Kamis, 15 September 2011

Mendalami Pengertian Qurbãn (2)


b. Hewan sebagai ‘musuh’
Masih dalam kitab Muslim, kita menemukan hadis bernomor urut 1913, yang berbunyi demikian:

Dari Rãfi’i bin Khadîj; “Saya berkata, ‘Ya Rasulullah, kita akan menghadapi musuh besok tapi kita tak punya pisau.’” Rasulullah menjawab, ‘Cepatlah cari. Tunjukkan padaku apa pun yang bisa mengalirkan darah.” Kemudian (setelah alat penyembelih ditemukan), dilakukan penyembelihan dengan membaca bismillah. Lalu (kata Rasulullah), “Makanlah!”. (Selanjutnya Rasulullah menegaskan bahwa menyembelih hewan itu harus menggunakan alat), “Bukan (dengan) gigi dan kuku!”
Ada keganjilan dalam hadis ini. Bagaimana mungkin Nabi Muhammad dan umatnya sampai tidak memiliki pisau untuk menyembelih hewan? Tapi yang menarik dalam hadis ini ada penggunaan kata musuh (اَلْعَدُوُّ) yang mengacu pada hewan sembelihan. Dengan kata lain, di sini hewan sembelihan disebut (digambarkan, diibaratkan) sebagai musuh, yakni musuh kaum beriman (Rasulullah dan umatnya).
Mengapa hewan sembelihan disebut sebagai musuh?
Jawabannya kembali kepada bahasa lambang. Dengan kata lain, hadis ini menjadi salah satu bukti tentang adanya (penggunaan) bahasa lambang dalam penyampaian ajaran. Jelasnya, di sini hewan digunakan sebagai lambang musuh, dan penyembelihan hewan adalah lambang penyembelihan (penaklukkan) musuh.
c. Musuh dalam terminologi Al-Qurãn
Dalam terminologi (peristilahan) Al-Qurãn satu-satunya musuh yang disebut sebagai musuh yang nyata adalah setan (syaithãn); dengan catatan bahwa setan yang dimaksud adalah sifat-sifatnya, karena perwujudan setan secara fisik tidak kasat mata (Al-A’rãf  ayat 27: …lã taraunahum) . Dalam satu hadis Nabi Muhammad mengatakan bahwa setan terdapat dalam diri setiap orang, termasuk dalam diri beliau sendiri, tapi beliau telah menaklukkannya. Dalam hadis yang lain, beliau mengatakan bahwa setan mengalir bersama aliran darah. Itu semua hanyalah penegasan bahwa sifat-sifat setan bisa menjadi sifat-sifat manusia!
Sifat-sifat setan secara keseluruhan adalah ‘potensi’ yang mendesak manusia berbuat buruk. Karena itulah Nabi Yusuf mengenali (mengidentifikasi) setan sebagai nafsu (surat Yusuf ayat 53).
Kemungkinan besar, identifikasi sifat-sifat setan dalam Al-Quran dan hadis (atau dalam kitab Allah terdahulu) itulah yang ‘mengilhami’ para ahli psikologi untuk membuat rumusan bahwa manusia memiliki (1) sisi baik dan (2) sisi buruk!
Sisi buruk manusia itu kadang disebut sebagai sifat-sifat hewani!
Sisi buruk manusia (yang oleh Sigmund Freud disebut sebagai id dan atau bawah sadar) secara khusus adalah musuh abadi individual – yang telah takluk dalam diri para rasul – dan secara umum adalah musuh peradaban ilahiah (peradaban yang ruhnya adalah ajaran Allah).
III. Qurbãn sebagai pendekatan ilmiah
a. Kisah Dua Anak Adam
Istilah qurbãn sebagai “pendekatan ilmiah” mungkin merupakan sesuatu yang asing bagi anda. Tapi kata qurbãn itu sendiri secara harfiah mencakup pengertian dekat, datang  mendekat, menghampiri; melakukan pendekatan (approach), dan sebagainya.
Pengertian qurbãn sebagai pendekatan ilmiah paling tidak tersirat melalui surat Al-Mã’dah ayat 27-31:
Surat Al-Ma'idah ayat 27-31.
Maka bacakan olehmu (Muhammad) kepada mereka (Bani Israil/Yahudi) informasi (tentang) dua Anak Adam, secara obyektif (= benar berdasar prinsip ilmu). Ketika itu keduanya sama melakukan usaha pendekatan (atas ilmu Allah yang ditawarkan kepada mereka). Maka, pada akhirnya, yang satu memetik hasil yang didamba dan dijanjikan Allah; sementara yang lainnya tidak mendapatkan hasil yang dikehendakinya (yang memang tidak dijanjikan Allah). (Maka selanjutnya, kegagalan itu membuatnya murka kepada saudaranya, sehingga) ia mengancam, “Aku pasti akan membunuhmu!” (Mendengar ancaman itu) ia (yang diancam) mengingatkan, “Sebenarnya (kamu tahu) Allah hanya memenuhi harapan para muttaqïn (yakni mereka yang menjalankan ajaran Allah seutuhnya). Sungguh, bila kamu menjatuhkan tangan kepadaku untuk membunuhku, aku sama sekali tidak ingin menjatuhkan tanganku untuk membunuhmu, karena aku takut kepada Allah, penata alam semesta. Dengan demikian (yakni dengan membiarkan kamu membunuh diriku), aku ingin kamu menanggung dosaku dan dosamu sendiri, sehingga kamu menjadi penghuni neraka. Itulah ganjaran bagi orang-orang zhalim.”  Tapi ia (tak menghiraukan peringatan itu) mengikuti nafsunya untuk membunuh, maka ia pun membunuh saudaranya, sehingga ia masuk dalam golongan orang-orang yang rugi (bernasib malang). Selanjutnya (setelah saudaranya mati, dan ia kebingungan), Allah memunculkan seekor burung gagak, mengorek tanah, untuk memperlihatkan bagaimana cara menguburkan mayat saudaranya. (Maka, setelah menyaksikan tindakan burung gagak itu) ia meratap, “Celaka aku! Mengapa aku begini bodoh, sehingga tidak terpikir olehku untuk berbuat seperti burung gagak ini untuk menguburkan mayat saudaraku?” Maka, selanjutnya, masuklah ia ke dalam kelompok mereka yang penuh duka-cita.

Ada kemungkinan ayat-ayat di atas itu merupakan koreksi (مصدق) atas cerita Cain dan Abel dalam Perjanjian Lama (Kejadian iv: 1-5); yang juga sering dijadikan rujukan oleh sebagian penafsir Al-Qurãn.
Bahkan mungkin dua “anak Adam” di sini hanya perumpamaan tentang dua kelompok manusia yang menerima ajaran Allah dengan cara yang berbeda. Yang satu cendrung pada prosedur yang diajarkan, yakni mengikuti Sunnah Rasul; sementara yang satu lagi cenderung mengikuti seleranya sendiri.
Di sini tak ada penyebutan nama seperti dalam Perjanjian Lama atau kisah serupa versi muslim. Juga tidak ada penyebutan bahwa kedua anak Adam itu mempersembahkan qurbãn berbentuk benda; yaitu yang satu (Qãbîl/Kain) mempersembahkan hasil pertanian, dan yang lain (Hãbîl/Abel) mempersembahkan hewan ternak (domba). Dalam tafsir Jalalain, misalnya, dikatakan bahwa qurbãn Hãbîl diterima Allah dengan cara mengirimkan api yang melahap habis persembahannya. Sementara persembahan Qãbîl dibiarkan utuh (= ditolak). Itulah ciri khas tafsir Quran versi tukang dongeng.
Dalam rangkaian ayat di atas cuma dikatakan bahwa keduanya melaksanakan qurbãn; dengan catatan bahwa yang satu tuqubbila (sukses) dan yang lain lam yutaqabbal (gagal).
Yang sukses itu adalah al-muttaqin (ujung ayat 27), sedangkan yang gagal adalah dia yang diperbudak nafsu, atau menjadikan nafsunya sebagai Tuhan, yang di sini disebut si zhãlim (ujung ayat 29). Kegagalannya menyebabkan ia bertindak membabi-buta, yaitu membunuh saudaranya, yang akhirnya malah makin mencelakannya. Membuatnya jatuh dari bodoh ke rugi (ujung ayat 30).
Yang menarik di sini adalah gambaran pada ayat 31, yaitu ketika Allah memunculkan seekor (dalam dongeng disebutkan dua ekor!) “burung gagak” yang menggali tanah, yang mengilhami si zhalim untuk mengubur mayat saudaranya. Sebelumnya, perbuatan burung gagak itu dikomentari si zhãlim dengan ratapan terhadap diri sendiri, “Sebegini lemahkah diriku, sehingga aku tidak mampu (berpikir untuk) melakukan apa yang dilakukan si gagak untuk mengubur bangkai saudaraku?”
Ada beberapa pelajaran yang bisa dipetik.
  1. Ayat-ayat ini tidak berbicara tentang qurbãn dalam konteks upacara (ritus), tapi justru tentang masalah mendasar manusia, yaitu tentang bagaimana seharusnya menjalani hidup. Hidup ini harus dijalani dengan bekal ilmu yang benar (ilmu Allah), bukan dengan mengikuti selera (nafsu) sendiri.
  2. Ilmu yang benar itu sendiri, juga harus ‘didekati’ (dikaji, dipahami) dengan cara yang benar, sesuai petunjuk Allah menurut Sunnah Rasul, bukan semau diri sendiri. Bila didekati dengan cara Allah, pasti sukses. Bila didekati dengan cara semau gue, pasti gagal.
  3. Pendekatan ilmiah (scientific approach) yang salah adalah pendekatan yang ditawarkan oleh Syetan, yang memang ingin menyimpangkan manusia dari petunjuk Allah.
  4. Dengan demikian, qurbãn yang dimaksud di sini adalah “pendekatan ilmiah”, atau scientific approach, alias metode, alias prosedur (= sunnah).
  5. Dengan kenyataan bahwa qurbãn yang dimaksud adalah “pendekatan ilmiah”, maka kita bisa memahami mengapa perintah untuk menuturkan kisah ini diberi penegasan bahwa penuturannya harus bil-haqqi. Harfiah, bil-haqqi berarti secara benar. Tapi benar yang dimaksud adalah benar dalam arti sesuai prosedur yang diajarkan Allah melalui rasulNya.
  6. Kedua Anak Adam itu adalah gambaran dua oknum atau kelompok ketika bersama-sama menghadapi tawaran untuk hidup dengan ajaran Allah, dan keduanya mengambil sikap yang berbeda. Yang satu melakukan pendekatan melalui jalur Sunnah (= metode, prosedur) Rasul, yang lain mengikuti caranya sendiri. Dengan demikian, yang satu menjadi muttaqin, sehingga perjuangannya mencapai sukses; sementara yang lain menjadi zhalim, dan perjuangannya berakhir dengan kegagalan. Inilah gambaran bil-haqqi yang dimaksud. Yaitu benar secara prosedur (prosedural).
b. Sunnah Rasul sebagai pemersatu
Allah mengajarkan wahyu-(ilmu)-Nya dengan cara memilih seseorang sebagai rasul, yang bukan hanya bertugas mengajarkan wacana (teori) tapi juga menjadikannya sebagai contoh terbaik (uswah hasanah) bagi pelaksanaan ajaranNya.
Segala perkataan dan perbuatan sang rasul (rasulullah), dan pembenaran sang rasul atas perkataan dan perbuatan orang lain, yang merupakan perwujudan wahyu Allah, itulah yang selama ini kita sebut Sunnah Rasul.
Sunnah Rasul adalah jalan yang wajib ditempuh[1] bagi siapa pun yang ingin menjadi hamba Allah. Dengan kata lain, dalam tinjauan keilmuan (metodologi ilmiah) Sunnah Rasul adalah sebuah qurbãn, yaitu pendekatan ilmiah, yang menjamin terwujudnya ajaran Allah menjadi kenyataan.
Dan bila umat Islam sedunia menyadari hal ini, pastilah semua bisa bersatu dalam ikatan ajaran Allah.

1. Sunnah sendiri, harfiah, antara lain berari jalan.
  1. reza says:
    kalo lambang berubah maka arti bisa berubah? yg ingin sy tanyakan bang, apa harus hewan primadona qurban (kambing, sapi, unta atau sejenisnya)? sehingga efeknya agak ribet bagi org yg hypertencione dan tak bisa di elakkan pedagang hewan tsb seenaknya naikin harga
  2. Ahmad Haes says:
    Di zaman Rasulullah tak ada cerita orang kena “hypertencione”, dan kebanyakan mereka mendapatkan hewan dengan cara memelihara sendiri (beternak). Hal pertama, penyakit tekanan darah tinggi (hypertension), terjadi sebagai dampak gaya hidup modern. Hal kedua, pedagang mempermainkan harga karena pengaruh ilmu ekonomi kapitalis yang mengajarkan teori suply and demand. Jadi, tak ada hubungan dengan ajaran Islam! Umat Islam hanya jadi korban (victim). Dan di situ yang salah adalah “kebo…” (kebodohan!) mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar