Jumat, 09 September 2011

HADIST JIBRIL KONSEP DASAR DINUL ISLAM

Hadis Jibril, Konsep Dasar Dinul-Islam

Surat Al-Qalam/68, ayat 51-52: Hampir saja mereka 'menjatuhkan' kamu (Muhammad) dengan pandangan (penilaian) mereka, (yaitu) ketika mereka mendengar (da'wah Al-Quran) lalu mereka mengatakan, "Dia ini (Muhammad) benar-benar gila!". Padahal dia (Al-Quran) itu adalah peringatan bagi semua manusia.

PEMERINTAHAN RASULULLAH 5

Ada sebuah Hadis – yang dikenal sebagai Hadis Jibril, yang memberikan gambaran tersirat tentang Islam sebagai organisasi, namun telah disalahpahami, bahkan kemudian disalahgunakan, sehingga hakikat dari pesan Hadis itu menjadi kabur.
Dalam Shahih Muslim, disebutkan bahwa Hadis tersebut dipaparkan oleh Abdullah bin Umar berdasar penuturan yang didengar dari ayahnya sendiri, Umar bin Khatthab. Intinya adalah sebagai berikut:

Umar bin Khatthab bercerita: Pada suatu hari, ketika kami sedang duduk di dekat Rasulullah saw, tiba-tiba muncul seorang lelaki berpakaian sangat putih dan berambut sangat hitam. Tidak terlihat padanya tanda-tanda  perjalanan jauh (yang menegaskan ia orang asing), namun seorang pun di antara kami tidak ada yang mengenalnya; sehingga (tanpa kami sadari) ia sudah duduk di hadapan Nabi saw. Lalu ia pertemukan lututnya dengan lutut Nabi, kemudian ia letakkan kedua tangannya di atas paha Nabi. Selanjutnya ia pun berkata, “Hai Muhammad, terang-kan padaku tentang Al-Islãm.”
Rasulullah saw menjawab: (1) “Al-Islãm adalah anda bersyahadat (menyatakan bahwa) Allah adalah satu-satunya Tuhan, dan Muhammad adalah rasul Allah; anda melaksanakan shalat; anda berzakat; anda melakukan shaum Ramadhan; dan anda  berhaji ke baitullah bila sudah layak melakukan perjalanan ke sana.”
Lelaki itu berkomentar: Anda benar!
Kata Umar (kepada anaknya): Maka kami pun dibuat terkejut olehnya; (karena) dia yang bertanya, dia pula yang membenarkan (jawaban Nabi).
Kata lelaki itu kemudian: Selanjutnya, terangkan padaku tentang Al-ïmãn.
Jawab Nabi: (2) Al-ïmãn adalah anda meyakini (ajaran) Allah, yakni yang disampaikan oleh malaikat-malaikatnya, berupa kitab-kitabnya, yang diterima para rasulnya, sehingga (anda) sampai pada suatu tahap akhir, yakni anda hidup berdasar ketentuan (nilai) baik dan buruk menurutnya (Allah).
Lelaki itu berkomentar: Anda benar. Katanya lagi: Selanjutnya, terangkan padaku tentang Al-Ihsãn.
Kata Nabi: (3) Al-Ihsãn adalah anda mengabdi Allah (dengan sikap) seolah-olah anda melihatNya. Bila anda tidak bisa bersikap demikian, maka (sadarilah bahwa) Dia melihat anda.
Kata lelaki itu kemudian: Selanjutnya, terangkan padaku tentang As-Sã’ah.
Jawab Nabi: (4) Orang yang ditanya tentang itu (yakni Nabi) tidak lebih tahu dari yang bertanya (yakni lelaki itu).
Kata lelaki itu kemudian: Kalau begitu, terangkan saja padaku tentang tanda-tandanya.
Jawab nabi: (5) (Tanda-tandanya antara lain adalah) seorang wanita budak (pelayan) melahirkan anak tuannya, dan anda lihat orang-orang hina papa, para penggembala berlomba-lomba membangun gedung.
Kata Umar (kepada anaknya): Kemudian lelaki itu pergi. Aku terdiam sesaat, sampai kemudian Nabi bertanya padaku, “Hai Umar, tahukah kamu siapa yang bertanya itu?”
Kataku (Umar), “Allah dan rasulnya lebih tahu.”
Kata Nabi,  “Sebenarnya dia itu adalah Jibril. Dia datang kepada kalian untuk mengajarkan tentang urusan (pokok) agama kalian.”Demikianlah isi Hadis Jibril itu. Perkataan Nabi yang terakhir sengaja digarisbawahi karena merupakan kesimpulan; sedangkan jawaban-jawaban Nabi sengaja diberi nomor (1-5), karena itulah agaknya yang dikatakan Nabi sebagai amra dïnakum (أمر دينكم). Tentu yang dimaksud Nabi sebagai dïnakum (agama kalian) adalah dïnul-islãm. Dengan demikian, Hadis Jibril ini memberi gambaran tentang pokok-pokok permasalahan dïnul-islãm sebagai berikut.

Dïnul-islãm (agama Islam) itu terdiri dari:
- Al-Islãm(u)
- Al-Imãn(u)
- Al-Ihsãn(u)
- As-Sã’ah, dan
- Amãratus-Sã’ah


Dalam versi lain, dengan penutur Abu Hurairah, Jibril bertanya mulai dari Al-ïmãn, dan Nabi menjawab dengan kalimat agak berbeda, yaitu: Al-ïmãn anda meyakini ajaran Allah, yang disampaikan malaikatnya, yakni kitabnya beserta perwujudan nyatanya, yakni rasulnya, dan selanjutnya anda meyakini al-ba’tsul-âkhir.
Sedangkan Al-Islãm diuraikan Nabi sebagai anda (hanya) mengabdi Allah, dalam arti tidak mengadakan tandingan apa pun baginya, melaksanakan shalat maktubah (lima waktu), membayar zakat yang diwajibkan, dan melakukan shaum Ramadhan. (Tidak disebut tentang haji).
Al-Ihsãn adalah anda mengabdi Allah seolah-olah melihatnya, namun bila tidak dapat melihatnya maka (sadarilah) bahwa Dia melihat anda.
Ketika ditanya tentang As-Sã’ah Nabi mengatakan, “Orang yang ditanya tentang hal itu tidak lebih tahu dari yang bertanya. Tapi akan kusebutkan tanda-tandanya; (yaitu) bila seorang budak wanita melahirkan anak tuannya, maka itulah salah satu tandanya; dan bila orang miskin sudah menjadi pemimpin, maka itulah salah satu tandanya; dan bila penggembala kambing berlomba-lomba membangun gedung, maka itulah salah satu tandanya… Di antara yang lima  (Abu Hurairah cuma menyebut tiga) itu, hanya Allah yang tahu.” Kemudian Nabi membaca ayat: “Ilmu tentang As-Sã’ah hanya milik Allah. Dialah yang menurunkan hujan, yang mengetahui isi kandungan (perempuan). Sedangkan manusia tidak mengetahui apa yang akan terjadi besok, tidak tahu di belahan bumi mana dia akan mati. Hanya Allah yang menegetahui segala sesuatu dengan seterang-terangnya.” Lalu kata Abu Hurairah, “Kemudian lelaki itu pergi. Maka kata Rasulullah saw, ‘Suruh lelaki itu kembali kepadaku.’ Maka mereka berusaha memanggilnya kembali, tapi tak seorang pun melihatnya. Maka kata Rasulullah saw, ‘Dia adalah Jibril, yang datang untuk mengajar manusia tentang agama mereka.’

Islam sebagai organisasi
Walaupun kita menerjemahkan Dïnul-Islãm sebagai Agama Islam (untuk memudahkan), kita tidak memahami Dïnul-Islãm sebagai kumpulan ritus –  sebagaimana dipaparkan dalam buku -buku fiqih –  tapi sebagai sebuah sistem untuk menata (mengatur) kehidupan manusia.
Perhatikan kembali urian di atas! Dalam Dïnul-Islãm ada al-islãm, yang di dalamnya terkandung lima unsur, yaitu syahadat, shalat, zakat, shaum Ramadhan, dan haji. Yang menarik, pada kesempatan lain, Nabi menyebutkan lagi Al-Islãm dengan kelima unsurnya itu dalam susunan kalimat yang dimulai dengan kata buniya (dibangun; dibentuk – lihat kembali artikel sebelum ini), sehingga bisa disimpulkan bahwa Al-Islãm itu adalah (ibarat) sebuah bun-yãn atau binã’an.
Bila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, bun-yãn atau binã’an berarti bangunan. Tapi bila kita bawa ke dalam bahasa Inggris artinya adalah structure (struktur). Lebih lanjut, bila istilah struktur kita bawa ke dalam konteks kebudayaan, maka struktur itu terbagi dua: (1) supra struktur, dan (2) infra struktur.
Struktur manakah yang dimaksud oleh Nabi ketika beliau menyebut Al-Islãm – dalam konteks Hadis Jibril itu – sebagai bangunan? Jelas, redaksinya menegaskan, bahwa bangunan yang dimaksud bukanlah infra struktur.
Sepanjang sejarah perjuangannya, sekitar 23 tahun, Nabi baru membangun sebuah infra struktur pada tahun ke-13, dalam bentuk masjid yang sangat sederhana di Yatsrib, tepatnya di dusun bernama Quba, pada hari kesepuluh Hijrah. Sekitar tujuh bulan kemudian, didirikan pula sebuah masjid  dan tempat tinggal keluarga Nabi di sebuah dusun lain, yang selanjutnya menjadi pusat kota Madinah. Selebihnya, yang dibangun oleh Nabi sepanjang hidupnya adalah sebuah supra struktur, yang di sini dibatasi dalam pengertian jama’ah, dengan catatan bahwa jama’ah ini adalah komunitas (Ing.: community) khusus para mu’min. Sedangkan masyarakat Madinah yang agak heterogen disebut Nabi dalam Piagam Madinah sebagai ummah (umat).
Perhatikanlah redaksi Nabi, dalam Hadis Jibril, ketika menjelaskan Al-Islãm, Al-Imãn, dan seterusnya, yang secara keseluruhan mengunakan kata kerja berisi kata ganti anta (anda). Ini adalah isyarat bahwa dalam pembicaraannya Nabi memberi penekanan pada faktor manusia, yaitu manusia yang ber-Al-Islãm, ber-Al-Imãn, dst.
Jelasnya, Al-Islãm itu baru bisa muncul bila ada manusia yang bersyahadat, manusia yang shalat, dst. Dengan kata lain, Al-Islãm dalam konteks hadis itu, adalah sebuah “kumpulan (jama’ah) manusia”.
Tentu saja mereka berkumpul bukan asal berkumpul, tapi berkumpul secara tertata, tersusun, alias terstruktur, bahkan juga terikat dalam suatu “sistem komando”. Jangankan berkumpul dalam jumlah banyak, bahkan dalam jumlah kecil pun harus dipastikan strukturnya, seperti kata Nabi dalam sebuah hadis bahwa dalam ‘rombongan’ yang terdiri dari dua orang pun harus dipastikan siapa yang menjadi pemimpin.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kelima unsur dalam Al-Islãm itu disebutkan bukan dalam konteks ritual, tapi dalam konteks organisasi. Alhasil, pengetian kelima unsur di dalamnya adalah:

1.    Syahadat: bay’at (sumpah setia, yang dilakukan secara formal) terhadap pemimpin, yakni Allah, melalui rasulnya.
2.    Shalat (= ad-du’a, harapan; cita-cita; obsesi) pemantapan tekad atau cita-cita dalam diri setiap anggota (mu’min) untuk menegakkan ajaran Allah (Al-Qurãn), dengan melakukan proses pembatinan (internalisasi) yang terus-menerus, melalui pelaksanaan shalat ritual, terutama yang dilakukan secara bersama-sama (berjama’ah). Shalat jama’ah ini bahkan merupakan lambang dari shaff (barisan) yang disebut bun-yãnun marshûsh itu.
3.    Zakat: penyerahan sebagian harta untuk kepentingan organisasi (jama’ah), minimal 2½ persen kekayaan pribadi, dan maksimal tak terbatas.
4.    Shaum Ramadhan: sarana pembinaan ketahanan fisik dan mental setiap anggota jama’ah, untuk membuktikan bahwa mereka benar-benar hanya bertuhan Allah, sehingga mereka siap menghadapi segala godaan dan kesulitan dalam perjuangan.
5.    Haji: Sarana pembinaan hubungan internasional antar umat Islam  yang tinggal di berbagai belahan bumi .

Iman sebagai dasar
Pembahasan berikutnya dalam Hadis Jibril adalah Al-Imãn, yang juga harus diingat bahwa istilah ini disebut dalam konteks organisasi. Melalui hadis inilah kita bisa melihat perbedaan makna antara islãm dan imãn secara tegas (definitif), seperti yang diisyaratkan Allah dalam surat Al-Hujurat ayat 14-15:
قالت الأعراب آمنّا قل لم تؤمنوا ولكن قولوا أسلمنا ولمّا يدخل الإيمان فى قلوبكم وإن تطيعوا الله ورسوله لا يلتكم مِن أعمالكم شيئا إنّ الله غفور رحيم – إنّما المؤمنون الذين آمنوا بالله ورسوله ثمّ لم يرتابوا وجاهدوا بأموالهم وأنفسهم فى سبل الله أولئك هم الصادقون

Orang-orang Arab (Makkah, pada masa Futuh Makkah) menyatakan (kepada Rasulullah), “Kami beriman!”. (Kata Allah kepada rasulnya) “Tegaskan: mereka belum beriman! Sebaliknya, suruh mereka untuk mengatakan: ‘kami menyerah (takluk)’; karena iman itu belum masuk ke dalam jiwa kalian. Namun bila kalian (dalam keadaan demikian itu) mematuhi Allah dengan mengikuti perintah dan keteladanan rasulnya, maka segala amal kalian tidak akan disepelekan; karena Allah (melalui ajaranNya) maha penutup (kejahatan masa lalu kalian) dan maha pewujud kehidupan kasih sayang.”
Sebenarnya para mu’min adalah orang-orang yang beriman (hidup) dengan ajaran Allah dengan cara meneladani rasulnya, sehingga dalam diri mereka tak ada keraguan lagi, dan selanjutnya mereka berjihad mempertaruhkan harta dan nyawa dalam rangka menegakkan ajaran Allah. Mereka itulah yang benar-benar beriman.
(BERSAMBUNG)




Hadis Jibril, Konsep Dasar Dinul islam ( 2 )

Surat Al-Fatihah

Harap dicatat bahwa Surat Al-Hujurãt (‘kamar-kamar’) adalah surat Madaniah; sebuah surat yang mengisyaratkan bahwa wilayah (negara) Madinah – ibarat rumah – dibagi menjadi sejumlah ‘kamar’, yakni lingkungan internal khusus, yang secara ‘alami’ terbentuk mengikuti keanekaragaman tradisi masyarakat, dan keberadaannya disahkan Rasulullah melalui Piagam Madinah. Secara garis besar, Madinah terbagi menjadi tiga ‘kamar’, yang masing-masing ditempati oleh (1) kaum Muhajirin dan Anshar, (2) kaum Musyrik, dan (3) kaum Yahudi. Begitulah keadaan de facto masyarakat Madinah, yang selanjutnya – de jure – keadaan mereka bahkan diperinci dan disahkan secara hukum melalui Piagam Madinah, yang membagi ‘kamar-kamar’ itu menjadi bagian-bagian yang lebih kecil lagi berdasar suku-suku yang menjadi warga negara.
Dalam konteks Piagam Madinah, kaum Muhajirin (yang di dalamnya ada Rasulullah) dan Anshar adalah para mu’min. Selainnya, yakni kaum Musyrik dan Yahudi, adalah para muslim, dalam arti “orang-orang yang menyatakan kepatuhan terhadap hukum (sistem) yang berlaku di Madinah, khususnya yang disahkan melalui Piagam Madinah”.
Kedua ayat di atas, agaknya, mengajukan suatu kasus ketika Rasulullah memimpin penaklukan Makkah (Futuh Makkah) pada tahun ke-8 Hijrah. Pada saat itulah warga Makkah, yang sebelumnya merupakan musuh yang sangat keras bagi Rasulullah, mengakui kekalahan. Pengakuan itulah, agaknya, yang mereka ungkapkan dengan kata ãmannã. Artinya: mulai saat ini kami beriman. Namun, pengakuan itu ditentang dan dikoreksi oleh Allah, karena mereka menggunakan suatu ungkapan istilahi (terminologis) yang salah.
Kemudian, melalui ayat 15, Allah menegaskan bahwa yang dimaksud dengan iman yang benar adalah masuknya ajaran Allah – yang disampaikan dan dicontohkan rasulnya – ke dalam jiwa (pikiran dan perasaan) manusia, sehingga mendorongnya untuk berjuang secara habis-habisan (total) untuk menegakkan ajaran Allah. Masuknya ajaran Allah (Al-Qurãn) tentu harus melalui proses belajar, yakni lewat pelaksanaan perintah rattil dan shalat malam, seperti dirumuskan dalam surat Al-Muzzammil;  tidak mungkin serta-merta masuk melalui sebuah pengakuan.
Dalam Hadis Jibril bahkan ditegaskan bahwa ajaran Allah itu, harus menjelma menjadi sebuah “teori nilai”, yang di situ disebut dengan istilah al-qadru.
Memang sangat memprihatinkan ketika kita mendengar dan membaca pemahaman para pakar tentang bagian dari Hadis Jibril itu, yang selama berabad-abad telah disulap menjadi Rukun Iman, dan melahirkan ilmu tauhid. Keterangan Nabi tentang al-ïmãn yang sebenarnya tak terpisahkan dari al-islãm, yang dipaparkan dalam konteks Dinul-Islam sebagai sebuah organisasi, disulap oleh mereka menjadi enam obyek kepercayaan.
Padahal, Nabi sendiri, ketika bicara tentang iman, tidak pernah membahas tentang obyek-obyek kepercayaan, tapi tentang apa yang masuk ke dalam kalbu, yang selanjutnya mempengaruhi ucapan dan perbuatan, bahkan – lebih jauh lagi – membentuk kepribadian atau akhlak (عقد بالقلب وإقرار باللسان وعمل بالأركان).. Lagi pula, sungguh tidak realistis bila bagian Hadis Jibril yang membahas iman itu dipahami sebagai pembagian kepercayaan ke dalam obyek-obyek tertentu, yang bahkan jumlahnya dibatasi hanya sebanyak enam obyek. Soalnya, kepercayaan tidak bisa dibatasi. Bahkan kepercayaan terhadap Allah sebagai pencipta saja sudah membawa dampak lanjutan berupa kepercayaan terhadap segala sesuatu yang diciptakannya, yang jumlahnya tak terhitung. Jadi, konsep tentang Rukun Iman itu sebenarnya merupakan sebuah pemasungan terhadap kemampuan akal (logika) manusia untuk mempercayai apa saja yang ‘mampir’ ke dalam nalarnya. Dalam sebuah hadis Muslim bahkan ditegaskan bahwa iman itu terdiri dari 61 atau 71 cabang. Selain itu, tentu saja kita juga juga menangkap sebuah gejala kebodohan ketika sebuah teks dipahami secara lepas konteks.
Hadis Jibril berbicara tentang Dinul-Islam dalam konteks sebuah ‘bangunan’, alias organisasi. Di sini, faktor manusia adalah yang terpenting; dan yang lebih penting lagi adalah faktor mentalnya, khususnya faktor sikap terhadap organisasi. Dalam pembahasan tentang al-islãm, terkesan bahwa untuk membangun Dinul-Islam menjadi sebuah organisasi, pertama, harus ada pendaftaran anggota (rekrutmen; recruitment). Itulah yang terkesan dari syahadah/bay’ah. Setelah itu, sang anggota harus mendalami cita-cita dan haluan organisasi (shalat), harus ikut mendanai sesuai  kemampuan (zakat), harus mebentuk ketahanan fisik dan metal (shaum ramadhan), dan harus berwawasan dan membina hubungan internasional (haji).
Selanjutnya, pembahasan tentang al-ïmãn terpusat pada cikal-bakal terbentuk-nya organisasi itu, yaitu ajaran Allah, yang berpadu dengan kemauan manusia untuk menjadikannya sebagai pedoman.
Perhatikan kembali teksnya:

قال, “فأخبرنى عن الإيمان.” قال, “أن تؤمن بالله وملائكته وكتبه ورسله واليوم الآخر وتؤمن بالقدر خيره وشرّه.”

Dia (Jibril) berkata, “Terangkan padaku tentang al-ïmمn”. Nabi menjawab, “(al-ïmمn) adalah anda meyakini (ajaran) Allah, yang diturunkan melalui malaikatnya, yang diterima para rasulnya, sehingga (anda) sampai pada suatu tahap akhir, yakni anda hidup berdasar ketentuan (al-qadru) baik dan buruk menurutnya (Allah).

Sekali lagi, ini bukan pembahasan tentang obyek-obyek kepercayaan, tapi tentang dasar dari Dinul-Islam sebagai organisasi. Dasarnya adalah sebuah konsep, yakni ajaran Allah, yang dari masa ke masa diturunkan Allah melalui malaikatNya, dan diterima serta diajarkan melalui rasul-rasulnya, secara bertahap. Tahap akhir (puncak) dari proses belajar itu adalah menjadikannya sebagai sebuah “teori nilai” (al-qadru), untuk membedakan baik dan buruk segala sesuatu berdasar konsep itu. Dalam konteks pribadi,  teori nilai itu pada awalnya menjadi sebuah “pengetahuan teoritis”, yang selanjutnya menjelma menjadi “pandangan hidup”. Dalam konteks individu sebagai bagian dari organisasi, ia akan menjelma menjadi pribadi-pribadi yang beramal shalih, yaitu berbuat tepat, sesuai kemampuan masing-masing, untuk berperan sebaik-baiknya demi tercapainya tujuan organisasi, yaitu menjadikan ajaran Allah sebagai sebuah taqdïr (hukum) yang berlaku dalam suatu lingkungan masya-rakat (negara dsb).
Taqdïr adalah kata lain dari qadr, yang pengertian harfiahnya antara lain ukuran, batasan, timbangan, kententuan, dll. Tapi, dalam bentuk ma’rifah (definitif), yaitu at-taqdïru/al-qadru, keduanya adalah sebutan lain bagi Al-Qurمn. Uraian Nabi tentang al-ïmمn, dalam konteks Hadis Jibril, yang dihubungkan dengan surat Al-Hujurمt ayat 14-15 dan beberapa hadis lain, menegaskan bahwa iman itu baru terbentuk bila ajaran Allah (Al-Qurمn) sudah masuk ke dalam diri seseorang, sehingga akhirnya menjadi alat ukur baginya, untuk menentukan baik-buruk atau benar-salahnya segala sesuatu. Dengan kata lain, iman itu baru terbentuk dalam diri seseorang bila ajaran Allah sudah menjelma menjadi suatu “kesadaran hukum” (legal aware).
Dengan demikian, nampak jelas ngawur-nya para pakar yang membawa istilah taqdïr ke dalam konteks teologis ilmu tauhid, sehingga mereka sendiri mengaku bahwa pembicaraan tentang taqdïr itu tidak pernah selesai. Bagaimana bisa selesai bila pembicaraan tentang taqdïr justru difokuskan pada kehendak pribadi Allah, yang tentu menjadi teka-teki mahabesar? Masalah taqdïr baru akan selesai bila mereka mau menyadari bahwa yang dimaksud dengan kehendak Allah itu tidak lain adalah segala yang dinyatakanNya sendiri melalui wahyu, yang sekarang telah menjelma menjadi sebuah kitab bernama Al-Qurمn!

Ihsan sebagai sebagai teori amal shalih
Pertanyaan berikutnya dari Jibril adalah tentang al-ihsمn; dijawab oleh Nabi dengan kalimat:
أن تعبد الله كأنّك تراه وإن لم تكن تراه فإنّه يراك

Harfiah: (Yaitu) bahwa anda mengabdi Allah seolah-oleh melihatNya. Dan walaupun anda tidak melihatnya, sebenarnya Dia melihat anda.

Biasanya orang mengaitkan perkataan Nabi ini dengan shalat ritual, sehingga terjemahannya adalah:  (Ihsan adalah) bahwasanya engkau menyembah Allah seakan-akan melihat-Nya, dan bila tidak bisa melihatnya (dan memang tidak akan bisa) maka (ingatlah) bahwa Dia melihatmu.
Kekeliruan mendasar dari terjemahan itu adalah kata  ta’buda diartikan secara sangat sempit sebagai engkau menyembah, sesuai dengan pemahaman bahwa shalat sama dengan sembahyang. Padahal, terjemahan yang benar adalah anda mengabdi. Terjemahan ini bukan hanya benar secara harfiah, tapi juga sesuai dengan gagasan bahwa manusia diciptakan untuk menjadi abdi (hamba) Allah.
Dalam pengertian harfiah, al-ihsمn adalah kebaikan. Tapi, dalam pengertian istilahi, tentu ada perbedaan. Melalui sebuah hadis lain (riwayat Muslim dll), Nabi menggambarkan pengertian al-ihsمn dalam bahasa yang gamblang:

إنّ الله كَتب الإحسانَ على كلّ شيئ. فإذا قتلتم فأحسِنوا القِتلَةَ وإذا ذبحْتم فأحسِنوا الذَّبْحَ ولْيُحِدَّ أحدُكم شَفْرتَه فلْيُرِحْ ذبِيحَتَه.

Sebenarnya Allah menetapkan al-ihsمn atas segala sesuatu. Jika kalian membunuh, lakukanlah pembunuhan itu secara ihsمn; yaitu bila kalian menyembelih (hewan), lakukanlah penyembelihan itu secara ihsمn; yakni hendaklah pelaku penyembelihan itu menajamkan parangnya, sehingga dengan demikian hewan sembelihannya jadi cepat mati.

Dalam konteks Hadis Jibril, keterangan Nabi tentang al-ihsمn adalah kelanjutan (sambungan) dari keterangan tentang al-islمm dan al-ïmمn. Bila dalam keterangan yang pertama Nabi menggambarkan tentang manusia sebagai faktor terbentuknya al-islمm sebagai organisasi, dan yang kedua menegaskan tentang konsep yang menjadi dasar bagi pembentukannya, maka keterangan tentang al-ihsمn ini, yang disampaikan dalam bahasa kiasan, agaknya menegaskan bahwa sang manusia yang tergabung dalam organisasi itu harus mengabdi dengan cara sedemikian rupa, yang diungkapkan dalam bahasa kiasan: (1) membayangkan seolah-olah melihat Allah, (2) menyadari bahwa ia dilihat Allah.
Namun, ada satu hal lain yang juga perlu diperhatikan. Nabi, dalam sebuah hadis lain, menyuruh umatnya memikirkan ciptaan Allah, tapi melarang berpikir tentang zat (oknum; pribadi) Allah. Tapi, dalam penjelasan tentang al-ihsمn itu, kenapa Nabi malah seperti menyuruh untuk membayangkan (memikirkan) zat Allah? Kenapa ada sabda-sabda Nabi yang (seperti) saling bertentangan (kontradiktikf)?
Ada jawaban sederhana: sabda yang satu berupa perintah dan larangan; yang lainnya berbentuk perumpamaan. Seolah-olah melihat Allah tentu tidak sama dengan melihat Allah. Tapi, dengan (berlagak) seolah-olah melihat Allah itu, bukankah berarti memikirkan (membayangkan) juga?
Isa Bugis menjadikan hadis tersebut (تفكروا فى الخلق ولا تتفكروا فى ذاته) sebagai landasan untuk melahirkan teorinya, yakni bahwa setiap penyebutan kata Allah (termasuk sebutan lain baginya, seperti rabb dll) janganlah secara langsung dihubungkan kepada zatnya tapi hendaknya dihubungkan kepada ilmu atau ajaranNya (Al-Qurمn). Tegasnya, bagi Isa Bugis sabda-sabda Nabi di atas tidak saling bertentangan. Namun, sebagai dampak lanjutannya, karena teorinya itu menjadi bagian dari metode ilmu yang dikembangkannya, maka lahirlah suatu bentuk penerjemahan yang sama sekali berbeda. Kata innallaha (إنّ الله), misalnya, tidak diterjemahkan menjadi sesungguhnya Allah, tapi:  sesungguhnya Allah dengan ajarannya, yakni Al-Qurمn …
Sebenarnya, teori Isa Bugis itu bukan sesuatu yang mengada-ada. Bila, di satu sisi, Nabi menggambarkan iman dengan kata-kata an tu’mina billah (أن تؤمن بالله), misalnya, maka di sisi lain Allah juga mengabarkan: âmanar-rasulu bimم uzila ilaihi min rabbihi wal-mu’minun (آمن السول بما إليه من ربه والمؤمنون). “Sang Rasul (Muham-mad) beriman dengan apa (ajaran) yang diturunkan rabbnya kepadanya (yakni Al-Qurân). Begitu juga halnya para mu’min (pengikutnya)”.
Alhasil, keterangan Nabi tentang al-ihsمn itu, tidak dipahami Isa Bugis sebagai peristiwa seorang hamba yang menyembah Allah, tapi menjalankan (memfungsikan) ajaran Allah. Untuk itu, ada dua pilihan sikap: yang pertama, memancarkan ajaran Allah dari dalam dirinya, seolah-olah ilmu (ajaran) Allah itu merupakan miliknya; dan yang kedua, membentuk kesadaran bahwa dirinya tidak bisa lepas dari ilmu Allah itu.
Terus terang, teori Isa Bugis itu sangat berbau filsafat. Tapi, dalam bahasa yang gamblang ia juga mengatakan bahwa al-ihsمn adalah amal shalih, alias berbuat tepat seperti yang dikehendaki Allah. Ini tentu sangat cocok dengan gambaran Nabi di atas, yang diambil dari konteks penyembelihan hewan itu.
Namun, harus diakui bahwa Nabi sendiri dalam hal ini berbicara dengan bahasa filosofis pula, sehingga menjadi agak sulit untuk dipahami orang awam. Kenyataannya, Hadis Jibril itu memang mengandung pemikiran (konsep) tingkat tinggi. Bila diingat nara sumbernya, Umar bin Khatthab, agaknya menjadi isyarat pula bahwa pertemuan antara Nabi dan Jibril itu hanya terjadi di hadapan para sahabat Nabi sekelas Umar (Abu Bakar, Utsman, Ali, Abu Hurairah, dsb). Tepatnya, peristiwa itu terjadi di hadapan tokoh-tokoh yang (memang) pada akhirnya menempati posisi tertinggi dalam struktur pemerintahan Islam (kecuali Abu Hurairah, yang ‘hanya’ menjadi sahabat yang banyak menyampaikan hadis).
Isa Bugis agaknya sadar betul betapa pentingnya hadis itu dalam kaitan dengan Islam sebagai konsep hidup. Setelah menyebut al-imمn sebagai dasar, al-islمm sebagai penataan, ia  menyimpulkan bahwa al-ihsمn adalah tujuan, dan as-sم’ah sebagai manajemen. Di sini Isa Bugis keliru; mungkin karena ia kurang cermat mengamati keseluruhan Hadis Jibril.
Secara keseluruhan, boleh dikatakan Hadis Jibril memang bicara tentang fungsi-fungsi manajemen. Jadi, jelas keliru bila salah satu fungsi manajemen dianggap sebagai manajemen itu sendiri.
Tentu saja konsep manajemen di sini tidak sama persis dengan konsep manajemen perusahaan, yang berasal dari Barat. Cuma, boleh juga kita curiga kalau-kalau mereka mengajukan teori manajemen itu justru setelah mempelajari Hadis Jibril. Bila benar, bukan mereka yang salah. Umat Islamlah yang bodoh tentang agama mereka sendiri.
Keterangan tentang al-islمm mempunyai kemiripan dengan prinsip organizing (pengorganisasian), sedangkan keterangan tentang al-ïmمn mirip dengan prinsip planning (perencanaan); dan al-ihsمn agaknya ‘menyenggol’ secara borongan prinsip actuating (pelaksanaan), controling (pengawasan) dan staffing (penempatan SDM), yang keseluruhannya memang harus dilakukan dengan penerapan prinsip al-ihsمn itu.
Berbeda dengan konsep manajemen (kapitalis) Barat yang cenderung menempatkan manusia (bawahan) sebagai sapi perahan, konsep manajemen yang diajukan Hadis Jibril justru menonjolkan manusia secara keseluruhan sebagai faktor penentu. Penyebutan tentang manusia sebagai pelaku pengabdian, yang sudah dilakukan sejak awal, menegaskan bahwa faktor staff (SDM) adalah yang terpenting. Penyebutan tentang cara atau sikap si staff dalam mengabdi, yang terbagi menjadi dua, satu sisi menjadi isyarat tentang adanya perbedaan kemampuan mereka; sisi lainnya menegaskan agar setiap orang memilih posisi masing-masing dengan kesadaran penuh tentang kemampuan dan tanggung-jawab mereka.
Keterangan Nabi tentang al-ihsمn pada hakikatnya bisa kita urai demikian:
Kalimat an ta’budallaha ka-annaka tarمhu adalah suatu ungkapan untuk mengambarkan segolongan manusia dengan kualitas (spesifikasi) tertentu. Bila diperhatikan, kata kerja tarم sendiri mengandung suatu isyarat penting. Melalui kajian sharaf, kita ketahui bahwa kata kerja ini mempunyai empat bentuk masdar, yaitu ra’yan, ru’yatan, râ-atan, ri’yânan (رأيا و رؤية و راءة ورئيانا ). Pengertian harfiahnya adalah melihat dengan mata atau dengan akal (intelektual) [نظر بلعين أو بالعقل] Kedua-duanya, baik melihat dengan mata atau dengan akal (intelektual), tidak bisa dilakukan bila yang menjadi obyeknya adalah zat Allah.  Itu alasan pertama. Alasan berikutnya, menjadikan Allah sebagai obyek adalah suatu kesalahan metodis (ilmiah).
Bila kita ambil salah satu masdar di atas, misalnya ru’yatan (bisa dibaca ru’yah), lalu kita hubungkan dengan hadis Muslim yang bercerita tentang penerimaan wahyu pertama, di situ kita temukan rangkaian kata: كان أوّل مابُدئَ به الرسول الله ص م من الوحي الرؤيا الصاديقةَ (wahyu pertama yang diungkapkan kepada Rasulullah adalah ar-ru’yash-shadiqah). Dalam pengertian harfiah, ar-ru’yash-shadiqah adalah penglihatan yang benar. Tapi, apa yang dilihat? Teks hadis mengatakan bahwa “obyek” yang dilihat itu ‘tampak’ seperti cahaya matahari di waktu subuh (مثل فلق الصبح).
Seperti matahari subuh! Tapi apakah gerangan obyek yang muncul itu?  Wahyu! Jadi, wahyu – atau tepatnya isyarat bakal turunnya wahyu – mucul dalam rupa seperti matahari subuh alias fajar. Maka jangan heran bila di dalam Al-Qurمn ada surat Al-Fajr, dan coba juga perhatikan frasa mathla’i-fajri dalam surat Al-Qadr.
Bila cahaya fajar bisa dilihat dengan mata, lalu dengan apa ‘melihat’ wahyu? Tentu dengan daya intelektual; sehingga melihat di sini berarti “mempersepsi”, yaitu menyadari kehadiran “sesuatu”. Bila sesuatunya adalah benda, maka ia tampak melalui mata. Bila bukan benda (ide dsb), ia ‘tampak’ melalui otak.
Itulah pengertian kata tarم dalam keterangan Nabi tentang al-ihsân. Melihat di sini bukan melihat dengan mata, dengan zat Allah sebagai obyeknya; tapi ‘melihat’ dengan kemampuan intelektual (daya persepsi). Lantas obyeknya apa? Katakanlah, pada tahap belajar, yang menjadi ‘obyek’ (kajian) adalah ajaran Allah (Al-Qurân).
Tapi uraian tentang al-ihsân itu diberikan dalam konteks bekerja, bukan belajar. Dalam konteks kerja, yang menjadi obyek adalah segala permasalahan yang dihadapi. Sedangkan ajaran Allah, yang sudah menjelma menjadi sebuah persepsi dalam diri seorang mu’min justru menjadi “alat pandang”, menjadi teori nilai, dan seterusnya melahirkan visi-visi yang mampu menjadi solusi bagi segala permasalahan.
Jadi, kalimat an ta’budallaha ka-annaka tarمhu adalah gambaran tentang kelompok manusia yang menempati kelas tertentu; katakanlah kelas khawas (kebalikan awwam). Dalam konteks organisasi, mereka adalah orang-orang yang paling mengenal visi dan missi organisasi. Dalam konteks manajemen, mereka adalah para manajer. Dengan kata lain, secara umum, mereka adalah para pemikir dan atau orang-orang yang memiliki daya intelektual lebih tinggi di atas rata-rata (awam).
Sebaliknya, fa in lam takun tarمhu fa innahu yarمka adalah gambaran tentang kelompok orang awam; yang dalam konteks organisasi maupun manajemen menempati posisi sebagai orang-orang yang harus diatur, alias para pelaksana atau pekerja. Dengan catatan bahwa yang mengatur adalah Allah melalui ajarannya, yang dikuasai, dielaborasi, dan di-break down (dirinci) oleh orang-orang khawas  itu.
Pengaturan dilakukan agar semua manusia (SDM) bekerja pada bidang masing-masing. Tidak boleh ada orang yang ditugaskan pada tempat yang salah; seperti kata Nabi: bila suatu urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya. Semua harus bekerja dengan sebaik-baiknya, seperti dikatakan Nabi, dalam hadis di atas, bahwa Allah menetapkan al-ihsân dalam segala urusan.
(BERSAMBUNG)

Hadis Jibril, Konsep Dasar Dinul-Islam (3)


"Cinta dunia (materialistis) adalah biang segala kesalahan" (Hadis)

"Cinta dunia (materialistis; hedonis; membela status quo) adalah biang segala kesalahan" (Hadis)

As-sâ’ah
As-sâ’ah diajukan Jibril sebagai pertanyaan terakhir. Kalimat pertanyaannya menurut versi Umar adalah: Akhbirni ‘anis-sâ’ah (terangkan padaku tentang as-sâ’ah). Sementara dalam versi Abu Hurairah pertanyaan itu berbunyi: Mattas-sâ’ah (kapankah – tibanya –  as-sâ’ah). Dengan kata lain, konotasi kalimat versi Umar adalah mempertanyakan definisi (apa itu as-sâ’ah); sedangkan versi Abu Hurairah mempertanyakan momentum (kapan munculnya as-sâ’ah).
Dalam berbagai kesempatan, ketika membahas atau menyinggung tentang as-sâ’ah, Isa Bugis cenderung mengutip kalimat versi Abu Hurairah itu (mattas-sâ’ah). Tapi, uraian yang dikemukakan ternyata berupa definisi.
Dengan merujuk surat Thaha ayat 15, dan mengambil kalimat إِنَّ السَّاعَةَ ءَاتِيَةٌ  sebagai landasan, Isa Bugis mendefinisikan as-sâ’ah sebagai pendatangkan (maksud-nya sesuatu yang mendatangkan atau mengadakan). Pemaknaan ini, selain ganjil dari sudut bahasa Indonesia, juga kontradiktif dalam tinjauan sharaf. Isa Bugis meng-anggap kata âtiyatun/ءَاتِيَة sebagai subyek (ismul-fâ’il) dari kata kerja transitif (muta’addi). Padahal, kata kerja atâ – ya’ti/اتى- يأتى adalah kata kerja intransitif (lâzim) alias kata kerja tak berobyek, dan ini jelas tampak pada susunan ayatnya. Jadi, subyeknya, yaitu âtin/ءات bila lelaki (masculine gender) dan âtiyatun/ءاتية bila wanita (feminine gender) berarti  sesuatu yang datang (atau seseorang, bila yang datang adalah orang).
Kemudian, entah bagaimana rumusnya, Isa Bugis menyebut as-sâ’ah dalam konteks Hadis Jibril itu sebagai manajemen.
Namun, menghubungkan hadis itu dengan surat Thaha ayat 15 adalah tindakan tepat, karena keduanya saling mendukung:

إِنَّ السَّاعَةَ ءَاتِيَةٌ أَكَادُ أُخْفِيهَا لِتُجْزَى كُلُّ نَفْسٍ بِمَا تَسْعَى

(Hai Musa) as-sâ’ah itu pasti (akan) datang. Aku hampir merahasiakannya, agar setiap manusia diberi ganjaran sesuai apa yang diperbuatnya (tanpa lebih dulu diberi tahu tentang akibat sebuah perbuatan).

Keterangan dalam ayat ini diberikan Allah setelah menyuruh Musa mengabdi kepadanya, dengan lebih dulu membentuk kesadaran dengan ajarannya, melalui proses shalat. Bila itu sudah dilakukan, maka as-sâ’ah (= saat, masa) untuk memetik hasilnya adalah sesuatu yang pasti datang. Tapi kapan? Bila pertanyaannya adalah momentum, Allah tidak menjawab. Tapi, bila yang dipertanyakan adalah apa yang bisa diwujudkan dengan menjalankan ajaran Allah, maka Allah memberikan penjelasan panjang-lebar kepada Musa, antara lain seperti yang terungkap dalam surat Thaha, yang tentu diungkapkan Allah dalam rangka mengajar Nabi Muhammad (dan umatnya).
Musa dan Muhammad adalah rasulullah, yang bertugas menyampaikan ajaran Allah kepada manusia. Ketika Jibril bertanya tentang as-sâ’ah, apakah Nabi Muhammad tidak tahu jawabannya? Tentu sudah tahu! Selain itu, Jibril bertanya juga hanya sekadar bersandiwara (mengajar dengan metode tanya-jawab).
Nabi Muhammad mengetahui jawaban tentang as-sâ’ah itu, antara lain, tentu melalui surat Thaha. Maka, caranya menjawab Jibril pun menjadi mirip dengan cara Allah menjawab Musa. Kata Allah kepada Musa, “Aku hampir merahasiakannya.” Berarti tidak benar-benar dirahasiakan. Kata Nabi kepada Jibril, “Orang yang ditanya tidak lebih tahu dari yang bertanya. Tapi, akan kuberitahu tanda-tandanya.”
Jelasnya, bicara as-sâ’ah adalah bicara tentang waktu. Adapun yang dimaksud adalah waktu tegaknya Dinul Islam sebagai sebuah konsep menjadi kenyataan. Besar kemungkinan istilah as-sâ’ah adalah ringkasan dari sâ’atul-qiyâmah, yang pengertiannya sama dengan yaumud-dïn (يوم الدين), yaumul-ba’tsi (يوم البعث), dsb.
Jadi, as-sâ’ah sama dengan al-yaum(u). Artinya dalam bahasa Indonesia adalah masa; dalam bahasa Inggris period (periode). Sâ’atul-qiyâmah (lengkapnya: sâ’atul-qiyâmatid-dïni) berarti “masa tegaknya Dinul Islam”, begitu juga  yaumud-dïn dan yaumul-ba’tsi (al-ba’ts adalah sinonim dari al-qiyâmah).
Selain sâ’ah dan yaum, kata lain yang juga sering digunakan dalam Al-Qurân adalah ajal (أجل), yang sayangnya selalu kita artikan sebagai saat kematian seseorang. Padahal, ajal secara umum berarti “peluang keberadaan (existence) segala makhluk Allah, sampai batas waktu tertentu”. Termasuk seorang manusia, sebuah bangsa, sebuah kebudayaan, dan juga sebuah sistem, semua mempunnyai peluang untuk lahir, berkembang, dan akhirnya mati.
Dalam hal kesamaan maksud dari kata sâ’ah dan ajal, surat Al-’Ankabut ayat 5 memuat susunan kata yang mirip dengan surat Thaha di atas, dengan catatan di sini Allah menggunakan kata benda jenis lelaki (آتٍ), bukan perempuan (آتِيَةٌ):

مَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ اللَّهِ فَإِنَّ أَجَلَ اللَّهِ لَآتٍ …

Siapa pun yang mengharapkan perwujudan (ajaran) Allah, maka ajal Allah (waktu yang ditentukan Allah) untuk itu pastilah akan datang…

Jelaslah bahwa pertanyaan tentang as-sâ’ah itu diajukan dalam konteks ajaran Allah dengan pembuktiannya. Sebagai suatu ilmu, ajaran Allah mengandung kemampuan (potensi) untuk mewujud nyata. Tapi hal itu baru bisa terjadi bila persyaratannya terpenuhi, yaitu adanya manusia-manusia yang ber-Islam (membentuk jama’ah), ber-Iman (menjadikan ajaran Allah sebagai pegangan hidup), dan ber-Ihsan (berbuat tepat sesuai ajaran).
Perlukah disebutkan kapan waktunya?  Tidak. Sebab, waktu – seperti halnya ruang – adalah fasilitas yang sudah disediakan Allah. Sedangkan kemauan manusia untuk menjalankan ajaran Allah dengan sebaik-baiknya adalah urusan manusia sendiri. Tepatnya tinggal bagaimana manusia memanfaatkan segala fasilitas yang diberikan. Jadi, sekali lagi, mempersoalkan tentang waktu adalah tidak ‘nyambung’ (relevan), walaupun dalam suatu perencanaan batas-batas waktu itu tentu bisa dipetakan.
Karena itulah, dalam hadis versi Abu Hurairah, Nabi mengutip surat Luqman ayat 34:

إِنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ وَيُنَزِّلُ الْغَيْثَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْأَرْحَامِ وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

Hanya Allah yang menguasai ilmu tentang as-sâ’ah. (Dialah yang tahu kapan) akan menurunkan hujan dan apa yang terdapat dalam rahim. Sebaliknya, seorang manusia (siapa pun dia) tidak akan tahu apa yang terjadi besok, juga tidak akan tahu di belahan bumi mana dia akan mati. Hanya Allah yang mengetahui segala sesuatu secara cermat.
Inilah jawaban yang sangat jitu bagi setiap manusia yang cenderung ingin tahu tentang kapan sesuatu akan terjadi, yang mewakili sifat ‘ajulan (عجولا), alias ingin segera tahu hasil tanpa mengindahkan prosedur dan proses. Inilah sikap yang menjadi cikal-bakal kegagalan sebuah proyek! (Termasuk proyek penegakan Al-Quran!).
Karena itu, kata Allah, “Aku hampir merahasiakannya (as-sâ’ah)”. Berarti tidak benar-benar dirahasiakan. Tegasnya, ‘separuh’ dari rahasia itu dibongkar oleh Nabi dengan cara mengungkapkan tanda-tanda atau isyaratnya.
Maka, daripada bicara tentang waktu – kapan tegaknya Dinul Islam, lebih baik bicara tentang tanda-tanda atau indikasinya, yang membuktikan Dinul Islam itu sudah tegak, di suatu masa, entah kapan! Selanjutnya, fokuskan perhatian, minat, harapan, dan obsesi pada pemenuhan syarat-syaratnya. Jangan berharap memetik buah tapi tidak mau berkebun.

Indikasi tegaknya Dinul Islam
Salah satu tanda yang disebutkan Nabi adalah “seorang wanita budak melahirkan (anak) tuannya” (أن تلد الأمة ربّتها).
Selama ini kita mendapat keterangan dari para kiai bahwa perkataan Nabi itu mengisyaratkan tentang keadaan suatu masyarakat yang sudah bejat, dan itu merupakan salah satu tanda bahwa kiamat sudah dekat; dan yang mereka maksud kiamat adalah kehancuran dunia.
Padahal, melalui sebuah hadis dalam kitab Bukhari, Nabi menyatakan demikian:

عن أبى موسى قال قال رسول الله ص م : ثلاثة لهم أجران … رجول كان عنده أمة فأدّبها فأحسن تأديبها و علّمها فأحسن تعليمها ثمّ أعتقَها فتزوّجها فله أجران.

Menurut Abu Musa, Rasulullah pernah mengatakan, “Ada tiga golongan yang berhak mendapat dua imbalan … (Salah satunya adalah seorang lelaki yang memiliki budak wanita; kemudian dia mendidik budak itu sebaik-baiknya, dan mengajarinya (Al-Qurân) dengan sebaik-baiknya; setelah itu ia membebaskannya, dan kemudian menikahinya, maka lelaki itu mendapat dua imbalan.

Hadis ini memberikan jawaban gamblang mengapa seorang budak (pembantu) wanita bisa melahirkan anak tuannya. Kelahiran itu bukan terjadi melalui proses kehamilan haram, karena ia diperkosa tuannya, seperti yang sering digambarkan orang selama ini. Hadis ini justru mengisyaratkan tentang keadaan suatu masyarakat yang sudah mencapai tahap ketinggian moral.
Budak wanita, dalam struktur masyarakat yang piramidal, adalah wakil dari lapisan masyarakat yang paling bawah dan lemah. Sementara tuannya tentu mewakili lapisan masyarakat tertinggi dan berkuasa. Tapi, itu hanya terjadi di masa sebelum Islam. Setelah Islam menjadi “etika masyarakat” (meminjam istilah Nurcholis Madjid), struktur piramidal itu ambruk. Orang Arab tidak lebih mulia dari non-Arab, kata Nabi. Kemuliaan manusia ditentukan oleh takwanya. Patuhilah pemimpin, meskipun dia (pada masa lalu) adalah seorang budak hitam.
Jadi, perkataan Nabi itu merupakan isyarat bagi lenyapnya feodalisme dan diskriminasi dalam masyarakat sebagai akibat pengkelasan manusia dalam struktur piramidal. Ajaran Islam menghapuskannya bukan melalui pemaksaan, tapi melalui ‘revolusi’ kesadaran. Perhatikan bahasa Nabi dalam hadis di atas! Perintah membebaskan budak tidak disampaikan dengan bahasa perintah, tapi melalui ‘rayuan’.
Isyarat berikutnya, bahwa Dinul Islam sudah tegak, akan tampak pada sisi kehidupan yang lain. Kata Nabi, “Anda melihat orang-orang (yang semula) miskin, bertelanjang kaki dan badan, berlomba-lomba mendirikan gedung”  (وأن ترى الحفاة العراة العالة رعاء الشائ يتطاولون فى البنيان).
Ini masih berkaitan dengan isyarat yang pertama. Bila yang pertama adalah gambaran tentang lenyapnya sistem piramidal (kasta) dalam masyarakat, maka berikutnya, bila struktur demikian sudah lenyap, lenyap pula “kemiskinan struktural”.
Ingat! Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang terpaksa harus ditang-gung oleh golongan masyarakat bawah semata-mata karena mereka dilahirkan sebagai anggota masyarakat kelas bawah. Kemiskinan yang terlahir berkat jasa feodalisme dan kapitalisme! Biarpun mereka mempunyai fisik yang kuat dan otak yang cerdas, mereka akan tetap miskin, karena berbagai faktor ‘pengubah nasib’ (pendidikan, pasar, kekuasaan, kesempatan dll) dikangkangi oleh golongan atas (kapitalis yang bersekongkol dengan feodalis). Hanya kehancuran sistem kelas (dan modal) itulah yang bisa mengubah nasib mereka.
Kemudian, bila sistem kelas (dan modal) sudah tiada, apakah kemiskinan akan lenyap? Tentu tidak. Sebab, dalam masyarakat masih ada manusia-manusia yang memiliki kelemahan obyektif, misalnya cacat fisik/mental, yatim-piatu, jompo, dll. Tapi, keadaan mereka tidak akan terlantar, karena negara melalui sistem zakat menjamin kehidupan mereka, dan sesama anggota masyarakat memperlakukan mereka sebagai saudara.
Dua hal itulah –  lenyapnya sistem piramidal dalam masyarakat dan hilangnya kemiskinan struktural – yang disebutkan Nabi sebagai tanda-tanda tegaknya Dinul Islam. Dengan kata lain, dua hal itulah target besar yang hendak dicapai dengan menjalankan organisasi bernama Dinul Islam.

(SELESAI)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar