Penafsiran tersebut jelas menggambarkan bahwa al-baitul-ma’mur secara harfiah berarti: rumah yang ramai, karena banyaknya pengunjung dengan tujuan ‘beribadah’ haji, umrah, tawaf, dan lain-lain (khusus untuk Ka’bah). Pertanyaan kita adalah: “Betulkah penafsiran ini, terutama bila kita kaitkan dengan pencantuman istilah itu dalam surat Ath-Thur?”
Meramaikan masjid
Selain itu, bila bicara tentang masjid, pada umumnya orang mengutip surat At-Taubah ayat 17-18, yang memuat kata ya’muru, yang diterjemahkan menjadi “memakmurkan” atau “meramaikan”.
Dampak dari penafsiran tersebut, kita jadi sering mendengar seruan atau ajakan untuk “memakmurkan masjid”, dalam arti “meramaikan”, yaitu membuat masjid selalu dipenuhi orang yang melakukan berbagai kegiatan. Sidi Gazalba menulis dalam buku Mesjid/Pusat Ibadat Dan Kebudayaan Islam:
Dalam tujuan untuk kembali mengikat hubungan jamaah dengan masjid, pengurus harus menjalankan usaha utama yang bersifat serba tetap yaitu meramaikan masjid. Usaha ini dilakukan dengan beren-cana, secara sistematik, yang makin lama makin giat. Menurut tradisi, masjid hanya ramai dikunjungi waktu salat Jum’at. Sekarang misalnya diusahakan supaya tiap-tiap subuh ia juga ramai dikun-jungi. Lambat laun juga tiap magrib dan seterusnya. Diberikan pendidikan/pengajaran secara berkala untuk anak-anak dan orang-orang dewasa. Dibangunkan perpustakaan. Di halaman atau dalam bangunan dekat masjid dilakukan kegiatan seni. Di masjid secara berkala dilakukan musyawarah, diskusi, simposium, dan seminar. Didirikan poliklinik atau rumah sakit dekat masjid. Taman kanak-kanak dapat bertempat di pekarangan masjid. Taman atau gedung rekreasi dan gedung pertemuan umum dibangun tidak jauh dari masjid. Gedung-gedung perkumpulan, lembaga dan yayasan digeser atau dipindahkan ke dekat masjid. Kantor pramuka dan perkum-pulan olahraga didirikan dekat masjid. Koperasi dan kantor simpan pinjam digeser ke dekat masjid. Pendeknya pengurus melakukan seribu satu daya upaya untuk meramaikan masjid sesuai dengan kondisi ruang dan waktu. Kegiatan-kegiatan masjid yang serba terus yang mempunyai daya tarik dan manfaat atau efek kepada jamaah, lambat laun menanamkan ikatan jamaah dengan masjid. Ikatan ini akan merasakan pada jamaah bahwa masjid itu kepu-nyaan mereka, mereka anggota dari padanya. Melalui masjid terja-dilah kontak antara jamaah, terjaringlah saling hubung kegiatan-kegiatan hidup jamaah. Lambat laun, mungkin dalam jarak waktu satu atau lebih angkatan akan terbentuk kesatuan sosial Muslim yang diikat oleh Ukhuwah dan menyatakan diri bukan saja dalam kesamaan di bidang ibadat, tapi juga persamaan dalam kebudayaan.[2]
Gagasan Gazalba tersebut sangat menarik, dan agaknya cukup menggambarkan tentang “bagaimana keadaan masjid yang seharusnya (ideal)” yang bentuk awalnya dibina dan dikembangkan oleh Rasu-lullah serta para Sahabat. Yang paling menarik bagi penulis adalah ‘prediksi’ Gazalba bahwa melalui kegiatan “meramaikan” masjid terse-but kelak, dalam kurun waktu satu atau dua generasi, akan terbentuk “kesatuan sosial Muslim” yang diikat oleh Ukhuwah dan menyatakan diri dalam kesamaan ibadat dan persamaan kebudayaan.
Ide Gazalba memang menarik. Namun landasan tempat berpijaknya ide tersebut masih terasa kabur. Kita tentu bertanya: dari mana timbulnya ukhuwah yang mengikat kesatuan sosial Muslim itu?
Ukhuwwah alias persaudaraan, yang mendalam, tidak mungkin timbul begitu saja dengan hanya mengandalkan pemusatan berbagai kegiatan di satu tempat. Lihat saja keadaan pasar. Di situ manusia berkumpul setiap hari melakukan aneka macam kegiatan. Namun meskipun setiap hari, dari generasi ke generasi, mereka berkumpul di satu tempat, rasa persaudaraan di antara mereka tak pernah tumbuh; karena mereka saling bertemu semata-mata demi memenuhi kebutuhan masing-masing. Bahkan boleh dikatakan mereka berkumpul hanya demi mencari keuntungan sendiri-sendiri, walau untuk itu sering kali harus merugikan orang lain, secara langsung atau tidak.
Surat Ali Imran ayat 103 menegaskan bahwa persaudaraan antar sesama manusia hanya bisa terjalin bila manusia secara serempak dan kompak menjadikan hablullah (agama Allah) sebagai pegangan hidup. Hablullah itu bentuk konkretnya adalah Al-Qurãn. Al-Qurãnlah yang meredakan rasa permusuhan yang berkobar di tengah bangsa Arab, yang sebelumnnya membuat mereka terpecah-belah. Al-Qurãnlah yang membuat hati mereka menjadi luluh, sehingga tumbuhlah rasa persaudaraan di tengah mereka.
Gagasan Gazalba, meramaikan masjid dengan menggunakan “seribu satu daya upaya” bisa dibenarkan sepanjang hanya berkaitan dengan taktik. Tapi dalam kaitan dengan strategi, yaitu menjadikan agama Allah sebagai pegangan hidup, yang kelak melahirkan persau-daraan muslim, maka segala taktik harus diarahkan demi tercapainya penghayatan nilai-nilai Al-Qurãn.
Dengan demikian, perlu ditegaskan kembali bahwa masjid terutama harus disiapkan sebagai pusat pembinaan umat, yang diawali dengan kesiapan para pengurusnya untuk membimbing jamaah masjid memahami Al-Qurãn. Sekali lagi, ini adalah strateginya. Sedangkan taktiknya, bisa saja dilakukan seribu satu upaya untuk ‘menjaring’ sebanyak mungkin orang memasuki wilayah masjid. Setelah masuk, melalui ‘pintu’ mana pun (taman kanak-kanak, madrasah, pramuka, olahraga, diskusi/seminar, perpustakaan, rumah-sakit, koperasi, dan lain-lain), semua harus siap untuk menyantap hidangan utama: Al-Qurãn (yang tentu disampaikan dengan berbagai cara).
Namun harap diingat pula bahwa taktik ‘pengerahan massa’ tersebut belum tentu berhasil mencapai sasaran sebenarnya. Malah ada kemungkinan massa bisa tenggelam dalam keasyikan berbagai kegiatan yang disediakan. Cara seperti ini memang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah. Sebaliknya, yang dirintis oleh Rasulullah adalah pembinaan oknum-oknum yang akan ‘meramaikan’ masjid itu dengan penghayatan nilai-nilai Al-Qurãn. Itulah barangkali sebabnya Rasulullah baru mendirikan masjid (Quba) setelah hijrah dari Makkah ke Yatsrib (tahun ke-13 kerasulan). Selanjutnya, setelah jamaah lebih dulu terbentuk, dan masjid didirikan, segala kegiatan semacam yang disebutkan Gazalba agaknya hanyalah ‘produk sampingan’ (byproduct) belaka, yang sifatnya bahkan sangat pragmatis, sesuai situasi dan kondisi yang dihadapi umat, alias tidak mengadakan kegiatan-kegiatan yang tujuannya asal masjid ramai saja. Dalam sebuah Hadis (?) bahkan Rasulullah mengisyaratkan bahwa suatu ketika Islam hanya tinggal namanya, Al-Qurãn hanya tinggal tulisannya, masjid-masjid ramai, tapi sepi dari petunjuk. (La islama illa ismuhu, wa la qur’ana illa rasmuhu; masajiduhum ‘ami-ratun khaliyun minal-huda).
Ma’mur = civilized
Perlu diperhatikan bahwa kata ma’mur tidak hanya berarti ramai, tapi bisa juga berarti terpelihara (cultivated), atau berperadaban (civilized). Kata ma’mur yang terdapat dalam surat Ath-Thur ayat 4 bahkan cenderung mengarah pada pengertian berperadaban. Hal ini diisyaratkan oleh ayat-ayat sebelumnya:
والطور- و كتاب مسطور- فى رقّ منشور
Ayat-ayat ini agaknya merupakan penegasan tentang perlunya mengkaji sesuatu yang berkaitan dengan (bukit) Thursina, tempat Musa menerima wahyu. Wahyu adalah sesuatu yang tidak terpisahkan dari kitab, alias ketetapan (peraturan) atau hukum, yang kemudian dilestarikan dengan tulisan (masthur), dalam lembaran yang terbuka (kulit, kertas, dsb.). Dengan demikian, wahyu juga tidak terpisahkan dengan pemberadaban manusia. Selanjutnya, penyebutan al-baitul-ma’mur pada ayat berikutnya (4) memang sangat logis bila ditujukan kepada Ka’bah, karena surat Ali Imran ayat 96 menyebutkan:
إن أوّل بيت وضع للناس للذى ببكّة مباركا و هدى للعالمين
Sungguh, bangunan pertama yang dibangun bagi manusia adalah yang terdapat di Bakkah (Makkah), bangunan yang bermanfaat (mubarakan) sebagai petunjuk bagi manusia.
Penyebutan Ka’bah selalu berkaitan dengan para Nabi, khususnya Ibrahim dan Ismail, dan akhirnya Muhammad. Sebuah Hadis Qudsi menceritakan bahwa Nabi Adam suatu ketika disuruh berhaji di sana. Ini tentu juga merupakan isyarat bahwa penyebutannya sebagai al-baitul-ma’mur tidak bisa dilepaskan dengan missi para rasul. Dengan kata lain, istilah al-baitulma’mur itu tidak bisa hanya diartikah sebagai “rumah yang ramai”, dalam arti banyak manusia yang tinggal di sekitarnya dan banyak pula yang berlalu-lalang melewatinya. Pengertian yang lebih memadai adalah “bangunan yang berperadaban”. Dan ini pun mempunyai dua pengertian. Pertama, sebagai bangunan pertama di dunia, Ka’bah adalah bangunan yang dibuat dengan sentuhan peradaban, sehingga berbeda dengan bangunan-bangunan lain yang dibuat secara primitif. Bentuknya yang berupa kubus menjadi bentuk dasar semua bangunan ‘beradab’ lain. Kedua, dalam kaitannya dengan para nabi, Ka’bah adalah bangunan yang menjadi pusat kegiatan da’wah. (Ingat kisah Ibrahim dan Ismail). Dan da’wah adalah kegiatan pemberadaban. (Ingat pengakuan Muhammad: addabani rabbi fa ahsana ta’dibi)
Jadi al-baitul-ma’mur pada hakikatnya berarti “bangunan berperadaban”; dan karena peradaban sebenarnya bersumber dari wahyu, maka al-baitul-ma’mur pada dasarnya berarti “bangunan berperadaban wahyu”. Bila dikaitkan dengan Nabi Muhammad, maka pengertiannya menjadi lebih defininif, yaitu: “bangunan berperadaban Al-Qurãn “.
Ka’bah sebagai bangunan (masjid) pertama ditegaskan ayat di atas (Ali Imran ayat 96) mempunyai nilai mubarakan, berkah, alias berkembang, tumbuh, bertambah. Selain itu, ia juga berstatus hudan. Kita biasa menerjemahkan hudan sebagai petunjuk, yang pengertiannya tentu sangat umum. Secara spesifik, terutama dalam kaitannya dengan Ka’bah, hudan bisa jadi berarti pola atau model, dalam arti thing to be copied, sesuatu yang disediakan untuk dicontoh.
Secara fisik material bangunan Ka’bah tidak berkembang, dan tidak boleh dikembangkan, karena ia merupakan contoh pertama, yang sekaligus menjadi lambang persatuan umat. Namun konsep bangunannya, justru harus dikembangkan, disebarluaskan, di-copy sebanyak yang dibutuhkan. Jelasnya, bila Ka’bah adalah bangunan masjid pertama, maka masjid-masjid lain, yang secara prinsip sama dengannya, harus dibangun di mana saja, sesuai kebutuhan umat Islam, dan karena itu setiap masjid harus menjadi ‘kiblat’ bagi umat di sekitarnya.
Jadi, masjid-masjid yang dibangun setelah Ka’bah adalah ‘tiruan’ dari Ka’bah, khususnya dalam ‘sentuhan peradaban’-nya. Jelasnya, setiap masjid harus dibangun, dihidupkan, sebagai al-baitul-ma’mur, yaitu “bangunan yang berperadaban wahyu/ Al-Qurãn “. Menjadi bangunan yang di dalamnya manusia dididik untuk beradab (beretika, berbudaya) wahyu.
[1] Al-Qur’an Dan Terjemahnya, edisi 1990, hal. 865. [2] Drs. Sidi Gazalba, Mesjid/Pusat Ibadat Dan Kebudayaan Islam, hal. 338-339, cetakan ke-III, Pustaka Antara, Jakarta 1975.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar