Kamis, 08 September 2011

ISLAM TATANAN HIDUP ( AD-DIEN ) PARA NABI

Dalam sebuah Hadis Bukhari-Muslim, Nabi Muhammad mengatakan:

Para nabi adalah (ibarat) saudara tiri. Ibu mereka berbeda, tapi agama mereka satu.
Agama mereka yang satu itu adalah Islam.
Tentang hal itu Allah menegaskan, antara lain, dalam surat An-Nisa ayat163-164:
إِنَّ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ كَمَا أَوْحَيْنَا إِلَى نُوحٍ وَالنَّبِيِّنَ مِنْ بَعْدِهِ وَ أَوْحَيْنَا إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَ إِسْمَاعِيلَ وَ إِسْحَاقَ وَ يَعْقُوبَ وَ الأَسْبَاطِ وَ عِيسَى وَ أَيُّوبَ وَ يُونُسَ وَ هَارُونَ وَ سُلَيْمَانَ وَ ءَاتَيْنَا دَوُودَ زَبُورًا – وَ رُسُلاً قَدْ قَصَصْنَاهُمْ عَلَيكَ مِنْ قَبْلُ وَ رُسُلاً لَمْ نَقْصُصْهُمْ عَلَيكَ وَ كَلَّمَ اللهُ مُوسَى تَكْلِيْمًا.
Sungguh Kami sampaikan wahyu kepadamu sebagaimana Kami sampaikan wahyu kepada Nuh serta para nabi setelahnya. Begitu juga Kami sampaikan wahyu kepada Ibrahim dan Ismail, kepada Ishaq, Ya’qub, serta para penerus mereka. Demikian juga kepada Isa, Ayyub, Yunus, Harun, dan Sulaiman. Kepada Daud – misalnya – Kami sampaikan (kitab) Zabur.
Pendeknya, (Kami sampaikan wahyu baik kepada) para rasul terdahulu yang telah kami paparkan maupun kepada para rasul yang tidak kami paparkan kepadamu. Begitu juga halnya Musa, Kami benar-benar telah sampaikan kalam (perkataan, yakni wahyu) – kepadanya.
Melalui kedua ayat ini Allah menegaskan bahwa wahyu yang diterima Nabi Muhammad, Al-Qurãn, adalah sama dengan wahyu yang dulu diajarkan kepada para nabi/rasul lain, sama dengan Zabur yang diajarkan kepada Nabi Daud, yang oleh Nabi Daud kemudian diwariskan kepada Nabi Sulaiman.
Melalui ayat di atas (164) juga ditegaskan bahwa wahyu itu pada hakikatnya adalah kalãm (perkataan; kalimat), atau lengkapnya kalãmul-lah(i), kalam Allah, alias firman Allah, atau ajaran Allah.
Wahyu, atau kalam Allah, atau ajaran Allah, dalam istilah yang populer sekarang adalah agama Allah; dan nama agama Allah itu adalah “Al-Islãm(u)”. Hal itu ditegaskan, antara lain, dalam bagian surat Ali Imran ayat 19:
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللهِ الإِسْلاَمُ …
Sebenarnya agama milik Allah adalah Islam.
Ayat ini menegaskan bahwa Allah tidak pernah mengajarkan agama lain, selain Islam. Lebih tegas lagi, dalam surat Ali Imran ayat 83-85 Allah meng-ajukan teguran demikian:
أَفَغَيْرَ دِينِ اللهِ يَبْغُونَ وَ لَهُ أَسْلَمَ مَنْ فِى السَّمَاوَاتِ وَ الأَرْضِ طَوْعًا وَ كَرْهًا وَ إِلَيهِ يُرْجَعُونَ – قُلْ ءَامَنَّا بِاللهِ وَ مَا أُنْزِلَ عَلَيْنَا وَ مَا أُنْزِلَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَ إِسْمَاعِيلَ وَ إِسحَاقَ وَ يَعْقُوبَ وَ الأَسْبَاطِ وَ مَا أُوتِيَ مُوسَى وَ عِيسَى وَ النَّبِيُّونَ مِن رَّبِّهِمْ  لاَنُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْهُمْ وَ نَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ – وَ مَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الإِسْلاَمِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلُ مِنْهُ وَ هُوَ فِى الأَخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ.
Apakah mereka hendak mencari agama (penata hidup) selain agama Allah, sementara seluruh penghuni jagat raya dan bumi tunduk-patuh terhadap-Nya, baik secara suka-rela maupun terpaksa, dalam arti mereka semua terikat (pada sunnatullah)?
Tegaskan (kepada mereka),”Kami beriman dengan ajaran Allah, yakni ajaran yang diturunkan kepada kami, yakni ajaran yang dulu diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya’qub dan para pelanjut mereka; yakni ajaran yang juga disampaikan kepada Musa dan Isa, serta seluruh nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak membeda-bedakan yang satu dengan yang lain di antara para nabi itu; yakni kami adalah orang-orang yang tunduk-patuh kepadaNya (dengan mengikuti keteladanan mereka).
Dengan demikian (berdasar kenyataan alam dan sejarah bahwa Allah telah mengutus nabi-nabi untuk menyampaikan ajaranNya), siapa pun yang mencari agama selain Islam, maka ia tidak akan mendapatkan apa yang dicarinya dari agama itu, sehingga pada akhirnya mereka menjadi orang-orang yang rugi.

Tapi, Nurcholis Madjid, misalnya, menolak pernyataan ayat-ayat ini. Dengan mengajukan makna generik (umum) dari islãm, yakni kepasrahan atau penyerahan diri kepada Tuhan, ia mengatakan bahwa Islam bukan satu-satunya agama Allah. Melalui pemahamannya atas ayat ini Nurcholis mengembanggkan ajaran bahwa “agama yang benar di sisi Allah  adalah agama yang mengajarkan kepasrahan/penyerahan diri kepada Tuhan”, dan agama yang mengajarkan demikian bukan hanya agama Islam.
Ajaran Nurcholis disebarkan oleh para pengikutnya, antara lain yang kini tergabung dalam Jaringan Islam Liberal (JIL) yang (dulu) dipimpin Ulil Abshar Abdalla.
Dalam tulisannya di harian Kompas yang sempat menghebohkan, Ulil mengatakan, antara lain:
Saya berpandangan lebih jauh lagi (dari Nurcholis, pen.): setiap nilai ke-baikan, di mana pun tempatnya, sejatinya adalah nilai Islami juga. Islam -seperti pernah dikemukakan Cak Nur dan sejumlah pemikir lain – adalah “nilai generis” yang bisa ada di Kristen, Hindu, Buddha, Konghucu, Yahudi, Taoisme, agama dan kepercayaan lokal, dan sebagainya. Bisa jadi, kebenaran “Islam” bisa ada dalam filsafat Marxisme.
Bila Ulil dan gurunya (Nurcholis Madjid) hanya bicara tentang “nilai islami”, dalam arti “nilai kebenaran Islami yang universal”, tentu saja benar bahwa kebenaran Islami itu ada pada Kristen, Hindu, Buddha, dan lain-lain, termasuk dalam filsafat Marxisme, karena kebenaran yang universal itu memang berasal dari Allah (al-haqqu min rabbika)  Mungkin karena itulah Nabi Muhammad mengajarkan agar para mu’min mengambil kebenaran yang mereka temui di mana pun, karena hal itu pada hakikatnya merupakan perbendaharaan milik si  mu’min yang hilang.
Al-Islam sebagai istilah
Seandainya Nurcholis dan kawan-kawan, termasuk Ulil Abshar Abdalla, mencermati bahwa “Islam” dalam ayat di atas adalah “Al-Islãm(u)”, yakni mengandung kata sandang definitif al (ال), maka mereka pasti tahu bahwa Al-Islãm(u) ini adalah sebuah istilah, yang tentu tidak boleh diterjemahkan secara harfiah. Sebuah istilah hanya boleh didefinisikan, dan yang paling berhak mendefisikan sebuah istilah adalah pemakai istilah sendiri, karena cuma dia yang paling tahu maksud istilah yang dipilihnya.
Islam jelas bukan nama agama yang dibuat oleh orang-orang yang mengaku beragama Islam. Juga bukan nama yang dipilih oleh Nabi Muham-mad. Islam adalah agama yang diajarkan dan dinamai oleh Allah sendiri.
Lewat surat Al-Maidah ayat 3, misalnya, Allah menegaskan demikian:
… اَلْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَ أَتَمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِِى وَرَضِيتُ لَكْمُ الإِِسْلاَمَ دِينًا…
… Pada hari ini Aku sempurnakan agama kalian, yakni Aku cukupkan ni’matku (= ajaranku) kepada kalian, yakni Aku senang kalian menjadikan Al-Islãm sebagai penata hidup (dïn) kalian.
Bila Al-Islãm hendak diartikan sebagai kepatuhan atau kepasrahan terhadap Tuhan, maka bentuk atau disiplin kepatuhan/kepasrahan itu tentu tidak bisa dilakukan sekehendak manusia. Yang berwenang menentukan bentuk atau disiplin kepatuhan/kepasrahan itu tentu Sang Tuhan itu sendiri. Bila Tuhan yang dimaksud adalah Allah, maka jelas bahwa Allah telah menurunkan ajaranNya melalui para rasulNya, yang berperan sebagai uswah hasanah (contoh terbaik; satu-satunya contoh) dalam pelaksanaan konsep kepatuhan/kepasrahan terhadap Allah menurut kehendak Allah sendiri.
Tegasnya, Dinul-Islam itulah konsep kepatuhan/kepasrahan terhadap Allah menurut Allah.
Lebih tegas lagi, yang dimaksud Dinul-Islam – atau ringkasnya Al-Islam -  seperti yang dikatakan Rasulullah dalam Hadis riwayat Bukhari, Muslim dan lain-lain adalah agama yang ditegakkan di atas 5 landasan, yaitu:
1.    Syahadat
2.    Shalat
3.    Zakat
4.    Shaum (puasa)
5.    Hajj (haji)
Kelima asas inilah yang menjadi tolok ukur apakah seseorang layak disebut muslim atau bukan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar