Bila pertanyaan-pertanyaan itu tidak dijawab dengan benar, malaikat akan memukul kita dengan gada. Sekali pukul badan kita remuk, tapi kemudian diutuhkan lagi, lalu ditanya lagi, dan begitu seterusnya. Pendeknya, tidak mampu menjawab berarti menikmati siksaan.
Suatu ketika, tengah malam saya terbangun. Terdengar suara radio tetangga yang sedang menyiarkan acara wayang golek. Saya tertarik dengan gaya bicara sang dalang yang terdengar cerdas. Lebih tertarik lagi ketika si dalang berbicara tentang tiga pertanyaan kubur itu. Selanjutnya, saya malah tersengat ketika si dalang berkata, “Sebenarnya pertanyaan-pertanyaan itu tidak harus diajukan malaikat di dalam kubur. Kitalah yang harus menanyai diri sendiri mulai sekarang, selagi masih hidup. Siapa Tuhan kita? Siapa Nabi kita?
Apa Imam kita? Benarkah kita bertuhan Allah? Benarkah Nabi kita Muhammad? Benarkah Imam kita Al-Qurãn?”
Sampai kini saya masih terheran-heran, mengapa gagasan jenius itu justru saya dengar dari dalang wayang golek, bukan dari para da’i? Yang sering saya dengar dari para da’i adalah bahwa kita memang harus percaya kepada Allah, percaya kepada Nabi Muhammad, tapi mereka tak pernah menyinggung tentang keharusan berimam kepada Al-Qurãn. Kalau pun ada yang menyinggung, ya cuma sekadar menyinggung, tidak pernah membahas secara tuntas.
Para da’i memang boleh dikatakan tidak pernah mempromosikan Al-Qurãn dalam statusnya sebagai imam. Yang mereka perkenalkan sebagai imam adalah Imam Syafi’i, Imam Malik, Imam Hambali, Imam Hanafi, dan yang paling sering disebut adalah Imam Ghazali, yang dipandang sebagai hujjatul-Islam (pembela Islam).
Mengabaikan peran Al-Qurãn sebagai imam adalah kesalahan fatal. Itulah asal bencana besar yang menimpa umat Islam sejak wafatnya Rasulullah. Itulah yang menyebabkan ummat Islam di tanah Arab kembali pada tradisi zaman jahiliah: saling berperang antar suku, saling bantai dengan sadis, demi memperebutkan kekuasaan. Itulah yang menyebabkan lahirnya hadis-hadis palsu berbau politik. Itulah yang menyebabkan bahasa Arab menjadi bahasa asing di tengah umat Islam sendiri. Itulah yang menyebabkan umat Islam terpecah-belah, lalu jatuh ke tangan para penjajah.
Kesadaran akan kenyataan itu memang sudah lama kita dengar digaungkan para da’i. Seruan agar kembali kepada Al-Qurãn dan Hadis pun ramai dipromosikan. Namun realisasinya adalah ibarat menggantang angin. Waktu, biaya, dan tenaga terbuang habis, namun Al-Qurãn tetap jauh dari kehidupan. Penyebabnya adalah yang itu tadi: dakwah dilakukan tanpa konsep, sehingga otomatis juga tak punya target. Target akhir memang ada, yaitu masuk sorga. Tapi coba tanya kepada setiap orang yang mengaku muslim: “Yakinkah anda bahwa anda akan masuk sorga?”
Jawaban mereka pasti mengambang. Umumnya mereka cuma mengatakan, “Ya, pokoknya harapan kita begitulah!”
Kepada orang-orang yang saya tanya dan menjawab demikian, saya tegas berkata, “Kalau begitu, mulai sekarang berhentilah anda jadi orang Islam, karena anda tidak yakin bahwa Islam menjamin anda akan masuk sorga.”
Di dalam batin saya menangis. Jawaban umat yang demikian itu sesungguhnya adalah hasil dari karya dakwah yang amburadul. Islam (Al-Qurãn) menawarkan kepastian. Islam begitu logis dan matematis, bahkan praktis dan empiris (kita bisa belajar dari Nabi Muhammad bagaimana mementaskan Islam). Tapi para da’i umumnya menggambarkan Islam sebagai agama yang penuh takhyul dan dongeng.
Penyebabnya cuma satu: Al-Qurãn tidak dijadikan imam. Pertama dalam dakwah, selanjutnya – otomatis – dalam kehidupan.
Bila para da’i tidak menjadikan Al-Qurãn sebagai imam dalam dakwah, itu karena di perguruan tinggi ilmu dakwah pun keharusan menguasai Al-Qurãn tidak ditekankan. Di sana yang terutama diajarkan adalah teknik-teknik dakwah, di antaranya retorika. Untuk mengenal lapangan, mereka juga belajar psikologi. Dengan demikian, dijamin umat bisa tersihir.
Seharusnya, bila diakui bahwa Al-Qurãn adalah imam, dakwah dilakukan dalam rangka mempersiapkan umat agar mereka mampu bergaul dengan Al-Qurãn, akrab dengan Al-Qurãn. Dalam arti mereka mampu membaca Al-Qurãn, dan bisa memahaminya, sehingga Al-Qurãn akan menjadi kamus hidup mereka. Tapi ini memang sulit. Sebagaimana halnya shalat (yang khusyu) juga sulit. Innaha lakabiratun illa ‘alal-khasyi-in (Qs2: 45). Berat, sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang mempunyai kemauan yang kuat untuk menegakkan kebenaran
Tidak ada komentar:
Posting Komentar