Meskipun memang benar bahwa
‘Ĩdul-Fithri muncul untuk mengakhiri
puasa Ramadhan, namun ‘Ĩdul-Fithri
– dalam isyarat Al-Qurãn maupun
Hadĩts – tidaklah sama dengan
‘Ĩdul-Futhûri (kembali makan;
hariraya berbuka). Tegasnya,
makna ‘Ĩdul-Fithri sebenarnya
tidaklah sedangkal itu.
Sebelum ini sudah disinggung bahwa
‘Ĩdul-Fithri adalah kata majemuk,
gabungan dari ĩd dan al-fithru. Ĩd
berarti kembali, sedangkan al-fithru
mempunyai banyak arti.
Al-fithru secara ilmu sharaf (ash-
sharf; morfologi) adalah salah satu
mashdar (akar kata) dari fi’l-mãdhi
(kata kerja lampau) fathara, yang
mempunyai dua fi’l-mudhãri’ (kata
kerja sekarang dan yang akan
datang), yaitu yafthuru dan
yafthiru.
Bentuk-bentuk masdarnya yang
lain, sebelum diberi kata sandang al
(Ing.: the ) adalah: fathran, fithran,
futhûran, fithratan. Bentuk-bentuk
masdar ini, termasuk bentuk
jamaknya yang juga berbeda-beda,
berpengaruh pada kandungan
makna.
Fathara dengan masdar fathran dan
fithratan (= fithrah) artinya bisa (1)
membelah, (2) terbit; muncul, (3)
menciptakan; membuat;
mengadakan, dan lain-lain.
Sedangkan fathara dengan masdar
futhûran artinya (1) makan sarapan,
(2) mengakhiri puasa; makan dan
minum setelah puasa.
Sehubungan dengan inilah selama
bulan Ramadhan setiap hari kita
membaca doa buka puasa yang
berbunyi: Allahumma laka shumtu
wa bika ãmantu wa ‘ala rizqika
afthartu…(Ya Allah, saya berpuasa
atas perintahMu, dan sekarang saya
berbuka dengan rejeki dariMu…).
Kemudian, (masdar) fithrah dengan
bentuk jamak fitharun, artinya
adalah (1) ciptaan; konsepsi (2) sifat
dasar, dan (3) alami.
Dalam teori ilmu sharaf, fithrah
adalah kata benda berbentuk
mu’annats (feminin gender) alias
kata benda jenis perempuan. Jenis
lelakinya adalah fithrun, atau al-
fithru bila ditambah kata sandang al.
Dengan penambahan kata sandang
al, fithrun yang semula menempati
posisi sebagai kata benda umum,
berubah atau berpindah posisi
menjadi kata benda berpengertian
khusus, atau bahkan menjadi
sebuah istilah yang pengertiannya
menjadi amat sangat khusus.
Dan kekhususan itu – tentu –
dipastikan oleh keterikatannya
dengan konteks (kalimat, frasa;
keadaan, peristiwa; pokok bahasan)
wacana.
Di sini penulis ingin mengingatkan
bahwa istilah al-fithru dan atau al-
fithratu (= al-fithrah) kita bahas
dalam konteks Dĩnul-Islãm(i),
agama Islam, dengan kitabnya Al-
Qurãn. Dengan kata lain, di sini,
istilah al-fithru/al-fithratu terikat
dalam konteks Islam/Al-Qurãn.
Al-Qurãn memuat sedikitnya 19
ayat berisi variasi kata fathara. Hal
yang menarik, kata fithrah,
lengkapnya fithratallah(i) hanya
termuat dalam surat Ar-Rûm ayat
30.
Ini menjadi qarĩnah (indikasi;
petunjuk) bahwa makna istilah al-
fithrah, termasuk ‘Ĩdul-Fithri, terikat
oleh konteks ayat ini.
Dan, hal menarik lainnya, dalam
ayat ini istilah fithratallah selain
berarti (1) ciptaan Allah, juga
mengacu pada pengertian (2) dĩnul-
qayyĩm (agama yang sangat
kokoh), yaitu agama Islam, yang
diciptakan memiliki kecocokan
dengan sifat alami (fithrah) manusia
itu sendiri.
Dengan kata lain, manusia dan
agama Islam adalah jodoh
(pasangan alami), menurut fithrah
(konsepsi) Allah.
Perhatikanlah terjemahan ayat
tersebut!
Mantapkanlah wajah-(pandangan
hidup)-mu mengikuti agama ini
(Islam) semantap-mantapnya.
(Inilah) fithrah (konsepsi) Allah yang
dibuatNya cocok dengan fithrah
(konsep penciptaan) manusia. Tak
ada tandingan bagi ciptaan (agama)
Allah ini. Inilah aama yang sangat
kokoh. Tapi (sayang) kebanyakan
manusia tidak tahu (atau tak mau
tahu!).
Ayat ini menegaskan bahwa
manusia dan (agama) Islam adalah
(1) sama-sama ciptaan Allah, dan
(2) manusia diciptakan sebagai
pelaku (= aktor) Islam.
Karena itu jangan heran bila dalam
surat Ali ‘Imran ayat 19 ditegaskan
bahwa Islam adalah satu-satunya
agama Allah, dan dalam ayat 85 di
surat yang sama juga ditandaskan
bahwa para pencari agama selain
Islam bakal gagal memenuhi
harapan.
Dengan demikian, melalui ayat ini
saja rasanya sudah lebih dari cukup
untuk memastikan bahwa ‘Ĩdul-
Fithri, sebagai istilah yang
digunakan Rasulullah, arti hakikinya
adalah “kembali (merujuk) kepada
Islam”, bukan kembali berbuka/
makan, dan bukan berpesta pora
karena baru bebas dari
‘kerangkeng’ kewajiban berpuasa
selama sebulan!
Allah sebagai Al-Fãthir
Surat ke-35 dalam Al-Qurãn diberi
nama Fãthir (pencipta), yang
ternyata (sebutan) ini ditujukan
kepada Allah. Hal yang sangat
menarik di sini adalah:
1. Pada ayat ke-3 dari surat ini
terdapat sinonim dari fãthir, yaitu
khãliq.
2. Hal itu seperti merupakan isyarat
bahwa ayat ini mempunyai kaitan
dengan surat Ar-Rûm ayat 30, yang
di dalamnya termuat sinonim
fithratallah(i), yaitu khalqillah(i).
Kenyataan ini semakin menegaskan
bahwa Allah, Sang Mahapencipta itu
adalah pencipta semesta alam,
manusia, dan Islam.
Agaknya, dalam konteks inilah
Rasulullah mengatakan, “Setiap bayi
dilahirkan ‘alal-fithrati (berdasar
konsepsi/rencana Allah) – yakni
untuk menjadi pelaku Al-Fithrah, Al-
Islãm.
Sampai kemudian, ketika ia pandai
berbicara, maka kedua orangtuanya
(atau lingkungannya)
menjadikannya Yahudi, Nasrani,
atau Majusi.” (HR Al-Bukhari).
Sabda Rasulullah ini, lagi-lagi, adalah
indikasi nyata bahwa da’wah para
rasul (dari Adam sampai
Muhammad saw) pada dasarnya
adalah ajakan agar manusia – yang
tersasar oleh kepastian hukum
alam, dalam konteks kelahiran,
hendaknya sudi berusaha
menelusuri latar belakang
kehadiran-(eksistensi)-nya , yakni
sebagai ciptaan Allah,yang
untuknya tersedia sebuah ciptaan
Allah yang lain, yang berfungsi
sebagai ‘pakaian budaya/hidup’
baginya, yakni Islam.
Manakala ajakan itu disambut
dengan sebaik-baiknya, maka di
situlah ditemukan makna hakiki dari
‘Ĩdul-Fithri, yaitu “perjalanan/proses
rujuk diri manusia kepada belahan
jiwanya, yaitu Al-Fithrah alias Al-
Islãm.
Bila hal itu terjadi, maka kepadanya
layak diucapkan selamat!
Selamat dari jebakan lingkungan
kelahiran, karena telah kembali ke
‘pangkuan’ Allah....
terima kasih, saat saya dalam situasi di Lambung Kerinduan Untuk Hidup Dengan Ajaran Allah ms Rasul-Nya ... Semoga !
BalasHapusUntuk kali ini, scr objektif ilmiah, Idhul Fitri jatuh pd hari & tanggal berapa dalam kalender Masehi ? tks
BalasHapusIdul fitri kembali hidup berpandangan dan bersikap dg konsep dinul islam(madinah)tanpa reserve satu2nya penataan tangguh tiada tanding.
BalasHapusPandangan deduktif dan induktif lihat qs.annaml 16 juga lebah kepompong dsb semua alamiah ilmiah semoga khusnul khotimah di bangkit jannah walau karihal musrikun.
BalasHapusAhsan...semangat terus berdakwah alqiran msr
BalasHapus