Sabtu, 10 September 2011

Doa Sebagai Kekuatan Hidup



* وَ إِذَا سَأَلَكَ عِبَادِى عَنِّى فَإِنِّى قَرِيْبٌ أُجِيْبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوْا لِى وَلْيُؤْمِنُوْا بِى لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ
Bila para hambaku bertanya tentang Aku (Allah), maka (jawablah Muhammad) bahwa sesungguhnya Aku sangat dekat. Akan Kujawab (kabulkan) doa orang yang berdoa, bila ia memang berdoa kepadaKu. Maka sebaliknya, mereka juga hendaknya  menjawab (mengabulkan) doaKu (=harapanKu), yakni agar mereka beriman kepadaKu. Mudah-mudahan mereka mampu bersikap lurus (seperti yang Kuharapkan). [Surat Al-Baqarah: 186].

Doa = harapan = cita-cita
Kita selalu memahami istilah doa sebagai permintaan atau permohonan kepada Allah. Padahal, dalam bahasa aslinya, doa mempunyai beberapa pengertian.
Doa (aslinya: du’ã) adalah kata benda (tepatnya masdar). Kata kerjanya adalah da’ã-yad’û/دعا-يدعو. Bentuk kata bendanya yang lain, selain du’ã, adalah da’wah/دعوة .
Doa, selain berarti permintan atau permohonan, juga bisa berarti harapan (= asa); dan kita tahu bahwa harapan atau asa adalah tenaga inti yang menyebabkan manusia bersemangat menjalani kehidupan.  Sebaliknya, manusia yang tidak punya lagi harapan (= putus asa), ada kemungkinan dia melakukan bunuh diri, menjadi orang yang cuek, menjadi pemakai narkoba, atau menjadi orang gila.
Harapan dengan kata lain juga berarti cita-cita. Karena ada cita-citalah para guru bersemangat datang mengajar, dan begitu juga sebaliknya para murid bersemangat datang ke sekolah karena masing-masing mempunyai cita-cita. Harapan atau cita-cita adalah “doa yang selalu ‘menyala’ di dalam diri kita”, baik kita menyadarinya atau tidak.
Memahami doa sebagai permintaan akan berbeda dampaknya dibandingkan dengan memahaminya sebagai harapan. Dengan memahaminya sebagai permintaan, kita akan cenderung meminta-minta melulu kepada Tuhan. Sebaliknya, dengan memahaminya sebagai harapan atau cita-cita, kita akan memiliki doa yang selalu menyala dalam kesadaran dan hidup dengan penuh semangat, tahu apa yang harus diperjuangkan.
Selain itu, jangan dilupakan bahwa doa dan da’wah adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Contoh mudahnya, bila kita mempunyai harapan atau cita-cita yang baik, tentu kita juga akan punya kecenderungan untuk mempengaruhi atau mengajak orang lain untuk memiliki apa yang kita miliki. Usaha kita mempengaruhi atau mengajak itu dengan kata lain adalah berda’wah.

Syarat terkabulnya doa
Melalui ayat di atas (surat Al-Baqarah ayat 186), kita mendapat informasi yang menarik. Pertama, Allah mengabarkan bahwa Ia sangat dekat (qarïb; karib) dengan hamba-hambaNya. Tapi jangan dibayangkan bahwa dekatnya Allah itu seperti dekatnya satu benda dengan benda yang lain, atau seperti dekatnya seorang manusia dengan manusia yang lain. Allah mendekati hamba-hambanya melalui kitab-kitab yang diturunkanNya kepada para rasulnya. Kepada rasulNya yang terakhir, Ia menurunkan kitab bernama Al-Qurãn.
Kedua, yang terungkap dari ayat di atas adalah janji Allah bahwa Ia pasti mengabulkan doa hambaNya yang berdoa kepada-Nya. Tapi harap diingat bahwa Allah juga mengajukan syarat untuk pengabulan doa itu. Apa syaratnya? Manusia harus beriman kepadaNya, yaitu menerima kitab yang diturunkanNya serta menjalankan segala ajaran yang terdapat di dalam kitab itu.
Dalam sebuah hadis, Al-Qurãn diumpamakan seperti tali. Satu ujung tali itu dipegang oleh Allah, ujung lainnya dipegang oleh hamba-hambaNya. Itulah gambaran tentang dekatnya Allah dengan hamba-hambaNya. Kedekatan yang tidak bersifat fisik.
Ayat di atas jelas menggambarkan bahwa Allah hanya dekat dengan hamba-hambanya. Dengan demikian, otomatis Allah itu tidak dekat (= jauh) dari orang-orang yang tidak mau menjadi hamba-hambaNya. Mereka adalah orang-orang yang tidak mau menyambut ‘tali’ (Al-Qurãn) yang diulurkan Allah.
Ketiga dari ayat di atas juga tersirat sebuah penegasan dari Allah bahwa para hambaNya tidak boleh berdoa, dalam arti meminta dengan mengajukan segala macam permintaan sesuka hatinya; tidak boleh mempunyai harapan atau cita-cita yang buruk; juga tidak boleh berda’wah untuk mengajak orang berpikir dan berbuat buruk. Doa dan da’wah mereka harus seperti doa dan da’wah para nabi. Bagaimana doa dan da’wah para nabi?
Para nabi selalu mengajak manusia untuk beriman. Untuk itu, mereka tak pernah meminta upah dari manusia. Para nabi juga tidak pernah berdoa meminta kekayaan kepada Allah, karena kekayaan, fasilitas kehidupan, adalah sesuatu yang sudah diberikan oleh Allah kepada manusia, dan manusia sudah deberi alat berupa otak, telinga, mata, serta kaki dan tangan untuk mendapatkannya. Selain itu, manusia juga dibekali naluri untuk hidup berjamaah, bermasyarakat, supaya bisa saling membantu dalam menyelenggarakan kehidupan yang saling menguntungkan.
Para nabi juga tidak berdoa meminta panjang umur, karena umur adalah sesuatu yang sudah ditentukan (dijatah) oleh Allah. Dalam surat Al-A’raf ayat 33, misalnya, Allah menegaskan:
وَلِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٌ فَإِذَا جَاءَ أَجَلُهُمْ لاَ يَسْتَأْجِرُونَ سَاعَةً وَلاَ يَسْتَقْدِمُونَ
Setiap umat (manusia) diberi ajal (batas waktu untuk hidup). Maka bila sudah tiba ajal mereka, mereka tidak bisa berharap untuk memperlambat waktunya. Sebaliknya, mereka juga tidak bisa mengharap ajal itu datang lebih cepat.

Lalu apa yang diminta oleh para nabi?  Nabi Musa, ketika diutus Allah untuk berda’wah kepada Fir’aun, berdoa demikian:
… رَبِّ اشْرَحْ لِى صَدْرِى – وَ يَسِرْ لِى أَمْرِى – وَاحْلُلْ عُقْدَةً مِنْ لِسَانِى – يَفْقَهُوا قَوْلِى …
Tuhanku, lapangkanlah dadaku, dan mudahkanlah urusanku, dan hilang-kanlah kekakuan lidahku, agar mereka (Fir’aun dan kaumnya)  bisa memahami kata-kataku. (Surat Thaha ayat 25-28).
Doa Nabi Musa ini cocok untuk diterapkan oleh para da’i dan para guru, yang setiap saat harus menyampaikan ilmu melalui lisan mereka. Sebaliknya, tentu tidak cocok bagi orang yang hendak berbohong atau menipu.
Contoh lainnya adalah doa Nabi Sulaiman:
رَبِّ أَوْزِعْنِى أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِى أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًاتَرْضَاهُ وَ أَدْخِلْنِى بِرَحْمَتِكَ فَى عِبَادِكَ الصَّالِحِينَ
Tuhanku, Mantapkanlah hatiku untuk selalu bersyukur dengan anugerah (ajaran) yang Engkau karuniakan kepadaku melalui orangtuaku (Nabi Daud), yakni agar aku selalu melalukan amal-amal shalih yang Engkau ridhai (sukai), dan selanjutnya, dengan rahmatMu (ajaranMu) itu, masukkanlah aku ke dalam kelompok hamba-hambaMu yang shalih. (Surat An-Naml ayat 19).

Al-Qurãn adalah doa Allah
Dengan menurunkan Al-Qurãn pada hakikatnya Allah berdoa dan berda’wah kepada manusia, seperti ditegaskannya dalam surat Al-Baqarah ayat 221: وَاللهُ يَدْعُو إلَى الْجَنَّةِ (Allah berharap/mengajak manusia menuju jannah, sorga).
Dengan demikian, mempelajari dan mengamalkan Al-Qurãn berarti menyambut doa/da’wah Allah. Sebaliknya, pada da’i/mubaligh yang mengajak orang untuk hidup dengan Al-Qurãn pada hakikatnya mereka adalah perantara atau petugas Allah.
Di akhir setiap mushhaf Al-Qurãn selalu dilampirkan doa-doa khatam (penutup) yang disusun oleh para ulama. Salah satu di antara-nya adalah doa yang berikut ini. Marilah kita baca dan hayati bersama!

اَللّهُمَّ ارْحَمْنِى بِالْقُرْءَانِ وَاجْعَلْهُ لِى إِمَامًا وَنُورًا وَهُدًى وَرَحْمَةً – أَللَّهُمَّ ذَكِّرْنِى مِنْهُ مَا نَسِيْتُ وَ عَلِّمْنِى مِنْهُ مَا جَهِلْتُ وَارْزُقْنِى تِلاَوَتَهُ آنَاءِ اللّيْلِ وَأَطْرَفَ النَّهَارِ وَاجْعَلْهُ لِى حُجَّةً يَا رَبَّ الْعَالَمِينَ.
Ya Allah, sayangilah selalu diriku dengan Al-Qurãn, yakni jadikanlah dia sebagai imam, petunjuk dan rahmat bagi diriku. Ya Allah, ingatkanlah diriku ayat-ayatnya yang kulupakan, dan bimbinglah aku untuk mengetahui yang tidak aku ketahui (pahami), yakni anugerahkanlah rizki (ilmu) dari usahaku dalam membaca-nya siang dan malam, dan selanjutnya jadikanlah ia sebagai hujjah (pembela) bagi diriku, wahai Tuhan seluruh alam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar