Kamis, 08 September 2011

Masjid = Baitul-Ma’mur (?)

Masjid Biru, Turki.
Istilah al-baitul-ma’mur terdapat dalam surat  Ath-Thur ayat       4. Menurut tafsir Departeman Agama, istilah tersebut merupakan  sebutan bagi Ka’bah, “karena Ka’bah selalu  mendapat kunjungan untuk Haji, ‘Umrah, Tawaf, dan lain-lain, atau  se­buah rumah di langit yang ketujuh yang saban hari dimasuki oleh 70.000 malaikat.”[1]
Penafsiran  tersebut jelas menggambarkan bahwa  al-bai­tul-ma’mur secara harfiah berarti: rumah yang ramai,  karena banyaknya  pengunjung dengan tujuan ‘beribadah’ haji,  umrah, tawaf,  dan lain-lain (khusus untuk Ka’bah). Pertanyaan  kita adalah: “Betulkah penafsiran ini, terutama bila kita  kaitkan dengan pencantuman istilah itu dalam surat Ath-Thur?”

Meramaikan masjid
Selain  itu, bila bicara tentang masjid,  pada  umumnya orang  mengutip surat At-Taubah ayat 17-18, yang memuat  kata ya’muru,   yang  diterjemahkan  menjadi  “memakmurkan” atau “meramaikan”.
Dampak dari penafsiran tersebut, kita jadi sering  men­dengar  seruan atau ajakan untuk “memakmurkan masjid”,  dalam arti “meramaikan”, yaitu membuat masjid selalu dipenuhi orang yang  melakukan berbagai kegiatan. Sidi Gazalba menulis  dalam buku Mesjid/Pusat Ibadat Dan Kebudayaan Islam:
Dalam tujuan untuk kembali mengikat hubungan jamaah  de­ngan masjid, pengurus harus menjalankan usaha utama yang bersifat serba tetap yaitu  meramaikan masjid. Usaha ini dilakukan dengan beren-cana, secara sistematik, yang  ma­kin lama makin giat. Menurut tradisi, masjid hanya ramai dikunjungi waktu salat Jum’at. Sekarang  misalnya diusa­hakan  supaya tiap-tiap subuh ia  juga ramai dikun-jungi. Lambat  laun juga tiap magrib dan seterusnya.  Diberikan pendidikan/pengajaran secara berkala untuk anak-anak dan orang-orang dewasa. Dibangunkan perpustakaan. Di halaman atau dalam bangunan dekat masjid dilakukan kegiatan  se­ni. Di masjid secara berkala dilakukan  musyawarah, dis­kusi, simposium, dan seminar. Didirikan poliklinik  atau rumah  sakit dekat masjid. Taman kanak-kanak dapat  ber­tempat di pekarangan masjid. Taman atau gedung  rekreasi dan gedung pertemuan umum dibangun tidak jauh dari  mas­jid. Gedung-gedung perkumpulan, lembaga dan yayasan  di­geser  atau dipindahkan ke dekat masjid. Kantor  pramuka dan perkum-pulan  olahraga didirikan dekat masjid.  Koperasi  dan kantor simpan pinjam digeser ke dekat  masjid. Pendeknya pengurus melakukan seribu satu daya upaya  un­tuk  meramaikan masjid sesuai dengan kondisi  ruang  dan waktu.  Kegiatan-kegiatan masjid yang serba  terus  yang mempunyai daya tarik dan manfaat atau efek kepada  jama­ah, lambat laun menanamkan ikatan jamaah dengan  masjid. Ikatan  ini akan merasakan pada jamaah bahwa masjid  itu kepu-nyaan mereka, mereka anggota dari padanya.  Melalui masjid terja-dilah kontak antara jamaah, terjaringlah sa­ling  hubung kegiatan-kegiatan hidup jamaah. Lambat  la­un,  mungkin dalam jarak waktu satu atau lebih  angkatan akan  terbentuk kesatuan sosial Muslim yang  diikat oleh Ukhuwah dan menyatakan diri bukan saja dalam kesamaan di bidang ibadat, tapi juga persamaan dalam kebudayaan.[2]
Gagasan  Gazalba tersebut sangat menarik,  dan  agaknya cukup  menggambarkan tentang “bagaimana keadaan  masjid  yang seharusnya (ideal)” yang bentuk awalnya dibina dan dikembang­kan  oleh Rasu-lullah serta para Sahabat. Yang paling  menarik bagi penulis adalah ‘prediksi’ Gazalba bahwa melalui kegiatan “meramaikan”  masjid terse-but kelak, dalam kurun  waktu  satu atau  dua generasi, akan terbentuk “kesatuan  sosial  Muslim” yang  diikat oleh Ukhuwah dan menyatakan diri dalam  kesamaan ibadat dan persamaan kebudayaan.
Ide Gazalba memang menarik.  Namun landasan tempat ber­pijaknya  ide tersebut masih terasa kabur. Kita tentu  berta­nya:  dari  mana  timbulnya ukhuwah  yang  mengikat  kesatuan sosial Muslim itu?
Ukhuwwah alias persaudaraan, yang  mendalam, tidak  mungkin timbul begitu saja dengan  hanya  mengandalkan pemusatan berbagai kegiatan di satu tempat. Lihat saja keadaan pasar. Di situ manusia berkumpul setiap hari melakukan  a­neka  macam kegiatan. Namun meskipun setiap hari, dari  generasi ke generasi, mereka berkumpul di satu tempat, rasa persaudaraan  di antara mereka tak pernah tumbuh; karena  mereka saling  bertemu semata-mata demi memenuhi  kebutuhan  masing­-masing.  Bahkan boleh dikatakan mereka berkumpul  hanya demi mencari  keuntungan  sendiri-sendiri, walau untuk itu  sering kali harus merugikan orang lain, secara langsung atau tidak.
Surat Ali Imran ayat 103 menegaskan bahwa  persaudaraan antar sesama manusia hanya bisa terjalin bila manusia  secara serempak dan kompak menjadikan hablullah (agama Allah)  seba­gai  pegangan hidup. Hablullah itu bentuk  konkretnya  adalah Al-Qurãn. Al-Qurãnlah yang meredakan rasa permusuhan yang  berkobar di tengah bangsa Arab, yang  sebelumnnya membuat mereka terpecah-belah. Al-Qurãnlah yang membuat hati mereka menjadi luluh, sehingga tumbuhlah rasa persaudaraan di tengah mereka.
Gagasan  Gazalba, meramaikan masjid dengan  menggunakan “seribu satu daya upaya” bisa dibenarkan sepanjang hanya ber­kaitan dengan taktik. Tapi dalam kaitan dengan strategi, yai­tu menjadikan agama Allah sebagai pegangan hidup, yang  kelak melahirkan  persau-daraan  muslim,  maka segala  taktik  harus diarahkan demi tercapainya penghayatan nilai-nilai Al-Qurãn.
Dengan demikian, perlu ditegaskan kembali bahwa  masjid terutama  harus disiapkan sebagai pusat pembinaan umat, yang diawali  dengan  kesiapan para pengurusnya  untuk  membimbing jamaah masjid memahami Al-Qurãn. Sekali lagi, ini adalah strate­ginya.  Sedangkan taktiknya, bisa saja dilakukan seribu satu upaya  untuk ‘menjaring’ sebanyak mungkin orang memasuki  wi­layah masjid. Setelah masuk, melalui ‘pintu’ mana pun  (taman kanak-kanak,  madrasah, pramuka,  olahraga,  diskusi/seminar, perpustakaan,  rumah-sakit, koperasi, dan  lain-lain),  semua harus siap untuk menyantap hidangan utama: Al-Qurãn (yang  tentu disampaikan dengan berbagai cara).
Namun harap diingat pula bahwa taktik ‘pengerahan  mas­sa’  tersebut belum tentu berhasil mencapai sasaran  sebenar­nya. Malah ada kemungkinan massa bisa tenggelam dalam keasyi­kan  berbagai kegiatan yang disediakan. Cara seperti ini memang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah. Sebaliknya, yang dirintis  oleh Rasulullah adalah pembinaan  oknum-oknum  yang akan  ‘meramaikan’ masjid itu dengan penghayatan  nilai-nilai Al-Qurãn. Itulah barangkali sebabnya Rasulullah baru  mendirikan masjid  (Quba) setelah hijrah dari Makkah ke  Yatsrib  (tahun ke-13 kerasulan). Selanjutnya, setelah jamaah lebih dulu ter­bentuk,  dan masjid didirikan, segala kegiatan  semacam  yang disebutkan  Gazalba agaknya hanyalah ‘produk sampingan’  (by­product)  belaka, yang sifatnya bahkan sangat pragmatis, sesuai situasi dan kondisi yang dihadapi umat,  alias tidak mengadakan kegiatan-kegiatan yang tujuannya asal masjid  ramai saja. Dalam sebuah Hadis (?) bahkan Rasulullah mengisyaratkan bahwa  suatu ketika Islam hanya tinggal namanya, Al-Qurãn  hanya tinggal  tulisannya, masjid-masjid ramai, tapi sepi dari petunjuk.  (La islama illa ismuhu, wa la qur’ana illa  rasmuhu; masajiduhum ‘ami-ratun khaliyun minal-huda).
Ma’mur = civilized
Perlu diperhatikan bahwa kata ma’mur tidak hanya berar­ti  ramai, tapi bisa juga berarti  terpelihara  (cultivated), atau  berperadaban  (civilized). Kata  ma’mur  yang  terdapat dalam  surat Ath-Thur ayat 4 bahkan cenderung  mengarah  pada pengertian berperadaban.  Hal ini diisyaratkan oleh ayat-ayat sebelumnya:
والطور- و كتاب مسطور- فى رقّ منشور
Ayat-ayat ini agaknya merupakan penegasan tentang  per­lunya mengkaji sesuatu yang berkaitan dengan (bukit)  Thursi­na, tempat Musa menerima wahyu. Wahyu adalah sesuatu yang ti­dak terpisahkan dari kitab, alias ketetapan (peraturan)  atau hukum,  yang kemudian dilestarikan dengan tulisan  (masthur), dalam lembaran yang terbuka (kulit, kertas, dsb.). Dengan de­mikian, wahyu juga tidak terpisahkan dengan pemberadaban ma­nusia. Selanjutnya, penyebutan al-baitul-ma’mur pada ayat be­rikutnya (4)  memang sangat logis bila ditujukan kepada  Ka’­bah, karena surat Ali Imran ayat 96 menyebutkan:
إن أوّل بيت وضع للناس للذى ببكّة مباركا و هدى للعالمين
Sungguh, bangunan  pertama  yang dibangun  bagi manusia adalah yang terdapat di  Bakkah  (Mak­kah),  bangunan yang bermanfaat (mubarakan) sebagai  petunjuk bagi manusia.

Penyebutan  Ka’bah selalu berkaitan dengan  para  Nabi, khususnya  Ibrahim dan Ismail, dan akhirnya Muhammad.  Sebuah Hadis Qudsi menceritakan bahwa Nabi Adam suatu ketika disuruh berhaji  di sana. Ini tentu juga merupakan isyarat bahwa  pe­nyebutannya  sebagai al-baitul-ma’mur tidak  bisa  dilepaskan dengan missi para rasul.  Dengan kata lain, istilah al-baitul­ma’mur itu  tidak bisa hanya diartikah sebagai  “rumah  yang ramai”, dalam arti banyak manusia yang tinggal di  sekitarnya dan  banyak pula yang berlalu-lalang melewatinya.  Pengertian yang  lebih memadai adalah “bangunan yang berperadaban”.  Dan ini  pun mempunyai dua pengertian. Pertama, sebagai  bangunan pertama  di dunia, Ka’bah adalah bangunan yang dibuat  dengan sentuhan peradaban, sehingga berbeda dengan bangunan-bangunan lain yang dibuat secara primitif. Bentuknya yang berupa kubus menjadi  bentuk dasar semua bangunan ‘beradab’  lain.  Kedua, dalam kaitannya dengan para nabi, Ka’bah adalah bangunan yang menjadi  pusat  kegiatan  da’wah. (Ingat  kisah  Ibrahim  dan Ismail).  Dan  da’wah adalah  kegiatan  pemberadaban.  (Ingat pengakuan Muhammad: addabani rabbi fa ahsana ta’dibi)
Jadi al-baitul-ma’mur pada hakikatnya berarti “bangunan berperadaban”; dan karena peradaban sebenarnya bersumber dari wahyu, maka al-baitul-ma’mur pada dasarnya berarti  “bangunan berperadaban wahyu”. Bila dikaitkan dengan Nabi Muhammad, ma­ka  pengertiannya menjadi lebih defininif,  yaitu:  “bangunan berperadaban Al-Qurãn “.
Ka’bah  sebagai  bangunan (masjid)  pertama  ditegaskan ayat  di atas (Ali Imran ayat 96) mempunyai nilai  mubarakan, berkah,  alias berkembang, tumbuh, bertambah. Selain itu,  ia juga berstatus hudan. Kita biasa menerjemahkan hudan sebagai petunjuk, yang pengertiannya tentu sangat umum. Secara spesi­fik, terutama dalam kaitannya dengan Ka’bah, hudan bisa  jadi berarti pola atau model, dalam arti thing to be copied, sesu­atu yang disediakan untuk dicontoh.
Secara fisik material bangunan Ka’bah tidak berkembang, dan  tidak  boleh dikembangkan, karena  ia  merupakan  contoh pertama, yang sekaligus menjadi lambang persatuan umat. Namun  konsep  bangunannya, justru harus dikembangkan,  disebarluas­kan, di-copy sebanyak yang dibutuhkan. Jelasnya, bila  Ka’bah adalah bangunan masjid pertama, maka masjid-masjid lain, yang secara  prinsip sama dengannya, harus dibangun di mana  saja, sesuai  kebutuhan  umat Islam, dan karena itu  setiap  masjid harus menjadi ‘kiblat’ bagi umat di sekitarnya.
Jadi, masjid-masjid yang dibangun setelah Ka’bah adalah ‘tiruan’  dari Ka’bah, khususnya dalam ‘sentuhan  peradaban’­-nya. Jelasnya, setiap masjid harus dibangun, dihidupkan,  se­bagai  al-baitul-ma’mur,  yaitu “bangunan  yang  berperadaban wahyu/ Al-Qurãn “. Menjadi bangunan yang di dalamnya manusia didi­dik untuk beradab (beretika, berbudaya) wahyu.

[1] Al-Qur’an Dan Terjemahnya, edisi 1990, hal. 865. [2] Drs. Sidi Gazalba, Mesjid/Pusat Ibadat Dan Kebudayaan Islam, hal. 338-339, cetakan ke-III, Pustaka Antara, Jakarta 1975.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar