Sabtu, 03 September 2011

IDUL FITRI = KEMBALI HIDUP SESUAI KONSEP FITRAH ( ISLAM )

Meskipun memang benar bahwa

‘Ĩdul-Fithri muncul untuk mengakhiri

puasa Ramadhan, namun ‘Ĩdul-Fithri

– dalam isyarat Al-Qurãn maupun

Hadĩts – tidaklah sama dengan

‘Ĩdul-Futhûri (kembali makan;

hariraya berbuka). Tegasnya,

makna ‘Ĩdul-Fithri sebenarnya

tidaklah sedangkal itu.

Sebelum ini sudah disinggung bahwa

‘Ĩdul-Fithri adalah kata majemuk,

gabungan dari ĩd dan al-fithru. Ĩd

berarti kembali, sedangkan al-fithru

mempunyai banyak arti.

Al-fithru secara ilmu sharaf (ash-

sharf; morfologi) adalah salah satu

mashdar (akar kata) dari fi’l-mãdhi

(kata kerja lampau) fathara, yang

mempunyai dua fi’l-mudhãri’ (kata

kerja sekarang dan yang akan

datang), yaitu yafthuru dan

yafthiru.

Bentuk-bentuk masdarnya yang

lain, sebelum diberi kata sandang al

(Ing.: the ) adalah: fathran, fithran,

futhûran, fithratan. Bentuk-bentuk

masdar ini, termasuk bentuk

jamaknya yang juga berbeda-beda,

berpengaruh pada kandungan

makna.

Fathara dengan masdar fathran dan

fithratan (= fithrah) artinya bisa (1)

membelah, (2) terbit; muncul, (3)

menciptakan; membuat;

mengadakan, dan lain-lain.

Sedangkan fathara dengan masdar

futhûran artinya (1) makan sarapan,

(2) mengakhiri puasa; makan dan

minum setelah puasa.

Sehubungan dengan inilah selama

bulan Ramadhan setiap hari kita

membaca doa buka puasa yang

berbunyi: Allahumma laka shumtu

wa bika ãmantu wa ‘ala rizqika

afthartu…(Ya Allah, saya berpuasa

atas perintahMu, dan sekarang saya

berbuka dengan rejeki dariMu…).

Kemudian, (masdar) fithrah dengan

bentuk jamak fitharun, artinya

adalah (1) ciptaan; konsepsi (2) sifat

dasar, dan (3) alami.

Dalam teori ilmu sharaf, fithrah

adalah kata benda berbentuk

mu’annats (feminin gender) alias

kata benda jenis perempuan. Jenis

lelakinya adalah fithrun, atau al-

fithru bila ditambah kata sandang al.

Dengan penambahan kata sandang

al, fithrun yang semula menempati

posisi sebagai kata benda umum,

berubah atau berpindah posisi

menjadi kata benda berpengertian

khusus, atau bahkan menjadi

sebuah istilah yang pengertiannya

menjadi amat sangat khusus.

Dan kekhususan itu – tentu –

dipastikan oleh keterikatannya

dengan konteks (kalimat, frasa;

keadaan, peristiwa; pokok bahasan)

wacana.

Di sini penulis ingin mengingatkan

bahwa istilah al-fithru dan atau al-

fithratu (= al-fithrah) kita bahas

dalam konteks Dĩnul-Islãm(i),

agama Islam, dengan kitabnya Al-

Qurãn. Dengan kata lain, di sini,

istilah al-fithru/al-fithratu terikat

dalam konteks Islam/Al-Qurãn.

Al-Qurãn memuat sedikitnya 19

ayat berisi variasi kata fathara. Hal

yang menarik, kata fithrah,

lengkapnya fithratallah(i) hanya

termuat dalam surat Ar-Rûm ayat

30.

Ini menjadi qarĩnah (indikasi;

petunjuk) bahwa makna istilah al-

fithrah, termasuk ‘Ĩdul-Fithri, terikat

oleh konteks ayat ini.

Dan, hal menarik lainnya, dalam

ayat ini istilah fithratallah selain

berarti (1) ciptaan Allah, juga

mengacu pada pengertian (2) dĩnul-

qayyĩm (agama yang sangat

kokoh), yaitu agama Islam, yang

diciptakan memiliki kecocokan

dengan sifat alami (fithrah) manusia

itu sendiri.

Dengan kata lain, manusia dan

agama Islam adalah jodoh

(pasangan alami), menurut fithrah

(konsepsi) Allah.

Perhatikanlah terjemahan ayat

tersebut!

Mantapkanlah wajah-(pandangan

hidup)-mu mengikuti agama ini

(Islam) semantap-mantapnya.

(Inilah) fithrah (konsepsi) Allah yang

dibuatNya cocok dengan fithrah

(konsep penciptaan) manusia. Tak

ada tandingan bagi ciptaan (agama)

Allah ini. Inilah aama yang sangat

kokoh. Tapi (sayang) kebanyakan

manusia tidak tahu (atau tak mau

tahu!).

Ayat ini menegaskan bahwa

manusia dan (agama) Islam adalah

(1) sama-sama ciptaan Allah, dan

(2) manusia diciptakan sebagai

pelaku (= aktor) Islam.

Karena itu jangan heran bila dalam

surat Ali ‘Imran ayat 19 ditegaskan

bahwa Islam adalah satu-satunya

agama Allah, dan dalam ayat 85 di

surat yang sama juga ditandaskan

bahwa para pencari agama selain

Islam bakal gagal memenuhi

harapan.

Dengan demikian, melalui ayat ini

saja rasanya sudah lebih dari cukup

untuk memastikan bahwa ‘Ĩdul-

Fithri, sebagai istilah yang

digunakan Rasulullah, arti hakikinya

adalah “kembali (merujuk) kepada

Islam”, bukan kembali berbuka/

makan, dan bukan berpesta pora

karena baru bebas dari

‘kerangkeng’ kewajiban berpuasa

selama sebulan!

Allah sebagai Al-Fãthir

Surat ke-35 dalam Al-Qurãn diberi

nama Fãthir (pencipta), yang

ternyata (sebutan) ini ditujukan

kepada Allah. Hal yang sangat

menarik di sini adalah:

1. Pada ayat ke-3 dari surat ini

terdapat sinonim dari fãthir, yaitu

khãliq.

2. Hal itu seperti merupakan isyarat

bahwa ayat ini mempunyai kaitan

dengan surat Ar-Rûm ayat 30, yang

di dalamnya termuat sinonim

fithratallah(i), yaitu khalqillah(i).

Kenyataan ini semakin menegaskan

bahwa Allah, Sang Mahapencipta itu

adalah pencipta semesta alam,

manusia, dan Islam.

Agaknya, dalam konteks inilah

Rasulullah mengatakan, “Setiap bayi

dilahirkan ‘alal-fithrati (berdasar

konsepsi/rencana Allah) – yakni

untuk menjadi pelaku Al-Fithrah, Al-

Islãm.

Sampai kemudian, ketika ia pandai

berbicara, maka kedua orangtuanya

(atau lingkungannya)

menjadikannya Yahudi, Nasrani,

atau Majusi.” (HR Al-Bukhari).

Sabda Rasulullah ini, lagi-lagi, adalah

indikasi nyata bahwa da’wah para

rasul (dari Adam sampai

Muhammad saw) pada dasarnya

adalah ajakan agar manusia – yang

tersasar oleh kepastian hukum

alam, dalam konteks kelahiran,

hendaknya sudi berusaha

menelusuri latar belakang

kehadiran-(eksistensi)-nya, yakni

sebagai ciptaan Allah,yang

untuknya tersedia sebuah ciptaan

Allah yang lain, yang berfungsi

sebagai ‘pakaian budaya/hidup’

baginya, yakni Islam.

Manakala ajakan itu disambut

dengan sebaik-baiknya, maka di

situlah ditemukan makna hakiki dari

‘Ĩdul-Fithri, yaitu “perjalanan/proses

rujuk diri manusia kepada belahan

jiwanya, yaitu Al-Fithrah alias Al-

Islãm.

Bila hal itu terjadi, maka kepadanya

layak diucapkan selamat!

Selamat dari jebakan lingkungan

kelahiran, karena telah kembali ke

‘pangkuan’ Allah....

5 komentar:

  1. terima kasih, saat saya dalam situasi di Lambung Kerinduan Untuk Hidup Dengan Ajaran Allah ms Rasul-Nya ... Semoga !

    BalasHapus
  2. Untuk kali ini, scr objektif ilmiah, Idhul Fitri jatuh pd hari & tanggal berapa dalam kalender Masehi ? tks

    BalasHapus
  3. Idul fitri kembali hidup berpandangan dan bersikap dg konsep dinul islam(madinah)tanpa reserve satu2nya penataan tangguh tiada tanding.

    BalasHapus
  4. Pandangan deduktif dan induktif lihat qs.annaml 16 juga lebah kepompong dsb semua alamiah ilmiah semoga khusnul khotimah di bangkit jannah walau karihal musrikun.

    BalasHapus
  5. Ahsan...semangat terus berdakwah alqiran msr

    BalasHapus