Pendahuluan
Sejak ”gerakan reformasi” menumbangkan Orde Baru (Orba), wacana bertema ”Indonesia Baru” bergulir di mana-mana. Indonesia yang ’baru’ berusia setengah abad, berkat gerakan reformasi, agaknya dianggap sudah ’kuno’, sehingga harus diperbaharui. Tapi seperti apakah gerangan Indonesia baru itu?
Secara umum orang sepakat mengatakan bahwa Indonesia Baru itu haruslah sebuah Indonesia yang demokratis. Sebuah negara dan bangsa yang manjalankan konsep demokrasi. Amien Rais yang disebut sejumlah kalangan dan pers sebagai lokomotif gerakan reformasi, misalnya, mengatakan bahwa demokrasi yang dimaksud itu adalah demokrasi sebagaimana yang diterapkan di Eropa. Pihak lain ada yang menyebut Amerika sebagai contoh.
Pendeknya, karena ide demokrasi itu memang berasal dari Barat, maka penerapannya tentu harus seperti yang terjadi di Barat. Tapi, bila demikian, apakah demokrasi itu tidak identik dengan westernisasi?
Yang jelas, para pemikir Indonesia Baru itu secara umum berkeinginan mengusung sebuah impian ke tanah Indonesia, sepulang mereka melanglang buana, biasanya ke negara-negara Eropa dan Amerika. Mereka seperti menganggap Indonesia ini hanyalah sebidang tanah kosong yang siap untuk ditebari bibit demokrasi secara begitu saja, tanpa harus lebih dulu meneliti sifat-sifat tanahnya.
Mereka seakan lupa bahwa dalam jiwa bangsa ini telah tertanam dan masih tumbuh sebuah pandangan hidup (worldview) yang telah berusia sekian abad, yang meskipun kini menjadi kurang subur namun terlalu sulit pula untuk dimusnahkan. Dengan demikian, seharusnya menjadi mustahil pula untuk diabaikan.
Pandangan hidup itu, sebut saja sebagai misal yang berasal dari Islam, yang jelas mengakar dalam diri bangsa ini, dan dalam diri suku terbesar bangsa ini, suku Jawa.
Jadi, ketika kita berbincang tentang Indonesia Baru, mengapa melupakan kenyataan yang sangat kasat mata ini? Mengapa tidak pernah dipertanyakan potensi Jawa dan Islam untuk membangun Indonesia Baru? Ada trauma sejarah yang lukanya masih menganga dan bernanah?
Tapi, bila ingin menjadi bangsa yang dewasa dan realistis, mengapa harus berpikir emosional (berasas perasaan) dan traumatis?
Jawa yang mayoritas adalah kekuatan (fisik) terbesar Indonesia, yang bisa jadi mengundang iri dan dengki dari luar (non-Jawa) selain menumbuhkan kesombongan (arogansi) di dalam diri orang Jawa sendiri. Sedangkan Islam yang mayoritas, yang menjadi perekat Jawa dengan suku-suku lain, adalah kekuatan (non-fisik) yang lain, yang bisa menangkal iri dan dengki dengan tebaran rahmatnya. Bila kedua kekuatan ini bersatu secara kompak, orang Barat mungkin akan minder untuk menawarkan demokrasi liberal mereka.
Sayangnya, selain ada yang berpikir traumatis, ada juga yang berpikir penuh ketakutan (phobia), khususnya terhadap Islam. Mereka takut Islam akan menumpas bibit-bibit demokrasi, sehingga ’oleh-oleh’ yang mereka bawa dari Barat itu tak akan bisa tumbuh di sini. Mereka juga takut kalau-kalau Islam akan mengenyahkan agama-agama lain.
Prangsangka-prasangka buruk itu memang wajar saja. Tapi mengapa pula tidak diiringi dengan prasangka baik yang terkait dengan realitas bangsa? Kasarnya, kenyataan bangsa ini yang mayoritas beragama Islam, apakah tidak bisa diandalkan untuk membangun sebuah Indonesia yang lebih baik? Atau, sebaliknya, apakah meyoritas bangsa yang beragama Islam itu – yang semakin hari pemahaman agama mereka juga akan semakin membaik – bisa begitu saja disulap untuk melupakan agama mereka?
Tulisan sederhana ini hanyalah sebuah pengantar untuk memikirkan potensi yang nyata itu; yang bila diabaikan tidak mustahil bakal menjadi sesalan tujuh turunan.
Sejak ”gerakan reformasi” menumbangkan Orde Baru (Orba), wacana bertema ”Indonesia Baru” bergulir di mana-mana. Indonesia yang ’baru’ berusia setengah abad, berkat gerakan reformasi, agaknya dianggap sudah ’kuno’, sehingga harus diperbaharui. Tapi seperti apakah gerangan Indonesia baru itu?
Secara umum orang sepakat mengatakan bahwa Indonesia Baru itu haruslah sebuah Indonesia yang demokratis. Sebuah negara dan bangsa yang manjalankan konsep demokrasi. Amien Rais yang disebut sejumlah kalangan dan pers sebagai lokomotif gerakan reformasi, misalnya, mengatakan bahwa demokrasi yang dimaksud itu adalah demokrasi sebagaimana yang diterapkan di Eropa. Pihak lain ada yang menyebut Amerika sebagai contoh.
Pendeknya, karena ide demokrasi itu memang berasal dari Barat, maka penerapannya tentu harus seperti yang terjadi di Barat. Tapi, bila demikian, apakah demokrasi itu tidak identik dengan westernisasi?
Yang jelas, para pemikir Indonesia Baru itu secara umum berkeinginan mengusung sebuah impian ke tanah Indonesia, sepulang mereka melanglang buana, biasanya ke negara-negara Eropa dan Amerika. Mereka seperti menganggap Indonesia ini hanyalah sebidang tanah kosong yang siap untuk ditebari bibit demokrasi secara begitu saja, tanpa harus lebih dulu meneliti sifat-sifat tanahnya.
Mereka seakan lupa bahwa dalam jiwa bangsa ini telah tertanam dan masih tumbuh sebuah pandangan hidup (worldview) yang telah berusia sekian abad, yang meskipun kini menjadi kurang subur namun terlalu sulit pula untuk dimusnahkan. Dengan demikian, seharusnya menjadi mustahil pula untuk diabaikan.
Pandangan hidup itu, sebut saja sebagai misal yang berasal dari Islam, yang jelas mengakar dalam diri bangsa ini, dan dalam diri suku terbesar bangsa ini, suku Jawa.
Jadi, ketika kita berbincang tentang Indonesia Baru, mengapa melupakan kenyataan yang sangat kasat mata ini? Mengapa tidak pernah dipertanyakan potensi Jawa dan Islam untuk membangun Indonesia Baru? Ada trauma sejarah yang lukanya masih menganga dan bernanah?
Tapi, bila ingin menjadi bangsa yang dewasa dan realistis, mengapa harus berpikir emosional (berasas perasaan) dan traumatis?
Jawa yang mayoritas adalah kekuatan (fisik) terbesar Indonesia, yang bisa jadi mengundang iri dan dengki dari luar (non-Jawa) selain menumbuhkan kesombongan (arogansi) di dalam diri orang Jawa sendiri. Sedangkan Islam yang mayoritas, yang menjadi perekat Jawa dengan suku-suku lain, adalah kekuatan (non-fisik) yang lain, yang bisa menangkal iri dan dengki dengan tebaran rahmatnya. Bila kedua kekuatan ini bersatu secara kompak, orang Barat mungkin akan minder untuk menawarkan demokrasi liberal mereka.
Sayangnya, selain ada yang berpikir traumatis, ada juga yang berpikir penuh ketakutan (phobia), khususnya terhadap Islam. Mereka takut Islam akan menumpas bibit-bibit demokrasi, sehingga ’oleh-oleh’ yang mereka bawa dari Barat itu tak akan bisa tumbuh di sini. Mereka juga takut kalau-kalau Islam akan mengenyahkan agama-agama lain.
Prangsangka-prasangka buruk itu memang wajar saja. Tapi mengapa pula tidak diiringi dengan prasangka baik yang terkait dengan realitas bangsa? Kasarnya, kenyataan bangsa ini yang mayoritas beragama Islam, apakah tidak bisa diandalkan untuk membangun sebuah Indonesia yang lebih baik? Atau, sebaliknya, apakah meyoritas bangsa yang beragama Islam itu – yang semakin hari pemahaman agama mereka juga akan semakin membaik – bisa begitu saja disulap untuk melupakan agama mereka?
Tulisan sederhana ini hanyalah sebuah pengantar untuk memikirkan potensi yang nyata itu; yang bila diabaikan tidak mustahil bakal menjadi sesalan tujuh turunan.
Menggugat budaya Jawa
WS Rendra dalam pidato kebudayaannya yang berjudul Megat Ruh pada peringatan HUT ke-29 Taman Ismail Marzuki, 10 November 1997, menggugat model kekuasaan Jawa. Kritik Rendra terhadap budaya Jawa kemudian dibenarkan oleh budayawan Soetjipto Wirosardjono dan Prapto Yuwono, Ketua Jurusan Sastra Jawa FSUI, yang keduanya dimintai pendapatnya tentang pidato Rendra oleh wartawan. Dua minggu kemudian, 27 November 1997, Kuntowidjoyo, yang juga dikenal sebagai budayawan, menulis kritik untuk mereka, dengan mengatakan bahwa “gugatan pada budaya Jawa seharusnya beralamat kepada kebudayaan Jawa istana klasik.
Kuntowidjoyo berasumsi bahwa para penggugat budaya Jawa itu melakukan dua kesalahan berpikir. Pertama, pars pro toto; dan kedua, anachronism. Dengan pars pro toto (nggebyah uyah, menganggap sebagian sebagai mewakili keseluruhan), menurut Kunto, mereka menemukan budaya istana, lalu menganggapnya sebagai totalitas budaya Jawa, seolah-olah budaya Jawa itu hanya satu padahal sebenarnya tiga. Yaitu budaya istana, pedesaan, dan pesantren.
Kedua, mereka salah dalam merujuk waktu tempat konsep-konsep Jawa itu diambil. Jawa yang diambil adalah Jawa yang ageless, katanya. Seolah-olah Jawa itu satuan yang tidak pernah berubah. Kalau orang mengritik budaya Jawa, kata Kuntowidjoyo, patut ditanyakan: Jawa kapan?
Jawa tidak adil
Rendra, dalam pidato itu, menyebut tatanan masyarakat Jawa sebagai megatruh. Megat artinya memutus. Megat ruh berarti memutus ruh. Rendra mengatakan bahwa tatanan masyarakat Jawa tidak adil, karena tidak pernah bersedia memberikan kesempatan kepada manusia untuk berdaulat. Bahkan dengan tegas ia mengatakan bahwa tatanan masyarakat Jawa itu “layaknya hukum rimba. Pihak yang kuat akan memangsa yang lemah. Yang besar akan meremukkan yang kecil”.
Berbeda dengan Kunto yang agaknya tidak memandang budaya Jawa sebagai suatu sistem (ordered set of ideas), Renda justru memandang bahwa budaya Jawa (yang berporos pada kraton) itu ‘merembes’ secara sistematik ke dalam seluruh tatanan masyarakat Jawa. (Jadi masuk ke pedesaan dan pesantren juga). Setidaknya pandangan Rendra itu tersirat dari kata-katanya bahwa tatanan masya-rakat yang layaknya hukum rimba itu bermula dari zaman para raja dulu, yang tak pernah sudi menaruh perhatian kepada pengembangan daulat manusia. Rakyat dianggap kawula, bukan pemilik negara. Raja adalah segalanya. Lalu ia pun menyebut tokoh-tokoh seperti Ken Arok, Raden Wijaya, Kertanegara, Amangkurat I dan II, Panembahan Senopati. Bagi Rendra, mereka hanya memikirkan diri sendiri. Rakyat hanya dipandang sebagai abdi atau pelayan.
Rendra pun membandingkan mereka dengan raja John dari Inggris yang pada tahun 1215 mencetuskan Magna Carta yang termashur itu. Para raja Jawa, boro-boro punya parlemen seperti John, punya kitab undang-undang pun tidak. Alhasil, mereka bertindak sewenang-wenang. Amangkurat I tega membunuh ayahnya, mengkhianati sahabatnya (Trunojoyo), menggadaikan Semarang kepada VOC, dan menyewakan hutan kepada para cukong. Dia, termasuk para raja pendahulunya, salah mengira bahwa stabilitas negara identik dengan pemusatan kekuasaan. Padahal negara maju berkat dukungan daulat rakyat yang dilindungi daulat hukum. Hal inilah yang disadari raja-raja Inggris (?), hingga kerajaan Inggris pun lestari.
Selanjutnya Rendra menyindir bahwa pengaruh Islam sebenarnya pernah mengubah ‘budaya istana’ itu. Kerajaan Demak, misalnya, memberi tempat bagi hukum fikih dan rela diawasi dewan rakyat, yaitu para wali. Buktinya adalah ‘dokumen’ Salokantara dan Jugul Muda, yang menegaskan bahwa manusia berderajat sama. Itulah yang membuat kerajaan Demak subur-makmur, berkembang dalam segala bidang kehidupan, mulai dari ekonomi, kesenian, sampai teknologi (arsitektur). “Demak memang bukan Mataram,” katanya. Raja-raja Demak sadar dan ikhlas dikontrol. Jasa mereka pun merembes hingga sekarang, yaitu kepada Mohammad Syafei, HOS Cokroaminoto, dan tokoh-tokoh pembela hak asasi manusia dewasa ini.”
Dalam kaitannya dengan masyarakat Indonesia kini (yang masih didominasi ‘budaya istana’ Mataram?), Rendra mengatakan bahwa kita mempunyai UUD ’45 dan Pancasila, yang merupakan sarana budaya untuk menciptakan keadaan sosial dan politik yang terbuka. Yang belum ada hanyalah ketetapan-ketetapan MPR yang akan menjadi undang-undang pelaksanaan asas tersebut.
Jawa tak kenal demokrasi
Menanggapi pidato Rendra, Soetjipto Wirosardjono (Republika, 13 November) mengatakan bahwa dalam budaya Jawa tak ada demokrasi atau kedaulatan rakyat. Kekuasaan raja-raja Jawa sangat represif (mengekang dan menekan). Sistem wisdom-nya juga sangat klasik. Raja adalah wakil Tuhan (dewa) di bumi, sehingga bisa berbuat sekehendaknya. Di lain pihak, rakyat menempatkan diri sebagai kawula atau abdi raja. Karena itu, Soetjipto memandang ironis sekelompok orang yang menganggap budaya istana Jawa sebagai adiluhung (luhur, mulia). Itu tidak sepenuhnya benar, katanya, karena pada mulanya budaya keraton Jawa adalah budaya rakyat biasa. Kenyataannya, rakyat kerajaan Jawa memang tidak berdaulat. Semua tergantung kehendak raja.
Soetjipto menganggap jitu cara Rendra membandingkan sepak-terjang raja Jawa dengan raja Inggris. Dengan itu Rendra ingin menggambarkan masa depan kekuasaan yang mengabaikan kedaulatan rakyat, katanya. Di lain pihak, Prapto Yuwono mengatakan bahwa gugatan Rendra itu bisa dipahami. Apalagi dalam praktiknya, penerapan konsep luhur budaya Jawa kini (!) sudah jauh dari norma idealnya. “Dia memang mengungkit sebuah sistem feodalisme yang diselewengkan,” katanya.
Ia juga membenarkan bahwa budaya Jawa tidak mengenal demokrasi yang identik dengan konsep Barat, karena konsep hubungan penguasa dan rakyat didasarkan pada logika berpikir kawula lan gusti (abdi dan yang diabdi, hamba dan tuan).
Keadilan dalam persepsi kekuasaan Jawa, lanjutnya, adalah selaras dan seimbang. Akibatnya, hukum tidak hanya menjadi sarana penentu benar dan salah. Puncak hukum bagi mereka adalah meluruskan persoalan atau menciptakan perdamaian. Lebih lanjut, sosok pemimpin bagi orang Jawa menjadi tidak penting, dan mereka tidak pernah berpikir untuk ikut mengatur jalannya pemerintahan. Tak peduli siapa pun yang memerintah, yang penting bisa membuat rakyat sejahtera murah sandang-pangan. Cukup. Anehnya, mereka juga tidak mengeluh bila raja ternyata tidak adil. Padahal, orang Inggris bisa ramai-ramai memancung raja mereka yang lalim.
Aib nasional
Kuntowidjoyo agaknya memandang budaya Jawa telah dijadikan kambing hitam. Pelakunya ada dua. Yang pertama adalah mereka yang akekudung walulang macan (serigala berbulu domba?), yang menutupi tindakan (buruk) mereka, yang disebut Kunto sebagai aib nasional (otoritarianisme, “feodalisme”, nepotisme, korupsi, dan kolusi), dengan berpura-pura budaya Jawalah sebagai sumber kelakuannya. Jadi, menurut Kunto, ada pihak-pihak tertentu yang justru mengobyekkan budaya Jawa!
Pelaku pengkambing-hitaman yang kedua adalah para penggugat (pseudo) budaya Jawa itu, yang memandang budaya Jawa secara keseluruhan identik dengan budaya Jawa istana klasik.
Menurut Kunto budaya jawa mempunyai tiga pusat, yaitu istana, pedesaan, dan pesantren. Masing-masing mempunyai simbol sendiri. Tari Bedaya adalah budaya istana. Kuda lumping adalah budaya desa. Selawatan adalah budaya pesantren. Tapi tidak berarti bahwa ketiganya eksklusif. Ronggowarsito yang orang istana, mengenal budaya pesantren sewaktu nyantri di Ponorogo, dan mengenal (sabung) ayam dari budaya desa. Permainan nini thowok masuk istana lewat para pembantu yang berasal dari desa. Wulangreh karangan Pakubuwana IV dan Wedhatama, karangan Mangkunegara IV, dibaca orang desa dalam macapatan. Wayang yang berasal dari istana juga dikenal di desa dan pesantren. Karya-karya Ronggowarsito “universal”, melingkupi setidaknya istana dan pedesaan.
Sayangnya, keluh Kunto, orang mengira bahwa satu-satunya representasi (wakil) budaya Jawa adalah kebudayaan istana. Dalam konsep budaya istana, raja memang gung binathara (jelmaan dewa) dan ambaudhendha (berkuasa mutlak). Menurut budaya istana, raja mempunyai tiga macam kekuasaan (wahyu), yaitu wahyu nurbuwat (hak berkuasa atas seluruh jagad), wahyu hukumah (berhak mengadili), dan wahyu wilayah (hak mewakili Tuhan).
Konsep hierarkinya adalah manunggaling kawula gusti (bersatunya rakyat dengan penguasa). Bentuk lainnya adalah undha usuk (tingkatan bahasa), yang menempatkan bahasa keraton (basa kedhaton) sebagai bahasa istimewa di samping pembagian tiga (krama, madya, ngoko).
Seperti ketiga tokoh di atas, Kuntowidjoyo juga mengatakan bahwa dalam budaya istana demikian memang tidak ada cita-cita demokrasi. Status hubungan darah menentukan kelas-kelas masyarakat. Mobilitas sosial berdasarkan ekonomi tidak mendapat pengesahan. Orang besar (bangsawan, ningrat) adalah orang besar, orang kecil (rakyat jelata) adalah orang kecil, betapapun dia kaya, berilmu, atau saleh.
Tapi di pedesaan ada gambaran Jawa yang lain. Mereka menggunakan bahasa ngoko yang tidak kenal hierarki. Mereka melaksanakan konsep gotong-royong, gugur gunung, dan sambatan, menunjukkan adanya egalitarianisme. Konsep kekuasaan di sini bersifat primus inter pares (“pertama dari yang sama”).
Di pesantren ada hierarki kyai-santri. Keluarga kyai memperoleh penghormatan khusus (istri disebut nyi, anak lelaki gus). Namun mobilitas sosial tetap dimungkinkan. Kyai tak segan-segan menjodohkan anak dengan keluarga non-kyai, terutama dengan kriteria keilmuan.
Tegasnya, menurut Kunto, gugatan terhadap budaya Jawa seharusnya dialamatkan kepada kebudayaan Jawa istana klasik.
Penegasan Kunto itu akhirnya tidak menjadi kritik atas Rendra maupun Soetjipto, karena memang (pengaruh) budaya istana itulah yang digugat Rendra dan orang-orang yang sepandangan dengannya. Mereka tidak menggugat budaya Jawa pedesaan maupun pesantren. Kedua yang terakhir ini memang tidak mereka sebutkan. Mungkin karena tidak re-levan dengan gagasan yang mereka ungkapkan. Atau karena bagi mereka, mungkin, ‘pengkotakan’ seperti yang dilakukan Kuntowidjoyo itu tak ada gunanya, karena semua tercakup dalam satu sistem kebudayaan yang sama. Misalnya, tidaklah benar bahwa di desa tidak ada hierarki, karena di desa juga masih ada kepala desa atau orang-orang yang dituakan, yang diperlakukan sama dengan kyai di pesantren, yang kepada mereka warga desa tidak bisa berbicara dengan bahasa ngoko begitu saja. Dan perlu diingat juga bahwa sebutan kyai semula tidak digunakan untuk para pemilik pesantren atau guru agama, tapi ditujukan kepada para guru ilmu gaib, dukun, dan sebagainya. Ini mengisyaratkan bahwa budaya pesantren adalah sesuatu yang baru dalam tatanan budaya Jawa (mungkin dibawa orang Arab Hadramaut). Bahkan kalau ukurannya cuma sekadar berbahasa, ada narasumber penulis (orang kraton) yang mengatakan bahwa di lingkungan keraton Yogya anak-anak para bangsawan berbicara satu sama lain tanpa bahasa krama. Kebiasaan berbahasa mereka baru berubah setelah mereka dipastikan menempati jabatan-jabatan tertentu di dalam istana.
Bila Kunto menyebutkan bahwa di pesantren seorang kyai bisa menjodohkan anaknya dengan anak non-kyai, di istana juga seorang raja tidak keberatan memperistri anak orang desa, meski statusnya cuma sebagai garwa ampilan (selir). Dan bila di pesantren sang kyai bisa mengambil menantu dari keluarga non-kyai, dengan kriteria keilmuan, di istana juga seorang raja kadang mengawinkan puterinya dengan anak orang biasa yang berprestasi dalam keprajuritan. Tapi ini bukan berarti bahwa pusat-pusat budaya yang disebutkan Kunto itu lantas menjadi tidak ekslusif. Buktinya, seperti disebutkan Kunto, mobilitas sosial berdasarkan ekonomi tidak mendapat pengesahan. Jadi, adanya ‘pertemuan antar pusat budaya’ itu tidak lantas membuat budaya Jawa jadi egaliter dan terbuka. Apalagi pertemuan itu hanya terjadi di permukaan saja. Masuknya permainan nini thowok ke istana tidak menjadi ‘tiket’ bagi orang desa untuk bebas masuk istana. Merakyatnya Wulangreh juga bukan berarti bahwa para bangsawan turun ke desa untuk mengajarkannya, tapi karena dibawa oleh para abdi istana, yang lantas mengajarkan macapatan kepada anak-anak mereka.
Diterimanya wayang, termasuk wayang orang, oleh rakyat (tapi ditolak keras kalangan pesantren karena jelas sekali warna Hindunya!) juga tidak menjadi sarana untuk memesrakan rakyat dengan kalangan istana. Bahkan boleh jadi melalui wayanglah kalangan istana ‘mendidik’ rakyat untuk tetap mengagungkan mereka. Seorang guru tari Jawa bercerita kepada penulis bahwa ia, yang anak seorang abdi dalem, mengetahui hierarki istana melalui wayang orang. Melalui itu pula ia tahu tata-cara menghadap pejabat mulai dari tingkat bawah sampai tingkat tertinggi. Ia juga mengaku punya dua kakak wanita, yang tidak menyukai tari karena mereka mendalami agama!
Bicara tentang kebudayaan satu bangsa tentu harus mengacu kepada kebudayaan yang paling berpengaruh, bukan pada semua kebudayaan yang ada. Bila bicara kebudayaan Jawa, bagaimana pun yang terasa paling berpengaruh dalam kehidupan sehari-hari adalah budaya istananya. Kenyataannya, budaya istanalah yang mengendalikan kehidupan seluruh masyarakat, karena para pejabat istana itulah yang menjadi para ‘eksekutif’ yang bertindak langsung berdasar konsep budaya tersebut, yang berkuasa memberlakukan peraturan sampai ke desa dan pesantren.
2. JAWA DAN INDONESIA BARU
Dalam suatu kesempatan mengajar agama di kampung, penulis pernah ditanya seorang peserta pengajian: ”Mengapa jemaah haji Indonesia terkenal begitu baik dan patuh pada peraturan?” Jawaban penulis adalah: “Karena mereka sebagian besar orang Jawa. Orang Jawa itu cenderung sopan, patuh pada peraturan, khususnya peraturan Tuhan. Mereka juga sangat menghargai atasan, karena percaya bahwa atasan mereka adalah pemegang amanat Tuhan.”
Tentu saja itu bukan jawaban yang jitu. Penulis sendiri memberikan jawaban tersebut dengan nada bergurau. Tapi ada juga keyakinan bahwa di dalamnya terkandung kebenaran.
Konon sekitar 65 persen bangsa Indonesia adalah orang (bersuku) Jawa, 15 persen orang Sunda, dan sisanya (20 persen) adalah orang dari puluhan suku lain. Dengan kenyataan ini, memang menjadi ‘demokratis’ bila presiden pertama dan kedua kita adalah orang Jawa. Bahkan warga dari suku non-Jawa barangkali tak sedikit yang beranggapan bahwa hasrat menjadi presiden RI bagi mereka adalah sebuah mimpi yang tidak wajar. Tapi ‘untunglah’ presiden kedua kita, yang menganggap dirinya sebagai prabu (raja), dan kemudian lengser (turun) untuk menjadi pandito (pendeta) itu melakukan kesalahan-kesalahan besar, sehingga budaya Jawa pun tercemar olehnya. Maka orang Jawa yang dominan itu pun mau tidak mau harus menerima Habibie yang bukan Jawa sebagai presiden RI ketiga.
Tapi Habibie hanyalah ‘orang yang menerima berkah dari sebuah kesalahan’. Karena itu ia tidak bisa bertahan lama.
Lalu, presiden kita yang keempat, Gus Dur, ternyata orang Jawa lagi (walau ia pernah mengatakan dirinya mungkin keturunan Cina). Tapi perlu dicatat bahwa ia menjadi presiden yang sangat legitimate (sah) bukan hanya karena Jawa, namun juga karena ia beragama Islam, bahkan bergelar kiai. Ini tentu sebuah gejala yang menarik, untuk dijadikan wacana baru tentang hubungan Jawa, Islam, dan pembangunan Indonesia baru.
Hubungan disharmoni (?)
Hubungan Jawa, Islam, dan Indonesia adalah solid reality; sebuah kenyataan yang sama kokoh dan menyoloknya seperti Gunung Himalaya. Namun selama ini hubungan tersebut selalu dilihat dengan kacamata yang kurang bening; sehingga timbullah opini-opini yang mengesankan sebuah hubungan yang tidak harmonis. Dalam kalimat yang ‘keras’, opini tersebut misalnya mengatakan bahwa (budaya) Jawa dirusak oleh Islam, dan sebaliknya (ajaran) Islam dirusak oleh Jawa. Sedangkan dalam kaitan dengan Indonesia ada anggapan bahwa orang Jawa terlalu mengalah pada Melayu, sehingga Jawa yang mayoritas itu harus menerima Bahasa Melayu menjadi Bahasa nasional; dus berarti orang Jawa harus ‘melupakan’ bahasa mereka yang lebih kaya. Sebaliknya, karena orang Jawa selalu dominan dalam kekuasaan, ada pula anggapan bahwa di Indonesia berlangsung apa yang disebut Jawanisasi. Anggapan ini timbul antara lain karena program transmigrasi dan ‘ekspansi’ kekuasaan eksekutif (ABRI) yang identik pula dengan Jawa ke tiap propinsi. Dalam situasi seperti ini, menjadi orang Indonesia bersuku Jawa seolah-olah merupakan suatu kesa-lahan. Tapi siapa yang patut disalahkan?
Dalam situasi ‘serba salah’, sering kali orang lupa bahwa sumber kesalahan itu sebenanya hanyalah sebuah paradigma yang keliru atau kurang pas, tapi (terlanjur) dipaksakan untuk diterapkan. Tapi agaknya sebuah paradigma kadang mempunyai kesamaan dengan sebuah hipotesis, yang di ujung proses pembuktiannya bisa terbukti benar, bisa juga ternyata salah. Namun jangan pula kecil hati; karena hipotesis yang terbukti salah pun bisa menyebabkan lahirnya sebuah pengetahuan baru!
Jawa dan Islam
Dari seorang teman (kini terkenal sebagai seorang tokoh muda NU), penulis pernah mendengar anggapan bahwa orang Jawa tak akan pernah bisa menjadi muslim sejati, karena mereka cenderung sinkretis. Penulis (orang Sunda) kaget mendengar asumsi tersebut; terutama karena dalam pandangan penulis waktu itu sinkretisme berarti syirik (Arab: syirk), dan syirik adalah dosa yang tidak terampuni.
Tapi mungkin teman penulis itu bercanda, atau hanya melontarkan semacam sindiran tajam terhadap sebagian orang Jawa. Ia sendiri orang Jawa, dan boleh dikatakan sangat taat beragama (Islam). Waktu itu penulis sendiri menentangnya dengan mengatakan bahwa kenyataannya kebanyakan orang Indonesia beragama Islam, yang otomatis berarti kebanyakan orang Jawa beragama Islam; dan di antara mereka ternyata banyak yang lantang meneriakkan seruan-seruan anti syirik.
Selain itu, tentu saja, sinkretisme juga bukan hanya ‘milik’ orang Jawa!
Jawa dan lambang
Budaya Jawa sudah lama dikenal sebagai adi-luhung, tapi belakangan dikecam (antara lain oleh Rendra, Soetjipto) sebagai tidak demokratis. Dalam konteks inilah, ketika demokrasi sedang naik daun, sosok Gus Dur bisa dikatakan sebagai penyelamat muka orang Jawa, karena ia adalah orang Jawa yang demokrat.
Tapi benarkah bahwa tiadanya demokrasi dalam budaya Jawa lantas menjadi alasan kuat untuk melupakan sebutan adiluhung bagi budaya Jawa?
Budaya Jawa sebenarnya memang adiluhung, bila dipahami dengan pemahaman orang Jawa sendiri, yang umumnya cenderung pada bahasa simbol. Dengan demikian orang Jawa juga tidak perlu jadi inferior (minder) karena dalam budaya mereka tak ada demokrasi, karena demokrasi sendiri bukanlah sesuatu yang tanpa cacat (besar), dan tanpa demokrasi pun belum tentu otomatis menjadi tidak benar. Tanpa demokrasi, misalnya, belum tentu tidak bisa menegakkan keadilan dan mencapai kemakmuran.
Budaya Jawa terbentuk paling tidak melalui perkenalan mereka dengan konsep (agama) Hindu dan Islam. Melalui kedua agama inilah orang Jawa kemudian mampu membangun sebuah kerangka berpikir (paradigma) yang utuh dan sangat kokoh, yang otomatis mempengaruhi pembentukan struktur formal mereka yang kokoh pula, karena sangat legitimate (didukung rakyat).
Sayangnya, bila sebuah bangunan pikiran sudah melahirkan struktur formal - yang sebenarnya merupakan konsekuensi logisnya, berbagai penyakit (kepentingan) pun mulai datang mengerubuti. Akhirnya struktur formal itu – yang kemudian menjadi lambang kekuasaan - dimanfaatkan para oknum sebagai alat untuk pemenuhan segala kepentingan mereka. Sebuah struktur formal akhirnya tumbuh menjulang dalam bentuk bangunan-bangunan fisik (infrastruktur) yang kehilangan ruh aslinya. Inilah awal kehancuran setiap kebudayaan agung.
Dalam konteks Jawa, ada kemungkinan ‘para pejuang kepentingan’ itu memanfaatkan kecerdikan mereka untuk memanipulasi konsep budaya Jawa yang dikemas dalam bahasa yang penuh lambang. Ada kemungkinan mereka melakukan ‘pendangkalan makna’ dalam lambang-lambang, demi mengelabui rakyat yang bodoh.
Keunggulan budaya Jawa itu memang nampak sangat jelas, bila kita memahami bahasa lambang. Konsep Jawa yang menganggap raja sebagai penjelmaan dewa (pengaruh Hindu?), misalnya, akan berbeda arti dan penerjemahannya dalam perilaku raja dan rakyat bila dipahami sebagai bahasa lambang. Dengan bahasa lambang di sini, penjelmaan dewa tidak harus merujuk pada dewa sebagai suatu oknum seperti yang terungkap melalui cerita wayang, tapi sebagai oknum yang mempunyai konsep untuk mengatur kehidupan manusia. Jadi, menitisnya sang dewa ke dalam diri seorang raja, harus diartikan sebagai diterimanya peraturan dewa oleh sang raja, sebagai amanat. Ini akan semakin jelas bila dikaitkan dengan kenyataan bahwa dewa mendaulat seorang raja melalui wahyu. (Ini adalah kosakata Islam, yang menandai dipilihnya seseorang, oleh Allah, untuk memimpin manusia).
Konsep berikutnya, bahwa raja berkuasa mutlak, juga harus dipahami dalam kerangka pemikiran demikian; yakni bahwa seorang raja mendapat kekuasaan mutlak karena ia adalah pemegang teguh amanat dewa. Jadi, mematuhi raja yang demikian berarti mematuhi dewa. Dalam konsep Islam, raja seperti ini identik dengan Rasul. Siapa yang patuh pada Rasul berarti patuh kepada Allah. (Surat An-Nisa ayat 80).
Sedangkan wahyu nurbuwat, hak berkuasa atas seluruh jagad, juga tidak lain dari pengakuan atas kekuasaan dewa. Seorang raja yang mengemban wahyu ini pada hakikatnya berhak untuk menjadi pemimpin dunia, karena konsep yang dipegangnya berasal dari pencipta dunia. Namun dalam kenyataan konsep dewa itu tidak selalu bisa diterima semua orang. Karena itu, pengertian istilah jagad ini harus dibatasi pada wilayah kekuasaan sang raja saja. Jadi sebagai sebutan lain bagi negara. Otomatis selanjutnya sang raja pun memiliki wahyu hukumah dan wahyu wilayah, yang keduanya merupakan suatu kesatuan, sehingga berarti “berhak mengadili sebagai wakil dewa”. Artinya hukum raja adalah hukum dewa, bukan hukum ciptaan sang raja sendiri, sehingga ia menjadi can do no wrong (tidak bisa berbuat salah).
Konsep manunggaling kawula gusti pun bisa menjadi landasan hidup egaliter bila dipahami dengan cara ini. Jadi, gusti (raja) dan kawula (semua yang dipimpin raja) pada hakikatnya adalah tunggal (satu). Sama-sama manusia, dan sama-sama pelaksana konsep dewa, meski berbeda-beda posisinya dalam tatanan masyarakat.
Dalam masyarakat demikian memang tidak ada demokrasi. Tidak ada konsep bahwa benar atau salah ditentukan oleh suara terbanyak. Yang ada cuma satu suara, suara dewa. Jadi di sini tidak berlaku prinsip vox populi vox dei (suara rakyat berarti suara Tuhan), tapi vox dei vox populi (suara Tuhan dipatuhi rakyat).
Pahamnya rakyat Jawa (secara naluriah?) akan konsep ini terbukti dengan asas yang mereka pegang, yaitu nrimo ing pandhum. Ini sama sekali beda dengan konsep predestination dalam teologi Kristen, atau jabariyah dalam teologi Islam (yang merupakan adaptasi teologi Kristen/Yunani), bila cara pemahamannya memang seperti tersebut di atas. Menerima nasib di sini adalah menerima peraturan yang benar (karena berasal dari Yang Mahabenar). Maka nrimo ing pandhum ini adalah suatu cara untuk menjaga keselarasan dan keseimbangan, demi terciptanya kedamaian hidup. Otomatis sosok pemimpin bagi mereka menjadi tidak penting, dan mereka tidak ingin ikut mengatur jalannya pemerintahan. Ini sama sekali bukan ciri sikap apatis, tapi menggambarkan betapa tingginya kesadaran mereka. Betapa tahu dirinya mereka sebagai manusia, yang hanya bisa hidup dalam keselarasan, keseimbangan, dan kedamaian bila patuh pada aturan yang berasal dari atas (dewa/tuhan).
Lalu bagaimana dengan sikap mereka, yang tidak berani menghukum raja yang lalim? Jawabnya adalah: mereka tak mau main hakim sendiri; dalam arti tidak mau menghukum melalui tindakan yang melawan hukum. Mereka hanya diam ketika pemegang amanat berkhianat, karena mereka sadar bahwa yang paling tahu tentang amanat itu adalah yang dipercaya menjadi pemegangnya. Bila mereka berkhianat, mereka pula yang paling tahu hukuman apa yang layak diterima. Bila rakyat tahu pemegang amanat sudah berkhianat tapi tidak mengaku, malah berusaha menutup-nutupi kesalahan, rakyat hanya diam. Namun bila yang bersangkutan memahami, diamnya mereka itu adalah suatu cara protes yang keras. Kalau mereka yang ‘bodoh’ saja bisa memahami hukum sang pencipta, mengapa yang diberi mandat hukum itu malah berbuat seenaknya? Pada tahap berikutnya sikap diam ini memang bisa menjadi sikap apatis. Tapi bila rakyat sudah apatis, bukankah itu berarti bahwa si raja sudah tak punya rakyat lagi, karena rakyatnya sudah jadi ‘patung’ semua? Bila rakyat sudah mematung tapi si raja masih juga tidak mengerti, berarti ‘naluri kejawaan’ si raja memang sudah rusak.
Tapi tidak benar pula bahwa semua orang Jawa suka dengan sikap diam. Seorang dosen agama Universitas Nasional Jakarta (UNJ), asal Indramayu, mengatakan kepada penulis bahwa orang Jawa punya cara protes terhadap pemimpin yang tidak adil, yang disebut mungkes. Dikatakannya bahwa mungkes ini bisa disamakan dengan ‘tradisi’ walkout di DPR. Bila merujuk Al-Qurãn, katanya, istilah tersebut sama dengan walla mudbiran. Teman penulis (asal Solo) juga mengingatkan bahwa orang Jawa juga punya cara untuk memprotes raja, yang disebut pepe, yaitu beramai-ramai menjemur diri di depan kraton.
Demikianlah orang Jawa. Suatu suku bangsa yang, menurut penulis, mempunyai jiwa yang sangat kondusif bagi nilai-nilai Islam yang universal. Dengan demikian, selagi Jawa, Islam, dan Indonesia tidak bisa dipisahkan, pembangunan Indonesia baru juga tidak bisa dilakukan dengan mengabaikan faktor Jawa dan Islam. Jawa (mayoritas) adalah pemeluk Islam. Mereka turut mengukuhkan Islam di bumi, dan Islam menjadi identias mereka setelah suku dan bahasa. Bila mereka menjadi pemeluk Islam yang serius, Islam akan semakin mencemerlangkan mereka. Bila mereka cemerlang, pasti Indonesia juga cemerlang. Suku-suku lain yang beragama Islam pasti bangga bersatu dengan mereka. Yang tidak beragama Islam akan rugi bila berjauhan dengan mereka. Pendekanya, Jawa yang Islami juga menjadi jaminan bagi kelestarian integrasi bangsa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar