Senin, 12 September 2011

Menyoal Sistem Pemerintahan


Sistem Pemerintahan,
Antara Presidium,
Demokrasi, Monarki,
Khilafah, Imamah, dll

Reaksi anak-anak Yogya atas pernyataan kontroversial SBY. Sebuah plesetan yang bisa jadi memuaskan emosi sesaat, tapi tidak mewakili kenyataan objektif.

T
ahukah anda sistem pemerintahan atau kepengurusan apa yang digunakan ormas-ormas dan partai politik? Jawabannya adalah: presidium.  Seperti yang anda jumpai dalam salah satu berita di majalah ini, ICMI, adalah contoh sebuah ormas yang memakai sistem tersebut. Hingga muktamarnya yang terbaru di Bogor, yang berlangsung 4-7 Desember, ICMI yang memiliki 43 organisasi wilayah dan 700 organisasi daerah, masih dipimpin oleh 5 orang presidium (Hatta Rajasa, Marwah Daud Ibrahim, Muslimin Nasution, Azumardi Ajra, dan Nanat Fatah Nasir).

Harfiah, presidium (dari bahasa Latin) berarti pengetuaan (Osman Raliby, Kamus Internasional). Sebagai istilah, presidium adalah bentuk pimpinan dari wakil-wakil organisasi yang tergabung dalam federasi (Ben Handaya, Kamus Pengetahuan Umum).
Dengan demikian, yang terpimpin sebagai pemimpin federasi tentu disebut president, yang arti harfiahnya adalah ketua. Jadi, tak perlu heran bila PKS, misalnya, menggunakan istilah presiden untuk menyebut ketua umum mereka.
Federasi itu sendiri (dari bahasa Latin: federatio) berarti: 1. Gabungan beberapa negara menjadi satu, tapi masing-masing negara itu boleh mengerjakan rencana sendiri-sendiri, asal tidak bertentangan dengan peraturan federasi; 2. Perhimpunan yang anggota-anggotanya bukan terdiri dari perseorangan tetapi dari perkumpulan-perkumpulan (Osman Raliby).

Presidium dan senat
Dalam bahasa Arab, presidium adalah majlisur-ri’ãsah atau majlisusy-syuyûkh, alias kumpulan para ketua (Asad M Alkalai, Hans Wehr). Bahasa Latinnya adalah senatus, yang diinggriskan menjadi senate, dengan pengertian awal: majlis orang-orang tua. Tapi senate dalam pengertian (politik) sekarang

adalah dewan perwakilan “bagian atas”, yang pada umumnya bekerja menyaring putusan-putusan yang telah diambil dalam dewan perwakilan “bagian bawah” (Osman Raliby).
Di Belgia, Prancis, dan Amerika Serikat, senat adalah badan pemerintahan tertinggi. Di AS, anggota senat, senator, dipilih oleh negara-negara bagian. Di Belanda, senat disebut Eerste Kamer (masjlis pertama atau tertinggi), dan anggota-anggotanya dipilih oleh propinsi-propinsi. Sementara dalam monarki (kerajaan; yang kini dipimpin seorang ratu!) Inggris ada lembaga yang disebut House of Lords (majlis para bangsawan; sama dengan majlis tinggi), dan House of Commons (majlis orang biasa/rakyat); sama dengan majlis rendah.

Imãmah dan khilãfah
Bila kita merujuk Al-Qurãn dan atau Hadîts, istilah presidium atau senat sebenarnya tak berbeda makna dengan imãmah atau khilãfah. Yang pertama adalah pemerintahan yang dijalankan para imam; dengan catatan bahwa di situ ada seorang imam tertinggi. Sementara khilãfah berarti pemerintahan yang dipimpin seroang khalîfah.
Harfiah, khalîfah berarti wakil atau pengganti. Dalam konteks sejarah Islam yang berpangkal pada Nabi Muhammad, khalîfah adalah sebutan bagi para pengganti atau penerus beliau dalam memimpin umat. Istilah ini bukan ciptaan orang belakangan, tapi sudah digunakan Rasulullah sejak beliau masih hidup.
Dalam beberapa hadis, Rasulullah menyebut istilah khalîfah dalam bentuk jamaknya, khulafã’(u). Dalam sebuah hadis, misalnya, istilah itu digandengkan dengan kata sifat rasyîdîn dan mahdiyîn (al-khulafã’ur-rasyîdînal-mahdiyîn), untuk menegaskan bahwa yang dimaksud sebagai para pengganti beliau adalah orang-orang yang “benar/lurus”, dalam arti berpegang teguh pada petunjuk yang diajarkannya (Al-Qurãn).
Dalam sejarah ‘politik’ Islam, yang disepakati mendapat sebutan demikian itu adalah keempat sahabat beliau yang terkenal: Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali. Para khalifah setelah mereka, mulai dari Mu’awiyyah bin Abu Sufyan dan seterusnya, tak ada yang digelari demikian. Ini seolah merupakan isyarat bahwa kelurusan mereka memang layak dipertanyakan.

Hasil curian
Bila kita baca tulisan Max I. Dimont dalam Jews, God And History, ketahuanlah bahwa konsep presidium maupun senat hanyalah hasil colongan dari ajaran Allah. Biang malingnya, siapa lagi kalau bukan moyang si Dimont sendiri, Yahudi. Kata Dimont, ketika menetap di Canaan, Yahudi berhenti menjadi nomadic people (gelandangan!). Kemudian, sebuah lembaga politik aneh yang tak ada taranya dalam sejarah pun lahir (sic!).
   Lembaga itu adalah shoftim, atau bahasa Inggrisnya judges (para hakim), yaitu orang-orang yang dianggap mendapat ilham dari Tuhan. Dikatakan oleh banyak pemuja Yahudi bahwa konsep ini menandai sumbangan (jasa) Yahudi terhadap dunia!



Mereka, para hakim itu, adalah orang-orang pertama yang menegakkan demokrasi di dunia, empat ratus tahun sebelum orang-orang Yunani. Gampangnya, era para hakim itu tak ubahnya zaman Jefferson dalam sejarah Amerika – suatu era pemerintahan pusat yang lemah, yang di dalamnya hak suku-suku lebih menonjol daripada hak negara.
Bangsa baru (Yahudi) itu terdiri dari suku-suku (12 suku) yang disebut dalam Bibel. Para ketua (Elder) menebar keadilan dalam setiap suku, seperti halnya pengadilan-pengadilan kotapraja dan negara bagian mengendalikan keadilan (hukum) dalam setiap negara bagian (di AS). Namun, di atas kekuasaan Ketua, ada kekuasaan Hakim; seperti halnya di atas kekuasaan sebuah negara bagian ada Konstitusi (UUD).
Sang Hakim adalah Panglima Perang di masa-masa perang, dan ketua Eksekutif (presiden) di masa damai. Kekuasaannya dibatasi oleh hukum, tapi ia dapat mendelegasikan (mengamanatkan) tanggung-jawabnya seperti halnya Presiden AS dapat mendelegasikan kekuasaannya lewat para menteri Kabinet.
Sang Hakim dapat mengundang Senate ( MPR) dan Popular Assembly (DPR) dan mengajukan usul-usul untuk dipertimbangkan. Peran para anggota Senate tak berbeda dengan para Senator AS sekarang. Tak ubahnya House of Lords di Inggris, Senate bukan hanya badan legislatif tapi juga aparat judikatif pemerintah. Di masa Greco-Roman (Yunani-Romawi), Senate ini dikenal sebagai Sanhedrin, yang kurang berperan sebagai badan legislatif dan hanya menjadi forum judikatif.
Dalam bahasa Ibrani, Sanhedrin (kadang ditulis synhendrion) berarti Mahkamah Tertinggi. Tentang lembaga ini tercantum dalam bab IV kitab Misnah (Nizikin) yang membahas kedudukan  Mahkamah Tertinggi Yahudi, prinsip dasar dan Anggaran Dasarnya. Bab ini terbagi ke dalam 11 pasal, setiap pasalnya membahas kemungkinan wewenang Mahkamah Tertinggi Yahudi ini untuk menelorkan berbagai hukum dan kemungkinan ikut campurnya lembaga ini dalam kehidupan keagamaan bangsa Yahaudi. (Zhafrul Islam Khan, Talmud & Ambisi Yahudi).
Ketika raja-raja Ptolemaeus (bangsa Macedonia) menguasai Mesir dan Palestina mulai abad ketiga sebelum Masehi, mereka, menurut Dimont, menerapkan falsafah hidup dan biarkan hidup. Itu yang menyelamatkan Yahudi di Palestina. Selagi mereka membayar pajak, mereka tidak diganggu. Mereka bahkan dibebaskan menjalankan pemerintahan, kebudayaan dan agama sendiri. Pada waktu itu, yang menjadi kepala pemerintahan Yahudi adalah Pendeta Tertinggi (High Priest), yang kekuasaannya diawasi Sanhedrin, agar tidak terjadi benturan antara kehendak sang Pendeta dengan kehendak Tuhan.
Sanhedrin bertindak dalam dua kapasitas, yaitu sebagai senat dan pengadilan tertinggi (mahkamah agung), dengan anggota yang merupakan hasil pilihan dari keluarga-keluarga berpengaruh, para sarjana, dan kaum intelektual. Ketika bertindak sebagai mahkamah agung, badan ini mempunyai 71 anggota. Bila menyidang kasus-kasus kejahatan besar, 23 hakim dihadirkan; bila menyidang kasus-kasus sipil dan kejahatan kecill, kehadiran tiga hakim sudah dianggap cukup.
Tentang Popular Assembly Yahudi tiu, Dimont mengatakan bahwa lembaga itu sama dengan House of Representative (DPR) AS. Bahkan di masa-masa sebelum era Para Hakim itu, the Books of Moses  (kitab-kitab Musa?) penuh dengan ungkapan-ungkapan seperti and all the congregation of Israel (dan semua jamaah Israel) atau and all Israel (dan seluruh orang Israel), yang menandai adanya suku-suku Yahudi.
Karena Yahudi pada masa penurunan Hukum di Bukit Sinai berjumlah lebih dari 600.000 orang seperti kata Bibel (600 atau 6000 keluarga menurut banyak ahli sejarah), maka mustahil bila Musa bisa berbicara kepada mereka secara sekaligus dalam satu kesempatan. Yang sangat mungkin adalah Musa berbicara melalui para wakil dari setiap suku.

Ketua suku = batu?
Al-Qurãn juga memang menyiratkan kebingungan Musa ketika ia ingin menyampaikan ajaran Allah (Taurat) bangsanya yang yang dikuasai  para kepala suku itu;  misalnya dalam surat Al-Baqarah ayat 60:
Pada waktu itu Musa ingin menghidangkan ‘minuman’ (Taurat) kepada bangsanya. Maka Kami (Allah, melalui malaikatNya) memerintahkan kepadanya, “Pukul (taklukkan) al-hajar  (penghambatnya) dengan ‘tongkat-(Taurat)-mu’. Maka (setelah Musa melaksanakan perintah Allah itu, yaitu menda’wahkan Taurat secara khusus kepada para kepala suku), memancarlah 12 ‘mata air’ (yakni 12 kepala suku yang telah menjadi kader Musa, untuk ‘meminumkan’ Taurat kepada bangsanya). Sungguh setiap orang itu (telah terlanjur, karena tradisi) mengetahui (= terikat) pada ‘sumber air minum’ (= narasumber ilmu; guru dan sebagainya) masing-masing. (Tapi Allah meluruskan mereka melalui Rasulnya, dengan memerintahkan) “Makan dan minumlah karunia (ajaran) Allah (sebagaimana kalian menyantap makanan dan meminum air). Yaitu janganlah kalian menjadi para perusak kehidupan di bumi (dengan melahap dan menenggak hidangan dari para narasumber ilmu selain Allah).
Salah satu yang perlu dicatat pada ayat ini adalah istilah al-hajar(u), yang biasa diterjemahkan sebagai batu. Padahal, dalam kamus (Hans Wehr, misalanya) hajar(un) juga bisa berarti hambatan atau penghalang (barring; ban; blocking) dan sebagainya. Dengan kata lain, ‘batu’ dalam ayat ini adalah kiasan. Demikian juga dengan istilah ‘ashã, yang biasa diartikan tongkat.
Perlu diingat bahwa, pertama, makna suatu kata dalam kalimat, atau paragraf, atau wacana, sangat ditentukan oleh konteksnya. Kedua, sebagai kitab dengan nilai sastra yang amat kental, bukan suatu hal yang mustahil bila bahasa Al-Qurãn penuh dengan kiasan. Dan untuk memastikan hal itu tentu bukan dengan tebak-tebakan, tapi harus melalui sebuah metode yang terbuka, netral, dan bisa lolos ujian.
Kembali pada ayat di atas, konteks (indikasi; qarînah) yang bisa diacu, antara lain, adalah status Musa sebagai rasulullah. Dalam menjalankan tugas kerasulannya, penghambat da’wah kepada bangsanya secara umum adalah para kepala suku itu, yang jelas lebih berpengaruh terhadap rakyat dibandingkan Musa, yang mungkin semula mereka anggap sebagai bocah ingusan, atau malah dianggap sebagai ‘orang asing’ (gharîb) bila diingat bahwa ia adalah tokoh yang muncul dari istana Fir’aun, yang nota bene merupakan penjajah bangsa Yahudi pada waktu itu.
Para ketua suku itulah yang dalam ayat di atas disebut, secara kiasan, sebagai masyrabahum, tempat bangsa Yahudi ‘minum’, dalam arti menjadi tempat mereka meminta nasihat dan ‘hakim-hakim’ yang memutuskan segala perkara mereka.

Hobi menjungkir balik ajaran
Berbeda dengan penjelasan ayat di atas, dalam Bibel, Yahudi membuat gambaran berbeda tentang kasus Musa ini. Ini hanya salah satu isyarat bahwa mereka memang gemar menjungkirbalikkan atau menyimpangkan ajaran Allah.
Menurut kitab Perjanjian Lama bab Keluaran, Musa mengangkat hakim-hakim atas anjuran mertuanya, Yitro, imam di Midian, bukan berdasar wahyu Allah. Hal itu dilakukan Musa setelah membebaskan Yahudi dari Fir’aun dan kemudian memimpin mereka memerangi bangsa Amalek. Di bawah ini kutipannya:



(13) Keesokan harinya duduklah Musa mengadili di antara bangsa itu; dan bangsa itu berdiri di depan Musa, dari pagi sampai petang.
(14) Ketika mertua Musa melihat segala yang dilakukannya kepada bangsa itu, berkatalah ia: "Apakah ini yang kaulakukan kepada bangsa itu? Mengapakah engkau seorang diri saja yang duduk, sedang seluruh bangsa itu berdiri di depanmu dari pagi sampai petang?"
(15) Kata Musa kepada mertuanya itu: "Sebab bangsa ini datang kepadaku untuk menanyakan petunjuk Allah.
(16) Apabila ada perkara di antara mereka, maka mereka datang kepadaku dan aku mengadili antara yang seorang dan yang lain; lagipula aku memberitahukan kepada mereka ketetapan-ketetapan dan keputusan-keputusan Allah."
(17) Tetapi mertua Musa menjawabnya: "Tidak baik seperti yang kaulakukan itu.
(18) Engkau akan menjadi sangat lelah, baik engkau baik bangsa yang beserta engkau ini; sebab pekerjaan ini terlalu berat bagimu, takkan sanggup engkau melakukannya seorang diri saja.
(19) Jadi sekarang dengarkanlah perkataanku, aku akan memberi nasihat kepadamu dan Allah akan menyertai engkau. Adapun engkau, wakililah bangsa itu di hadapan Allah dan kauhadapkanlah perkara-perkara mereka kepada Allah.
(20) Kemudian haruslah engkau mengajarkan kepada mereka ketetapan-ketetapan dan keputusan-keputusan, dan memberitahukan kepada mereka jalan yang harus dijalani, dan pekerjaan yang harus dilakukan.
(21) Di samping itu kaucarilah dari seluruh bangsa itu orang-orang yang cakap dan takut akan Allah, orang-orang yang dapat dipercaya, dan yang benci kepada pengejaran suap; tempatkanlah mereka di antara bangsa itu menjadi pemimpin seribu orang, pemimpin seratus orang, pemimpin lima puluh orang dan pemimpin sepuluh orang.
(22) Dan sewaktu-waktu mereka harus mengadili di antara bangsa; maka segala perkara yang besar haruslah dihadapkan mereka kepadamu, tetapi segala perkara yang kecil diadili mereka sendiri; dengan demikian mereka meringankan pekerjaanmu, dan mereka bersama-sama dengan engkau turut menanggungnya.
(23) Jika engkau berbuat demikian dan Allah memerintahkan hal itu kepadamu, maka engkau akan sanggup menahannya, dan seluruh bangsa ini akan pulang dengan puas senang ke tempatnya."
(24) Musa mendengarkan perkataan mertuanya itu dan dilakukannyalah segala yang dikatakannya.
(25) Dari seluruh orang Israel Musa memilih orang-orang cakap dan mengangkat mereka menjadi kepala atas bangsa itu, menjadi pemimpin seribu orang, pemimpin seratus orang, pemimpin lima puluh orang dan pemimpin sepuluh orang.
(26) Mereka ini mengadili di antara bangsa itu sewaktu-waktu; perkara-perkara yang sukar dihadapkan mereka kepada Musa, tetapi perkara-perkara yang kecil diadili mereka sendiri.
Di sinilah kita melihat embrio (bila kita anggap Musa sebagai contoh pertama!) dari sistem pemerintahan presidium atau senat itu. Jelasnya, Musa menjadi pemimpin tertinggi bangsa Yahudi dengan cara (lebih dulu) menaklukkan (menda’wahi, membina) para kepala (imam) suku mereka.
Tampilnya para kepala suku menjadi para imam di bawah pimpinan Musa adalah pembuktian dari terwujudnya rencana Allah seperti yang disebut dalam surat Qashash ayat 5:
Yakni (dengan mengajarkan Taurat ini) Kami hendak memberikan anugerah bagi kaum yang tertindas di negeri itu (Yahudi di Mesir), dan selanjutnya mereka akan Kami jadikan para imam; yakni akan Kami jadikan mereka sebagai para pewaris (kekuasaan).
Bukanlah suatu kebetulan, kata Dimont pula, bila demokrasi AS begitu mirip dengan  pemerintahan Yahudi tersebut, karena para bapak pendiri AS datang ke benua Amerika dengan membawa Bibel. Bahkan banyak di antara mereka yang lancar berbahasa Hebrew (Ibrani?), sehingga tentu mereka juga mampu membaca kitab Perjanjian Lama dalam bahasa aslinya.

Bukanlah suatu kebetulan, kata Dimont pula, bila demokrasi AS begitu mirip dengan  pemerintahan Yahudi tersebut, karena para bapak pendiri AS datang ke benua Amerika dengan membawa Bibel. Bahkan banyak di antara mereka yang lancar berbahasa Hebrew (Ibrani?), sehingga tentu mereka juga mampu membaca kitab Perjanjian Lama dalam bahasa aslinya.
Banyak sarjana masa kini berpandangan bahwa  pemerintahan (Yahudi) Palestina di bawah para hakim itulah yang dihidangkan sebagai blueprint (rancangan) Konstitusi Amerika, alias bukan demokrasi Yunani. (Dengan demikian, bagaimana mungkin memisahkan AS dengan Israel?).
Jadi, itukah asal-usul demokrasi Amerika? Sebuah karya besar, yang sebenarnya merupakan adaptasi atau saduran dari ajaran Allah menurut sunnah Musa.Dalam proses mengadaptasi atau menyadur, berlakulah prinsip tu’minûna bi-ba’dhin wa takfurûna bi-ba’dhin, yaitu mencaplok yang sesuai selera dan kepentingan seraya mencampakkan yang bertentangan dengan selera dan menjegal kepentingan. Itulah rupanya rahasia olahan bergengsi ala Amerika, yang dihidangkan kepada dunia dengan nama demokrasi.
Selanjutnya, kita pun menyaksikan dagelan tidak lucu yang dipentaskan ulama dan para cendekiawan muslim dalam menyambut hidangan AS itu. Mereka bilang, demokrasi itu berdekatan dengan Islam alias Islami. Mereka ibarat orang-orang hadir dalam sebuah acara jamuan makan AS dan dihidangi tempe buatan pabrik AS, lalu mereka pun nyeletuk, “Wah, ini mirip dengan tempe kita!” sambil menyantap dengan rakus dan selanjutnya ikut mempromosikan. Mereka tak  sadar bahwa pemilik hak paten dari tempe itu adalah kita sendiri. (Ya, bangsa mana lagi, coba, yang menyebut diri sebagai bangsa tempe?).
Maksudnya, bila kita merasa mu’min, yang hidup dengan ajaran Allah, tidakkah kita (mau) menyadari bahwa ‘demokrasi’ itu memang (pada mulanya) berasal dari ajaran Allah, tapi dihidangkan kepada kita sebagai sejenis hidangan lain, setelah dicampur-aduk dengan berbagai kepentingan? Dan tidakkah kita sadar bahwa demokrasi itu akhirnya malah dijadikan alat demi kepentingan pribadi dan golongan?

Tidakkah kita (mau) menyadari bahwa ‘demokrasi’ itu memang (pada mulanya) berasal dari ajaran Allah, tapi dihidangkan kepada kita sebagai sejenis hidangan lain, setelah dicampur-aduk dengan berbagai kepentingan? Dan tidakkah kita sadar bahwa demokrasi itu akhirnya malah dijadikan alat demi kepentingan pribadi            dan golongan?

Imãmah dan khilãfah
 Sistem pemerintahan presidium atau imãmahI pada kenyataannya adalah bentuk pemerintahan yang paling praktis dan paling mungkin memenuhi tuntutan keadilan. Apalagi bila pemilihan imam-(pemimpina)-nya dilakukan dilakukan dengan prinsip seperti yang terungkap lewat sebuah Hadis Muslim:

Dari narasumber Abu Mas’ud, katanya Rasulullah pernah berpesan, “Yang (wajib) mengimami kaum ini adalah seseorang di antara mereka yang paling memahami kitãbullah (Al-Qurãn). Bila ada beberapa orang yang sama (dalam pemahaman kitãbullah, maka pilihlah) yang paling mengetahui as-sunnah. Bila ada beberapa orang yang sama (dalam pengetahuan as-sunnah, sebagai tambahan bagi pengetahuan tentang kitãbullah), maka pilihlah yang paling dulu hijrah (= lihat track recordnya). Bila ada beberapa orang yang sama dalam hal hijrah (sebagai tambahan bagi pengetahuan tentang kitãbullah dan as-sunnah), maka pilihlah yang paling tua. Selanjutnya, tidak layak seorang lelaki (imam) mengimami (=merampas wewenang imam) lelaki lain (imam lain) di wilayah kekuasaannya; sebagaimana ia tak layak duduk di atas kursi kehormatannya di rumahnya (wilayah kekuasaannya), kecuali bila mendapat ijin darinya.
Hadis ini dengan begitu gamblang menggambarkan bahwa seorang imam (pemimpin) dipilih kaum beriman berdasar pemahamannya atas standard book (buku acuan) kaum beriman itu sendiri, yakni kitãbullah. Ini adalah tolok ukur pokok; sebagai penegasan bahwa yang menjadi imam secara hakiki (the very imam) adalah kitãbullah itu sendiri. (Ingat: Al-Qurãnu imãmî, Al-Qurãn adalah imamku). Si oknum (pribadi) yang dinobatkan sebagai imam, pada hakikatnya hanyalah wakil (= representative) dari kitãbullah. Kata lain untuk wakil (wakîl) adalah khalîfah.
Selanjutnya, untuk menegaskan kelayakannya dipilih sebagai imam, ia harus diukur lagi dengan kriteria tambahan, yaitu pengetahuan tentang sunnah rasul (yang merupakan sisi lain dari kitãbullah), sejarah hijrahnya, dan bahkan dipungkas dengan satu ‘bonus’ pemberian Allah secara langsung, yaitu kelebihan usianya atas para calon yang lain.
Ini adalah kriteria super canggih dalam pemilihan pemimpin. Dan bila dibandingkan dengan sistem ini, pemilihan model demokrasi Amerika sungguh tak ada apa-apanya, karena hanya bersifat menipu orang banyak dengan manipulasi suara rakyat.
Bahkan, untuk menegaskan betapa sistem pemerintahan Yahudi itu hanyalah hasil guntingan dari ajaran Allah sunah para rasulNya, perhatikanlah kata sinnan dalam hadis di atas, yang bentuk aslinya adalah sinnun, dan bentuk mu’annats-nya tentu sinnatun. Perhatikan kesamaan ejaan kata ini dengan senat, sanhedrin, juga istilah Latin synodus  yang diinggriskan menjadi synod, untuk menyebut rapat keuskupan Katolik atau badan pengurus tertinggi gereja Protestan.
Tidakkah itu merupakan isyarat bahwa peristilahan yang mereka gunakan itu semula berpangkal pada satu bahasa tertentu yang digunakan di kawasan Timur Tengah, yang dikatakan sebagai kawasan tempat turunnya “agama-agama samawi”?
Bila kata sinnan/sinnun diusut sampai kepada kata kerjanya, bertemulah kita dengan sanna-yasunnu-sannan, yang artinya antara lain memastikan penggunaan, atau memperkenalkan, atau menetapkan (suatu hukum atau kebiasaan). Ketika dipindah ke pola kata kerja af’ala, terbentuklah kata asanna, yang artinya, antara lain, adalah menua, menjadi tua, tumbuh, telah terkemuka (menonjol; terkenal) selama bertahun-tahun. (Hans Wehr).

Seseorang dianggap tua (sehingga layak menjadi ketua) itu bukanlah semata-mata karena sudah lama mendapat jatah hidup di dunia, tapi ia dikatakan tua (dalam konsep berpikir yang benar menurut ilmu Allah) adalah karena ia mempunyai kemampuan dan berposisi menonjol dalam penerapan hukum (yakni hukum Allah).

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa seseorang dianggap tua (sehingga layak menjadi ketua) itu bukanlah semata-mata karena sudah lama mendapat jatah hidup di dunia, tapi ia dikatakan tua (dalam konsep berpikir yang benar menurut ilmu Allah) adalah karena ia mempunyai kemampuan dan berposisi menonjol dalam penerapan hukum (yakni hukum Allah). Itulah sebabnya, dalam hadis di atas, ketuaan umur diamasukkan menjadi salah satu syarat untuk memilih imam.

Pengembangan imãmah
Sistem pemerintahan atau penataan hidup dengan imãmah berkembang seperti sistem sel atau secara multy level. (Kalau begitu, dari mana pula pangkal konsep multy level marketing?). Dalam sebuah hadis, Nabi Muhammad saw mengatakan:
Dari (narasumber) Ibnu ‘Umar (ia mengabarkan), “Aku mendengar Rasulullah mengatakan, ‘Kalian semua adalah rã’in (penggembala; pemimpin), sehingga karena itu setiap orang dari kalian semua bertanggung-jawab atas ra’iyyah-(gembalaan; rakyat)-nya. (Pemegang jabatan) imam (ketua; senator; presiden; raja; sultan) adalah pemimpin, dan ia bertanggung-jawab atas rakyat-(warga negara)-nya. Seorang lelaki (suami) adalah pemimpin bagi keluarganya, dan ia bertanggung-jawab atas rakyat-(keluarga)-nya. Seorang wanita (istri) adalah pemimpin (pengelola), dan ia bertanggung-jawab atas rumah suaminya. Bahkan seorang pelayan juga pemimpin (penjaga keamanan) bagi harta majikannya, dan ia bertangung-jawab atas yang dipimpinnya. (Hadis rwayat Al-Bukhari).
Lewat hadis ini, yang jelas mempunyai hubungan erat dengan hadis sebelumnya, tersirat gambaran tentang adanya gradasi (pangkat) kepemimpinan yang ditentukan oleh peran nyata (fungsional) setiap orang dalam kehidupan. Tak ada orang yang ditempatkan pada suatu posisi semata-mata hanya sebagai simbol.

Pentingnya spesialisasi
Dikisahkan dalam asbãbul-wurûd (latar belakang lahirnya sebuah hadis) bahwa suatu hari Rasulullah saw ditanya seseorang tentang bagaimana cara melakukan pencangkokan tanaman. Pertanyaan itu dijawab dengan kalimat:
“Antum a’lamu bi-‘mûri dun-yãkum.” Kalian lebih tahu (mengenal) dunia kalian sendiri.
Dunia (dun-yã) di sini bukanlah kebalikan dari alam akhirat, tapi bidang kehidudpan si penanya, yaitu dunia pertanian, yang rupanya tidak dikuasai oleh Rasulullah; sehingga pertanyaan orang tersebut adalah salah alamat.
Hadis ini mengisyaratkan agar setikap urusan diserahkan kepada orang-orang yang memang ahli di bidangnya. Tapi, dalam hadis lain, Rasulullah menegaskan hal itu dengan bahasa yang gamblang: Bila suatu urusan disandarkan (diserahkan) kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat-(kerusakan)-nya.” (idza wusidal-‘amru li-ghairi ahlihi, fantazhirus-sã’ah).
Dengan demikian, jelaslah bahwa dalam konteks kepemimpinan politik (Negara) atau suatu kelompok masyarakat, yang layak menjadi ketua ‘presidium’ (presiden) adalah adalah orang yang memenuhi kriteria imam yang disebut dalam hadis pertama di atas. Selanjutnya, dalam kehidupan praktis segala bidang, yang layak menjadi pemimpin adalah orang-orang yang ahli pada bidang masing-masing. Untuk itulah, setiap orang yang diajukan sebagai calon pemimpin harus menempuh proses fit and proper test (tes kecocokan dan kelayakan) seperti diisyaratkan Rasulullah lewat hadis tentang imam tersebut. Dengan kata lain, pemilihan mereka tidak dilakukan dengan cara voting (pemungutan suara), yang biasanya melibatkan unsur like and dislike (suka dan tidak suka; selera), dan membuka peluang bagi praktik money politics (politik uang; penyogokan dan penyuapan untuk memperoleh suara), juga pemanfaatan pasilitas, kekuasaan, dan massa.

Mental pemimpin Qurãni

Al-Qurãn dan Hadis menyebut pemimpin dengan istilah-istilah yang, antara lain, sudah disebutkan di atas. Salah satu yang menarik, Nabi Daud yang selama ini digambarkan sebagai nabi dan raja, ternyata juga disebut sebagai khalîfah, misalnya dalam surat Shãd ayat 26:
Hai Daud! Sungguh Kami telah menjadikanmu khalifah di bumi (wilayah kekuasaanmu). Maka (dengan demikian) tegakkanlah hukum di tengah manusia (rakyat) secara benar; yaitu janganlah kamu mengikuti hawa nafsumu, sehingga ia (hawa nafsu) menyesatkanmu dari jalan (hukum) Allah. …
Melalui ayat ini, jelas tergambar bahwa sebutan Daud sebagai raja (malik) atau khalifah bukanlah hal yang penting (esensial), karena yang penting dalam pandangan Allah adalah Daud harus menegakkan hukumNya, bukan menegakkan hawa nafsunya.
Kerajaan (mulk) Daud kemudian diwariskan kepada putranya, Sulaiman, yang juga diperkenalkan kepada kita sebagai nabi dan maharaja. Lantas apa pula yang dilakukan Sulaiman sebagai maharaja?
Melalui surat An-Naml ayat 19, kita mendapat gambaran tentang kepribadian sang maharaja ini. Ketika ia dihadapkan pada sebuah situasi yang biasanya membuat seorang penguasa membusungkan dada, Sulaiman malah mengatakan, “Wahai Pembimbingku, ilhamilah (bimbinglah) aku agar berbuat tepat dengan nikmat-(ajaran)-mu, yang Engkau anugerahkan kepadaku melalui orangtuaku, yaitu agar aku selalu berbuat shalih, yang pasti Engkau sukai. Yakni masukkanlah aku dengan rahmat-(ajaran)-Mu ke dalam golongan hamba-hambaMu yang shalih.”
Akhir kalam, sistem yang diajarkan Allah adalah sistem yang unggul dan bisa memenuhi tuntutan keadilan; karena sistem tersebut juga bisa membentuk pribadi-pribadi pemimpin yang terpuji. Sebaliknya, sistem-sistem yang dibuat manusia, yang sebenarnya merupakan hasil manipulasi ajaran Allah, adalah sistem yang terbukti mengecewakan, karena – pertama-tama – sistem-sistem mereka itu tidak mampu melahirkan pemimpin-pemimpin berakhlak mulia!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar