Jumat, 09 September 2011

MENGAPA SAYA TIDAK ATHEIS ?


oleh Bruce Lee Panjaitan Sinaga pada 06 Februari 2011 jam 14:26
Ya. Mengapa anda tidak atheis?

Banyak jawaban untuk pertanyaan itu. Tapi yang pertama tentu karena saya manusia yang suka berpikir rasional, dan – sebut saja – ilmiah.

Nah. Kaum atheis justru mengatakan bahwa yang percaya adanya Tuhan itu adalah orang-orang yang tidak rasional, dan tidak ilmiah.

Ha ha! Baik. Kalau begitu, kita bisa bahas apa yang dimaksud rasional, dan ilmiah itu.

Wah, tampaknya menarik tuh!

Tapi, saya kira, sebenarnya ini masalah kuno.

Memang. Bukankah soal ada-tidaknya Tuhan itu adalah masalah yang sudah ada sejak zaman dahulu?

Anda benar. Ini masalah kuno, tapi klasik juga. Masalah yang tidak pernah lapuk diterpa zaman. Masalah yang membuktikan bahwa manusia berpikir, tapi tidak pernah bisa menjawab masalah dengan pikirannya sendiri.

Maksud anda?

Banyak masalah yang dihadapi manusia dalam kehidupannya. Dan salah satu masalah besarnya adalah tentang eksistensi Tuhan. Di sini saya sering tertawa!

Kenapa?

Manusia, tepatnya sebagian manusia, suka lari ke alam pikirannya yang sempit, menjadikan daya pikirnya yang lemah dan rapuh sebagai alat perlindungan dari ‘serbuan’ Tuhan.

Serbuan Tuhan?
Ha ha! Katakan saya bercanda. Tapi sebenarnya juga tidak. Kenapa? Pikiran rasional dan ilmiah saya mengatakan bahwa eksistensi Tuhan itu ‘menyerbu’ manusia, dan manusia yang jujur ilmiah tidak pernah bisa bertahan, tak pernah mau – karena tidak mampu – mengandalkan daya pikirnya yang lemah dan rapuh itu sebagai perisai dari serbuan Tuhan itu.

Nah, nah! Anda sudah menunjukkan gejala bahwa anda termasuk salah seorang yang tak mampu menolak mitos tentang adanya Tuhan; karena daya pikir anda lemah dan rapuh.

Bukan. Bukan hanya daya pikir saya yang lemah dan rapuh, tapi semua manusia, termasuk mereka yang mengaku atau diakui paling pintar! Justru saya ingin menegaskan bahwa semakin pintar manusia, seharusnya, dia paling tahu dan sadar bahwa daya pikir manusia itu memang lemah dan rapuh, selemah dan serapuh fisiknya yang tak pernah bisa bertahan dari serbuan penyakit dan kematian.

Tadi anda menyebut serbuan Tuhan. Sekarang serbuan penyakit dan kematian. Bukankah itu berarti bawa anda sebenarnya ingin mengatakan bahwa Tuhan itu sejenis penyakit; seperti orang atheis (Karl Marx) menyebut Tuhan sebagai candu?

Ha ha! Si Karl Marx menyebut agama – khususnya Kristen –  sebagai candu. Tapi dia sendiri – dengan dialektika historis materialisnya – sebenarnya telah melahirkan sebuah agama baru. Atau, sesuai bahasanya, dia sendiri dengan sosialisme-komunismenya, telah melahirkan sejenis candu baru! Kalau begitu, apa istimewanya Karl Marx?

Setidaknya, dia telah menjadi nabi atau rasul atheisme!

Benar. Anda benar sekali. Sejak ada Karl Marx – dengan tesisnya – muncul, kaum atheis modern jadi mempunyai nabi atau rasul, dan juga ‘kitab suci’; sehingga mereka mempunyai titik tolak dan motivasi perjuangan. Itu bagus. Bagus sekali!

Di mana letak bagusnya?

Ukuran kebenaran dua kubu – theistis dan atheistis – menjadi pasti dan jelas, sehingga menjadi mudah untuk melakukan verifikasi (pembuktian) ilmiahnya!

O ya? Bagaimana?

Begini. Sebagai muslim, saya pasti berpegang pada kitab suci saya, Al-Qurãn. Bila anda atheis, anda juga harus menegaskan apa kitab suci pegangan anda! Setelah jelas pegangan kitab masing-masing, maka langkah selanjutnya adalah menguji kebenaran ilmiah keduanya.

Saya belum memaklumkan diri sebagai atheis. Tapi saya juga belum bisa menerima bahwa Tuhan itu ada.

Hm! Setahu saya, ada beberapa bentuk atheisme. Selain marxisme-komunisme, ada juga yang menamakan paham mereka sebagai humanisme, agnostikisme, dan entah apa lagi.

Nah! Saya agnostik.[1]

Okey! Lalu kitab suci anda apa?

Tidak ada. Hanya orang-orang beragama yang punya kitab suci.

Itu hanya istilah untuk menyebut buku pegangan; semacam handbook atau book of guidanc.

Bila itu yang anda maksud, saya pegang buku Madilog!

Wow! Buku Tan Malaka yang terkenal itu?

Ya.
Baik. Anda pegang Madilog. Saya pegang Al-Quran.

Oke. Kita diskusi berdasar itu.

Baik. Tapi, saya ingatkan satu hal.

Apa?
Diskusi kita ini tidak akan seimbang!

Kenapa?

Saya mengerti Madilog, tapi anda tidak mengerti Al-Qurãn. Jadi, saya sudah menang sejak langkah permulaan, ha ha!

Akh, belum tentu. Kita buktikan saja!

Ya, ya. Kita buktikan saja!
[1] Agnostic: one who holds that we know only the material world. (Orang yang menyatakan bahwa manusia hanya mengenal kenyataan material – benda). [Collins Gem Dictionary And Thesaurus, HarperCollins Publishers 1990].

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar