Rabu, 07 September 2011

MALAIKAT DAN DIMENSINYA ( BAGAIKAN SAYAP )

Wahyu Allah ibarat matahari yang memancarkan cahayanya pada permukaan bulan, sehingga cahaya yang diterima bulan itu kemudian memantulkan pada bagian bumi yang tidak terkena cahaya matahari (dalam situasi malam). Itu bahasa perumpamaan. Bahasa gamblangnya adalah: wahyu Allah (al-Qur’an) diturunkan kepada Rasullullah melalui Malaikat untuk dijadikan pedoman hidup manusia.

Inilah awal dari pembicaraan mengenai malaikat. Karena pernyataan di atas menyebut adanya peran malaikat dalam penyampaian wahyu, maka kita tentu bertanya, “Apa dan siapa malaikat itu?”

Dalam diskusi ini akan diurai serba sedikit tentang malaikat sebagai makhluk terbuat dari cahaya, dan karena itu pembicaraan tentang mereka tentu harus dikaitkan dengan hal-ihwal cahaya, baik secara hakiki maupun majazi (kiasan).

Pembicaraan malaikat sebagai cahaya dalam pengertian hakiki, diharapkan dapat membantu bagi orang-orang yang aktifitasnya dalam disipilin ilmu pasti dan cenderung berpikir secara lmu pasti. Aktifitas ini memang sudah seharusnya dilakukan karena Al-Qurãn sendiri adalah ilmu pasti yang tidak mengandung unsur-unsur khayali atau spekulasi (meski ilmu pasti itu sendiri di dalamnya masih terdapat unsur-unsur sepkulatif).

Pembicaraan megenai malaikat dalam pengertian hakiki juga berguna untuk menyadarkan kita bahwa segala “keputusan” (taqdir) Allah dilaksanakan melalui suatu proses, yang kadang-kadang sangat rumit, menurut pemahaman kita.

Sehubungan dengan inilah kita patut mempertanyakan apakah kalimat kun fa yakun (Surat Yasiin 36:82) dapat diartikan sama dengan sim salabim, seperti mantra tukang sulap? Bila demikian, mengapa untuk mengajarkan Al-Qurãn kepada manusia Allah harus menggunakan malaikat, yang harus menempuh jarak begitu jauh, menembus berbagai “lapisan langit?” Mengapa tidak dibisikkan saja secara langsung kepada kita? Mengapa tidak disisipkan saja dalam naluri kita seiring dengan kelahiran kita ke dunia?

Malaikat = Rasul

Sungguh menarik bahwa dalam bahasa Yunani malaikat disebut angelos[1] yang berarti pembawa berita. Dalam bahasa Arab, pembawa berita adalah nabi atau rasul. Di dalam Surat al-Hajj 22: 75, dikatakan bahwa sebagian malaikat dijadikan rasul di samping manusia. Surat Fathir ayat 1 juga menegaskan bahwa malaikat adalah rasul (utusan).

Bila kita perhatikan ayat-ayat berikutnya, dan kita gunakan sistematika yang membagi Al-Qurãn menjadi Pandangan Umum, Uraian, dan Kesimpulan, maka akan kita lihat bahwa ayat ini adalah penegasan agar Rasulullah, dan pengikutnya (ditegaskan pada ayat 4) merujuk kembali Surat Al-Fãtihah yang ditinjau dari susunan kata-katanya adalah sebuah ikrar, yaitu pernyataan diri untuk menjadi hamba Allah dengan menjalankan ajarannya sesuai Sunnah Rasul.

Di dalam Surat Al-Fãtihah, Allah disebut sebagai rabbul-‘alamîn, di sini dipertegas dengan pernyataan diri untuk menjadi hamba Allah dengan menjalankan ajaran-Nya sesuai Sunnah Rasul. Yaitu penyampai risalah, yang secara harfiah antara lain berarti pesan, missi, undangan, dan sebagainya. Namun, dari sisi istilah, risalah ini berarti ajaran atau tegasnya pedoman hidup (agama).

Sebagai penyampai risalah, malaikat dijamin tidak akan menyeleweng, seperti dinyatakan dalam Surat an-Nahl ayat 49-50:

Segala yang ada di langit dan di bumi tunduk-patuh pada (hukum) Allah, mulai dari makhluk melata sampai malaikat, tak ada satu pun dari mereka yang membangkang. Semua takut pada Rabb yang menguasai mereka, sehingga mereka selalu melaksanakan segala yang diperintahkan.

Melalui Surat an-Najm ayat 26, kita ketahui bahwa malaikat terdapat di berbagai “langit” (fi samãwãti). Apakah langit itu? KH Bahaudin Mudhary, menulis dalam buku Setetes Rahasia Alam Semesta:

Langit, dalam kajian ilmu pengetahuan eksakta adalah ruang yang sunyi, ia berada pada ketinggian 120 mil dari permukaan bumi. Di bawah apa yang dinamakan langit itu, terdapat berbagai macam lapisan yang menyelimuti dan melindungi bumi dari berbagai macam cahaya. Langit  lapisan pertama adalah Troposfir berada pada ketinggian 8 mil dari permukaan bumi. Lapisan kedua adalah Stratosfir yang berada pada jarak 8 mil sampai 60 mil dari permukaan bumi. Di lapisan ini terjadi perubahan suhu udara (temperatur). Stratosfir ini juga disebut sebagai lapisan Ozon. Pada lapisan Ozon ini terdapat suatu bentuk khas oksigen yang berlebihan jumlahnya, ia beracun dan dapat membunuh manusia. Lapisan Ozon ini lah yang melinndungi manusia dari sinar ultra-violet yang berasal dari matahari. Ozon pula yang menghisap dan menyerapnya. Andaikan  lapisan Ozon ini tidak ada, niscaya manusia dan bumi akan hangus terbaklar oleh sinar ultra-violet tadi. …

Di atas lapisan Stratosfir, sekitar 30 mil, terdapat ruang yang bersuhu panas sekali, sekitar 170 derajat Fahreintheit. Akan tetapi di atas ruangan yang bersuhu panas ini terdapat ruangan yang mempunyai suhu rendah sekali. Kemudian, 60 mil di atas lapisan Stratosfir terdapat sebuah lapisan lain yang menjadi bidang penelitian para ahli radio …
Di atas lapisan Ionosfir terdapat sebuah lapisan lain yang dinamakan lapisan Exosfir. Di lapisan ini udara sangat sedikit jumlahnya sehingga tidak mungkin untuk didiami oleh makhluk manusia …[2]

Di lain pihak, kita dapati pula keterangan tentang ruang angkasa (space) sebagai berikut,

Ruang angkasa adalah kekosongan. Warnanya hitam, karena dalam kekosongan itu tak ada cahaya. Di sana tidak dingin dan tidak pula panas karena dalam kekosongan itu tidak ada suhu. Dan tentu saja, di ruang angkas itu tak ada udara atau air.

Namun meski ruang angkas itu sendiri kosong di dalamnya ada juga sesuatu. Di situ ada jutaan bintang. Ada gumpalan raksasa gas dan debu. Komet (bintang berekor) dan serpihan-serpihan batu yang disebut meteor berseliweran menerobos ruang angkassa. Gelombang-gelombang cahaya dari bintang meluncur menembusnya. Partikel-partikel (debu) sangat kecil, tidak terlihat mata, berseliweran. Ruang angkasa adalah kekosongan yang meliputi semua itu.

Ruang angkasa dan segala sesuatu yang ada di dalamnya itulah yang membentuk apa yang kita sebut alam semesta. Kita tidak tahu berapa besarnya alam semesta ini, tapi benda angkasa (bintang) yang kita sebut terjauh dari kita kenyataannya terletak amat sangat jauh. Cahaya yang dipancarkannya butuh waktu jutaan tahun untuk mencapai kita! Barangkali alam semesta ini terbentang di segala arah selamanya – dan tak akan berakhir![3]

Jadi di “lapisan” langit manakah malaikat? Wallahu a’lam! Mudahnya, sebut saja di “alam lain” yang berbeda dengan alam kita, yang jaraknya dari kita jauh tak terhingga, sehingga untuk dapat menyampaikan risalah kepada kita mereka membutuhkan ajnihah, yang diterjemahkan sebagai sayap.[4] Tetapi benarkah mereka harus bersayap sedangkan dalam sebuah hadits Muslim dikatakan bahwa mereka dibuat dari cahaya (Al-Malã’ikatu khuliqat min nûrin)? Menurut para peneliti, cahaya adalah benda yang mempunyai daya luncur tercepat. Cahaya matahari saja, misalnya, meluncur ke segala arah dengan kecepatan 299.792 km per detik.

Bila malaikat adalah makhluk yang terbuat dari cahaya, dan masih memerlukan dua, tiga, sampai empat “sayap” berarti jarak alam mereka dengan kita sungguh tak terbayangkan jauhnya. Apalagi bila ajnihah yang diterjemahkan (secara lucu) sebagai sayap itu kita artikan sebagai “kemampuan”  atau “daya luncur.”

Jadi Surat Fathir ayat 1 tersebut, mungkin, menegaskan bahwa malaikat yang tinggal di tempat uang jauh itu, dipilih sebagai rasul untuk menyampaikan ajaran Allah kepada manusia, karena mereka diciptakan dari cahaya, bahkan di antara mereka ada yang mempunyai daya luncur dua, tiga, sampai empat kali kecepatan cahaya. Itu pun bila kata matsna, tsulasa, ruba’a kita artikan dua, tiga, empat. Bila diartikan dua kuadrat, tiga kuadrat,  empat kuadrat, tentu akan membuka wawasan lain lagi!

Isa Bugis, misalnya, menerjemahkannya menjadi: “ … Dia yang telah menjadikan malaikat sebagai utusan yang mempunyai kemampuan dimensi kelipatan dua dan kelipatan tiga dan kelipatan empat  tambah x … “ dan kemudian dihubungkannya dengan Hadits yang mengatakan bahwa malaikat mempunyai 600 ajnihah (dimensi). (al-malaikatu sittu miati ijnihatin). Dan selanjutnya ia membuat rumusan demikian:

Malaikat: 2 pangkat 2, x3 pangkat 2, x 4 pangkat 2, ditambah x = 600
atau :
476 + x = 600
x = 600 – 576 = 24
576 + 24 = 600

Ajnihah diterjemahkan Isa Bugis sebagai “dimensi”, dalam arti “kemampuan gerak menurut kemungkinan-kemungkinan tertentu.” Satu dimensi, misalnya, adalah gerak pada satu jalur dalam satu waktu, dua dimensi adalah gerak dalam dua jalur pada satu waktu, tiga dimenssi adalah gerak pada tiga jalur dalam satu waktu. Sedangkan empat dimensi adalah gerak dalam empat jalur pada satu waktu, seperti dari satu ruang ke ruang lain tanpa merusak batas yang ada di sekelilingnya.

Surat an-Najm ayat  7-10 menyebutkan bahwa Malaikat yang mengajarkan wahyu kepada Muhammad “bertempat tinggal” di Al-Ufuqil-A’la tempat yang paling paling tinggi. Kemudian dia turun, dan terus turun (menembus berbagai lapisan ruang angkasa?), sehingga mendekati Muhammad seperti dekatnya dua ujung busur panah atau lebih dekat dari itu. Dengan demikian dia (Jibril) dapat mengajarkan kembali kepada Muhammad apa yang diajarkan Allah kepadanya.

Dimensi Malaikat

Di atas sudah disebutkan bahwa yang dimaksud dengan dimensi Malaikat adalah kemampuan gerak dalam kemungkinan-kemungkinan tertentu yakni kemungkinan bergerak dalam satu jalur dalam satu waktu (satu dimensi), atau kemungkinan bergerak dalam dua jalur dalam satu tiga jalur dalam satu waktu, atau kemungkinan bergerak dalam tiga jalur dalam satu waktu, seperti menembus dari satu ruang ke ruang lain tanpa merusak batas-batas di sekelilingnya (empat dimensi). Jadi, semakin banyak dimensi yang dimiliki Malaikat, semakin cepat kemampuan geraknya dalam menembus ruang demi ruang. Bila Hadits menyebutkan bahwa Malaikat memiliki 600 ajnihah, yang kita artikan dimensi, maka dapat kita bayangkan betapa amat jauhnya jarak yang harus ditempuh dan betapa sangat banyaknya ruang angkasa atau lapisan langit yang harus ditembus Malaikat untuk menyampaikan wahyu Allah kepada manusia. Dalam hal ini, dengan merujuk Surat al-Ma’arij ayat 3-4, Isa Bugis menafsirkan bahwa daya tempuh malaikat adalah 50.000 tahun.

Rinciannya adalah sebagai berikut:

1 hari = 3600, 10 = 111,3km, menjadi:
360×111,3 km = 40.000 km. (peredaran bumi pada garis khatulistiwa)
1 tahun = 12 bulan (Surat at-Taubah 9:36) dan
1 bulan menurut perhitungan Qamariyah = 291/2 hari,
jadi 1 tahun = 12×291/2 hari = 354 hari
1 tahun = 354×40.000 km. = 14.160.000 km.
Maka daya tempuh Malaikat :
50.000×14.160.000 km. = 708.000.000.000 km.

Itulah kira-kira makna dimensi Malaikat secara hakiki (yang tentunya masih memerlukan pengkajian lebih  lanjut).
Selain itu, adakah makna ilmiah lain tentang  pengertian dimensi Malaikat  yang di dalam Al-Qurãn  disebut dengan istilah ajnihah?

Secara umum berbagai kamus umum menyebutkan bahwa dimensi berarti “ukuran,” yakni ukuran yang meliputi panjang, lebar dan tebal (tinggi) dari suatu benda. Selain itu, dimensi juga bisa berarti “lingkup” atau “cakupan,” misalnya dalam kalimat: “Lingkup sebuah masalah.” Pengertian yang lebih luas dapat kita temukan misalnya di dalam Longman Language Activator, yang menyebutkan bahwa dimension (dimensi) memiliki kesamaan arti dengan kata aspect, (segi), side (sisi), facet (segi dari banyak segi, permukaan, pemandangan), dan factor (sesuatu yang mempengaruhi terjadinya sesuatu yang lain).

Semua makna itu agaknya bisa kita gunakan. Bila kita ambil kata aspect (aspek), misalya, kita dapt mengatakan bahwa Malaikat yang terbuat dari nur (cahaya) memiliki berbagai aspek (sifat) positif, yaitu antara lain, menerangi.”       Dengan kata lain, salah satu dimensi Malaikat adalah “kemampuan menerangi”. Dan ini bisa dikatakan tidak berkaitan dengan zatzatnya yang terbuat dari nur atau cahaya tersebut; karena bila harus dikaitkan dengan zatnya, maka bisa saja matahari, bulan dan bintang kita sebut malaikat!

Dimensi Malaikat sebagai penerang agaknya lebih terkait dengan status dan atau fungsinya sebagai rasul Allah. Jadi, penerang di sini berarti pemberi keterangan, yaitu penyampai ilmu (wahyu). Selanjutnya tentu saja dapat kita katkan bahwa sampainya keterangan Allah kepada manusia adalah karena faktor Malaikat. Lebih jauh lagi, tentu tidak salah pula bila kita mengatakan bahwa wahyu Allah itu tidak terpisahkan dari Malaikat. Dengan kata lain, wahyu Allah adalah (ber)dimensi malaikat! Hal ini menjadi lebih jelas lagi bila kita ingat bahwa wahyu Allah di dalam Al-Qurãn disebut juga nûr (misalnya di dalam Surat asy-Syura ayat 52).

Dengan demikian, dapat kita katakan pula bahwa  yang menerima wahyu Allah adalah manusia yang “kerasukan malaikat”, atau manusia yang di dalam dirinya terdapat dimensi Malaikat..

Selanjutnya tentu timbul pertanyaan: “Apakah manusia yang dirinya dipenuhi dengan dimensi malaikat (wahyu), misalnya Nabi, berarti memiliki pula kehebatan seperti Malaikat?”

Pertanyaan tersebut tentu berkaitan dengan peran aktif Malaikat (secara langsung) misalnya di dalam perang Badar, atau perang Afghanistan. Benarkah ada Malaikat yang turun tangan membantu tentara Islam, atau tentara Islam itu sendiri menjadi manusia-manusia hebat secara fisik sehingga mampu mengalahkan musuh mereka?

Pertanyaan ini tentunya memusingkan banyak orang.  Tetapi persoalan tersebut sebenarnya bisa menjadi sederhana. Kalau di dalam perang Badar, ada turun tangan Malaikat secara langsung, lebih-lebih jumlahnya sampai seribu, seperti disebut dalam Surat al-Anfaal ayat 9, tentu perang itu hanya akan berlangsung dalam hitungan detik, dan tentara Islam tidak perlu angkat senjata samasekali atau cukup menjadi penonton dari peristiwa perang yang amat dahsyat itu.

Tetapi mengapa dalam Surat al-Anfal ayat 9, disebutkan bahwa Allah menurunkan seribu Malaikat? Jawabannya terdapat pada ayat berikutnya (ayat 10) yang menegaskan bahwa bahwa dengan “janji” itu sebenarnya Allah hanya bermaksud menghibur mereka, supaya hati mereka tenang, tidak lagi gentar melihat jumlah musuh yang jauh lebih banyak (300 lawan lk. 1000 orang). Ditegaskan pula dalam ayat itu, bahwa kemenangan sebenarnya hanyalah sunatullah, bukan faktor malaikat secara fisik. Ayat berikutnya bahkan makin mempertegas bahwa janji Allah untuk menurunkan seribu Malaikat itu hanya semacam trik (trick) atau tipu muslihat, mengingat situasi kejiwaan tentara Islam saat itu yang diteror bisikan syetan, sehingga melupakan nilai luhur perjuangan mereka (untuk menegakkan ajaran Allah).

Ayat berikutnya (ayat 12), semakin membuat persoalan menjadi gamblang. Dikatakan bahwa turunnya Malaikat itu adalah untuk menyampaikan wahyu, bukan untuk ikut berperang, yang kira-kira mengatakan: “Sesungguhnya Aku (Allah) di pihak kalian (= perjuangan kalian direstui Allah). Maka mantapkan lah semangat juang kalian, wahai para Mu’min, sehingga orang-orang kafir iru menjadi gentar. Serbulah mereka. Penggal leher mereka. Babat putus tangang-tangan mereka.”

Masih dalam Surat al-Anfal ayat 65, kita mendapati instruksi dari Allah kepada Nabi, yang kira-kira berarti:
“Hai Nabi, bangkitkan semangat kaum mukmin untuk maju di dalam perang ini. Seandainya mereka hanya terdiri dari duapuluh orang yang teguh pendirian, mereka akan mampu mengalahkan musuh duaratus orang. Dan bila jumlah mereka seratus orang, mereka pasti sanggup mengalahkan tentara kafir seribu orang, karena orang-orang kafir itu sebenarnya tidak tahu (motivasi perjuangan mereka).”

Dengan kata lain, bila masih hendak menyebut peran malaikat, maka dimensi malaikat yang merasuk kepada tentara Islam di dalam perang Badar tersebut adalah berupa semangat dan kesadaran bahwa mereka berjuang demi kebenaran. Hal ini juga terungkap, misalnya dari kata-kata Muhammad setelah dia berdoa memohon  pertolongan Allah, “Demi Allah yang menguasai jiwaku, setiap orang yang sekarang bertempur dengan tabah, bertahan mati-matian, terus maju dan pantang mundur, lalu dia tewas, maka Allah akan menempatkannya di dalam surga.” [5]

Demikian hasil kajian sementara. ∆

[1] Ensiklopedi Umum, Kanisius, tahun …. hal.
[2] Setetes Rahasia Alam Tuhan, KH. Bahaudin Mudhary, hal. 142-2453, Pustaka Progressif, Surabaya, 1996.
[3] Childcraft, volume 4, World and Space, hal. 210.
[4] idem, note 1, hal. 218.
[5] Sejarah Hidup Muhammad, Haekal/ Ali Audah, hal. 275, cetakan ke-3, PT Dunia Pustaka Jaya, Jakarta, 1979.

1 komentar: