Kamis, 08 September 2011

Sunnah Rasul

Sunnah Rasul


Setelah kita memahami pengertian sunnah (lihat dua tulisan sebelum ini, dalam kategori “sunnah rasul”), dapat disimpulkan bahwa Sunnah Rasul hanyalah ‘cabang’ dari  Sunnatullah. Posisinya sama dengan matematika, biologi, ilmu kimia, dan lain-lain, yang satu sama lain berbeda namun merupakan cabang-cabang dari ilmu pasti.
Sunnah Rasul adalah satu-satunya prosedur untuk menjalankan agama. Karena itulah rasulullah menjadi uswatun hasanah. Menjalankan agama tanpa mengikuti sunnah rasul sama saja dengan menjalankan kereta api di luar relnya. Akibatnya, alih-alih tujuan tercapai, segalanya malah menjadi berantakan. Sunnah Rasul dengan kata lain adalah dinullah yang menjadi bentuk kesadaran Rasul. Sesuatu yang memenuhi qalbunya, yang lahir dalam bentuk segala ucapan dan perbuatannya. Sesuatu yang menjadi akhlak atau kepribadiannya. Dalam hal ini penulis setuju dengan pandangan para ahli ushul fiqih yang merinci Sunnah Rasul menjadi:
1. Sunnah qauliyah, yaitu segala ucapan Rasulullah (termasuk Nabi Muhammad) dalam berbagai bentuknya yang berkaitan dengan masalah hukum (dan juga yang tidak berkaitan dengan hukum).
2. Sunnah fi’liyah, yaitu segala perbuatan atau tindakan Rasulullah yang berkenaan dengan hukum (juga yang tidak berkenaan dengan hukum), seperti beliau berwudu, melaksanakan shalat, melaksanakan ibadah haji, dan lain-lain. Perbuatan tersebut sekaligus merupakan penjelasan terhadap perintah-perintah syariat yang diucapkan beliau atau yang tercantum di dalam Al-Quran.
3. Sunnah taqririyah, yaitu sunnah yang berkenaan dengan takrir Rasulullah terhadap perkataan atau perbuatan yang dilakukan oleh para sahabat beliau. Bentuknya bermacam-macam.  Bisa dalam bentuk diamnya Rasulullah ketika mendengar atau melihat suatu perbuatan yang dilakukan sahabat, tidak adanya larangan atau bantahan beliau terhadap perkataan atau perbuatan itu. Bisa juga dalam bentuk pujian atas perkataan atau perbuatan tersebut yang berarti legitimasi (pengesahan, pembenaran) dari baliau.[1] Dengan kata lain, Rasulullah secara pribadi mempunyai tiga fungsi pula, yaitu:
  • Sebagai narasumber, Rasulullah adalah pengajar dinullah yang pertama, yang mendiktekan dan menjelaskan ajaran allah kepada orang-orang yang mau menerima da’wahnya.
  • Sebagai penerjemah, Rasulullah menerjemahkan dinullah dengan kata dan perbuatannya.
  • Sebagai penilik dan penilai, Rasulullah memperhatikan segala ucapan dan tindak-tanduk umat sezamannya, untuk membenarkan bila benar, dan mengoreksi bila salah.
Dalam Quran ketiga fungsi tersebut disebut dengan istilah syahid, yaitu pewujud atau representative[2] dari dinullah.

[1] Ensiklopedi Islam, jilid 4, hal. 297, cetakan ketiga, PT Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1994, dengan penyesuaian redaksional dari penulis. [2] Teladan; orang yang berkata dan berbuat atas nama pihak yang menugaskannya. Yang dimaksud di sini adalah  orang yang berkata dan berbuat mewakili (mengungkapkan) ajaran Allah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar