Sabtu, 10 September 2011

Alquran Sebagai Psikologi





Max I. Dimont, penulis sejumlah buku tentang Yahudi, penganut psikoanalisis Freud.
Psikologi adalah salah satu ilmu yang lahir dari filsafat, dan mungkin merupakan anak sulung atau anak emasnya, yang telah memberikan banyak cucu (puluhan cabang) sejak awal kelahirannya. Seperti halnya filsafat, psikologi juga berawal dari Yunanai. Ide dasarnya bertumpu pada pembicaraan tentang psyche (jiwa). “Sebagaian ahli menganggap bahwa buku Aristoteles, De Anima, merupakan karya ilmiah psikologi yang pertama.”[1] Psikologi baru lepas dari induknya, menjadi psikologi modern, pada tahun 1879, dengan didirikannya laboratorium psikologi pertama oleh Wilhelm Wundt di Leipzig, Jerman.[2]
Sebagai disiplin (ilmu) filsafat (pada mulanya) psikologi tentu saja merupakan suatu ilmu yang menyelidiki jiwa.[3] Tetapi mereka juga berselisih paham tentang pengertian jiwa. Ada yang mengatakan bahwa jiwa itu pokoknya sesuatu yang lain dari badan, tetapi ada di dalam badan dan berhubungan secara timbal-balik. Yang lain mengatakan bahwa yang dimaksud dengan jiwa itu adalah otak dengan segala fungsi dan aktifitasnya, yang lain lagi mengatakan bahwa yang disebut jiwa itu sebenarnya sesuatu yang tidak ada, karena tentang bagaimana manusia bisa hidup itu bisa dijelaskan dengan cara lain, tanpa harus melibatkan anggapan tentang adanya jiwa. Pendapat yang belakangan ini mungkin timbul dari golongan orang yang menyamakan jiwa (ruh) dengan energi, seperti yangtelah disinggung dalam pembahasan terdahulu.
Belakangan, karena ribut-ribut mengenai jiwa itu mungkin membuat mereka pusing sendiri, sementara ilmu jiwa sudah terlanjur dilahirkan dan mereka pun tak ingin kehilangan gelar sebagai ahli ilmu jiwa, maka mereka sepakat untuk mengganti obyek kajiannya.
Sumber masalahnya adalah karena mereka menolak penjelasan agama tentang jiwa, karena bertentangan dengan prinsip-prinsip sains. Maka kata Henry  Garret, “ … Tetapi bila kita mengeluarkan jiwa dari konteks agama, lalu kita terjemahkan menjadi mind (pikiran dan perasaan) atau diri,  maka studi tentang jiwa dan tingkah laku seorang manusia jadi tidak lagi nampak berbeda.”[4]
Jadi, dengan kata lain, psikologi (akhirnya) muncul sebagai salah satu disiplin ilmu yang menandai pemberontakan manusia terhadap agama. Pada tahun 1921 Prof. Leuba dari Bryn Mawr College menerbitkan hasil penelitian atas kalangan ilmuwan (akademisi) tentang kepercayaan mereka akan adanya Tuhan. Ternyata di antara para ahli ilmu jiwa hanya 24% yang percaya adanya Tuhan, sedangkan ahli fisika justru mencapai 44%. Sedangkan tentang keabadian jiwa, para ahli ilmu jiwa yang percaya hanya 20% dan ahli fisika 51% .[5]
Bagi para ahli ilmu jiwa yang tidak percaya Tuhan itu, wahyu adalah halusinasi (khayalan). Max I Dimont, misalnya, menulis, “Para ahli ilmu jiwa kenal betul dengan gejala kejiwaan yang disebut projection (proyeksi, suatu kecenderungan mencari kambing hitam). Sebut saja seorang manusia yang sangat dipengaruhi oleh suatu pemikiran, tetapi karena hal itu menyakitkan baginya atau merupakan sesuatu yang dianggap tabu, maka ia tidak mau mengakui adanya pemikiran itu. Tetapi ia juga tidak bisa menghilangkannya.  Ia menghendaki pemikiran itu ada tetapi tidak mau menjadi pemiliknya. Ia merindukannya secara tidak sadar, tetapi menolaknya secara sadar. Karena itu, pikirannya lalu menggunakan trick (tipuan) secara tak sadar. Ia memroyeksikan pemikiran itu kepada orang lain, lalu meyakinkan dirinya sendiri bahwa orang itu lah yang memasukkan pemikiran tersebut atau menuduhnya memiliki pemikiran tersebut … Orang yang mempunyai khayalan demikian tidak harus sakit saraf atau sakit jiwa. Bisa jadi mereka justru orang-orang yang sangat giat dan penuh semangat  … “
Teori yang bersumber dari Freud itu diterapkan Max I Dimont pada Ibrahim. Menurutnya Ibrahim sebenarnya tidak mendapat wahyu, tapi hanya berkhayal, lalu dia mengatakan kepada orang lain bahwa ia bertemu dengan Tuhan![6]
Tetapi pada akhir abad ke-19 mereka kembali menaruh perhatian pada agama, yaitu menjadikan agama sebagai salah satu obyek kajian. Lahir lah aliran psikologi agama. Pelopornya adalah William James, guru besar di Havard University. Objek kajian mereka adalah perihal tingkah-laku dan pengalaman keagamaan manusia.[7]
“Lebih jauh psikologi (agama) ini mengemukakan hasil penelitian tentang pengaruh agama terhadap sikap dan tingkah laku seseorang dan bagaimana cara berpikir, berkehendak, dan berperasaan tidak dapat dipisahkan dari ke-bertuhanan-nya, sebab kepercayaan kepada Tuhan itu masuk ke dalam konstruksi kepribadiannya atau mekanisme naluriah yang bekerja dalam dirinya.”[8]
Menurut Jamaluddin Kafie, bila dua orang berbicara tentang diri mereka atau tentang orang lain, secara tidak sadar mereka sudah berpsikologi dalam praktik. Hampir seluruh isi dari pembicaraan kita sehari-hari adalah masalah-masalah psikologi.  Sebab di mana ada manusia di situlah psikologi digunakan. Akan tetapi psikologi yang digunakan itu bersifat intuitif, belum scientific. Baru berdasar pengalaman dan belum berdasar ilmiah. Mislanya, kita secara kebetulan memperoleh kesan-kesan umum mengenai tingkah-laku dan sifat-sifat kepribadian seseorang, kita sudah berpsikologi intuitif. Akan tetapi untuk berpsikologi ilmiah, kita harus bisa mengumpulkan keterangan mengenai kepribadian orang itu dilengkapi dengan metode-metode yang lebih obyektif kemudian disusun secara sistematis rasional.[9]
Psikologi Al-Qurãn
Pembahasan mengenai psikologi Al-Qurãn ini kita mulai dengan landasan definisi ilmu jiwa yang kita temukan di dalam Kamus Ilmu Jiwa dan Pendidikan, terbitan Alma’arif, yaitu bahwa ilmu jiwa adalah ilmu yang memelajari gejala-gejala jiwa manusia, baik gejala jiwa yang sadar atau tak sadar.
Dalam pengertian yang sederhana, sadar adalah lawan dari kata tidur atau pingsan. Dalam keadaan tidak tidur dan tidak pingsan seseorang dikatakan sadar bila ia dapat mengenali diri dan lingkungannya, dan berperilaku sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Bila tidak demikian, ia disebut lupa diri atau hilang kesadaran. Sedangkan bayi yang baru lahir meski dia tidak tidur dan tidak pingsan, belum bisa dikatakan sadar karena ia belum mengetahui sesuatu.
Surat an-Nahl 16:78  menegaskan bahwa meskipun tidak mengetahui sesuatu, bayi yang baru lahir (dan normal) dibekali modal untuk membangun kesadaran  berupa pendengaran, penglihatan dan ruh. Dalam ayat ini ruh disebut dengan istilah af’idah (jamak dari fu’ad).

Sedang dalam Surat Al-A’raf ayat 179 disebut dengan istilah qulub (jamak dari qalb).

Ruh yang terdapat pada bayi yang baru lahir adalah ruh biologis murni (fitri). Dengan bantuan lingkungannya, mulai dari kedua orangtuanya (bila dia bukan anak yatim-piatu), perlahan tapi pasti si bayi membangun kesadaran yang makin lama semakin mapan. Bentuk kesadaran yang terwujud kemudian, setelah dia dewasa, tentu saja kesadaran yang dipenuhi norma-norma lingkungan yang sumbernya mungkin dari Yahudi, Nasrani, atau majusi, atau yang lain lagi.
Kesadaran yang semata-mata dibentuk oleh lingkungan bukan lah kesadaran yang benar menurut Allah. Karena itu lah Allah mengutus Malaikat untuk menyampaikan wahyu, untuk membangun suatu bentuk kesadaran yang berbeda dari wawasan lingkungan (ajaran nenek moyang).
Melalui wahyu, Allah mrngajak manusia untuk mengetahui sesuatu, ya’lamu syai’an. Sesuatu di sini bukanlah sesuatu yang kecil atau remeh tetapi sesuatu yang besar dan mahapenting, yaitu tentang apa dan siapa dirinya, siapa penciptanya, dan apa tugas-tugas dari Allah yang harus dijalankannya selama hidup di dunia. Sebelum mengetahui hal ini, manusia dianggap sebagai makhluk yang belum memiliki kesadaran yang benar, belum tahu hakikat diri, dan karena itu menjadi sangat mungkin melakukan berbagai tindakan yang merugikan apa saja termasuk diri sendiri.
Nasiyan mansiyyan
Kedaan “tak tahu diri” itu di dalam Al-Qurãn disebut dengan istilah nis-yun, sedangkan keadaan “tahu diri” disebut dzikrun. Keadaan nis-yun (lalai, abai, tak tahu diri) ini tidak dipermasalahkan oleh Allah, selagi manusia belum didatangi Rasul.[10] Karena Rasul itulah yang ditugasi untuk membawa manusia ke dalam kondisi dzikrun. Tetapi setiap Rasul mempunyai musuh[11] yang selalu siap menjegal dakwah mereka, dan selalu berusaha merusak bangunan kesadaran yang mereka tegakkan, yang terdiri dari jin (iblis) dan manusia sendiri.
Surat Thaha ayat 115 menegaskan, bahwa Adam sendiri dapat dilalaikan oleh Iblis karena waktu itu ia tidak mempunyai azman (tekad yang kuat) untuk menjalankan segala instruksi Allah. Inilah yang menjadi lubang bagi Iblis untuk memasukkan tipu-dayanya.
Sedangkan dalam kisah Maryam, yang baru sadar di tengah masyarakatnya yang yang bejat menangis karena merasa dirinya dulu lalai karena dibuat lalai (kuntu nasiyan mansiyyan).
Kisah Adam dan Maryam ini mengingatkan kita bahwa untuk untuk membangun kesadaran yang benar manusia menghadapi berbagai hambatan dari dalam dan dari luar dirinya. Ada orang yang mengatakan bahwa hambatan dari dalam lebih sulit dihadapi daripada hambatan dari luar diri.  Ini samasekali tidak benar. Keduanya sama beratnya. Hambatan dari luar diri seringkali bahkan tidak terbaca; karena seperti ditegasskan oleh Allah dalam Surat Al-A’raaf ayat 27, syetan itu selalu melancarkan serangannya dari arah yang tidak diduga-duga.

[1] Ensiklopedi Umum, hal. 912, Kanisius, edisi 1990. [2] Psikologi Dakwah, Jamaluddin Kafie, hal, iii, Penerbit Indah , Surabaya, 1993.
[3] Alexander A. Scheinders, Introductory Psychology/Reading in General Pschycology, hal. 4, Lester D. Crow and Alice Crow, Barnes & Noble, Inc., cetakan ketiga, New York, 1957.
[4] Idem, hal 3-4.
[5] Pengantar Psikologi Agama, Robert H. Thouless terjemahan Machnun husin, hal. 7, Rajawali Press , Jakarta 1992.
[6] Max I Dimont,  Jews God and History, hal. 29-30, Signet, New York, 1962.
[7] Pengantar Psikologi Agama, … hal. 1.
[8] Psikologi Dakwah, hal, 25.
[9] Idem, note 1, jal. 22-23.
[10] Periksa Surat al-Israa’ 17:15.
[11] Surat al-Furqan 25:31.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar