Sabtu, 17 September 2011

Membangun Indonesia Baru Bersama Jawa Dan Islam ????


Amien Rais. Ada yang mengatakan tampang Pak Amien mirip George Walker Bush. (Gambar diambil dalam kesempatan peluncuran bukunya, Selamatkan Indonesia, di Senayan, 13-5-2008.
Amien Rais. Ada yang mengatakan tampang Pak Amien mirip George Walker Bush. (Gambar diambil dalam kesempatan peluncuran bukunya, Selamatkan Indonesia, di Senayan, 13-5-2008.
1. MEREKA MENGGUGAT BUDAYA JAWA

Pendahuluan
Sejak ”gerakan reformasi” menumbangkan Orde Baru (Orba), wacana bertema ”Indonesia Baru” bergulir di mana-mana. Indonesia yang ’baru’ berusia setengah abad, berkat gerakan reformasi, agaknya dianggap sudah ’kuno’, sehingga harus diperbaharui. Tapi seperti apakah gerangan Indonesia baru itu?
Secara umum orang sepakat mengatakan bahwa Indonesia Baru itu haruslah sebuah Indonesia yang demokratis. Sebuah negara dan bangsa yang manjalankan konsep demokrasi. Amien Rais yang disebut sejumlah kalangan dan pers sebagai lokomotif gerakan reformasi, misalnya, mengatakan bahwa demokrasi yang dimaksud itu adalah demokrasi sebagaimana yang diterapkan di Eropa. Pihak lain ada yang menyebut Amerika sebagai contoh.
Pendeknya, karena ide demokrasi itu memang berasal dari Barat, maka penerapannya tentu harus seperti yang terjadi di Barat. Tapi, bila demikian, apakah demokrasi itu tidak identik dengan westernisasi?
Yang jelas, para pemikir Indonesia Baru itu secara umum berkeinginan mengusung sebuah impian ke tanah Indonesia, sepulang mereka melanglang buana, biasanya ke negara-negara Eropa dan Amerika. Mereka seperti menganggap Indonesia ini hanyalah sebidang tanah kosong yang siap untuk ditebari bibit demokrasi secara begitu saja, tanpa harus lebih dulu meneliti sifat-sifat tanahnya.
Mereka seakan lupa bahwa dalam jiwa bangsa ini telah tertanam dan masih tumbuh sebuah pandangan hidup (worldview) yang telah berusia sekian abad, yang meskipun kini menjadi kurang subur namun terlalu sulit pula untuk dimusnahkan. Dengan demikian, seharusnya menjadi mustahil pula untuk diabaikan.
Pandangan hidup itu, sebut saja sebagai  misal yang berasal dari Islam, yang jelas mengakar dalam diri bangsa ini, dan dalam diri suku terbesar bangsa ini, suku Jawa.
Jadi, ketika kita berbincang tentang Indonesia Baru, mengapa melupakan kenyataan yang sangat kasat mata ini? Mengapa tidak pernah dipertanyakan potensi Jawa dan Islam untuk membangun Indonesia Baru? Ada trauma sejarah yang lukanya masih menganga dan bernanah?
Tapi, bila ingin menjadi bangsa yang dewasa dan realistis, mengapa harus berpikir emosional (berasas perasaan) dan traumatis?
Jawa yang mayoritas adalah kekuatan (fisik) terbesar Indonesia, yang bisa jadi mengundang iri dan dengki dari luar (non-Jawa) selain menumbuhkan kesombongan (arogansi) di dalam diri orang Jawa sendiri. Sedangkan Islam yang mayoritas, yang menjadi perekat Jawa dengan suku-suku lain, adalah kekuatan (non-fisik) yang lain, yang bisa menangkal iri dan dengki dengan tebaran rahmatnya. Bila kedua kekuatan ini bersatu secara kompak, orang Barat mungkin akan minder untuk menawarkan demokrasi liberal mereka.
Sayangnya, selain ada yang berpikir traumatis, ada juga yang berpikir penuh ketakutan (phobia), khususnya terhadap Islam. Mereka takut Islam akan menumpas bibit-bibit demokrasi, sehingga ’oleh-oleh’ yang mereka bawa dari Barat itu tak akan bisa tumbuh di sini. Mereka juga takut kalau-kalau Islam akan mengenyahkan agama-agama lain.
Prangsangka-prasangka buruk itu memang wajar saja. Tapi mengapa pula tidak diiringi dengan prasangka baik yang terkait dengan realitas bangsa? Kasarnya, kenyataan bangsa ini yang mayoritas beragama Islam, apakah tidak bisa diandalkan untuk membangun sebuah Indonesia yang lebih baik? Atau, sebaliknya, apakah meyoritas bangsa yang beragama Islam itu – yang semakin hari pemahaman agama mereka juga akan semakin membaik – bisa begitu saja disulap untuk melupakan agama mereka?
Tulisan sederhana ini hanyalah sebuah pengantar untuk memikirkan potensi yang nyata itu; yang bila diabaikan tidak mustahil bakal menjadi sesalan tujuh turunan.
ws-rendra1
Menggugat budaya Jawa
WS  Rendra dalam pidato kebudayaannya yang berjudul Megat Ruh pada  peringatan   HUT ke-29 Taman Ismail Marzuki, 10 November 1997, menggugat model kekuasaan Jawa. Kritik Rendra terhadap budaya Jawa kemudian dibenarkan oleh  budayawan Soetjipto Wirosardjono dan Prapto  Yuwono, Ketua Jurusan Sastra Jawa FSUI, yang keduanya dimintai  pendapatnya tentang pidato Rendra oleh wartawan. Dua minggu kemudian,  27  November 1997, Kuntowidjoyo, yang juga dikenal sebagai budayawan,  menulis kritik untuk mereka, dengan mengatakan bahwa “gugatan pada budaya Jawa seharusnya beralamat kepada kebudayaan Jawa istana  klasik.
Kuntowidjoyo berasumsi bahwa para penggugat budaya Jawa  itu  melakukan dua kesalahan berpikir. Pertama, pars pro toto; dan kedua, anachronism. Dengan pars pro toto (nggebyah uyah, menganggap  sebagian sebagai mewakili keseluruhan), menurut Kunto, mereka menemukan budaya istana, lalu menganggapnya sebagai totalitas budaya Jawa, seolah-olah budaya Jawa itu hanya satu  padahal  sebenarnya tiga. Yaitu budaya istana, pedesaan, dan pesantren.
Kedua, mereka salah dalam merujuk waktu tempat konsep-konsep Jawa itu diambil. Jawa yang diambil adalah Jawa yang ageless, katanya. Seolah-olah Jawa itu satuan yang tidak pernah berubah. Kalau orang mengritik budaya Jawa, kata Kuntowidjoyo, patut  ditanyakan: Jawa kapan?
Jawa tidak adil
Rendra,  dalam pidato itu, menyebut tatanan masyarakat  Jawa sebagai megatruh. Megat artinya memutus. Megat ruh berarti  memutus   ruh. Rendra mengatakan bahwa tatanan masyarakat Jawa tidak adil, karena tidak pernah bersedia memberikan kesempatan kepada manusia untuk berdaulat. Bahkan dengan tegas ia mengatakan bahwa tatanan  masyarakat  Jawa  itu  “layaknya hukum rimba. Pihak yang kuat  akan  memangsa  yang lemah. Yang besar akan meremukkan yang kecil”.
Berbeda dengan Kunto yang agaknya tidak memandang budaya Jawa sebagai suatu sistem (ordered set of ideas), Renda justru  memandang bahwa budaya Jawa (yang berporos pada kraton) itu ‘merembes’ secara sistematik ke dalam seluruh tatanan masyarakat  Jawa. (Jadi masuk ke pedesaan dan pesantren juga). Setidaknya pandangan Rendra  itu  tersirat dari kata-katanya bahwa  tatanan  masya-rakat yang layaknya hukum rimba itu bermula dari zaman para raja  dulu, yang tak pernah sudi menaruh perhatian kepada pengembangan daulat manusia. Rakyat dianggap kawula, bukan pemilik negara. Raja  adalah segalanya. Lalu ia pun menyebut tokoh-tokoh seperti Ken Arok, Raden Wijaya, Kertanegara, Amangkurat I dan II, Panembahan  Senopati.  Bagi Rendra, mereka hanya memikirkan diri sendiri.  Rakyat hanya dipandang sebagai abdi atau pelayan.
Rendra  pun membandingkan mereka dengan raja John dari  Inggris yang pada tahun 1215 mencetuskan Magna Carta yang  termashur  itu. Para raja Jawa, boro-boro punya parlemen seperti John, punya  kitab  undang-undang pun tidak. Alhasil, mereka  bertindak  sewe­nang-wenang. Amangkurat I tega membunuh ayahnya, mengkhianati sahabatnya  (Trunojoyo), menggadaikan Semarang kepada VOC, dan  me­nyewakan hutan kepada para cukong. Dia, termasuk para raja penda­hulunya, salah mengira bahwa stabilitas negara identik dengan pe­musatan  kekuasaan.  Padahal negara maju berkat  dukungan  daulat rakyat yang dilindungi daulat hukum. Hal inilah yang disadari ra­ja-raja Inggris (?), hingga kerajaan Inggris pun lestari.
Selanjutnya Rendra  menyindir bahwa pengaruh Islam  sebenarnya  pernah mengubah ‘budaya istana’ itu. Kerajaan Demak, misalnya,  memberi tempat bagi hukum fikih dan rela  diawasi  dewan  rakyat,  yaitu para wali. Buktinya adalah  ‘dokumen’  Salokantara  dan  Jugul Muda, yang menegaskan bahwa manusia  berderajat sama. Itulah yang membuat kerajaan Demak subur-makmur, berkembang dalam  segala  bidang  kehidupan, mulai dari ekonomi, kesenian,  sampai  teknologi  (arsitektur). “Demak memang bukan Mataram,”  katanya.  Raja-raja  Demak  sadar  dan ikhlas dikontrol.  Jasa  mereka  pun merembes hingga sekarang, yaitu kepada Mohammad Syafei, HOS  Cokroaminoto, dan tokoh-tokoh pembela hak asasi manusia dewasa ini.”
Dalam kaitannya dengan masyarakat Indonesia kini (yang masih didominasi ‘budaya istana’ Mataram?), Rendra mengatakan bahwa kita mempunyai UUD ’45 dan Pancasila, yang merupakan sarana  budaya  untuk  menciptakan keadaan sosial dan politik yang terbuka.  Yang  belum ada hanyalah ketetapan-ketetapan MPR yang akan menjadi  undang-undang pelaksanaan asas tersebut.
Jawa tak kenal demokrasi
Menanggapi pidato Rendra, Soetjipto Wirosardjono (Republika, 13 November) mengatakan bahwa dalam budaya Jawa tak ada demokrasi  atau kedaulatan rakyat. Kekuasaan raja-raja Jawa sangat  represif (mengekang  dan menekan).  Sistem wisdom-nya juga sangat  klasik.  Raja adalah wakil Tuhan (dewa) di bumi, sehingga bisa berbuat se­kehendaknya. Di lain pihak, rakyat menempatkan diri sebagai kawu­la  atau abdi raja. Karena itu, Soetjipto memandang ironis  seke­lompok orang yang menganggap budaya istana Jawa sebagai adiluhung (luhur, mulia). Itu tidak sepenuhnya benar, katanya, karena  pada mulanya budaya keraton Jawa adalah budaya rakyat biasa.  Kenyataannya, rakyat kerajaan Jawa memang tidak berdaulat. Semua tergantung kehendak raja.
Soetjipto  menganggap jitu cara Rendra membandingkan  sepak-terjang  raja Jawa dengan raja Inggris. Dengan itu  Rendra  ingin menggambarkan  masa depan kekuasaan yang  mengabaikan  kedaulatan rakyat, katanya. Di lain pihak, Prapto Yuwono mengatakan bahwa gugatan Rendra  itu bisa dipahami. Apalagi dalam praktiknya, penerapan konsep luhur budaya Jawa kini (!) sudah jauh dari norma idealnya. “Dia memang mengungkit sebuah sistem feodalisme yang diselewengkan,” katanya.
Ia juga membenarkan bahwa budaya Jawa tidak mengenal demokrasi yang identik dengan konsep Barat, karena konsep  hubungan  penguasa  dan rakyat didasarkan pada logika berpikir kawula  lan gusti (abdi dan yang diabdi, hamba dan tuan).
Keadilan dalam persepsi kekuasaan Jawa,  lanjutnya, adalah selaras dan seimbang. Akibatnya, hukum tidak hanya menjadi sarana penentu benar dan salah. Puncak hukum bagi mereka adalah meluruskan  persoalan atau menciptakan perdamaian. Lebih  lanjut,  sosok  pemimpin bagi orang Jawa menjadi tidak penting, dan mereka  tidak pernah  berpikir untuk ikut mengatur jalannya  pemerintahan.  Tak  peduli siapa pun yang memerintah, yang penting bisa membuat  rakyat sejahtera  murah sandang-pangan. Cukup. Anehnya, mereka juga tidak mengeluh bila raja ternyata tidak adil. Padahal,  orang Inggris bisa ramai-ramai memancung raja mereka yang lalim.
Aib nasional
Kuntowidjoyo agaknya memandang budaya Jawa telah  dijadikan kambing hitam. Pelakunya ada dua. Yang pertama adalah mereka yang akekudung walulang macan (serigala berbulu domba?), yang menutupi tindakan (buruk) mereka, yang disebut Kunto sebagai aib nasional (otoritarianisme, “feodalisme”, nepotisme, korupsi, dan  kolusi), dengan  berpura-pura budaya Jawalah sebagai  sumber  kelakuannya.  Jadi, menurut Kunto, ada pihak-pihak tertentu yang justru mengobyekkan budaya Jawa!
Pelaku pengkambing-hitaman yang kedua adalah para  penggugat (pseudo) budaya Jawa itu, yang memandang budaya Jawa secara keseluruhan identik dengan budaya Jawa istana klasik.
Menurut Kunto budaya jawa mempunyai tiga  pusat, yaitu istana,  pedesaan, dan pesantren.  Masing-masing mempunyai  simbol  sendiri.  Tari Bedaya adalah budaya istana. Kuda  lumping  adalah  budaya desa. Selawatan adalah budaya pesantren. Tapi tidak berarti  bahwa ketiganya eksklusif. Ronggowarsito yang  orang  istana,  mengenal budaya pesantren sewaktu nyantri di Ponorogo, dan mengenal (sabung) ayam dari budaya desa. Permainan nini thowok masuk istana lewat para pembantu yang berasal dari desa. Wulangreh  karangan Pakubuwana IV dan Wedhatama, karangan Mangkunegara IV, dibaca  orang desa dalam macapatan. Wayang yang berasal dari istana  juga  dikenal di desa dan pesantren. Karya-karya Ronggowarsito “universal”, melingkupi setidaknya istana dan pedesaan.
Sayangnya, keluh Kunto, orang mengira bahwa satu-satunya representasi  (wakil) budaya Jawa adalah kebudayaan  istana.  Dalam konsep  budaya istana, raja memang gung binathara (jelmaan  dewa)  dan  ambaudhendha (berkuasa mutlak). Menurut budaya istana,  raja mempunyai tiga macam kekuasaan (wahyu), yaitu wahyu nurbuwat (hak  berkuasa  atas seluruh jagad), wahyu hukumah (berhak  mengadili), dan wahyu wilayah (hak mewakili Tuhan).
Konsep hierarkinya adalah manunggaling kawula gusti  (bersatunya  rakyat dengan penguasa). Bentuk lainnya adalah undha  usuk (tingkatan bahasa), yang menempatkan bahasa keraton (basa kedhaton)  sebagai bahasa istimewa di samping pembagian  tiga  (krama,  madya, ngoko).
Seperti  ketiga tokoh di atas, Kuntowidjoyo juga  mengatakan bahwa dalam budaya istana demikian memang tidak ada cita-cita demokrasi. Status hubungan darah menentukan kelas-kelas masyarakat. Mobilitas  sosial berdasarkan ekonomi tidak mendapat pengesahan.  Orang besar (bangsawan, ningrat) adalah orang besar, orang  kecil  (rakyat jelata) adalah orang kecil, betapapun dia kaya,  berilmu,  atau  saleh.
Tapi di pedesaan ada gambaran Jawa yang lain. Mereka menggunakan bahasa ngoko yang tidak kenal hierarki. Mereka melaksanakan konsep gotong-royong,  gugur gunung, dan  sambatan, menunjukkan adanya egalitarianisme. Konsep kekuasaan di sini bersifat  primus inter pares (“pertama dari yang sama”).
Di pesantren ada hierarki kyai-santri. Keluarga kyai  memperoleh  penghormatan khusus (istri disebut nyi, anak lelaki  gus).  Namun  mobilitas sosial tetap dimungkinkan. Kyai tak  segan-segan  menjodohkan anak dengan keluarga non-kyai, terutama dengan kriteria keilmuan.
Tegasnya, menurut Kunto, gugatan terhadap budaya Jawa  seharusnya dialamatkan kepada kebudayaan Jawa istana klasik.
Penegasan Kunto itu akhirnya tidak menjadi kritik atas Rendra maupun Soetjipto, karena memang (pengaruh) budaya istana  itu­lah yang digugat Rendra dan orang-orang yang sepandangan  dengannya.  Mereka tidak menggugat budaya Jawa pedesaan  maupun  pesantren. Kedua yang terakhir ini memang tidak mereka sebutkan. Mungkin  karena tidak re-levan dengan gagasan yang  mereka  ungkapkan. Atau  karena  bagi mereka, mungkin, ‘pengkotakan’  seperti  yang  dilakukan Kuntowidjoyo itu tak ada gunanya, karena semua tercakup  dalam satu sistem kebudayaan yang sama. Misalnya, tidaklah  benar  bahwa  di desa tidak ada hierarki, karena di desa juga masih  ada  kepala  desa  atau orang-orang yang dituakan,  yang  diperlakukan  sama  dengan  kyai di pesantren, yang kepada  mereka  warga  desa tidak bisa berbicara dengan bahasa ngoko begitu saja. Dan  perlu  diingat juga bahwa sebutan kyai semula tidak digunakan untuk para  pemilik  pesantren  atau guru agama, tapi ditujukan  kepada para  guru  ilmu gaib, dukun, dan sebagainya. Ini mengisyaratkan  bahwa budaya  pesantren adalah sesuatu yang baru dalam  tatanan  budaya  Jawa (mungkin dibawa orang Arab Hadramaut).  Bahkan kalau ukurannya cuma sekadar berbahasa, ada narasumber penulis (orang kraton) yang  mengatakan  bahwa di lingkungan keraton Yogya anak-anak  para  bangsawan  berbicara satu sama lain tanpa bahasa krama. Kebiasaan  berbahasa mereka baru berubah setelah mereka dipastikan menempati  jabatan-jabatan tertentu di dalam istana.
Bila Kunto menyebutkan bahwa di pesantren seorang kyai  bisa menjodohkan anaknya dengan anak non-kyai, di istana juga  seorang  raja tidak keberatan memperistri anak orang desa, meski statusnya cuma  sebagai garwa ampilan (selir). Dan bila di  pesantren  sang  kyai bisa mengambil menantu dari keluarga non-kyai, dengan kriteria keilmuan, di istana juga seorang raja kadang mengawinkan  puterinya  dengan anak orang biasa yang berprestasi dalam  keprajuritan. Tapi ini bukan berarti bahwa pusat-pusat budaya yang disebutkan Kunto itu lantas menjadi tidak ekslusif. Buktinya, seperti  disebutkan Kunto, mobilitas sosial berdasarkan ekonomi tidak mendapat pengesahan. Jadi, adanya ‘pertemuan antar pusat budaya’ itu tidak lantas membuat budaya Jawa jadi egaliter dan terbuka.  Apa­lagi pertemuan itu hanya terjadi di permukaan saja. Masuknya permainan nini thowok ke istana tidak menjadi ‘tiket’ bagi orang desa  untuk  bebas masuk istana.  Merakyatnya Wulangreh  juga  bukan berarti bahwa para bangsawan turun ke desa untuk mengajarkannya, tapi karena dibawa oleh para abdi istana, yang lantas mengajarkan  macapatan kepada anak-anak mereka.
Diterimanya wayang, termasuk wayang orang, oleh rakyat (tapi ditolak keras kalangan pesantren karena jelas sekali warna Hindu­nya!)  juga tidak menjadi sarana untuk memesrakan  rakyat  dengan kalangan istana. Bahkan boleh jadi melalui wayanglah kalangan istana  ‘mendidik’ rakyat untuk tetap mengagungkan mereka.  Seorang guru tari Jawa bercerita kepada penulis bahwa ia, yang anak  seorang abdi dalem, mengetahui hierarki istana melalui wayang orang.  Melalui  itu pula ia tahu tata-cara menghadap pejabat mulai  dari tingkat bawah sampai tingkat tertinggi. Ia juga mengaku punya dua  kakak wanita, yang tidak menyukai tari karena mereka mendalami agama!
Bicara  tentang kebudayaan satu bangsa tentu  harus  mengacu kepada kebudayaan yang paling berpengaruh, bukan pada semua kebu­dayaan yang ada. Bila bicara kebudayaan Jawa, bagaimana pun  yang  terasa paling berpengaruh dalam kehidupan sehari-hari adalah  budaya istananya. Kenyataannya, budaya istanalah yang mengendalikan kehidupan  seluruh masyarakat,  karena para pejabat istana  itulah  yang menjadi para ‘eksekutif’  yang bertindak langsung berdasar konsep  budaya  tersebut, yang berkuasa memberlakukan peraturan  sampai  ke  desa dan pesantren.
2. JAWA DAN INDONESIA BARU

Dalam suatu kesempatan mengajar agama di kampung,  penulis pernah ditanya seorang peserta pengajian:  ”Mengapa jemaah haji Indonesia terkenal begitu baik dan patuh pada peraturan?” Jawaban penulis adalah: “Karena  mereka sebagian  besar orang Jawa. Orang Jawa  itu cenderung sopan, patuh pada peraturan, khususnya peraturan Tuhan. Mereka juga sangat menghargai atasan, karena percaya bahwa atasan mereka adalah pemegang amanat Tuhan.”
Tentu saja itu bukan jawaban yang jitu. Penulis sendiri memberikan jawaban tersebut dengan nada bergurau. Tapi ada juga keyakinan bahwa di dalamnya terkandung  kebenaran.
Konon  sekitar 65 persen bangsa Indonesia adalah orang (bersuku) Jawa, 15 persen orang Sunda, dan sisanya (20 persen) adalah orang dari puluhan suku lain. Dengan kenyataan ini, memang menjadi ‘demokratis’ bila presiden pertama dan kedua kita adalah orang Jawa. Bahkan warga dari suku non-Jawa barangkali tak sedikit yang beranggapan bahwa hasrat menjadi presiden RI bagi mereka adalah sebuah mimpi yang tidak wajar.  Tapi ‘untunglah’ presiden kedua kita, yang menganggap dirinya sebagai prabu (raja), dan kemudian lengser (turun) untuk menjadi pandito (pendeta) itu melakukan kesalahan-kesalahan besar, sehingga budaya Jawa pun tercemar olehnya. Maka orang Jawa yang dominan itu pun mau tidak mau harus menerima Habibie yang bukan Jawa sebagai presiden RI ketiga.
Tapi Habibie hanyalah ‘orang yang menerima berkah dari sebuah kesalahan’.  Karena itu ia tidak bisa bertahan lama.
Lalu, presiden kita yang keempat, Gus Dur, ternyata orang Jawa lagi (walau ia pernah mengatakan dirinya mungkin keturunan Cina). Tapi perlu dicatat bahwa ia menjadi presiden yang sangat legitimate (sah) bukan hanya karena Jawa, namun juga karena ia beragama Islam, bahkan bergelar kiai. Ini tentu sebuah gejala yang menarik, untuk dijadikan wacana baru tentang hubungan Jawa,  Islam, dan pembangunan Indonesia baru.
Hubungan disharmoni (?)
Hubungan Jawa, Islam, dan Indonesia adalah solid reality; sebuah kenyataan yang sama kokoh dan menyoloknya seperti Gunung Himalaya. Namun selama ini hubungan tersebut selalu dilihat dengan kacamata yang kurang bening; sehingga timbullah opini-opini yang mengesankan sebuah hubungan yang tidak harmonis. Dalam kalimat yang ‘keras’, opini tersebut misalnya mengatakan bahwa (budaya) Jawa dirusak oleh Islam, dan sebaliknya (ajaran) Islam dirusak oleh Jawa. Sedangkan dalam kaitan dengan Indonesia ada anggapan bahwa orang Jawa terlalu mengalah pada Melayu, sehingga Jawa yang mayoritas itu harus menerima Bahasa Melayu menjadi Bahasa nasional; dus berarti orang Jawa harus ‘melupakan’ bahasa mereka yang lebih kaya. Sebaliknya, karena orang Jawa selalu dominan dalam kekuasaan, ada pula anggapan bahwa di Indonesia berlangsung apa yang disebut Jawanisasi. Anggapan ini timbul antara lain karena program transmigrasi dan ‘ekspansi’ kekuasaan eksekutif (ABRI)   yang identik pula dengan Jawa    ke tiap propinsi.  Dalam situasi seperti ini, menjadi orang Indonesia bersuku Jawa seolah-olah merupakan suatu kesa-lahan. Tapi siapa yang patut disalahkan?
Dalam situasi ‘serba salah’, sering kali orang lupa bahwa sumber kesalahan itu sebenanya hanyalah sebuah paradigma yang keliru atau kurang pas, tapi (terlanjur) dipaksakan  untuk diterapkan. Tapi agaknya sebuah paradigma kadang mempunyai kesamaan dengan sebuah hipotesis, yang di ujung proses pembuktiannya bisa terbukti benar, bisa juga ternyata salah. Namun jangan pula kecil hati; karena hipotesis yang terbukti salah pun bisa menyebabkan lahirnya sebuah pengetahuan baru!
Jawa dan Islam
Dari seorang teman (kini terkenal sebagai  seorang tokoh muda NU), penulis pernah mendengar anggapan bahwa orang Jawa tak akan pernah bisa menjadi muslim sejati, karena mereka cenderung  sinkretis. Penulis (orang Sunda) kaget mendengar asumsi tersebut; terutama karena dalam pandangan penulis waktu itu sinkretisme berarti syirik (Arab: syirk), dan syirik adalah dosa yang tidak terampuni.
Tapi mungkin teman penulis itu  bercanda, atau hanya melontarkan semacam sindiran tajam terhadap sebagian orang Jawa. Ia sendiri orang Jawa, dan boleh dikatakan sangat taat beragama (Islam). Waktu itu penulis sendiri menentangnya dengan mengatakan bahwa kenyataannya kebanyakan orang Indonesia beragama Islam, yang otomatis berarti kebanyakan orang Jawa beragama Islam; dan di antara mereka ternyata banyak yang lantang meneriakkan seruan-seruan anti syirik.
Selain itu, tentu saja, sinkretisme juga bukan hanya ‘milik’ orang Jawa!
Jawa dan lambang
Budaya Jawa sudah lama dikenal sebagai adi-luhung, tapi belakangan dikecam (antara lain oleh Rendra, Soetjipto) sebagai tidak demokratis. Dalam konteks inilah, ketika demokrasi sedang naik daun, sosok Gus Dur bisa dikatakan sebagai penyelamat muka orang Jawa, karena ia adalah orang Jawa yang demokrat.
Tapi benarkah bahwa tiadanya demokrasi dalam budaya Jawa lantas menjadi alasan kuat untuk melupakan sebutan adiluhung bagi budaya Jawa?
Budaya  Jawa sebenarnya  memang  adiluhung, bila  dipahami dengan pemahaman orang Jawa sendiri,  yang  umumnya cenderung pada bahasa simbol. Dengan demikian orang Jawa juga tidak perlu  jadi inferior (minder) karena dalam budaya mereka tak ada demokrasi, karena demokrasi sendiri bukanlah sesuatu yang tanpa cacat (besar), dan tanpa demokrasi pun belum tentu otomatis menjadi tidak benar. Tanpa demokrasi, misalnya, belum tentu  tidak bisa menegakkan keadilan dan mencapai kemakmuran.
Budaya Jawa terbentuk paling tidak melalui perkenalan mereka dengan konsep (agama) Hindu dan Islam. Melalui kedua agama inilah orang Jawa kemudian mampu membangun sebuah kerangka berpikir (paradigma) yang utuh dan sangat kokoh, yang otomatis mempengaruhi pembentukan struktur formal mereka yang kokoh pula, karena sangat legitimate (didukung rakyat).
Sayangnya, bila sebuah bangunan pikiran sudah melahirkan struktur formal -  yang sebenarnya merupakan konsekuensi logisnya, berbagai penyakit  (kepentingan) pun mulai datang mengerubuti. Akhirnya struktur formal  itu – yang kemudian menjadi lambang kekuasaan -  dimanfaatkan para oknum sebagai alat untuk pemenuhan segala kepentingan mereka. Sebuah struktur formal akhirnya tumbuh menjulang dalam bentuk bangunan-bangunan fisik (infrastruktur) yang kehilangan ruh aslinya. Inilah awal kehancuran setiap kebudayaan agung.
Dalam konteks Jawa, ada kemungkinan ‘para pejuang kepentingan’ itu memanfaatkan kecerdikan mereka untuk memanipulasi konsep budaya Jawa yang dikemas dalam bahasa yang penuh lambang. Ada kemungkinan mereka melakukan ‘pendangkalan makna’  dalam lambang-lambang, demi mengelabui rakyat yang bodoh.
Keunggulan budaya Jawa itu memang nampak sangat jelas, bila kita memahami bahasa lambang.  Konsep Jawa yang menganggap raja sebagai penjelmaan dewa (pengaruh Hindu?), misalnya,  akan berbeda arti dan penerjemahannya dalam  perilaku raja dan rakyat bila dipahami sebagai bahasa lambang. Dengan  bahasa lambang di sini, penjelmaan dewa tidak harus  merujuk pada dewa  sebagai suatu oknum seperti yang terungkap melalui  cerita wayang,  tapi sebagai oknum yang mempunyai konsep untuk  mengatur kehidupan manusia. Jadi, menitisnya sang dewa ke dalam  diri seorang raja, harus diartikan sebagai diterimanya peraturan  dewa  oleh sang raja, sebagai amanat.  Ini akan semakin jelas bila dikaitkan dengan  kenyataan bahwa dewa mendaulat seorang raja melalui wahyu. (Ini adalah  kosakata Islam, yang menandai dipilihnya  seseorang,  oleh  Allah, untuk memimpin manusia).
Konsep  berikutnya, bahwa raja berkuasa mutlak,  juga  harus dipahami  dalam kerangka pemikiran demikian; yakni bahwa  seorang raja mendapat kekuasaan mutlak karena ia adalah pemegang teguh amanat dewa. Jadi, mematuhi raja yang demikian berarti mematuhi dewa. Dalam konsep Islam, raja seperti ini identik  dengan  Rasul.  Siapa  yang patuh pada Rasul berarti patuh kepada  Allah.  (Surat  An-Nisa ayat 80).
Sedangkan  wahyu nurbuwat, hak berkuasa atas seluruh  jagad, juga tidak lain dari pengakuan atas kekuasaan dewa. Seorang  raja yang mengemban wahyu ini pada hakikatnya berhak untuk menjadi pemimpin dunia, karena konsep yang dipegangnya  berasal  dari pencipta dunia. Namun dalam kenyataan konsep dewa itu  tidak selalu bisa diterima semua orang. Karena itu, pengertian istilah jagad ini harus dibatasi pada wilayah kekuasaan sang raja saja. Jadi  sebagai sebutan lain bagi negara. Otomatis selanjutnya sang  raja pun memiliki wahyu hukumah dan wahyu wilayah, yang  keduanya merupakan suatu kesatuan, sehingga berarti “berhak mengadili  sebagai  wakil dewa”. Artinya hukum raja adalah hukum  dewa, bukan hukum ciptaan sang raja sendiri, sehingga ia menjadi can do no wrong (tidak bisa berbuat salah).
Konsep  manunggaling kawula gusti pun bisa menjadi  landasan hidup egaliter bila dipahami dengan cara ini. Jadi, gusti  (raja)  dan kawula (semua yang dipimpin raja)  pada hakikatnya  adalah  tunggal (satu). Sama-sama manusia, dan sama-sama pelaksana konsep  dewa, meski berbeda-beda posisinya dalam tatanan masyarakat.
Dalam masyarakat demikian memang tidak ada demokrasi.  Tidak ada  konsep bahwa benar atau salah ditentukan oleh  suara  terbanyak. Yang ada cuma satu suara, suara dewa. Jadi di  sini  tidak berlaku  prinsip vox populi vox dei (suara rakyat  berarti  suara  Tuhan), tapi vox dei vox populi (suara Tuhan dipatuhi rakyat).
Pahamnya rakyat Jawa (secara naluriah?) akan konsep  ini terbukti dengan asas yang mereka pegang, yaitu nrimo  ing  pandhum.  Ini sama sekali beda dengan konsep predestination dalam  teologi Kristen, atau jabariyah dalam teologi Islam (yang merupakan adaptasi teologi Kristen/Yunani), bila cara pemahamannya memang  seperti tersebut di atas. Menerima nasib di sini adalah menerima  peraturan yang benar (karena berasal dari Yang Mahabenar). Maka nrimo ing pandhum ini adalah suatu cara untuk menjaga keselarasan dan keseimbangan, demi terciptanya kedamaian hidup. Otomatis sosok pemimpin bagi mereka menjadi tidak penting, dan mereka tidak ingin ikut mengatur jalannya pemerintahan. Ini sama sekali bukan ciri sikap apatis, tapi menggambarkan betapa tingginya kesadaran  mereka. Betapa tahu dirinya mereka  sebagai manusia,  yang hanya bisa hidup dalam keselarasan, keseimbangan, dan  kedamaian bila patuh pada aturan yang berasal dari atas (dewa/tuhan).
Lalu  bagaimana dengan sikap mereka, yang tidak berani menghukum raja yang lalim? Jawabnya adalah: mereka tak mau main hakim sendiri; dalam arti tidak mau menghukum melalui tindakan yang melawan hukum. Mereka hanya diam ketika pemegang amanat berkhianat, karena mereka sadar bahwa yang paling tahu tentang amanat itu adalah yang dipercaya menjadi pemegangnya. Bila mereka berkhianat, mereka pula yang paling tahu hukuman apa yang layak diterima. Bila rakyat tahu pemegang amanat sudah berkhianat tapi tidak mengaku, malah berusaha menutup-nutupi kesalahan, rakyat hanya diam. Namun bila yang  bersangkutan memahami, diamnya mereka itu adalah suatu cara protes  yang keras. Kalau mereka yang ‘bodoh’ saja bisa memahami  hukum  sang  pencipta, mengapa yang diberi mandat hukum itu malah berbuat  seenaknya? Pada tahap berikutnya sikap diam ini memang bisa menjadi sikap apatis. Tapi bila rakyat sudah apatis, bukankah itu berarti bahwa si raja sudah tak punya rakyat lagi, karena rakyatnya sudah  jadi ‘patung’ semua? Bila rakyat sudah mematung tapi si raja masih juga tidak mengerti, berarti ‘naluri kejawaan’ si raja memang sudah rusak.
Tapi tidak  benar pula bahwa semua orang Jawa suka  dengan  sikap diam. Seorang dosen agama Universitas Nasional Jakarta (UNJ), asal Indramayu, mengatakan  kepada penulis bahwa orang Jawa punya cara protes  terhadap pemimpin  yang  tidak adil, yang disebut  mungkes. Dikatakannya  bahwa mungkes ini bisa disamakan dengan ‘tradisi’  walkout di DPR.  Bila  merujuk Al-Qurãn, katanya, istilah tersebut sama dengan  walla mudbiran. Teman penulis (asal Solo) juga mengingatkan bahwa orang Jawa juga punya cara untuk memprotes raja, yang disebut pepe, yaitu beramai-ramai menjemur diri di depan kraton.
Demikianlah  orang  Jawa. Suatu suku bangsa  yang,  menurut penulis, mempunyai jiwa yang sangat kondusif bagi nilai-nilai Islam yang universal. Dengan demikian, selagi Jawa, Islam, dan Indonesia tidak bisa dipisahkan, pembangunan Indonesia baru juga tidak bisa dilakukan dengan mengabaikan faktor Jawa dan Islam. Jawa (mayoritas) adalah pemeluk Islam. Mereka turut mengukuhkan Islam di bumi, dan Islam menjadi identias mereka setelah suku dan bahasa. Bila mereka menjadi pemeluk Islam yang serius, Islam akan semakin mencemerlangkan mereka.  Bila mereka cemerlang, pasti Indonesia juga cemerlang. Suku-suku lain yang beragama Islam pasti bangga bersatu dengan mereka. Yang tidak beragama Islam akan rugi bila berjauhan dengan mereka. Pendekanya, Jawa yang Islami  juga menjadi jaminan bagi kelestarian integrasi bangsa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar