Sabtu, 17 September 2011

Redenominasi Rupiah: Mahal dan Bukan Prioritas

Redenominasi Rupiah: Mahal dan Bukan Prioritas

Oleh: Hendri Saparini, Ph.D (Managing Director ECONIT)
Tidak lama, setelah Darmin Nasution ditetapkan oleh sidang paripurna DPR sebagai Gubernur Bank Indonesia, sang Gubernur membuat pernyataan yang cukup menghebohkan. Dalam konferensi pers Darmin Nasution menyampaikan bahwa BI telah berwacana untuk melakukan redenominasi rupiah. Pernyataan tersebut tentu segera menimbulkan reaksi beragam di masyarakat. Jangankan berita nilai tukar, untuk negara yang menganut sistem nilai tukar mengambang (Floating Exchange Rate System) seperti Indonesia, berita Gubernur sakit perut saja dapat mengguncang rupiah karena nilai tukar sarat dengan spekulasi.
Keresahan masyarakat bertambah setelah Menteri Keuangan dan Menko Perekonomian memberikan bantahan. Tidak heran karena masyarakat khawatir kebijakan ini akan mengulang kebijakan sanering pada jaman Orba. Padahal redenominasi bukan sanering. Sanering dalam konteks ekonomi diartikan sebagai pemotongan nilai uang. Sedangkan redenominasi hanyalah penyederhanaan penyebutan dan penulisan nilai mata uang dengan mengurangi jumlah digit (jumlah angka nol), tanpa pengurangan nilai uang.
Memang ada manfaatnya, semisal redenominasi akan membuat penulisan lebih praktis. Namun demikian, redenominasi lebih merupakan pencitraan mata uang rupiah agar lebih bergengsi. Paling tidak, keluar dari predikat tiga mata uang dunia yang nilai tukarnya terhadap dollar AS paling kecil. Selain itu, dengan berkurangnya angka nol rupiah juga seolah rupiah lebih kuat dan stabil. Tetapi ‘penguatan’ tersebut sama sekali tidak ada hubungannya dengan penguatan fundamental ekonomi. Berbeda bila penguatan rupiah terjadi karena daya saing produk dan jasa meningkat sehingga mendorong ekspor, sehingga penerimaan ekspor inilah yang mendorong penguatan rupiah. Bila tidak, maka manfaat langsung bagi pertumbuhan, pemerataan, dan stabilitas ekonomi menjadi sangat minimal.
Dalam berbagai diskusi radio banyak masyarakat yang mendukung dengan alasan yang sangat sederhana tetapi dalam yakni mengembalikan martabat bangsa. Tentu kelompok ini belum paham bahwa banyak prasyarat yang harus dilakukan untuk menerapkannya. Tidak sedikit pula yang menuduh wacana redenominasi ini sebagai pengalih berita yang terus mengkaitkan Darmin Nasution dengan kasus Century. Apapun, lontaran redenominasi rupiah telah menjadi topik diskusi hangat baik di Café maupun warung Kopi.
Ongkos Mahal
Tidak banyak yang tahu bahwa redenominasi memerlukan dukungan dana yang besar. Manfaat menjadi tidak signifikan bila ongkos yang harus disediakan ternyata sangat besar. Ada beberapa persyaratan yang harus dilakukan sebelum menjalankan redenomonasi. Pertama, anggaran untuk mencetak uang baru. Saat ini rupiah tidak memiliki uang kertas dan koin dengan nilai kecil. Dengan redenominasi rupiah, kebutuhan uang-uang koin dengan nilai di bawah Rp 1 sangat diperlukan karena masih banyak komoditas yang diperdagangkan masyarakat yang nilainya antara Rp 100-Rp 500. Bila dilakukan redenominasi dengan penyederhanaan nilai Rp 1000 menjadi Rp 1, maka diperlukan koin 10-50 sen untuk mempermudah transaksi di masyarakat.
Kedua, kebutuhan anggaran untuk menyediakan infrastruktur yang diperlukan. Dengan penghilangan “angka nol” baik satu, dua dan seterusnya, diperlukan perubahan teknologi informasi. Tidak hanya lembaga bank atau non bank, tetapi juga perusahaan swasta lain memerlukan perangkat tekonomi
Ketiga, kebutuhan dana untuk sosialisasi kepada masyarakat. Selain dukungan kondisi makro diperlukan juga pemahaman masyarakat dan dukungan politik yang harus digalang lewat berbagai program sosialisasi. Berapa banyak dana dan waktu yang harus diperlukan? Sebagai gambaran, sosialisasi potensi manfaat dan resiko penggunaan gas elpiji akibat konversi mitan ke gas elpiji yang telah berjalan lebih dari 3 tahun ternyata dinilai tidak berhasil karena setelah lebih dari tiga tahun, masih banyak masyarakat yang belum memahami cara mengurangi resiko dari penggunaan gas dan tabung elpiji dari program konversi.
Tentu akan diperlukan dana sangat besar dan waktu untuk menjamin agar semua masyarakat memahami dengan benar tujuan dan langkah implementasi dari kebijakan redenominasi ini. Keperluan dana sosialisasi menjadi sangat besar mengingat tingkat pendidikan separuh penduduk Indonesia hanya tingkat SD. Disamping itu wilayah geografis Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau, perlu dukungan strategi dan pendanaan yang kuat. Bila sosialisasi tidak maksimal maka justru berpotensi menimbulkan kericuhan di masyarakat.
Dorong inflasi
Meskipun Bank Indonesia meyakinkan bahwa redenominasi tidak akan berdampak pada penurunan daya beli masyarakat, namun sangat mungkin pelaksanaan redenominasi yang tidak didukung dengan berbagai persyaratan akan berpotensi mendorong inflasi yang pada akhirnya memangkas daya beli masyarakat. Seperti disebutkan di atas saat ini masih banyak barang yang diperdagangkan di masyarakat dengan harga Rp 450. Paska redenominasi berarti akan menjadi 45 sen. Untuk memudahkan transaksi akan ada kecenderungan penjual untuk membulatkan harga menjadi 50 sen. Pembulatan ini oleh pembeli juga akan diterima karena secara psikologis hanya naik 5 sen. Padahal sejatinya telah terjadi kenaikan harga sebesar 11 persen. Bila ini terjadi secara meluas maka akan terjadi serangan inflasi secara diam-diam. Masyakat tidak menyadari hanya merasakan bahwa daya beli mereka semakin lama semakin melemah.
Dengan sistem ekonomi yang sudah sangat liberal dan barang impor sangat mudah untuk masuk maka redenominasi ini juga berpotensi untuk mendorong permintaan produk-produk impor. Mengapa? Barang seharga USD 20 semula dikonversikan menjadi Rp 200.000, namun dengan redenominasi seolah menjadi hanya Rp 200 (bila dilakukan penghilangan tiga angka nol). Bila ini terjadi pada makanan impor maka akan semakin menjerumuskan Indonesia pada ketergantungan impor.
Bukan agenda prioritas
Ternyata kebijakan redenominasi rupiah memerlukan perencanaan dan persiapan yang matang. Selain itu diperlukan dukungan dana, infrastruktur dan juga politik. Penyampaian wacana redenominasi oleh Gubernur BI untuk sebuah rencana kebijakan yang masih sangat premature, kajiannya belum selesai dan sama sekali belum ada pembicaraan dengan pemerintah dan legislatif, menunjukkan indikasi menejemen kebijakan publik Gubernur BI sangat lemah.
Redenominasi rupiah juga bukan kebutuhan sekunder dan tidak mendesak. Ada agenda lain yang seharusnya menjadi prioritas untuk segera dilakukan oleh Bank Indonesia seperti misalnya menyiapkan terobosan kebijakan agar peran perbankankan dalam mendorong sector riil semakin besar. Kebijakan untuk mendorong agar investasi di sektor keuangan memiliki keterkaitan dengan sektor riil juga agenda yang jauh lebih penting untuk dilakukan saat ini dibanding redenominasi rupiah. Pekerjaan rumah lainnya Bank Indonesia dituntut untuk mengeluarkan kebijakan yang dapat menekan suku bunga pinjaman saat ini yang relatif tinggi sehingga tidak menguntungkan bagi sektor riil.
Masih ada seabreg agenda lain yang dapat dijadikan program prioritas Bank Indonesia termasuk mendorong pembiayaan syariah dengan bagi hasil misalnya, yang memang diperlukan bagi Indonesia mengingat 90 persen unit usaha yang ada adalah usaha kecil menengah.
Bila akan mewacanakan mungkin Bank Indonesia sebaiknya mencoba mengkaji penentuan nilai tukar yang sesuai aturan Islam. Dalam Islam alat tukar yang digunakan adalah dinar dan dirham mata uang yang dibuat dari mas dan perak, sehingga nilai alat tukar sesuai dengan nilai dari komoditas yang ditukar. Mungkin saat ini tidak mudah mendorong kembali digunakannya mata uang dinar dan dirham, tetapi paling bila saat ini dianggap kondisi darurat, maka Bank Indonesia yang notabene sebagai negara dengan penduduk Muslim terbanyak dan sekaligus kaya sumber daya alam emas dan perak, mencoba menawarkan nilai tukar yang dijamin dengan emas sebagaimana pernah dilakukan pada abad 14.
Era nilai tukar tetap (fixed exchange rate system) ditandai dengan berlakunya Bretton Woods System sejak 1 Maret 1947. Sistem ini menuntut agar nilai suatu mata uang dikonversikan dengan emas. Pada era itu, mata uang dolar AS menjadi acuan (numeraire), di mana semua mata uang yang terikat dengan sistem ini dikaitkan dengan USD. Data menyebutkan untuk mencetak uang senilai $35, Federal Reserve Bank (Bank Sentral Amerika) harus menjamin dengan emas senilai 1 ounce atau 28,3496 gram. Artinya, secara tidak langsung seluruh nilai mata uang dikaitkan dengan emas melalui USD. Era ini berakhir setelah diawali tindakan The Fed yang “selingkuh” dengan cara mencetak dollar melebihi emas yang menjadi jaminannya.
Bank Indonesia sebenarnya tidak perlu ragu untuk mewacanakan nilai tukar yang di-back up emas karena saat ini banyak negara barat yang telah menyuarakan kembalinya sistem nilai tukar yang dijamin dengan emas yang sering dikenal dengan istilah Bretton Woods II yang merupakan penyempurnaan Bretton Wood System. Tidak mudah tentu saja, tetapi kalau redenominasi rupiahpun masih sekadar wacana, maka akan lebih baik bila mewacanakan upaya penetapan nilai tukar rupiah yang kebenaran telah dinyatakan dalam Islam. Apalagi sejarah membuktikan secara empiris dinar dan dirham dapat menjadi mata uang yang dapat menjaga daya beli masyarakat. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar