Sabtu, 17 September 2011

Korelasi ‘Ĩdul-Fithri Zakat Dan Ekonomi


I want change (aku mau perubahan). Itulah jerit hati setiap orang yang terpinggirkan.
I want change (aku mau perubahan). Itulah jerit hati setiap orang yang terpinggirkan.
Ajaran Islam, pada dasarnya, tidak mendukung kegiatan bersifat hura-hura. Kalaulah ada pesta yang dihalalkan, maka yang dihalalkan itu adalah “pesta kepedulian” golongan kaya terhadap kalangan tidak berpunya. ‘Ĩdul-Qurbãn, misalnya, adalah “pesta kepedulian” dengan cara (permukaannya) berbagi daging hewan, yang merupakan makanan bergizi tinggi tapi berharga mahal. Di balik pemberian daging hewan itu ada ajaran tentang kepedulian terhadap kesehatan dan perbaikan gizi saudara seiman; di samping ajaran untuk senang berkorban serta siap ‘menyembelih’ sifat-sifat kehewanan dalam diri sendiri.
Dan ‘Ĩdul-Fithri, terutama melalui zakat fithrahnya, adalah “pesta kepedulian” dengan cara berbagi bahan makanan pokok. “Pada hari itu,” kata Rasulullah, “jangan sampai ada orang miskin yang tidak makan!”
Tapi, sekali lagi, itu pun masih bersifat permukaan, atau tepatnya baru merupakan simbol (lambang).
Bila ‘Ĩdul-Qurbãn atau ‘Ĩdul-Adhã adalah simbol penyembelihan “sisi kebinatangan” diri, yang sering mengajak kita menerobos pagar dan memakan sesama, ‘Ĩdul-Fithri – pada satu sisi – adalah simbol ‘pemerataan’ ekonomi.
Bila pada hari-H ‘Ĩdul-Fithri itu tidak boleh ada orang yang kelaparan, apakah di hari-hari berikutnya boleh-boleh membiarkan mereka kelaparan?
Tentu tidak.
Justru karena itulah, nilai simbolis ‘Ĩdul-Fithri jadi semakin kental.
Bila anda mencermati tulisan tentang Ramadhan di blog ini, terutama yang berkenaan dengan nilai-nilai simblois berkenaan rahmat, maghfirah, dan itqun mina-nnãr di dalamnya, maka ‘Ĩdul-Fithri yang merupakan penutup Ramadhan adalah juga pintu gerbang bagi ‘peluncuran’ nilai-nilai tersebut.
‘Peluncuran’ itu dimulai dengan pembagian zakat fihtrah, sebagai simbol dari upaya pengentasan kaum miskin dari derita kelaparan.
Karena itu, ‘Ĩdul-Fithri dengan zakat fithrahnya bukanlah “hari derma” untuk mendermakan tiga liter beras sekali setahun, tapi untuk mengawali bentuk kepedulian yang berkesinambungan dan tersistem.
Bagaimana caranya?
Mubaligh yang penulis singgung dalam tulisan terdahulu, mengajukan sebuah ‘tesis’ tentang zakat sebagai sistem ekonomi. Makhluk apa itu?
Dalam kamus, kata zakat dengan segala variasi bentuk katanya, ternyata mempunyai beberapa pengertian. Di antaranya, ada pengertian yang berkaitan dengan keadaan bumi (tanah), tanaman, dan manusia.
Bila dikaitkan dengan bumi, zakat berarti subur, ditandai dengan banyaknya  rumput dan tanaman.
Bila dikaitkan dengan tanaman, zakat berarti tumbuh dan berkembang.
Bila dikaitkan dengan manusia, zakat berarti shalih, baik, pantas, layak. Juga berarti bersih, suci; murni; benar.
Lalu, bagaimana bila zakat dikaitkan dengan ekonomi?
Semua pengertian harfiah zakat bisa dipasangkan dengan kata ekonomi! Atau setidaknya menjadi semboyan-semboyan ekonomi.
Misalnya:
Ekonomi subur (makmur): bertujuan menjaga kesuburan bumi demi kemakmuran rakyat.
Ekonomi tumbuh-kembang: bertujuan menumbuh-kembangkan kehidupan rakyat.
Ekonomi shalih/baik/baik/pantas/layak: bertujuan membentuk ekonom-ekonom yang shalih, yang mampu membangun kehidupan yang baik, pantas, dan layak.
Ekonomi bersih/suci/murni/benar: bertujuan membangun kehidupan ekonomi yang bersih dari segala motivasi buruk, dengan harapan murni menjalankan yang benar saja.
Terlepas dari ‘semboyan-semboyan’ itu, sistem ekonomi zakat pada hakitnya adalah kebalikan dari sistem ekonomi riba.
Bila riba adalah kecenderunan untuk membungakan (melipatgandakan) uang demi kepentindan individu pemilik uang (modal) itu sendiri (= kapitalisme), maka ekonomi zakat adalah kecenderungan dari pemilik uang (modal) untuk memfasilitasi pertumbuhan dan perkembangan perekonomian masyarakat, supaya kekayaan yang mereka miliki bisa mengalirkan manfaat demi pertumbuhan dan perkembangan bersama.
Allah dan rasulNya mengingatkan bahwa alam semesta ini terwujud sebagai hasil rancang-bangun Allah, dan manusia diciptakan sebagai makhluk budaya, teristimewa untuk mementaskan konsepNya.[1]
‘Ĩdul-Fithri, di balik makna pestanya, sebenarnya mengandung ajaran (filosofi) agar manusia menyadari hal itu.

[1] Kaji surat Al-Qamar ayat 49, surat Al-Anbiyã’ ayat 104, dll.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar