Rabu, 21 September 2011

Kapan Al-Qurãn Jadi Imam?


Menghina AlQuran
Gambar dari: http://kebohongandariislam.wordpress.com/2008/05/03/keilahian-al-quran/
Pada  waktu kecil saya diajari orangtua bahwa  di  dalam kubur nanti kita akan ditanya malaikat. Isi pertanyaannya adalah, pertama man rabbuka (Siapa tuhanmu)? Jawabannya  adalah Allahu rabby (Tuhanku Allah). Kedua, man nabiyuka (Siapa nabimu)? Jawabannya: Muhammadun nabiy (Nabiku Muhammad). Ketiga, ma immamuka (Apa imam kamu)? Jawabnya: Al-Qurãnu imamy (Imamku Al-Qurãn).
Bila pertanyaan-pertanyaan itu tidak dijawab dengan  benar,  malaikat akan memukul kita dengan gada.  Sekali  pukul badan kita remuk, tapi kemudian diutuhkan lagi, lalu ditanya lagi, dan begitu seterusnya. Pendeknya, tidak mampu menjawab berarti menikmati siksaan.
Suatu ketika, tengah malam saya terbangun. Terdengar suara  radio tetangga yang sedang menyiarkan acara wayang  golek. Saya tertarik dengan gaya bicara sang dalang yang  terdengar cerdas. Lebih tertarik lagi ketika si dalang berbicara tentang tiga pertanyaan kubur itu. Selanjutnya, saya  malah  tersengat ketika si dalang berkata, “Sebenarnya  pertanyaan-pertanyaan itu tidak harus diajukan malaikat di  dalam kubur.  Kitalah yang harus menanyai diri sendiri mulai  sekarang, selagi masih hidup. Siapa Tuhan kita? Siapa Nabi kita?
Apa  Imam kita? Benarkah kita bertuhan Allah? Benarkah  Nabi kita Muhammad? Benarkah Imam kita Al-Qurãn?”
Sampai  kini saya masih terheran-heran, mengapa  gagasan jenius itu justru saya dengar dari dalang wayang golek,  bukan  dari para da’i? Yang sering saya dengar dari para  da’i  adalah bahwa kita memang harus percaya kepada Allah, percaya kepada  Nabi  Muhammad, tapi mereka tak  pernah  menyinggung tentang  keharusan berimam kepada Al-Qurãn. Kalau pun ada  yang menyinggung, ya cuma sekadar menyinggung, tidak pernah  membahas secara tuntas.
Para da’i memang boleh dikatakan tidak pernah  mempromosikan Al-Qurãn dalam statusnya sebagai imam. Yang mereka perkenalkan  sebagai imam adalah Imam Syafi’i, Imam  Malik,  Imam Hambali, Imam Hanafi, dan yang paling sering disebut  adalah Imam Ghazali, yang dipandang sebagai hujjatul-Islam (pembela Islam).
Mengabaikan  peran Al-Qurãn sebagai imam  adalah  kesalahan fatal. Itulah asal bencana besar yang menimpa umat Islam sejak wafatnya Rasulullah. Itulah yang menyebabkan ummat Islam di  tanah Arab kembali pada tradisi zaman  jahiliah:  saling berperang antar suku, saling bantai dengan sadis, demi  memperebutkan  kekuasaan. Itulah yang menyebabkan lahirnya  hadis-hadis palsu berbau politik. Itulah yang menyebabkan bahasa Arab menjadi bahasa asing di tengah umat Islam sendiri. Itulah yang menyebabkan umat Islam terpecah-belah, lalu jatuh ke tangan para penjajah.
Kesadaran akan kenyataan itu memang sudah lama kita  dengar digaungkan para da’i. Seruan agar kembali kepada  Al-Qurãn dan  Hadis pun ramai dipromosikan. Namun realisasinya  adalah ibarat menggantang angin. Waktu, biaya, dan tenaga  terbuang habis,  namun Al-Qurãn tetap jauh dari  kehidupan.  Penyebabnya adalah yang itu tadi: dakwah dilakukan tanpa konsep, sehingga otomatis juga tak punya target. Target akhir memang  ada, yaitu masuk sorga. Tapi coba tanya kepada setiap orang  yang mengaku muslim: “Yakinkah anda bahwa anda akan masuk sorga?”
Jawaban mereka pasti mengambang. Umumnya mereka cuma  mengatakan, “Ya, pokoknya harapan kita begitulah!”
Kepada orang-orang yang saya tanya dan menjawab  demikian,  saya tegas berkata, “Kalau begitu, mulai sekarang  berhentilah anda jadi orang Islam, karena anda tidak yakin bahwa Islam menjamin anda akan masuk sorga.”
Di dalam batin saya menangis. Jawaban umat yang demikian itu sesungguhnya adalah hasil dari karya dakwah yang amburadul. Islam (Al-Qurãn) menawarkan kepastian. Islam begitu  logis dan matematis, bahkan praktis dan empiris (kita bisa belajar dari  Nabi Muhammad bagaimana mementaskan Islam). Tapi  para da’i  umumnya menggambarkan Islam sebagai agama  yang  penuh takhyul dan dongeng.
Penyebabnya cuma satu: Al-Qurãn tidak dijadikan imam.  Pertama dalam dakwah, selanjutnya – otomatis – dalam kehidupan.
Bila para da’i tidak menjadikan Al-Qurãn sebagai imam dalam dakwah, itu karena di perguruan tinggi ilmu dakwah pun keharusan menguasai Al-Qurãn tidak ditekankan. Di sana yang terutama diajarkan adalah teknik-teknik dakwah, di antaranya retorika. Untuk mengenal lapangan, mereka juga belajar  psikologi. Dengan demikian, dijamin umat bisa tersihir.
Seharusnya, bila diakui bahwa Al-Qurãn adalah imam,  dakwah dilakukan dalam rangka mempersiapkan umat agar mereka  mampu bergaul dengan  Al-Qurãn, akrab dengan Al-Qurãn. Dalam arti  mereka mampu membaca Al-Qurãn, dan bisa memahaminya, sehingga Al-Qurãn akan menjadi kamus hidup mereka. Tapi ini memang sulit. Sebagaimana  halnya shalat (yang khusyu) juga sulit. Innaha  lakabiratun illa ‘alal-khasyi-in (Qs2: 45). Berat, sungguh berat, kecuali  bagi orang-orang yang mempunyai kemauan yang kuat  untuk menegakkan kebenaran

Tidak ada komentar:

Posting Komentar