûn(a) atau musrikîn(a).

Bila Allah adalah Tuhan, maka pendampingNya pun otomatis menjadi Tuhan. Bila yang didampingkan dengan Allah itu hanya satu, maka si musyrik mempunyai dua Tuhan. Bila lebih dari satu, maka si musyrik mempunyai banyak Tuhan. Terlepas apakah ia mengakui atau tidak.

Apakah si musyrik beranggapan (percaya) bahwa antara Allah dengan ‘para pendamping’ itu mempunyai kedudukan dan atau kekuasaan yang sama? Tidak. Tidak harus begitu. Mungkin saja si musyrik masih per-caya bahwa Allah itu mahakuasa di atas semua, tapi – masalahnya – ia mempunyai banyak kebutuhan yang tidak bisa didapatkannya dari Allah. Karena itulah ia pun ‘mengoleksi’ Tuhan-Tuhan selain Allah. Dengan demikian, kita bisa mengatakan bahwa si musyrik adalah “kolektor Tuhan”. Di sinilah letak gawatnya. Si musyrik seperti menyamakan Tuhan dengan perangko atau barang-barang antik yang bisa dikoleksi! Tapi, kata kiai saya, yang di atas itu adalah definisi musyrik tempo dulu, definisi kuno alias ketinggalan zaman, dan otomatis kurang bisa diterapkan di zaman sekarang. Bangsa Arab jahiliyah bisa saja disebut musyrik karena mereka ‘mengoleksi’ dan memuja 360 tuhan berupa patung di Ka’bah. Mereka boleh saja dikatakan musyrik karena mempercayai kekuasaan Allah, sambil mempercayai kekuasaan puluhan dewa, hantu-hantu, setan-setan gentayangan, para jin di tiga alam (darat, laut, udara), bintang-bintang, benda-benda pusaka, dan entah apa lagi. Dan, sekarang, setelah masa jahiliyah kuno dengan segala tuhannya itu berlalu atau setidaknya terpinggirkan, apakah kemusyrikan bangsa Arab – dan kita semua – juga sudah berakhir? Apakah tak ada kemusyrikan versi baru? Apakah tidak ada berhala dalam bentuk-bentuk lain?

Allah itu transcendent Kiai saya selalu mengingatkan bahwa menyebut Allah sebagai Tuhan itu jangan melulu dikaitkan dengan “diri”-Nya (yang dalam bahasa Arab disebut dzat), karena menurut Rasulullah diri Allah itu bahkan tidak boleh dipikirkan. Kenapa? Karena – kenyataannya – diri Allah itu memang bukan sesuatu yang bisa terjangkau apalagi masuk ke dalam pikiran. Dia – menurut para filsuf – adalah sesuatu yang transcendent. Bahasa Al-Qurãnnya laisa kamitslihi syay’un. Tak ada sesuatu pun yang bisa dijadikan perumpamaan bagi diriNya! Tidak ada yang setara denganNya. (Surat Asy-Syura ayat 11). Karena itulah kita menyebutnya sebagai “Sang Mahasegala”.

Tapi, bila kita bertuhan Allah, se-mentara diriNya tidak boleh (dan memang tidak bisa) dipikirkan, lantas apanya yang boleh (dan bisa) dipikirkan? Rasulullah mengajarkan bahwa yang harus dipikirkan adalah makhluk-makhlukNya!

Ayat qauliyah Namun, memikirkan makhluk-makhluk Allah itu pun sebenarnya bukan tugas terpenting. Dalam kajian teologi, makhluk-makhluk Allah itu ‘hanya’ ayat-ayat kauniyyah, yang kedudukannya kurang penting bila dibandingkan dengan ayat-ayat qauliyyah, yaitu seluruh ayat yang ada dalam Al-Qurãn.

Anda bisa bertekun mempelajari ayat kauniyah berupa tumbuhan, sehingga anda menjadi ahli tumbuhan (botanist). Atau, anda juga bisa menjadi pengkaji alam secara luas sampai mendapat gelar naturalist. Tapi, menjadi botanis dan atau naturalis bukanlah ‘jalan tol’ untuk menjadi hamba Allah. Naturalis seperti Charles Robert Darwin – dengan teori evolusinya – bahkan hanya menciptakan kebingungan, yang berujung pada kesimpulan bahwa Tuhan itu tak pernah ada.

Pengguna bahasa Inggris punya semboyan: first thing first. Letakkan yang pertama di urutan pertama. Lakukan yang pertama pada kesempatan pertama. Dalam konteks pengkajian ayat-ayat Allah, yang menempati urutan pertama itu adalah ayat-ayat qauliyah. Maka, dialah (Al-Qurãn) yang harus dikaji pertama kali, baru kemudian ayat-ayat kau-niyah. Mengapa? Sebab, bukankah Al-Qurãn itu firman Allah? Bukankah Al-Qurãn itu ajaran Allah? Bila Al-Qurãn ajaran Allah, berarti dengan menurunkan Al-Qurãn itu Allah ingin mengajar kita, ingin menjadi guru kita. Ingin mendidik kita. Karena itulah Rasulullah pun mengatakan, “Addabanî rabbî fa-ahsana ta’dîbî”. (Tuhanku, Allah, telah mendidikku. Maka, alangkah indahnya hasil pendidikan itu bagiku).

Bila Rasulullah yang kita sebut sebagai tokoh panutan mengaku bahwa pendidiknya (gurunya) adalah Tuhannya (Allah), lantas apa keberatan kita untuk menerima Allah sebagai pendidik?

Banyak orang mungkin serempak menjawab, “Oh, tidak, tidak! Saya sama sekali tidak keberatan, bahkan gembira dan bangga menerima Allah sebagai pendidik!” Benarkah? Kalau benar, mengapa Al-Qurãn disisihkan? Mengapa kitab-kitab lain ditekuni, dibaca kapan dan di mana saja, sedangkan Al-Qurãn hanya dibaca kapan-kapan saja di tempat-tempat tertentu saja, dengan cara asal bunyi saja (tak harus dipahami)? Padahal, kata Rasulullah, keunggulan Al-Qurãn dibandingkan dengan semua buku karangan manusia adalah sama dengan keunggulan Allah dibanding semua makhlukNya! (Hadis riwayat At-Tirmidzi).

Wakil Allah di bumi Kiai saya kadang menyebut Al-Qurãn sebagai satu-satunya wakil Allah di bumi. Al-Qurãn memiliki wewenang (otoritas) Allah dalam hal menjelaskan segala kemauan (kehen-dak) Allah atas manusia. Jadi, kata kiai saya pula, “Al-Qurãn itu berisi segala kehendak Allah atas pembacanya (manusia). Maka, otomatis buku-buku lain juga berisi kehendak para penulisnya atas pembacanya!”

Bila kehendak (peraturan) Allah dalam Al-Qurãn kita jalankan, itulah bukti bahwa kita memposisikan Allah sebagai Tuhan dan diri kita sebagai hambaNya. Dan, bila kehendak para penulis buku-buku lain juga sama kita jalankan, walau kadang-kadang bertentangan dengan kehen-dak Allah, maka de facto (faktanya) para penulis buku-buku itu pun men-jadi para Tuhan ‘pedamping’ Allah. Dengan begitu, kata kiai saya lagi, “Kita, yang sering bangga disebut kutu buku, yang penuh gairah mengkaji berbagai konsep dalam buku-buku, lalu konsep-konsep itu kita terapkan dalam kehidupan politik, ekonomi, sosial, budaya, bahkan juga praktik relijius kita, apakah kita tidak musyrik?”

Tentu saja saya dan teman-teman terperangah. “Kiai, jadi itu yang Anda maksud sebagai kemusyrikan versi baru?” tanya saya. Kiai saya tertawa. “Saya lebih suka menyebut ini sebagai kemusyrikan tersembunyi. Karena itulah dia sering kali tidak terdeteksi. Sering lu-put dari perhatian. Sering tidak tersadari. Justru karena itulah dia jadi bebas merajalela di mana-mana dari masa ke masa.”

“Tapi, bukankah tadi Anda menyebut buku-buku? Kalau begitu, di zaman dan tempat yang tidak ada buku, kemusyrikan seperti itu tentu tidak tumbuh.” “Buku itu hanya istilah untuk menyebut bentuk pemikiran atau konsep. Jadi, intinya adalah pemikiran atau konsep itu. Bila buku tidak ada, apakah konsep juga tidak ada? Tetap ada. Ente bisa menerimanya melalui, guru, orangtua, teman, tetangga, atau siapa saja.”

“Jadi, intinya konsep?”

“Ya! Allah punya konsep, yang lain-lain – iblis, setan, jin, manusia – punya konsep. Penggabungkan atau pencampur-adukkan antara konsep Allah dengan konsep-konsep lain itulah kemusyrikan yang hakiki, karena dia berlaku dalam berbagai segi kehidupan!”

Lagi-lagi saya dan teman-teman terperangah.

“Tapi, kiai,” kata seorang teman, “Bukankah di pesantren ini kita juga mempelajari banyak buku?”

“Benar! Tapi buku-buku itu kita pelajari bukan untuk dijadikan tandingan Al-Qurãn. Sebagian kita pelajari sebagai ‘batu loncatan’ untuk memahami Al-Qurãn. Misalnya buku-buku pelajaran bahasa dan sastra, buku-buku sejarah, dan berbagai bidang ilmu.”

“Tapi, selain itu, kita juga kan mempelajari buku-buku filsafat dan berbagai isme, seperti komunisme, liberalisme, humanisme, dan banyak lagi,” kata saya.

“Ya, itu semua juga kita pelajari, sebagai perbandingan bagi Al-Qurãn, bukan sebagai tandingan. Dengan mengkaji buku-buku itu, dari sudut pandang Al-Qurãn, kita jadi tahu persis di mana letak keunggulan Al-Qurãn dan kelemahan-kelemahan berbagai isme itu.”

Kami terdiam beberapa menit. Lalu kata saya, “Kiai, dalam surat An-Nisa ayat 48 disebutkan bahwa dosa musyrik tidak diampuni oleh Allah. Bagaimana penjelasannya?”

“Kalau ente perhatikan penjelasan saya, maka jawabannya sudah jelas. Musyrik yang dimaksud itu tentulah bukan musyrik dalam arti mendam-pingkan Allah dengan sesutu yang lain, tapi musyrik tersebut adalah mencampur-aduk ajaran Allah dengan ajaran-ajaran yang lain.

Dan kalau itu sudah terjadi, maka gambarannya adalah tak ubahnya sebuah bola salju yang digelinding-kan dari puncak gunung. Seandainya si musyrik menyesal setengah mati dan minta ampun sambil mengucurkan air mata darah, apakah Allah akan menghentikan bola itu? Tidak! Bola itu akan terus menggelinding, dan menjadi semakin besar!”

“Saya belum mengerti,” celetuk saya.

“Allah menciptakan dua hukum. Hukum yang pertama adalah hukum alam, yang berfungsi sebagai peng-atur alam benda. Hukum yang kedua adalah agama, yang diajarkanNya melalu para rasul. Hukum alam ada-lah hukum yang dipaksakan. Tak ada satu pun makhluk yang bisa luput dari hukum ini. Sedangkan agama a-dalah hukum yang ditawarkan, yang seharusnya difungsikan untuk mengatur kehidupan sosial-budaya manusia. Allah mempersilakan manusia untuk menerima atau menolak agama. Tapi, harap diingat bahwa agama dan hukum alam itu sebenarnya tidak terpisahkan. Bahkan boleh dikatakan bahwa agama itu ibarat ‘tombol’ penggerak hukum alam. Ketika manusia menerima agama, berarti ia menekan tombol hukum alam untuk menghasilkan berbagai bentuk kebaikan. Sebaliknya, bila manusia menolak agama, maka berarti ia menekan tombol yang meng-gerakkan hukum alam untuk menghasilkan berbagai bentuk keburukan. Sikap musryrik pada hakikatnya adalah penolakan agama Allah deng-an cara mencampur aduk ajaran agama dengan berbagai konsep yang dianggap bisa memenuhi berbagai kebutuhan, atau tepatnya memenuhi berbagai hasrat, ambisi, dan nafsu.

Sekarang, coba ente-ente bayangkan! Di Indonesia ini yang mengaku beragama Islam, bertuhan Allah, katanya hampir 90 persen. Tapi, dalam berpolitik, mereka menerapkan liberalisme. Dalam ekonomi, mereka menerapkan kapitalisme. Dalam kehidupan sosial-budaya, mereka menerapkan feodalisme, konsumerisme, hedonisme, oportunisme, dan isme-isme lain; yang ujungnya menyebabkan manusia kehilangan kasih sayang terhadap sesamanya, bahkan sebaliknya menjadi serigala bagi manusia lain (homo homini lupus).

Berbagai isme itu, yang tak lain merupakan unsur-unsur kemusyrikan, kata kiai saya, tak ubahnya tombol khusus yang mengubah hukum alam menjadi ‘mesin penghancur’.

Dengan kata lain, kemusyrikan itu bisa menjelma menjadi wabah-wabah yang sangat ganas, yang terus datang bersusulan.

“Kiai, apakah yang Anda sebutkan itu ada hubungannya dengan berbagai bencana alam yang muncul bersusulan di negeri ini?” tanya saya.

“Ha ha! Pikirkan saja sendiri!” jawab kiai saya. “Tapi, tadi kan saya katakan bahwa agama dan hukum alam itu tidak bisa dipisahkan. Bila kaum musyrik, dengan berbagai isme yang mereka anut sudah menimbulkan berbagai kerusakan alam, apakah bencana-bencana yang muncul itu hendak dipisahkan dari ulah mereka? Bila hutan-hutan sudah gundul, apakah bencana banjir dan tanah longsor itu hendak dipisahkan dari ulah mereka? Dan bila bencana sudah mengepung kita di mana-mana, apakah doa-doa dan rintihan minta ampun bisa menyelamatkan kita? Tidak. Pada saat itu orang yang paling shalih pun harus ikut menerima bencana.” (S. Al-Anfal ayat 25).

“Anak-anakku,” kata kiai saya akhirnya. “Saya kadang berpikir bahwa kehancuran alam ini akan terjadi karena ulah kaum musyrik itu; yang sampai detik ini saya lihat tangan-tangan mereka belum juga berhenti menekan tombol-tombol bencana. Mereka terus melempar bola-bola dosa dari puncak gunung; dan bola-bola itu terus menggelinding dan membesar. Ingat sekali lagi! Allah tidak akan menghentikan bola-bola itu. Itulah yang dimaksud bahwa dosa musyrik tidak bisa diampun

Tidak ada komentar:

Posting Komentar