Rabu, 14 September 2011

Mendalami Pengertian Qurbãn


Bukan kambing hitam, tapi tetap jadi korban! (Gb. dari blog kajian komunikasi).
Tulisan ini membahas tiga hal:
  1. Qurbãn sebagai sebuah ritus.
  2. Qurbãn sebagai lambang.
  3. Qurbãn sebagai pendekatan ilmiah (scientific approach).
Dalam tulisan ini saya mengindonesiakan qurbãn menjadi kurban dan kadang korban, sesuai pengucapan masyarakat dalam keseharian.

Pendahuluan
a. berbagai pemahaman
Tahun ini beredar kabar bahwa berbagai mazhab di Indonesia menyepakati “Lebaran Haji” jatuh pada tanggal 27 November.
Lebaran Haji adalah sebutan lain bagi ‘Îdul-Adhhã (عيد الأضحى), atau  ‘Îdul-Qurbãn (عيد القربا), atau “hari raya kurban”, dengan pengertian bahwa “hari raya” adalah “hari besar” atau “hari penting”, dan “kurban” adalah upacara “penyembelihan hewan” (kambing, sapi, kerbau, unta), yang dagingnya kemudian dibagi-bagikan kepada orang-orang miskin.
Dengan demikian, (upacara) kurban ini hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang tidak miskin. Orang-orang miskin hanya menjadi ‘korban’ (sasaran!) untuk menerima pemberian daging kurban.
Sebagian umat Islam percaya bahwa “upacara kurban” adalah sarana penebusan dosa bagi pelaksana (yang mengurbankan hewan), dan karena itu ada sebagian orang miskin yang tidak mau memakan (apalagi mengantre) daging kurban, karena tidak mau menanggung dosa orang lain! Pemahaman ini paling tidak saya terima dari ibu dan tetangga sekampung ketika saya kecil. Bila paham ini dikembangkan, mungkin jumlah rakyat jelata yang menjadi korban dalam hiruk-pikuk perebutan jatah daging kurban di kota-kota besar bisa berkurang!
Ada pula sejumlah orang yang beranggapan bahwa “upacara kurban” (penyembelihan hewan) itu sebenarnya tidak ada. Tidak pernah diajarkan Rasulullah (= bukan sunnah Rasul). Menurut mereka, korban yang sebenarnya adalah mengorbankan (membunuh) nafsu hewani yang ada dalam diri setiap orang.
b. bahasa lambang
Ajaran agama apa pun, termasuk Islam, dikemas dalam dan disampaikan dengan tiga bentuk bahasa. Yaitu:
(1)   Bahasa lisan, yang merupakan bahasa awal, sebagai penyampai ajaran secara langsung,
(2)   Bahasa tulisan, bahasa kedua, sebagai alat pengajaran (komunikasi) tak langsung, yang juga berfungsi sebagai pelestari ajaran, dan
(3)   Bahasa lambang, yang mengemas ajaran dalam bentuk ritus-ritus (upacara) tertentu.
Bahasa lambang relatif sama dengan bahasa isyarat.
Bila bahasa lisan dan bahasa tulisan cukup dikenal orang, bahasa lambang kurang dikenal dan dipahami secara umum. Bahkan, ironisnya, di kalangan ulama pun bahasa lambang ternyata kurang populer, bila bukan tidak dikenal. Karena itulah kebanyakan dari mereka ‘gagal’ menjelaskan makna yang tersembunyi (hidden meaning) dari ritus-ritus Islam seperti shalat, haji, dan lain-lain.
1. Qurbãn sebagai ritus
Kebanyakan orang (ulama, mubaligh), setiap tahun, mengulang-ulang kisah Ibarahim yang mendapat perintah (lewat mimpi) untuk menyembelih salah seorang putranya, Isma’il. Kesediaan Ibrahim dan Isma’il untuk mematuhi perintah Allah tanpa reserve (ragu) digaris-bawahi sebagai keteladanan agung, yang pada akhirnya malah menyebabkan Allah membatalkan perintahNya.
Isma’il diganti dengan kambing!
Rujukan untuk kisah itu adalah surat Ash-Shãfãt ayat 102-107.
Rujukan lainnya adalah surat Al-Kautsar ayat 2.
Dengan kata lain, ayat-ayat tersebut adalah landasan bagi tegaknya salah satu ritus (upacara) dalam Islam, yaitu berkurban, yang diadakan setiap (hari raya) Idul Adha.
Dalil-dalil lain tentang kurban dalam arti menyembelih hewan di hari raya kita dapati cukup banyak dalam kitab-kitab hadis. Hadis Muslim urutan ke-1909, misalnya memberikan gambaran demikian:

Al-Barã’ bin Ãzib mengungkapkan bahwa Rasulullah saw pernah mengatakan, “Sesungguhnya hal pertama yang kita lakukan di “hari kita ini” (‘îdul-adhhã) adalah kita shalat (di tanah lapang), kemudian kita pulang, lalu kita menyembelih hewan. Barang siapa melakukan hal ini, maka dia telah membenarkan (melaksanakan; mewujudkan) sunnah kita. Sedangkan siapa yang menyembelih hewan (sebelum shalat), maka daging sembelihannya (sama dengan hanya) diperuntukkan bagi keluarganya sendiri. (Hal itu) tidak bernilai ritus (nusuk, upacara) sedikit pun. (Dalam bahasa umum: tidak bernilai ibadah).
2. Qurbãn sebagai lambang
a. Jangan pernah merusak ritus!
Ulama fiqih, dengan cara pandang formalistis mereka, umumnya hanya menjadikan Hadis di atas sebagai rujukan untuk menyatakan bahwa menyembelih hewan kurban sebelum shalat ‘îd adalah “tidak sah”.
Padahal, terlepas dari sudut pandang ilmu fiqih yang formalistis (dan dangkal) itu,  Rasulullah menegaskan bahwa penyembelihan hewan pada ‘Îdul-Adhhã adalah an-nusuk(u), yaitu ritus (Ing.: rite) atau seremoni (Ingg.: ceremony) atau upacara. Jelasnya, penyembelihan hewan itu adalah sebuah ‘paket upacara’ yang dimulai dengan shalat di lapangan. Bila bila penyembelihan dilakukan sebelum shalat, Rasulullah menegaskan bahwa hal itu laisa minan-nusuki fî syay’in (= bukan ritus yang dimaksud; tidak bernilai ritus atau bahkan merusak ritus yang diajarkan beliau).
Di atas sudah disebut tentang bahasa lambang, yang mengemas ajaran dalam bentuk ritus-ritus (upacara) tertentu. Bila dikaitkan dengan Hadis ini, semakin jelaslah bahwa “ritus sebagai bahasa lambang” tidak boleh diganggu-gugat, alias harus dijaga keutuhannya. Tidak boleh ada penghilangan dan atau pemutar-balikan.
Penghilangan dan atau pemutar-balikan ritus (yang oleh ulama – secara keliru – disebut “ibadah mahdhah”, ibadah murni) adalah sama dengan mengacak-acak (melakukan distorsi; yuharrifu) kata-kata dari posisi sebenarnya dalam kalimat, sehingga pengertian kalimat menjadi bertolak belakang dan atau tidak keruan makna.
Dalam pengertian yang hakiki dan luas, “melakukan distorsi kalimat” adalah merusak konsep (ilmu) dan atau sunnah (prosedur pelaksanaan ilmu)! Dan ini adalah pekerjaan Yahudi serta antek-anteknya. (Lihat misalnya surat An-Nisã’ ayat 46).
(Bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar