Kamis, 22 September 2011

BAHASA IMAN

Waktu mengikuti kursus da’wah selama sebulan ketika saya masih remaja, salah seorang instruktur kajian-kajian keislaman kami, Dr. Mahmud Ghazi dari Islamabad, Pakistan, mengisahakan pengalamannya melakukan kunjungan resmi ke Vatikan. Rombongannya bertemu dengan sekelompok pendeta (berkedudukan) tinggi. Dr. Ghazi bertanya kepada salah seorang dari mereka, “Apakah anda mengetahui sebuah kalimat, yang anda yakini seratus persen bahwa itu diucapkan oleh Yesus Kristus?” Sang pendeta tampak malu, tapi ia mengaku dengan jujur bahwa ia tidak mengetahui satu kalimat pun yang diyakininya asli berasal dari Yesus, karena bahasa yang dulu digunakan Yesus kini telah lenyap.
Sang pendeta kemudian balik bertanya, “Bagaimana dengan kaum Muslim? Apakah anda tahu kata-kata yang anda yakini seratus persen bahwa itu dulu diucapkan oleh Muhammad?”
Dr. Ghazi tersenyum (seperti saya yakin anda juga tersenyum). Ia menjawab, “Kami tidak hanya memiliki perpustakaan buku-buku, yang berisi kata-kata yang kami tahu tanpa ragu, bahwa itu semua pernah diucapkan oleh Nabi Muhammad saw. Kami bahkan memiliki ilmu tajwid, untuk mengajar para murid bagaimana mengeja setiap suku kata dan vokal secara tepat, seperti yang diucapkan Rasulullah saw.”
Memang kita layak bersyukur karena Allah telah melindungi Islam dengan cara sedemikian rupa. Tapi, saudaraku, sudahkan kita menjalankan peran kita masing-masing untuk menjaga kata-kata Allah dan rasulNya?
Rasulullah mengatakan, “Ballighû ‘anny walau ãyatan!” (Sampaikan yang kalian dapat dariku – yakni Al-Qurãn –  walau hanya satu ayat). Bagaimana kita bisa melaksanakan pesan itu, bila kita bahkan tidak memahami ayat-ayat yang diwahyukan? Bagaimana mungkin kita mengenal sebuah naskah, bila kita tidak memahami bahasa yang digunakan untuk menyusunnya? Jadi, agar kita bisa melaksanakan amanah Allah dan rasulNya yang diutus kepada kita, tentu kita wajib untuk memahami bahasa Islam.
Tugas mengajarkan Islam – yaitu dengan cara mengajarkan Al-Qurãn ayat demi ayat – terlalu penting bagi kita untuk diserahkan kepada generasi lain. Melek bahasa dan pendidikan Islam harus membanjiri masyarakat, agar kita bisa tampil sebagai umat terkemuka (pemimpin).
Al-Qurãn adalah sarana Allah untuk berkomunikasi dengan kita, agar Ia bisa membimbing kita secara langsung menapaki jalan hidupNya. Tapi, sudahkah komunikasi itu benar-benar terjadi? Bukalah salah satu buku pegangan mahasiswa tentang komunikasi. Di situ akan anda jumpai bahwa definisi komunikasi adalah bahwa “pesan terkirim, dan bahwa pesan itu dipahami sebagaimana yang dimaksud pengirim”. Bila saya mengatakan sesuatu dan anda tak dapat mendengar karena mikrofon saya rusak, atau anda bosan dan melamun, atau anda tidak mengerti bahasa yang saya gunakan, maka komunikasi tidak terjadi. Sebuah teks tentang komunikasi mengatakan, “Bila maksud saya tidak terangkut, saya ragu bahwa komunikasi telah terjadi… Bahasa mungkin sudah digunakan; kata-kata sudah dialirkan… Tapi yang terjadi itu bukanlah peristiwa komunikasi. (lihat: http://www.regent.edu/acad/schcom/p…7/def_com.html).
Hal yang sama berlaku bagi kata-kata Allah dan rasulNya. Sudahkah kita benar-benar mengijinkan Allah berkomunikasi kepada kita, bila kita tidak menerima maksud dari kata-kataNya?
Dengan hanya memahami terjemahan Al-Qurãn dalam bahasa Indonesia, bukan berarti kita telah memahami Al-Qurãn. Ada begitu banyak kepelikan dan variasi dalam setiap bahasa yang tidak bisa diterjemahkan begitu saja ke dalam bahasa lain.
Bila Rasulullah berbicara langsung kepada anda saat ini – dan tentu saja beliau akan berbicara dengan bahasa Arab (Quraisy/ قريش) – bisakah anda memahami? Atau anda akan menggunakan penerjemah? Mungkin anda ingin mengikuti setiap tahapan, mengerti setiap patah kata dari nasihat yang beliau sampaikan, tapi yang dapat anda lakukan hanyalah mematung tanpa daya, tak mampu berkomunikasi dengan beliau, tak sanggup menyerap kearifan beliau.
Mereka yang hidup lebih dulu dari kita memang telah mendapatkan kesempatan untuk bertemu dan berkomunikasi dengan beliau, dan mereka berubah (menjadi baik) karena itu.
Tak lama setelah hijrah pertama Muslim, ke Habasyah (Habsyi), Rasulullah membacakan surat An-Najm di depan Ka’bah. Ketika itu, setiap orang – yang beriman dan belum beriman – mendengarkan dengan terpesona.
Kemudian beliau pun sampai pada ayat-ayat terakhir: Adakah dari berita ini sesuatu yang membuat kalian heran? Lalu kalian tertawa dan bukan menangis? Kemudian kalian menjadi orang-orang yang mengabaikannya? (Bila tidak demikian), maka merunduk sujudlah kalian untuk mematuhi Allah, yakni mengabdilah kalian (kepadaNya).
Pada saat itu, Rasulullah saw menjatuhkan diri ke tanah, bersujud, diikuti para mu’min.
Coba anda bayangkan, apa yang terjadi setelah itu? Setiap orang kafir dalam kumpulan itu, setiap orang dari mereka, juga menjatuhkan diri untuk sujud!
Mereka begitu terharu oleh keindahan dan kehalusan Al-Qurãn, sehingga mereka tidak sanggup menolak perintah yang terkandung di dalamnya. (Setidaknya pada saat itu; yaitu ketika secara massal mereka terpengaruh keadaan. Tapi yang ingin ditekankan penulis di sini adalah bahwa mereka memahami ayat-ayat yang dibacakan).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar