Minggu, 04 September 2011

Mistik, Kecerdasan, Dan Humor


Sebagian dari kita agaknya menyamakan mengidentikkan) mistik dengan kebodohan. Sebagian lainnya, khususnya umat Islam, mengaitkannya dengan perilaku syirik (syirk: dualisme kepercayaan), yang nilai dosanya besar, bahkan tidak terampunkan. Dengan kata lain, mystique seolah selalu berarti mistake, yaitu kesalahan, kekeliruan, dan blunder, yang berhubungan dengan sikap bodoh, lalai, dan percaya takhyul (khayalan).
Padahal, dalam definisi Longman Language Activator (England, 1993), mystique adalah “sebuah kualitas khusus yang dimiliki seseorang atau sesuatu, yang membuat keduanya tampak misterius dan menakjubkan, terutama karena kebanyakan orang tidak tahu banyak tentang hal itu.”
Adapun tokoh mistik (mystic) menurut Collins Gem Dictionary And Thesaurus (England, 1990) adalah “orang yang mencari ilmu ketuhanan atau spiritual, khususnya dengan cara berdoa, berkontemplasi – bermeditasi – dan sebagainya.” Dukun dan paranormal, biasa kita sebut sebagai tokoh-tokoh mistik.
Baik hal-hal mistik atau pun tokoh-tokoh mistik, kedua-duanya adalah bahan yang sering diolah menjadi kisah-kisah penuh rahasia (misterius), yang tentu saja menarik bagi banyak orang, dari setiap bangsa, di berbagai tempat dan zaman.
Dan, jangan lupa, baik hal-hal mistik maupun tokoh-tokoh mistik, adalah sesuatu yang tidak terpisahkan (atau malah berasal?) dari agama, yang di dalamnya ada penyebutan (kepercayaan) tentang Tuhan dan makhluk-makhluk gaibNya seperti malaikat, jin, setan, dan sebagainya.
Mistik dan kebodohan
Menyamakan mistik dengan kebodohan sama saja dengan menganggap kepercayaan tentang Tuhan juga sebagai kebodohan, yang tentu berujung pada sikap atheis dan atau agnostik (agnostic), hanya bisa percaya pada hal-hal yang bersifat materi, dan menolak segala yang tidak terindrai, alias gaib.
Padahal, gaib (ghaib) itu pun bukan berarti tidak ada, tapi “ada di tempat/alam lain”. Kebalikannya adalah nyata (syahãdah) dan hadir (hãdhir). Bila anda tidak masuk sekolah atau bolos bekerja, orang Arab menyebut anda ghã’ib. Artinya, anda tidak ada di sekolah atau di kantor, tapi mung-kin anda ada (hadir) di rumah, di rumah sakit, atau di pasar. Dengan cara berpikir seperti inilah kita mengatakan bahwa “makhluk-makhluk halus” itu (malaikat, jin, setan, tuyul, hantu, dan sebagainya) hidup di “alam gaib”, alias di “alam lain”. Menariknya, ‘ternyata’, mereka bisa melakukan “penampakan” di alam kita!
Apakah penampakan itu benar atau hanya khayalan (imajinasi, ilusi, halusinasi), atau hanya permainan kamera dan trik komputer (dalam film dan sinetron), itulah biang perdebatan kita selama ini. Mungkin karena kita bersikap terlalu serius, atau malah agak kurang cerdas?
Dalam doktrin Islam, tepatnya dalam Al-Qurãn, dikatakan bahwa Allah itu ‘alîmul-ghaib wa syahãdah. Dia mahatahu yang gaib (tidak tampak bagi kita) dan juga yang nyata (bagi kita). Dan, yang terpenting, Dia bukan hanya mahatahu tapi juga memberi tahu hal-hal gaib melalui kitab-kitab dan rasul-rasulNya. Tentang malaikat, dikatakan dalam Al-Qurãn dan Hadis bahwa mereka diciptakan dari cahaya, sedangkan jin dan setan dari api.
Ada Hadis yang mengisahkan wawancara Nabi Muhammad dengan iblis, dan dari situlah kita tahu beberapa kiat iblis menyesatkan manusia. Ada pula Hadis yang menyebutkan bahwa jin bergentayangan di tiga alam, yaitu di darat, laut, dan udara. Berdasar Hadis ini, kiai saya membuat penafsiran modern dengan mengatakan bahwa teknologi ada di dalam wilayah kekuasaan jin. Karena itulah, selain bisa menyesatkan, jin (lewat teknologi) juga bisa menjadi pelayan manusia yang baik.
Tapi kebanyakan kita mungkin, di masa kecil, mengenal jin lewat cerita seribu satu malam, yang menggambarkan jin bukan sebagai makhluk yang seram, tapi sebagai makhluk yang lemah, karena bisa dimasukkan ke dalam botol. Selanjutnya, karena diselamatkan manusia, jin pun bisa membalas budi dan menjadi sahabat manusia. Sementara dari para kiai di pesantren, kita mendengar cerita bahwa jin bisa menjadi pelayan manusia karena kesaktian sang kiai, atau karena seseorang melakukan usaha-usaha tertentu. Kadang, sebagai pelayan dukun santet, jin pun (konon) bisa digunakan untuk menyantet. Makhluk lainnya, yang bisa menjadi pelayan manusia adalah tuyul. Tapi tugas tuyul yang terkenal adalah sebagai pembobol celengan atau tukang copet!
Makhluk lainnya yang bersahabat dengan manusia adalah jailangkung, yang bisa curhat, diajak bercanda dan meramal melalui tulisan.
Selain itu, kita juga punya banyak perbendaharaan cerita tentang macam-macam hantu yang bersemayam di tempat-tempat tertentu. Kita punya cerita hantu-hantu wanita seperti kuntilanak (pohon) waru doyong, hantu cantik di Jembatan Ancol, hantu penghuni kamar sebuah hotel di Pelabuhan Ratu (Roro Kidul), juga hantu seorang suster di sebuah rumah sakit (Suster Ngesot), dan lain-lain.
Itu semua adalah bahan-bahan menarik belaka untuk dibuat cerita dalam bentuk buku, drama panggung, film layar lebar, dan sekarang sinema elektronik (sinetron). Tapi, maraknya sinetron mistik di televisi kita belakangan ini, ternyata mengundang reaksi-reaksi negatif, sampai-sampai presiden kita (SBY) pun harus mengajukan celaan di depan umum, sedikitnya dua kali. Mengapa?
Kita dan Holywood
Saya pernah cukup menikmati sinetron Jin Dan Jun, karena cerita-ceritanya yang lucu dan pemainnya (Syahrul Gunawan) yang berwajah imut-imut dan memanggil jin pelayannya dengan sebutan “Om”. Begitu juga sinetron Thuyul Dan Mbak Yul, Jinny Oh Jinny, tampil cukup menghibur. Sayangnya, makin lama para penggarap serial-serial tersebut semakin tampak kehilangan ide.
Sementara itu, melalui Walt Disney dan Holywood, kita bisa menikmati cerita-cerita tentang jin (dari kisah Aladin) dan tuyul (mi-salnya Casper) dalam bentuk buku komik dan film kartun yang digarap dengan cerdas dan selera humor tinggi. Bahkan kisah berbau mistik dari Cina, seperti Mulan, digarap Holywood begitu cerdas, lucu, mengharukan, dan indah, sehingga tidak bosan untuk ditonton berulang-ulang.
Melalui cara Holywood itu, kita jadi sadar bahwa orang-orang Barat modern yang sudah tidak percaya dan takut lagi pada hantu dan sebagainya itu, ternyata bisa menyikapi cerita-cerita mistik secara ‘santai’, melalui sentuhan seni, ketinggian selera humor, dan kekayaan imajinasi. Dengan selera humor, kita bisa mengesampingkan (setidaknya untuk sementara) cara pandang teologis yang kaku dan sering salah sasaran. Dan kekayaan imajinasi, bukankah hal itu merupakan kualitas yang harus dimiliki manusia-manusia kreatif?
Satu hal yang juga menarik, film-film kartun Holywood agaknya digarap oleh “orang sekelurahan”. Mereka bekerja keroyokan menangani berbagai bidang untuk menghasilkan sebuah film yang enak ditonton. Tentu saja, untuk itu mereka butuh banyak waktu dan uang. Tapi kese-riusan, ketekunan, dan pengor-banan mereka semua terbayar, karena film mereka bisa dipasarkan di seluruh dunia.
Hal itu bertolak belakang dengan cara kerja para sineas dan pesinetron kita, yang meggarap cerita-cerita mistik secara kejar tayang. Dari istilahnya saja, “kejar tayang”, kita tahu bahwa mereka kerja dengan sedikit orang, sedikit waktu, dan sedikit uang. Seiring dengan itu, mereka juga bekerja dengan sedikit keseriusan, sedikit riset, sedikit membaca, sedikit kecerdasan, sedikit rasa humor, dan serba sedikit ketrampilan teknis. Alhasil, jangan heran bila karya mereka pun hanya mendapat sedikit perhatian dan simpati, di samping seabrek celaan dan caci-maki

Tidak ada komentar:

Posting Komentar